إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah ditanya tentang hukum
mengeluarkan zakat fitrah pada sepuluh hari pertama pada bulan Ramadhan, beliau
rahimahullah menjawab,
“Kata
zakat fitrah berasal dari kata al-fithr (berbuka), karena dari al-fithr inilah
sebab dinamakan zakat fitrah. Apabila berbuka dari Ramadhan merupakan sebab
dari penamaan ini, maka zakat ini terkait dengannya dan tidak boleh
mendahuluinya (dari
berbuka-masuk Syawal-red). Oleh sebab itu, waktu yang
paling utama dalam mengeluarkannya adalah pada hari ‘Ied sebelum shalat (‘Ied).
Akan tetapi diperbolehkan untuk mendahului (dalam mengeluarkannya) sehari atau
dua hari sebelum ‘Ied agar memberi keleluasaan bagi yang memberi dan yang
mengambil. Sedangkan zakat yang dilakukan sebelum hari-hari tersebut, menurut
pendapat yang kuat di kalangan para ulama adalah tidak boleh.”
Berkaitan
dengan waktu penunaian zakat fitrah, ada dua bagian waktu:
1.
Waktu
yang diperbolehkan, yaitu sehari atau dua hari sebelum ‘Ied
2.
Waktu
yang utama, yaitu pada hari ‘Ied sebelum shalat.
Adapun mengakhirkannya hingga usai melaksanakan shalat, maka hal
ini haram (terlarang) dan tidak sah sebagai zakat fitrah. Hal ini berdasarkan
hadits Abdullah Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma,
“Barangsiapa
yang menunaikannya sebelum shalat, maka zakatnya diterima. Dan barangsiapa
menunaikannya setelah shalat, maka itu termasuk dari shadaqah.”
Kecuali apabila orang tersebut tidak mengetahui (kapan) hari ‘Ied.
Misalnya dia berada di padang pasir dan tidak mengetahuinya kecuali dalam
keadaan terlambat atau yang semisalnya. Maka tidak mengapa baginya untuk
menunaikannya setelah shalat ‘Ied, dan itu mencukupi sebagai zakat fitrah. [1]
Beliau rahimahullah ditanya: “Kapankah waktu mengeluarkan
zakat fitrah? Berapa ukurannya? Bolehkah menambah takarannya? Bolehkah
membayarnya dengan uang?”
Beliau
rahimahullah menjawab: “Zakat fitrah adalah makanan yang dikeluarkan
oleh seseorang di akhir bulan Ramadhan, dan ukurannya adalah sebanyak satu sha’
[2].
Ibnu
‘Umar radhiyallahu 'anhuma berkata, “Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan sebanyak satu sha’
kurma, atau gandum.”
Ibnu
‘Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, “Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam telah mewajibkan shadaqatul fithr sebagai pembersih bagi orang yang
berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata keji, serta sebagai makanan
bagi orang- orang miskin.”
Maka zakat fitrah itu berupa makanan pokok masyarakat sekitar. Pada
masa sekarang yakni kurma, gandum, dan beras. Apabila kita tinggal di tengah
masyarakat yang memakan jagung, maka kita mengeluarkan jagung atau kismis atau
aqith (susu yang dikeringkan).
Abu
Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu berkata, “Dahulu kami mengeluarkan
zakat pada masa Rasul shallallahu 'alaihi wasallam (seukuran) satu sha’ dari
makanan, dan makanan pokok kami adalah kurma, gandum, kismis, dan aqith.”
Waktu mengeluarkannya adalah pada pagi hari ‘Ied sebelum shalat,
berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma, “Dan beliau
shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan agar zakat ditunaikan sebelum kaum
muslimin keluar untuk shalat,” dan hadits ini marfu’.
Dan dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, “Barangsiapa
yang mengeluarkannya sebelum shalat, maka itu zakat yang diterima, dan
barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat, maka hal itu (hanyalah)
shadaqah.”
Dibolehkan untuk mengawalkan sehari atau dua hari sebelum ‘Ied, dan
tidak boleh lebih cepat dari itu. Karena zakat ini dinamakan zakat fitrah,
disandarkan kepada al-fithr (berbuka, masuk Syawal, red). Seandainya kita
katakan boleh mengeluarkannya ketika masuk bulan (Ramadhan), maka namanya zakat
shiyam. Oleh karena itu, zakat fithr dibatasi pada hari ‘Ied sebelum shalat,
dan diringankan (dimudahkan) dalam mengeluarkannya sehari atau dua hari sebelum
‘Ied.
Adapun menambah takarannya lebih dari satu sha’ dengan tujuan untuk
ibadah, maka termasuk bid’ah. Namun apabila untuk alasan shadaqah dan bukan
zakat, maka boleh dan tidak berdosa. Dan lebih utama untuk membatasi sesuai
dengan yang ditentukan oleh syariat.
Dan barangsiapa yang hendak bershadaqah, hendaknya secara terpisah
dari zakat fitrah. Banyak kaum muslimin yang berkata: Berat bagiku untuk
menakar dan aku tidak memiliki takaran. Maka aku mengeluarkan takaran yang aku
yakini seukuran yang diwajibkan atau lebih dan aku berhati-hati dengan hal ini.
Maka yang demikian ini dibolehkan. (Diambil dari kitab Majmu’ Fatawa li
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, juz 18 bab Zakatul Fithr)
Catatan kaki:
[1]
Begitu pula seandainya berita ‘Ied datang tiba-tiba dan tidak memungkinkan
baginya untuk menyerahkannya kepada yang berhak sebelum shalat ‘Ied, atau
karena udzur lainnya. Dan ini dinamakan mengqadha karena udzur. (Lihat Asy-Syarhul
Mumti’ karya Ibnu ‘Utsaimin, 6/174-175, ed)
[2]
Yaitu sha’ Nabawi. Adapun ukurannya, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyatakan,
berdasarkan ukuran mud yang ditemukan di reruntuhan di Unaizah, yang terbuat
dari tembaga dan tertulis padanya: Milik Fulan, dari Fulan,... sampai kepada
Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhu (shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam), adalah senilai 2,040 kg gandum yang bagus (lihat Asy-Syarhul Mumti’
karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 6/76). Jika dinilaikan dengan beras maka
sekitar 2,250 kg. Ada juga yang menyatakan bahwa 1 sha’ Nabawi ukurannya
sekitar 3 kg, sebagaimana fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz (Majalah Al-Buhuts
Al-Islamiyyah, edisi 17/1406-1407H), dan juga Asy-Syaikh Alu Bassam dalam
Taudhihul Ahkam (3/74) menyatakan bahwa 1 sha’ Nabawi ukurannya 3000 gr (3 kg)
bila diukur dengan hinthah (sejenis gandum).
Sehingga kebiasaan kaum muslimin di Indonesia yang menunaikan zakat
fitrah dengan ukuran 2,5 kg beras insya Allah sudah mencukupi.
0 komentar:
Posting Komentar