إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
Bagaimana bisa ada orang yang membenci Syiah tapi masih mengidolakan tokoh2
Syiah dan menggemari karya2 mereka?
Semoga mereka melakukannya karena kebodohannya atau ketidak tahuannya akan
hal itu. Ini peringatan untuk kita agar tidak asal ikut2an.
Karena banyak dari orang2 kita yang membenci Syiah, melaknat Syiah, namun
mereka masih mengidolakan tokoh Syiah dan menyukai karya2nya. Mereka masih
mengidolakan tokoh Syiah semisal Quraish Shihab yang pemikirannya
banyak terpengaruh ajaran Syiah, berikut dengan karyanya Tafsir Al Misbah.
Tidak ketinggalan juga dengan artis yang populer di Indonesia, yang
pemikirannya juga terpengaruh ajaran Syiah, yaitu Haddad Alwi dan Sulis.
Jangan kaget kalo lagu2 yang mereka bawakan diambil dari lagu2 ajaran
Syiah. Seperti lagu berikut ini:
“Ya Thayyibah… Ya
Thayyibah…”
Contoh (dijamin 100%
Syiah):
(Ket: Jangan
didengarkan dan jangan dinikmati lagunya. Sekedar referensi saja)
Mengenai nyanyian Ya
Thoybah (wahai Sang Penawar) itu juga nyanyian, hanya berbahasa Arab. Kalau
nyanyian berbahasa Indonesia, Inggeris atau lainnya yang biasanya berkisar
tentang cinta, pacaran dan sebagainya, misalnya dinyanyikan di masjid, orang
sudah langsung faham bahwa itu tidak boleh.
Nyanyian cinta-pacaran
seperti itu justru kesalahannya jelas. Orang langsung tahu. Sebaliknya, kalau
nyanyiannya itu seperti Ya Thoybah, kalau itu mengandung kesalahan (dan memang
demikian), justru orang tidak mudah untuk menyalahkannya. Karena dia berbahasa
Arab, dan menyebut nama sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
menyebut Al-Quran dan sebagainya.
Padahal, nyanyian Ya
Thoybah itu justru isinya berbahaya bagi Islam, karena ghuluw (berlebih-lebihan)
dalam memuji Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Berikut ini kutipan
bait yang ghuluw dari nyanyian Ya Thoybah (wahai Sang Penawar):
Ya ‘Aliyya bna Abii Thoolib Minkum mashdarul mawaahib.
Ya ‘Aliyya bna Abii Thoolib Minkum mashdarul mawaahib.
Artinya: “Wahai Ali
bin Abi Thalib, darimulah sumber keutamaan-keutamaan (anugerah-anugerah atau
bakat-bakat).”
Bagaimanapun, Ali bin
Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah manusia biasa, bukan Tuhan. Di
dalam nyanyian itu sampai disanjung sebegitu, dianggap, dari Ali lah sumber
anugerah-anugerah atau bakat-bakat atau keutamaan-keutamaan. Ini sangat
berlebihan alias ghuluw.
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
َ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فَإِنَّمَا
هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّينِ
“Jauhilah olehmu ghuluw
(berlebih-lebihan), karena sesungguhnya rusaknya orang sebelum kalian itu
hanyalah karena ghuluw –berlebih-lebihan– dalam agama.” (HR Ahmad, An-Nasaai,
Ibnu Majah, dan Al-Hakim, dari Ibnu Abbas, Shahih).
Ali radhiyallahu
‘anhu sendiri pernah disikapi seperti itu. Abdullah bin Saba’, pendeta
Yahudi dari Yaman yang pura-pura masuk Islam, bekata kepada Ali: “Engkau lah
Allah”. Maka Ali bermaksud membunuhnya, namun dilarang oleh Ibnu Abbas.
Kemudian Ali cukup membuangnya ke Madain (Iran). Dalam riwayat lain, Abdullah
bin Saba’ disuruh bertaubat namun tidak mau. Maka ia lalu dibakar oleh Ali
(dalam suatu riwayat).
(lihat Rijal
Al-Kusyi [hal.106-108, 305]; seperti dikutip KH Drs Moh Dawam Anwar, Mengapa
Kita Menolak Syi’ah, LPPI Jakarta, cetakan II, 1998, [hal 5-6]).
Rupanya antek-antek
Abdullah bin Saba’ kini berleluasa menyebarkan missinya.
Kelompok yang oknum-oknumnya diakui sebagai para pendukung tersebarnya aliran sesat di Indonesia itu juga merupakan kelompok yang ghuluw dalam menyanjung Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya adalah nyanyian mereka dalam pengajian-pengajian yang dikenal dengan nyanyian Ya Robbi bil Mushtofaa.
Kelompok yang oknum-oknumnya diakui sebagai para pendukung tersebarnya aliran sesat di Indonesia itu juga merupakan kelompok yang ghuluw dalam menyanjung Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya adalah nyanyian mereka dalam pengajian-pengajian yang dikenal dengan nyanyian Ya Robbi bil Mushtofaa.
Nyanyian yang satu ini
dikhawatirkan menjurus kepada syirik, kalau lafal ‘bil’ (dari Yaa Robbi ‘bil’ Mushtofaa)
itu dimaksudkan untuk sumpah, artinya demi (Rasul) pilihan (Mu). Sebab Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ
كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ. (الترمذي)
“Barangsiapa bersumpah
dengan selain Allah maka sungguh ia telah musyrik (menyekutukan Alah).” (HR At-Tirmidzi dalam
bab iman dan nadzar, kata Abu Isa, hadits ini hasan).
Terlarang pula bila
lafal ‘bil’ (dari Yaa Robbi ‘bil’ Mushtofaa) itu dimaksudkan untuk sababiyah atau
perantara, karena berarti menjadikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang sudah wafat sebagai perantara (wasilah) kepada Allah. Itu terlarang.
Karena hal itu termasuk ibadah. Sedangkan ibadah harus tauqifi, berdasarkan
dalil. Karena tak ada dalil yang membolehkan, maka para sahabat Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak bertawassul dengan Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika beliau sudah wafat.
Adapun minta didoakan
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika orang yang diminta itu masih hidup atau
tawassul ketika orangnya masih hidup, maka tidak terlarang.
Kalau ada yang minta
hadits larangan bertawassul dengan dzat makhluk, dalam hal ini isi dari syair
Ya Robbibil, sebenarnya sudah jelas dalam keterangan di atas. Namun agar lebih
jelas, kami kutipkan hadits:
رَوَى الطبراني فِي مُعْجَمِهِ
الْكَبِيرِ { أَنَّهُ كَانَ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مُنَافِقٌ يُؤْذِي الْمُؤْمِنِينَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ :
قُومُوا بِنَا لِنَسْتَغِيثَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مِنْ هَذَا الْمُنَافِقِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إنَّهُ لَا يُسْتَغَاثُ بِي وَإِنَّمَا يُسْتَغَاثُ بِاَللَّهِ }
Thabrani meriwayatkan
di dalam kitabnya, Mu’jam Al-Kabir, Bahwa dulu pada zaman Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ada seorang munafiq (Abdullah bin Ubay) mengganggu
orang-orang mukmin, maka Abu Bakar berkata: “Bangkitlah dengan kami, kami
akan minta tolong kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
(gangguan) munafiq ini”. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Sesungguhnya aku tidak (boleh) dimintai tolong, dan sesungguhnya
hanya Allah lah yang dimintai tolong.” (Disebutkan oleh al-Haitsami dalam Majma’
Az-Zawaaid [10/159] dan ia berkata: Diriwayatkan oleh Thabrani sedang para
periwayatnya shahih selain Ibnu Lahi’ah dan hadits ini hasan).
Dalam kitab Fathul
Majid dikomentari, “sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu adalah
nash bahwasanya tidak (boleh) minta tolong kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan juga orang lainnya. Beliau membenci perbuatan ini sebenarnya,
walaupun beliau termasuk mampu mengerjakannya (memberi pertolongan) dalam
hidupnya (tetapi ini) sebagai penjagaan akan terjauhnya Tauhid, dan menutup
jalan ke arah bahaya syirik, dan adab serta tawadhu’ kepada Tuhannya, dan
memberikan peringatan kepada ummatnya tentang sarana-sarana kemusyrikan dalam
ucapan dan perbuatan.
Kalau dalam hal yang
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mampu mengerjakannya ketika hidupnya saja
(beliau tidak membolehkan), maka bagaimana beliau akan membolehkan untuk minta
tolong (diperantarakan kepada Allah, misalnya) setelah beliau wafat, dan
dimintai untuk mengerjakan hal-hal yang beliau tidak mampu atasnya kecuali
Allah saja yang mampu mengerjakannya? Sebagaimana telah dilakukan oleh
lisan-lisan sebagian banyak penyair seperti Al-Bushiri, Al-Bara’i dan lainnya,
yang beristighotsah (minta tolong) kepada orang yang tidak memiliki manfaat dan
mudhorot pada dirinya sendiri…” ( Fathul Majid,
[hal.196-197]).
Secara pasti, ibadah
itu harus ada dalilnya (ayat Al-Quran atau Hadits yang shahih) atau ada
contohnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam (kesepakatan Sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam).
Dalam kasus ini, sya’ir
itu tidak sesuai dengan dalil, seperti uraian tersebut di atas, dan tidak
pernah ada contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ataupun para
sahabatnya.
Ibadah saja mesti ada
dalilnya atau contohnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedang
sya’ir ‘Ya Rabbi bil Musthofaa’ itu menyangkut aqidah, maka dalilnya untuk
membolehkannya harus jelas. Ternyata tidak ada dalil yang membolehkan secara
jelas, yang ada justru isi dan bentuk sya’ir itu bertentangan dengan dalil
aqidah yang benar.
Jadi pertanyaan yang mestinya diajukan adalah: Mana hadits yang membolehkan atau membenarkan isi sya’ir itu, bukan mana haditsnya yang melarang. Karena isi sya’ir itu menyangkut aqidah, yang dalam hal aturannya justru lebih ketat dibanding ibadah. Apalagi isi sya’ir itu sudah tidak sesuai dengan aqidah yang benar.
Masalah ulama tidak
tahu atau tahu tetapi tidak menyatakan bahwa itu salah, ini hal yang sering
diungkapkan orang dalam berbagai kesempatan. Namun yang jelas, agama itu
landasannya adalah dalil (ayat Al-Quran atau Hadits yang shahih) dengan
pemahaman yang sesuai dengan penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
para sahabatnya, tabi’in, dan tabi’it tabi’in. Di sinilah pentingnya
mempelajari agama, agar tidak hanya mengikuti apa kata orang, walau disebut
ulama. Insya Allah kalau menempuh jalan seperti ini, kita akan selamat.
Amien.
Demikian pula sholawat
Badar, di sana ada lafal ‘bil haadii Rasuulillaah’. Itu sama dengan keterangan
tersebut di atas.
(lebih jelasnya, baca
buku Tasawuf Belitan Iblis, Darul Falah, Jakarta, 1422H, atau Aliran
dan Paham Sesat di Indonesia, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2002, atau Tarekat
Tasawuf Tahlilan dan Maulidan, WIP Solo, 2007).
-semoga Allah melaknat Syi'ah-
-semoga Allah melaknat Syi'ah-
0 komentar:
Posting Komentar