إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
Ini adalah pembahasan yang tepat untuk membantah orang-orang yang dangkal akal
dan ilmunya, yaitu orang-orang yang ketika dilarang berbuat bid'ah, mereka
mengatakan, "kalau begitu mobil bid'ah, listrik bid'ah, sendok
bid'ah, komputer bid'ah dan jam bid'ah."
Sebagian orang yang memperoleh sedikit dari ilmu fiqih terkadang merasa lebih
pandai daripada ulama Ahli Sunnah dan orang-orang yang mengikuti Sunnah dengan
mengatakan kepada mereka sebagai pengingkaran atas teguran mereka yang
mengatakan bahwa amal yang baru yang dia lakukan itu bid’ah seraya dia
menyatakan bahwa, “asal segala sesuatu adalah diperbolehkan”.
Ungkapan seperti itu tidak keluar dari mereka melainkan karena kebodohannya
tentang kaidah pembedaan antara adat dan ibadah. Sesungguhnya kaidah tersebut
berkisar pada dua hadits.
Pertama : sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
عن أم المؤمنين أم عبدالله عائشة رضي
الله عنها قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ” من أحدث في أمرنا هذا ما ليس
منه فهو رد ” رواه البخاري ومسلم , وفي
رواية لمسلم ” من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa melakukan hal yang baru dalam urusan
(agama), yang tidak ada contohnya dari kami, maka amal itu tertolak”. (HR al Bukhari [no.2550] dan Muslim
[no. 1718]).
Kedua : sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam peristiwa penyilangan serbuk sari kurma yang sangat masyhur.
”Kalian lebih mengetahui tentang berbagai urusan dunia
kalian”. (HR Muslim
[no.1366]).
Atas dasar ini maka sesungguhnya penghalalan dan pengharaman, penentuan
syari’at, bentuk-bentuk ibadah dan penjelasan jumlah, cara dan waktu-waktunya,
serta meletakkan kaidah-kaidah umum dalam muamalah adalah hanya hak Allah dan
Rasul-Nya dan tidak ada hak bagi ulil amri di dalamnya. Sedangkan kita dan
mereka dalam hal tersebut adalah sama. Maka kita tidak boleh merujuk kepada
mereka jika terjadi perselisihan. Tetapi kita harus mengembalikan semua itu
kepada Allah dan Rasul-Nya.
Adapun tentang bentuk-bentuk urusan dunia maka mereka lebih mengetahui daripada
kita. Seperti para ahli pertanian lebih mengetahui tentang apa yang lebih
maslahat dalam mengembangkan pertanian. Maka jika mereka mengeluarkan keputusan
yang berkaitan dengan pertanian, umat wajib menaatinya dalam hal tersebut. Para
ahli perdagangan ditaati dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan
perdagangan.
Sesungguhnya mengembalikan sesuatu kepada orang-orang yang berwenang dalam
kemaslahatan umum adalah seperti merujuk kepada dokter dalam mengetahui makanan
yang berbahaya untuk dihindari dan yang bermanfaat darinya untuk dijadikan
santapan. Ini tidak berarti bahwa dokter adalah yang menghalalkan makanan yang
manfaat atau mengharamkan makanan yang mudharat. Tetapi sesungguhnya dokter
hanya sebatas sebagai pembimbing sedang yang menghalalkan dan mengharamkan
adalah yang menentukan syari’at yaitu Allah dan Rasul-Nya.
Dengan demikian anda mengetahui bahwa setiap bid’ah dalam agama adalah sesat
dan tertolak. Adapun bid’ah dalam masalah dunia maka tiada larangan di dalamnya
selama tidak bertentangan dengan landasan yang telah ditetapkan dalam agama.
Jadi, Allah membolehkan anda membuat apa yang anda mau dalam urusan dunia dan
cara berproduksi yang anda mau. Tetapi anda harus memperhatikan kaidah keadilan
dan menangkal bentuk-bentuk mafsadah serta mendatangkan bentuk-bentuk maslahat.
Adapun kaidah dalam hal ini menurut ulama sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah
di dalam kitab al Iqtidha (II/582), “Sesungguhnya amal-amal manusia
terbagi kepada :
1. Ibadah yang mereka jadikan sebagai agama, yang
bermanfaat bagi mereka di akhirat atau bermanfaat di dunia dan akhirat.
2. Adat yang bermanfaat dalam kehidupan mereka.
Adapun hukum asal dalam adat adalah tidak dilarang kecuali apa yang dilarang
Allah. (al I’tiham [I/37]).
Dari keterangan diatas tampak dengan jelas bahwa tidak ada bid’ah dalam masalah
adat dan segala urusan dunia.
Hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Mahmud Syaltut dalam kitabnya, al
Bid’ah Asabbuha wa Madharruha (hlm. 12), “Hal-hal tersebut tiada kaitannya
dengan hakikat ibadah. Tetapi hal tersebut harus diperhatikan dari sisi
dasarnya, apakah dia bertentangan dengan hukum-hukum syari’at ataukah masuk di
dalamnya”.
Di sini terdapat keterangan yang sangat cermat yang diisyaratkan oleh Imam asy
Syathibi dalam kajian yang panjang dalam al I’tisham (II/73-98) yang
pada bagian akhirnya disebutkan, “Sesungguhnya hal-hal yang berkaitan dengan
adat jika dilihat dari sisi adatnya, maka tidak ada bid’ah di dalamnya. Tetapi
jika adat dijadikan sebagai ibadah atau diletakkan pada tempat ibadah maka ia
menjadi bid’ah”.
Dengan demikian maka “tidak semua yang belum ada pada masa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan juga yang belum ada pada masa Khulafa Rasyidin
dapat dikatakan sebagai bid’ah. Sebab setiap ilmu yang baru dan bermanfaat
bagi manusia wajib dipelajari oleh sebagian kaum muslimin agar menjadi kekuatan
mereka dan dapat meningkatkan eksistensi umat Islam.
"Sesungguhnya bid’ah adalah sesuatu yang baru, yang dibuat oleh manusia
dalam bentuk-bentuk ibadah saja. Sedangkan yang bukan dalam masalah ibadah dan
tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syari’at, maka hal tersebut bukan
bid’ah sama sekali” (ar Raudhah an Nadiyah [I/27]).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam al Qawa’id an Nuraniyah al Fiqhiyah
(hal. 22) berkata, “Adapun adat adalah sesuatu yang bisa dilakukan manusia
dalam urusan dunia yang berkaitan dengan kebutuhan mereka, dan hukum asal pada
masalah tersebut adalah tidak terlarang. Maka tidak boleh ada yang dilarang
kecuali apa yang dilarang Allah. Karena sesungguhnya memerintah dan melarang
adalah hak Allah. Maka ibadah harus berdasarkan perintah."
Oleh karena itu, Imam Ahmad dan ulama fiqh ahli hadits lainnya mengatakan, "hukum
asal dalam ibadah adalah tauqifi (berdasarkan dalil). Maka, ibadah tidak
disyariatkan kecuali dengan ketentuan Allah, sedang jika tidak ada ketentuan
dari-Nya maka pelakunya termasuk orang dalam firman Allah,
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاء شَرَعُوا لَهُم
مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ
لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
"Apakah mereka mempunyai para sekutu yang
mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak dizinkan Allah?” (asy Syuraa : 21).
Yusuf al Qaradhawi dalam al Halal wal Haram fil Islam (hal.21) berkata, “Adapun
adat dan muamalah (urusan dunia), maka bukan Allah pencetusnya, tetapi
manusialah yang mencetuskan dan berinteraksi dengannya, sedang Allah datang
membetulkan, meluruskan dan membina serta menetapkannya pada suatu waktu dalam
hal-hal yang tidak mendung mafsadat dan mudharat”.
Dengan
mengetahui kaidah ini, maka akan tampak cara menetapkan hukum-hukum terhadap
berbagai kejadian baru, sehingga tidak akan berbaur antara adat dan ibadah dan
tidak ada kesamaran bid’ah dengan penemuan-penemuan baru pada masa sekarang.
Dimana masing-masing mempunyai bentuk sendiri-sendiri dan masing-masing ada
hukumnya secara mandiri.
دينك على قلبي ثبت القلوب يامقلب
“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkan hati
kami di atas agama-Mu.”
(HR Tirmidzi [no.3522], Ahmad [4/302], al Hakim
[1/525], Shohih Sunan Tirmidzi [no.2792]).
Lihat:
- Ushul fil Bida’ was Sunan (94)
- Ushul fil Bida’ was Sunan (106)
- Al Iqtidha (II/582)
- Al I’tiham (I/37) oleh Imam Asy-Syatibi.
- ta’liq Syaikh Ahmad Syakir tentang kitab ar Raudhah an Nadiyah (I/27)
- Husnu at Tafahhum wad Darki (151) Abdullah al Ghumari
- Al Muwafaqat (II/305-315).
0 komentar:
Posting Komentar