إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
Rasulullah Shalallahu
'alaihi wasallam bersabda,
وَإِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي
اْلأَئِمَّةَ الْمُضِلِّيْن
“Yang paling aku
takutkan menimpa umatku ialah imam-imam yang menyesatkan.” (HR. Abu Dawud [4/4252]
dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah [jilid 4 no.1586]).
“Barangsiapa yang telah
berdusta terhadapku secara sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat
duduknya di api neraka.” (Hadits Shahih Mutawatir)
Ibnu Mas’ud berkata, “Kalian akan mendapati segolongan kaum yang
menyangka bahwa mereka menyeru kepada Kitabullah, namun hakekatnya mereka telah
melemparkannya ke belakang punggung-punggung mereka.” (Al-Ibanah [1/322]).
Di antara bencana besar yang menimpa kaum Muslimin sejak periode-periode
pertama adalah tersebar luasnya hadits-hadits Dha’if (lemah) dan Maudhu’
(palsu) di tengah mereka. Tidak ada seorang pun yang dikecualikan di sini
sekalipun mereka adalah kalangan para ulama mereka kecuali beberapa gelintir orang
yang dikehendaki Allah, diantaranya para imam hadits dan Nuqqaad (Para Kritikus
hadits) seperti Imam al-Bukhari, Ahmad, Ibn Ma’in, Abu Hatim ar-Razy dan ulama
lainnya.
Di kitab Ihiya’ ‘Ulumuddin kaya Imam Al-Ghazali yang sangat populer
di kalangan pondok pesantren baik pondok tradisional maupun modern yaitu kitab Ihiya’
‘Ulumuddin sudah tidak asing lagi. Para ulama telah meneliti, mengoreksi,
mentakhrij kitab Ihiya’ ‘Ulumuddin oleh imam Subkhi yang bermazhab
Syafi’i , beliau telah meneliti kitab Ihiya’ ‘Ulumuddin ada sekitar 900
hadits yang maudhu (palsu) dan Dha’if (lemah).
Imam Al Ghazali di dalam kitabnya mengakui bahwa beliau bukan ahli hadits
dan sedikit pengetahuan ilmu hadits. Kitab Ihiya’ ‘Ulumuddin sudah
terlanjur beredar sebelum dikoreksi oleh ulama setelahnya, sehingga sampai
sekarang kerancuan isi kitab tersebut berdampak negatif kepada pembacanya. Penyebaran
yang secara meluas tersebut mengakibatkan banyak dampak negatif, diantaranya
ada yang terkait dengan masalah-masalah aqidah yang bersifat ghaib dan di
antaranya pula ada yang berupa perkara-perkara Tasyri’ (Syari’at).
Adalah hikmah Allah Ta’ala Yang Maha Mengetahui, bahwa Dia tidak membiarkan
hadits-hadits yang dibuat-buat oleh orang-orang yang benci terhadap agama ini
untuk tujuan-tujuan tertentu menjalar ke tubuh kaum Muslimin tanpa mengutus
orang yang akan menyingkap kedok yang menutupi hakikatnya dan menjelaskan
kepada manusia permasalahannya. Mereka itulah para ulama Ahli hadits dan
pembawa panji-panji sunnah Nabawiyyah yang didoakan Rasulullah dalam sabdanya, “Semoga
Allah mencerahkan (menganugerahi nikmat) seseorang yang mendengarkan
perkataanku lalu menangkap (mencernanya), menghafal dan menyampaikannya. Betapa
banyak orang yang membawa ilmu tetapi tidak lebih faqih (untuk dapat menghafal
dan menyampaikannya) dari orang yang dia sampaikan kepadanya/pendengarya
(karena ia mampu menggali dalil sehingga lebih faqih darinya).” (HR. Abu Dawud
dan at-Tirmidzi yang menilainya shahih).
Contoh dari hadits
maudhu :
اخْتِلاَفُأُمَّتِيْرَحْمَةٌ
"Perselisihan
umatku adalah rahmat" (Hadis ini maudhu' (palsu), lihat kitab al-Asrar
al-Marfu'ah [no.506], Tanzih al-Syari'ah [2/402]. Al-Albani rohimahulloh
mengatakan: "Tidak memiliki sumber sama sekali", Adh-Dha'ifah
[no.11])
اطْلُبُوْا الْعِلْمَ وَلَوْ
بِالصِّيْنِ
“Carilah ilmu sekalipun
di negeri Cina.” (Derajat Hadits ini Batil. Hadits di atas diriwayatkan oleh: Ibnu
Adi [2/207], Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbahan [2/106], al-Khotib dalam Tarikh
[9/364] dan ar-Rihlah [1/2], al-Baihaqi dalam al-Madkhol [241,
324], Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi [1/7-8] dari jalan Hasan
bin Athiyah (ia berkata), Menceritakan kepada kami Abu A’tikah Tharif bin
Sulaiman dari Anas secara marfu’ (sampai kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi
wa Sallam). Mereka semunya menambahkan,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى
كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu itu
wajib bagi setiap muslim.” Kecacatan hadits ini terletak pada Abu A’tikah. Dia
telah disepakati akan kelemahannya.
Al-Bukhori rohimahulloh
berkata, “Munkarul hadits.”
An-Nasa‘i rohimahulloh
berkata: “Tidak terpercaya.”
Abu Hatim rohimahulloh
berkata: “Haditsnya hancur.”
Al-Marwazi rohimahulloh
bercerita: “Hadits ini pernah disebutkan di sisi Imam Ahmad, maka beliau
mengingkarinya dengan keras”.
Ibnul Jauzi rohimahulloh
mencantumkan hadits ini dalam al-Maudhu’at (1/215) dan berkata: Ibnu
Hibban berkata: ‘Hadits batil, tidak ada asalnya.’ Dan disetujui
as-Sakhowi.” (al-Maqoshid al-Hasanah [hlm.63])
Kesimpulannya, hadits
ini adalah hadits batil dan tidak ada jalan lain yang menguatkannya. (Lihat
Silsilah Ahadits adh-Dho’ifah [416])
Itulah contoh dari hadits yang sering di sampaikan para ulama atau ustadz
di mimbar jumat bahkan di sampaikan di halakoh ilmiah.Mereka tidak menyadari
bahwa hadits yang mereka bawakan adalah maudhu.Masih banyak hadits yang yang
derajatnya tidak shahih oleh mereka sampaikan.
Para imam tersebut,semoga Allah mengganjar kebaikan kepada mereka dari kaum
Muslimin telah menjelaskan kondisi kebanyakan hadits-hadits tersebut dari sisi
keshahihan, kelemahan atau pun kepalsuannya dan telah membuat dasar-dasar yang
kokoh dan kaidah-kaidah yang mantap di mana siapa saja yang menekuni dan
mempelajarinya secara mendalam untuk mengetahuinya, maka dia akan dapat
mengetahui kualitas dari hadits apa pun meski mereka (para imam tersebut) belum
memberikan penilaian atasnya secara tertulis. Itulah yang disebut dengan ilmu
Ushul Hadits atau yang lebih dikenal dengan Llmu Mushthalah Hadits.
Para ulama generasi terakhir (al-Muta`akkhirin) telah mengarang beberapa
buku yang khusus untuk mencari hadits-hadits dan menjelaskan kondisinya, di
antaranya yang paling masyhur dan luas bahasannya adalah kitab al-Maqaashid
al-Hasanah Fii Bayaan Katsiir Min al-Ahaadiits al-Musytahirah ‘Ala al-Alsinah
karya al-Hafizh as-Sakhawy. Demikian juga buku semisalnya seperti buku-buku
Takhriijaat (untuk mengeluarkan jaluar hadits dan kualitasnya) yang menjelaskan
kondisi hadits-hadits yang terdapat di dalam buku-buku pengarang yang buku
berasal dari Ahli Hadits (Ulama hadits) dan buku-buku yang berisi hadits-hadits
yang tidak ada asalnya seperti buku Nashb ar-Raayah Li Ahaadiits al-Bidaayah
karya al-Hafizh az-Zaila’iy, al-Mugny ‘An Haml al-Asfaar Fii al-Asfaar Fii
Takhriij Maa Fii Ihyaa` Min al-Akhbaar karya al-Hafizh al-‘Iraqy, at-Talkhiish
al-Habiir Fii Takhriij Ahaadiits ar-Raafi’iy al-Kabiir karya al-Hafizh Ibn
Hajar al-‘Asqalany, Takhriij Ahaadiits al-Kasysyaaf karya Ibn Hajar juga
dan Takhriij Ahaadiits asy-Syifaa` karya Imam as-Suyuthy, semua buku
tersebut sudah dicetak dan diterbitkan.
Sekalipun para imam tersebut,”semoga Allah mengganjar kebaikan kepada
mereka” telah melanggengkan jalan kepada generasi setelah mereka, baik buat
kalangan para ulama maupun para penuntut ilmu hingga mereka mengetahui kualitas
setiap hadits melalui buku-buku tersebut dan semisalnya, akan tetapi sangat
disayangkan sekali kami melihat mereka malah telah berpaling dari membaca
buku-buku tersebut.
Maka karenanya, mereka pun buta terhadap kondisi hadits-hadits yang telah
mereka hafal dari para guru mereka atau yang mereka baca pada sebagian buku
yang tidak interes terhadap hadits yang shahih dan valid. Karena itu pula, kita
hampir tidak pernah mendengarkan suatu wejangan dari sebagian Mursyid
(penyuluh), ceramah dari salah seorang ustadz atau khuthbah seorang khathib
melainkan kita dapati di dalamnya sesuatu dari hadits-hadits Dha’if dan Maudhu’
tersebut, dan ini amat berbahaya di mana karenanya dikhawatirkan mereka semua
akan terkena ancaman sabda beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam, “Barangsiapa
yang telah berdusta terhadapku secara sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan
tempat duduknya di api neraka.” (Hadits Shahih Mutawatir)
Walau pun secara langsung mereka tidak menyengaja berdusta, namun sebagai
imbasnya mereka tetap berdosa karena telah menukil (meriwayatkan) hadits-hadits
yang semuanya mereka periksa padahal mengetahi secara pasti bahwa di dalamnya
terdapat hadits yang Dha’if atau pun hadits dusta. Mengenai hal ini, terdapat
isyarat dari makna hadits Rasulullah yang berbunyi, “Cukuplah seseorang itu
berdusta manakala ia menceritakan semua apa yang didengarnya (tanpa disaring lagi).”
(HR.Muslim) dan hadits lainnya dari riwayat Abu Hurairah.
Kemudian dari itu, telah diriwayatkan bahwa Imam Malik pernah berkata, “Ketahuilah
bahwa tidaklah selamat seorang yang menceritakan semua apa yang didengarnya dan
selamanya, ia bukan imam bilamana menceritakan semua apa yang didengarnya.”
Imam Ibn Hibban berkata di dalam kitab Shahihnya, “Pasal:
Mengenai dipastikannya masuk neraka, orang yang menisbatkan sesuatu kepada
al-Mushthafa, Rasulullah SAW, padahal ia tidak mengetahui keshahihannya,”
setelah itu, beliau mengetengahkan hadits Abu Hurairah dengan sanadnya secara
marfu’, “Barangsiapa yang berkata dengan mengatasnamakanku padahal aku tidak
pernah mengatakannya, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di
neraka.” Kualitas sanad hadits ini Hasan dan makna asalnya terdapat di
dalam kitab ash-Shahiihain dan kitab lainnya.
Selanjutnya, Ibn Hibban berkata, “Pembahasan mengenai hadits yang
menunjukkan keshahihan hadits-hadits yang kami isyaratkan pada bab terdahulu,”
kemudian beliau mengetengahkan hadits dari Samurah bin Jundub dengan sanadnya,
dia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘alaihiwasallam bersabda, “Barangsiapa
yang membicarakan suatu pembicaraan mengenaiku (membacakan satu hadits
mengenaiku) di mana ia terlihat berdusta, maka ia adalah salah seorang dari
para pendusta.” (hadits ini Shahih, dikeluarkan oleh Imam Muslim di dalam
mukaddimahnya dari hadits Samurah dan al-Mughirah bin Syu’bah secara
bersama-sama).
Ibn Hibban berkata, “Ini adalah hadits yang masyhur.” Kemudian dia
melanjutkan, “Pembahasan mengenai hadits kedua yang menunjukkan keshahihan
pendapat kami,” lalu dia mengetengahkan hadits Abu Hurairah yang pertama di
atas.
Dari apa yang telah disampaikan di atas, jelaslah bagi kita bahwa tidak
boleh menyebarkan hadits-hadits dan meriwayatkannya tanpa terlebih dahulu
melakukan Tatsabbut (cek-ricek) mengenai keshahihannya sebab orang yang
melakukan hal itu, maka cukuplah itu sebagai kedustaan terhadap Rasulullah yang
bersabda, “Sesungguhnya berdusta terhadapku bukanlah berdusta terhadap salah
seorang diantara kamu, barangsiapa yang berdusta terhadapku secara sengaja,
maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di api neraka.” (HR.
Muslim dan selainnya).
wallahu a’lam.
Ceramah terkait tulisan
di atas silahkan download di link ini:
http://us.kajian.net/kajian-audio/Ceramah/Abdul%20Hakim%20Amir%20Abdat/Hadits%20-%20Hadits%20Palsu
http://us.kajian.net/kajian-audio/Ceramah/Abdul%20Hakim%20Amir%20Abdat/Hadits%20-%20Hadits%20Palsu
0 komentar:
Posting Komentar