Pages

Kamis, 30 Agustus 2012

Bahayanya Hadits Dha'if (lemah) dan Maudhu' (palsu)



إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة فنار



Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda,
وَإِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي اْلأَئِمَّةَ الْمُضِلِّيْن

“Yang paling aku takutkan menimpa umatku ialah imam-imam yang menyesatkan.” (HR. Abu Dawud [4/4252] dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah [jilid 4 no.1586]).

“Barangsiapa yang telah berdusta terhadapku secara sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di api neraka.” (Hadits Shahih Mutawatir)

Ibnu Mas’ud berkata, “Kalian akan mendapati segolongan kaum yang menyangka bahwa mereka menyeru kepada Kitabullah, namun hakekatnya mereka telah melemparkannya ke belakang punggung-punggung mereka.” (Al-Ibanah [1/322]).

Di antara bencana besar yang menimpa kaum Muslimin sejak periode-periode pertama adalah tersebar luasnya hadits-hadits Dha’if (lemah) dan Maudhu’ (palsu) di tengah mereka. Tidak ada seorang pun yang dikecualikan di sini sekalipun mereka adalah kalangan para ulama mereka kecuali beberapa gelintir orang yang dikehendaki Allah, diantaranya para imam hadits dan Nuqqaad (Para Kritikus hadits) seperti Imam al-Bukhari, Ahmad, Ibn Ma’in, Abu Hatim ar-Razy dan ulama lainnya. 

Di kitab Ihiya’ ‘Ulumuddin kaya Imam Al-Ghazali yang sangat populer di kalangan pondok pesantren baik pondok tradisional maupun modern yaitu kitab Ihiya’ ‘Ulumuddin sudah tidak asing lagi. Para ulama telah meneliti, mengoreksi, mentakhrij kitab Ihiya’ ‘Ulumuddin oleh imam Subkhi yang bermazhab Syafi’i , beliau telah meneliti kitab Ihiya’ ‘Ulumuddin ada sekitar 900 hadits yang maudhu (palsu) dan Dha’if (lemah).

Imam Al Ghazali di dalam kitabnya mengakui bahwa beliau bukan ahli hadits dan sedikit pengetahuan ilmu hadits. Kitab Ihiya’ ‘Ulumuddin sudah terlanjur beredar sebelum dikoreksi oleh ulama setelahnya, sehingga sampai sekarang kerancuan isi kitab tersebut berdampak negatif kepada pembacanya. Penyebaran yang secara meluas tersebut mengakibatkan banyak dampak negatif, diantaranya ada yang terkait dengan masalah-masalah aqidah yang bersifat ghaib dan di antaranya pula ada yang berupa perkara-perkara Tasyri’ (Syari’at). 

Adalah hikmah Allah Ta’ala Yang Maha Mengetahui, bahwa Dia tidak membiarkan hadits-hadits yang dibuat-buat oleh orang-orang yang benci terhadap agama ini untuk tujuan-tujuan tertentu menjalar ke tubuh kaum Muslimin tanpa mengutus orang yang akan menyingkap kedok yang menutupi hakikatnya dan menjelaskan kepada manusia permasalahannya. Mereka itulah para ulama Ahli hadits dan pembawa panji-panji sunnah Nabawiyyah yang didoakan Rasulullah dalam sabdanya, “Semoga Allah mencerahkan (menganugerahi nikmat) seseorang yang mendengarkan perkataanku lalu menangkap (mencernanya), menghafal dan menyampaikannya. Betapa banyak orang yang membawa ilmu tetapi tidak lebih faqih (untuk dapat menghafal dan menyampaikannya) dari orang yang dia sampaikan kepadanya/pendengarya (karena ia mampu menggali dalil sehingga lebih faqih darinya).” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi yang menilainya shahih). 

Contoh dari hadits maudhu :
اخْتِلاَفُأُمَّتِيْرَحْمَةٌ
"Perselisihan umatku adalah rahmat" (Hadis ini maudhu' (palsu), lihat kitab al-Asrar al-Marfu'ah [no.506], Tanzih al-Syari'ah [2/402]. Al-Albani rohimahulloh mengatakan: "Tidak memiliki sumber sama sekali", Adh-Dha'ifah [no.11])


اطْلُبُوْا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنِ

“Carilah ilmu sekalipun di negeri Cina.” (Derajat Hadits ini Batil. Hadits di atas diriwayatkan oleh: Ibnu Adi [2/207], Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbahan [2/106], al-Khotib dalam Tarikh [9/364] dan ar-Rihlah [1/2], al-Baihaqi dalam al-Madkhol [241, 324], Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi [1/7-8] dari jalan Hasan bin Athiyah (ia berkata), Menceritakan kepada kami Abu A’tikah Tharif bin Sulaiman dari Anas secara marfu’ (sampai kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam). Mereka semunya menambahkan,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” Kecacatan hadits ini terletak pada Abu A’tikah. Dia telah disepakati akan kelemahannya.
Al-Bukhori rohimahulloh berkata, “Munkarul hadits.”
An-Nasa‘i rohimahulloh berkata: “Tidak terpercaya.”
Abu Hatim rohimahulloh berkata: “Haditsnya hancur.”
Al-Marwazi rohimahulloh bercerita: “Hadits ini pernah disebutkan di sisi Imam Ahmad, maka beliau mengingkarinya dengan keras”.
Ibnul Jauzi rohimahulloh mencantumkan hadits ini dalam al-Maudhu’at (1/215) dan berkata: Ibnu Hibban berkata: ‘Hadits batil, tidak ada asalnya.’ Dan disetujui as-Sakhowi.” (al-Maqoshid al-Hasanah [hlm.63])
Kesimpulannya, hadits ini adalah hadits batil dan tidak ada jalan lain yang menguatkannya. (Lihat Silsilah Ahadits adh-Dho’ifah [416])

Itulah contoh dari hadits yang sering di sampaikan para ulama atau ustadz di mimbar jumat bahkan di sampaikan di halakoh ilmiah.Mereka tidak menyadari bahwa hadits yang mereka bawakan adalah maudhu.Masih banyak hadits yang yang derajatnya tidak shahih oleh mereka sampaikan. 

Para imam tersebut,semoga Allah mengganjar kebaikan kepada mereka dari kaum Muslimin telah menjelaskan kondisi kebanyakan hadits-hadits tersebut dari sisi keshahihan, kelemahan atau pun kepalsuannya dan telah membuat dasar-dasar yang kokoh dan kaidah-kaidah yang mantap di mana siapa saja yang menekuni dan mempelajarinya secara mendalam untuk mengetahuinya, maka dia akan dapat mengetahui kualitas dari hadits apa pun meski mereka (para imam tersebut) belum memberikan penilaian atasnya secara tertulis. Itulah yang disebut dengan ilmu Ushul Hadits atau yang lebih dikenal dengan Llmu Mushthalah Hadits. 

Para ulama generasi terakhir (al-Muta`akkhirin) telah mengarang beberapa buku yang khusus untuk mencari hadits-hadits dan menjelaskan kondisinya, di antaranya yang paling masyhur dan luas bahasannya adalah kitab al-Maqaashid al-Hasanah Fii Bayaan Katsiir Min al-Ahaadiits al-Musytahirah ‘Ala al-Alsinah karya al-Hafizh as-Sakhawy. Demikian juga buku semisalnya seperti buku-buku Takhriijaat (untuk mengeluarkan jaluar hadits dan kualitasnya) yang menjelaskan kondisi hadits-hadits yang terdapat di dalam buku-buku pengarang yang buku berasal dari Ahli Hadits (Ulama hadits) dan buku-buku yang berisi hadits-hadits yang tidak ada asalnya seperti buku Nashb ar-Raayah Li Ahaadiits al-Bidaayah karya al-Hafizh az-Zaila’iy, al-Mugny ‘An Haml al-Asfaar Fii al-Asfaar Fii Takhriij Maa Fii Ihyaa` Min al-Akhbaar karya al-Hafizh al-‘Iraqy, at-Talkhiish al-Habiir Fii Takhriij Ahaadiits ar-Raafi’iy al-Kabiir karya al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalany, Takhriij Ahaadiits al-Kasysyaaf karya Ibn Hajar juga dan Takhriij Ahaadiits asy-Syifaa` karya Imam as-Suyuthy, semua buku tersebut sudah dicetak dan diterbitkan. 

Sekalipun para imam tersebut,”semoga Allah mengganjar kebaikan kepada mereka” telah melanggengkan jalan kepada generasi setelah mereka, baik buat kalangan para ulama maupun para penuntut ilmu hingga mereka mengetahui kualitas setiap hadits melalui buku-buku tersebut dan semisalnya, akan tetapi sangat disayangkan sekali kami melihat mereka malah telah berpaling dari membaca buku-buku tersebut. 

Maka karenanya, mereka pun buta terhadap kondisi hadits-hadits yang telah mereka hafal dari para guru mereka atau yang mereka baca pada sebagian buku yang tidak interes terhadap hadits yang shahih dan valid. Karena itu pula, kita hampir tidak pernah mendengarkan suatu wejangan dari sebagian Mursyid (penyuluh), ceramah dari salah seorang ustadz atau khuthbah seorang khathib melainkan kita dapati di dalamnya sesuatu dari hadits-hadits Dha’if dan Maudhu’ tersebut, dan ini amat berbahaya di mana karenanya dikhawatirkan mereka semua akan terkena ancaman sabda beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam, “Barangsiapa yang telah berdusta terhadapku secara sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di api neraka.” (Hadits Shahih Mutawatir) 

Walau pun secara langsung mereka tidak menyengaja berdusta, namun sebagai imbasnya mereka tetap berdosa karena telah menukil (meriwayatkan) hadits-hadits yang semuanya mereka periksa padahal mengetahi secara pasti bahwa di dalamnya terdapat hadits yang Dha’if atau pun hadits dusta. Mengenai hal ini, terdapat isyarat dari makna hadits Rasulullah yang berbunyi, “Cukuplah seseorang itu berdusta manakala ia menceritakan semua apa yang didengarnya (tanpa disaring lagi).” (HR.Muslim) dan hadits lainnya dari riwayat Abu Hurairah. 

Kemudian dari itu, telah diriwayatkan bahwa Imam Malik pernah berkata, “Ketahuilah bahwa tidaklah selamat seorang yang menceritakan semua apa yang didengarnya dan selamanya, ia bukan imam bilamana menceritakan semua apa yang didengarnya.”
 
Imam Ibn Hibban berkata di dalam kitab Shahihnya, “Pasal: Mengenai dipastikannya masuk neraka, orang yang menisbatkan sesuatu kepada al-Mushthafa, Rasulullah SAW, padahal ia tidak mengetahui keshahihannya,” setelah itu, beliau mengetengahkan hadits Abu Hurairah dengan sanadnya secara marfu’, “Barangsiapa yang berkata dengan mengatasnamakanku padahal aku tidak pernah mengatakannya, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” Kualitas sanad hadits ini Hasan dan makna asalnya terdapat di dalam kitab ash-Shahiihain dan kitab lainnya.

Selanjutnya, Ibn Hibban berkata, “Pembahasan mengenai hadits yang menunjukkan keshahihan hadits-hadits yang kami isyaratkan pada bab terdahulu,” kemudian beliau mengetengahkan hadits dari Samurah bin Jundub dengan sanadnya, dia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘alaihiwasallam bersabda, “Barangsiapa yang membicarakan suatu pembicaraan mengenaiku (membacakan satu hadits mengenaiku) di mana ia terlihat berdusta, maka ia adalah salah seorang dari para pendusta.” (hadits ini Shahih, dikeluarkan oleh Imam Muslim di dalam mukaddimahnya dari hadits Samurah dan al-Mughirah bin Syu’bah secara bersama-sama). 

Ibn Hibban berkata, “Ini adalah hadits yang masyhur.” Kemudian dia melanjutkan, “Pembahasan mengenai hadits kedua yang menunjukkan keshahihan pendapat kami,” lalu dia mengetengahkan hadits Abu Hurairah yang pertama di atas. 

Dari apa yang telah disampaikan di atas, jelaslah bagi kita bahwa tidak boleh menyebarkan hadits-hadits dan meriwayatkannya tanpa terlebih dahulu melakukan Tatsabbut (cek-ricek) mengenai keshahihannya sebab orang yang melakukan hal itu, maka cukuplah itu sebagai kedustaan terhadap Rasulullah yang bersabda, “Sesungguhnya berdusta terhadapku bukanlah berdusta terhadap salah seorang diantara kamu, barangsiapa yang berdusta terhadapku secara sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di api neraka.” (HR. Muslim dan selainnya).

wallahu a’lam.


0 komentar:

Posting Komentar