Pages

Selasa, 07 Agustus 2012

Bulan Sya'ban, antara Sunnah dan Bid'ah



إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة فنار



Silih bergantinya hari dan bulan adalah suatu kebahagiaan tersendiri bagi setiap muslim. Betapa tidak, Allah telah melimpahkan berbagai rahmat dan kemurahan-Nya kepada umat Islam, berupa kebaikan dan amalan sholih yang disyari’atkan pada hari-hari atau bulan-bulan itu. 

Dalam sepekan misalnya, ada hari Jum’at yang padanya terdapat sejumlah keutamaan, ada Senin dan Kamis yang merupakan waktu puasa sunnah yang telah dimaklumi keutamaannya. Demikian pula di berbagai bulan ada sejumlah keutamaan padanya, seperti bulan Ramadhan, bulan Dzul Hijjah dan lain-lainnya. 

Maka sudah sepatutnya bagi seorang muslim untuk mengenal dan mengetahui apa yang dituntunkan agamanya di saat menyongsong bulan-bulan tersebut agar kehidupannya menjadi suatu yang sangat berarti dan penuh kebahagiaan di dunia yang fana ini dan sangat bermakna untuk akhiratnya kelak. Namun jangan lupa, bahwa di masa ini sangat banyak terjadi bentuk ritual ibadah yang sama sekali tidak memiliki dasar tuntunannya dalam syari’at kita, karena itu haruslah dibedakan antara hal yang dituntunkan dengan hal yang tidak ada tuntunannya bahkan merupakan perkara baru dalam agama alias bid’ah.



Alasan kenapa dinamakan Sya'ban

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan dalam tafsir beliau (4/1655),
"As Sakhawi rahimahullah mengatakan bahwa Sya'ban (dalam bahasa Arab artinya berpencar atau bercabang -pen) berasal dari  berpencar atau berpisahnya para kabilah Arab untuk berperang. Mereka lalu berkumpul pada dua atau lebih regu pasukan."

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan di dalam Fathul Bari (5/743),
"Bulan Sya'ban disebut sya'ban karena pada bulan tersebut para kabilah Arab saling berpencar untuk mencari air atau untuk melakukan penyerbuan kepada kabilah yang lain setelah mereka keluar dari bulan Rajab (yang diharamkan untuk berperang di dalamnya). Dan yang tujuan untuk berperang inilah yang lebih mendekati kebenaran dari tujuan yang pertama (untuk mencari air). " (Sya'ban Fadhail wa Ahkam, Abu Nafi' Salim Al Kilali, hal.1).



Sya'ban adalah Gerbang Ramadhan

Bulan Ramadhan adalah bulan penuh ampunan dari Allah ta'ala. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
 
"Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu." (Muttafaqun 'alaihi dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)

Untuk mencapai ampunan yang Allah janjikan maka diperlukan kesungguh-sungguhan, persiapan dan latihan terlebih dahulu di bulan Sya'ban. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam banyak melakukan ibadah puasa di bulan Sya'ban sebagai persiapan untuk memasuki Ramadhan.
Dari 'Aisyah radhiyallaahu 'anha, beliau  berkata,
لَمْ يكن النبي - صلى الله عليه وسلم - يَصُومُ مِنْ شَهْرٍ أكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
 
"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah berpuasa dalam suatu bulan lebih banyak daripada bulan Sya'ban. Dahulu beliau berpuasa pada bulan Sya'ban seluruhnya." (Muttafaq 'alaihi).
Tanpa persiapan yang matang sebelumnya, seseorang bisa jadi akan melewatkan bulan Ramadhan sebagaimana bulan-bulan lainnya, tidak diampuni dosanya wal 'iyadzu billah. [2]



Beberapa Hadits Shohih Seputar Sya’ban
Hadits Pertama
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ حَتَّى نَقُوْلُ لاَ يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُوْلُ لاَ يَصُوْمُ فَمَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامً مِنْهُ فِيْ شَعْبَانَ
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alaihi wa sallam berpuasa hingga kami berkata bahwa beliau tidak akan berbuka, dan beliau berbuka hingga kami berkata bahwa beliau tidak akan/pernah berpuasa, maka saya tidak pernah melihat Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam menyempurnakan puasa sebulan selain bulan Ramadhan dan tidaklah saya melihat paling banyaknya beliau berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari [no.1969] Muslim [no.1156] Abu Dâud [no.2434] An-Nasa’i [4/151] dan Ibnu Majah [no.1710] dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha).

Hadits Kedua
مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ شَهْرَيْنِ مَتَتَابِعَيْنِ إِلاَّ شَعْبَانَ وَرَمَضَانَ
“Saya tidak pernah melihat Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali pada Sya’ban dan Ramadhan.” (HR.Abu Dawud [no. 2336], At-Tirmidzy [no. 735], An-Nasa’i [4/151], [200], Ad-Darimy [2/29] dan lain-lainnya dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. Dan sanadnya shohih)

Hadits Ketiga
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘sallam, “Wahai Rasulullah, saya tidak pernah melihat engkau berpuasa dalam suatu bulan sebagaimana engkau berpuasa pada bulan Sya’ban?” Maka beliau menjawab,
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَب وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعُ عَمَلِيْ وَأَنَا صَائِمٌ
“Itu adalah bulan antara Rajab dan Ramadhan yang manusia lalai darinya. Dan ia adalah bulan yang padanya segala amalan akan diangkat kepada Rabbul ‘Alamin. Maka saya senang amalanku diangkat sementara saya sedang berpuasa.”
(HR. Ahmad [5/201], Ibnu Abu Syaibah [2/347,] An-Nasa’i [4/201], Ath-Thahawy dalam Syarah Ma’any Al Atsar [2/82], Al Baihaqy dalam Syu’bul Iman [3/377] dan Abu Nu’aim dalam Al Hilyah [9/18]. Dan sanadnya dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil [4/103] dan Tamamul Minnah hal. 412).

Hadits Keempat
يَطَّلِعُ اللهُ إِلَى خَلْقِهِ لَيلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيْعِ خَلْقِهِ إِلاَّ مُشْرِكٌ أَوْ مَشَاحِنٌ
“Allah melihat kepada makhluk-Nya pada malam nishfu (pertengahan) Sya’ban lalu mengampuni seluruh makhluk-Nya kecuali orang musyrik dan orang yang bertikai.”
(dari Abu Bakr Ash Shiddiq, Mu’adz bin Jabal, Abu Tsa’labah Al Khusyany, ‘Aisyah, Abu Hurairah, ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, Abu Musa Al ‘Asy’ary, ‘Auf bin Malik, ‘Utsmin bin Abil ‘Ash dan Abu Umamah Al Bahily radhiyallahu ‘anhum, Dan hadits di atas dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dari seluruh jalannya).



Sunnah-sunnah di Bulan Sya'ban
Ada beberapa sunnah di bulan Sya'ban yang hendaknya diperhatikan:
1.        Memperbanyak Puasa di Bulan Sya'ban
Sebagaimana hadits 'Aisyah radhiyallaahu 'anha yang telah berlalu, beliau berkata,
لَمْ يكن النبي - صلى الله عليه وسلم - يَصُومُ مِنْ شَهْرٍ أكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
 
"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah berpuasa dalam suatu bulan lebih banyak daripada bulan Sya'ban. Dahulu beliau berpuasa pada bulan Sya'ban seluruhnya." (Muttafaq 'alaihi)

Maksud ucapan beliau radhiyallahu 'anha "… berpuasa pada bulan Sya'ban seluruhnya" adalah beliau berpuasa pada mayoritas hari di bulan Sya'ban, bukan pada keseluruhan harinya, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidaklah pernah berpuasa sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan. (Fathul Bari)

Oleh karena itu sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk memperbanyak puasa di bulan Sya'ban ini lebih banyak daripada puasa-puasa di bulan lainnya. Para ulama menjelaskan bahwa hikmah dari puasa Sya'ban ini adalah agar seseorang menjadikannya dengan bulan Ramadhan seperti shalat rawatib dan shalat wajib (maksudnya agar dia menjadikan puasa di bulan Sya'ban ini sebagai ibadah tambahan sebelum dia masuk ke dalam puasa Ramadhan - pen.) (Syarh Riyadhis Shalihin, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin (3/408)

2.        Menghitung Hari Bulan Sya'ban
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأفْطِرُوا لِرُؤيَتِهِ، فَإنْ غَبِيَ عَلَيْكُمْ ، فَأكمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
 
"Berpuasalah kalian ketika melihat hilal dan berbukalah ketika melihatnya. Apabila hilal tersebut tertutup atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan Sya'ban menjadi tigapuluh hari." (Muttafaqun 'alaihi)

Sudah sepantasnya kaum muslimin menghitung bulan Sya'ban sebagai persiapan sebelum memasuki Ramadhan. Karena satu bulan itu terkadang dua puluh sembilan hari dan terkadang tigapuluh hari, maka puasa itu dimulai ketika melihat hilal bulan Ramadhan. Jika terhalang awan hendaknya menyempurnakan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari. Karena Allah menciptakan langit-langit dan bumi serta menjadikan tempat-tempat tertentu agar manusia mengetahui jumlah tahun dan hisab. Satu bulan tidak akan lebih dari tiga puluh hari. (Shifat Shaumin Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, [hal.27])

3.        Tidak Mendahului Ramadhan dengan Puasa Satu atau Dua Hari Sebelumnya
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُم رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ ، إِلاَّ أنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَومَهُ ، فَليَصُمْ ذَلِكَ اليَوْمَ
 
"Janganlah salah seorang di antara kalian mendahului Ramadhan dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya kecuali seorang yang telah rutin berpuasa maka hendaknya dia tetap berpuasa pada hari tersebut." (Muttafaqun 'alaihi)

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang seseorang untuk mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya. Kecuali apa yang sudah menjadi rutinitas seseorang. Misalnya seseorang yang sudah terbiasa berpuasa di hari Senin, ketika puasanya bertabrakan dengan satu atau dua hari sebelum Ramadhan maka tidak mengapa baginya untuk berpuasa. (Syarh Riyadhis Shalihin, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin [3/393])

4.        Tidak Berpuasa pada Hari yang Diragukan
Dari 'Ammar bin Yasir radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

مَنْ صَامَ اليَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ ، فَقَدْ عَصَى أَبَا القَاسِمِ - صلى الله عليه وسلم -
 
"Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan, maka sesungguhnya dia telah bermaksiat kepada Abul Qosim (yaitu Rasulullah –pen) shallallahu 'alaihi wasallam." (HR. Abu Dawud dan At Tirmidzi, dan At Tirmidzi mengatakan, "Hadits hasan shahih." Dishahihkan oleh Al Albani di Shahih Abi Dawud no. 2022)

Yaumusy Syak (hari yang diragukan) adalah hari ketigapuluh dari bulan Sya'ban apabila hilal tertutup mendung atau karena langit berawan pada malam sebelumnya. Para ulama berbeda pendapat tentang larangan ini apakah sifatnya pengharaman atau makruh. Dan yang kuat dari pendapat para ulama adalah pengharamannya. [7]

Faidah:
Di dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

إِذَا بَقِيَ نِصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلاَ تَصُوْمُوْا
 
"Ketika masih tersisa separuh dari bulan Sya'ban, maka janganlah kalian berpuasa." (HR. At Tirmidzi, beliau berkata "Hasan shahih.")

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan di dalam Syarh Riyadush Sholihin (3/394-395),

"Meski At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini adalah hasan shahih, akan tetapi hadits ini adalah hadits yang lemah. Al Imam Ahmad mengatakan bahwa hadits ini syadz[9]. Hadits ini menyelisihi riwayat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu di mana Nabi bersabda,

"Janganlah salah seorang di antara kalian mendahului Ramadhan dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya."

Dipahami dari sini bahwa boleh berpuasa pada tiga hari sebelum Ramadhan, atau empat hari, atau bahkan sepuluh hari sebelumnya, kalau  pun haditsnya shahih, maka larangan di sini bukanlah bersifat pengharaman, hanya saja dimakruhkan sebagaimana pendapat sebagian ulama. Kecuali apabila dia sudah memiliki rutinitas puasa, maka hendaknya dia tetap pada rutinitasnya tersebut meski di paruh kedua bulan Sya'ban.

Dengan demikian, puasa pada kondisi ini terbagi menjadi tiga:
1.      Setelah pertengahan Sya'ban sampai tanggal dua puluh delapan, maka ini hukumnya makruh kecuali bagi yang sudah punya rutinitas puasa. Akan tetapi pendapat ini dibangun atas anggapan bahwa hadits larangan puasa tersebut shahih. Al Imam Ahmad tidaklah menshahihkan hadits ini, maka dengan demikian tidaklah dimakruhkan sama sekali.
2.      Satu atau dua hari sebelum Ramadhan, maka ini hukumnya haram kecuali bagi yang sudah punya rutinitas berpuasa sebelumnya.
3.      Pada yaumusy syak (hari yang diragukan). Maka ini haram secara mutlak. Tidak boleh berpuasa pada hari syak karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah melarangnya.



Bid'ah-bid'ah pada Bulan Sya'ban
Bid'ah secara bahasa artinya perkara yang baru dibuat. Adapun secara syar'i, bid'ah artinya jalan atau metodologi baru dalam yang agama yang menyerupai syariat yang dimaksudkan dengannya untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah ta'ala. [10]
Bid'ah hukumnya haram. Allah ta'ala berfirman,
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
 
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?" (Asy Syura : 21)
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيهِ أمرُنا فَهُوَ رَدٌّ
 
"Barangsiapa yang beramal dengan sebuah amalan yang bukan dari ajaran kami maka amalan itu akan tertolak." (Muttafaqun 'alaih dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha)
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
وَشّرُّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلًّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِيْ النَّارِ
 
"Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang baru (dalam agama). Semua perkara yang baru dalam agama adalah bid'ah, dan semua bid'ah adalah kesesatan, dan semua kesesatan tempatnya di neraka." (HR. An Nasa'i, Ibnu Majah dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhuma. Dishahihkan oleh Al Albani dalam Al Irwa' No. 608)
Sahabat Hudzaifah radhiyallahu 'anhu berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ إِنْ رَآهاَ النَّاسُ حَسَنَةً
 
"Setiap bid’ah adalah sesat, meskipun oleh manusia hal itu dianggap sebuah kebaikan."
Dan di antara bid'ah yang tersebar di kalangan manusia pada bulan Sya'ban adalah:
Ø  Peringatan Malam Nisfu Sya'ban
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah, Mufti Kerajaan Saudi Arabia mengatakan,
"Di antara bid'ah yang biasa dilakukan oleh banyak orang ialah bid'ah upacara peringatan malam Nisfu Sya'ban dan mengkhususkan pada hari tersebut dengan puasa tertentu. Padahal tidak ada satu pun dalil yang dapat dijadikan sandaran. Memang ada hadits-hadits tentang keutamaan malam tersebut, akan tetapi hadits-hadits tersebut adalah hadits yang lemah sehingga tidak dapat dijadikan landasan. Adapun hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan shalat pada hari itu adalah hadits yang palsu. Dalam hal ini, banyak di antara para ulama yang menyebutkan tentang lemahnya hadits-hadits yang berkenaan dengan pengkhususan puasa dan keutamaan shalat pada hari Nisfu Sya'ban.
Al Hafizh Ibnu Rajab dalam kitab beliau Lathaiful Ma'arif mengatakan bahwa perayaan malam Nisfu Sya'ban adalah bid'ah dan hadits-hadits yang menerangkan keutamaannya lemah. Hadits-hadits lemah bisa diamalkan dalam ibadah jika asalnya didukung oleh hadits-hadits shahih, sedangkan upacara perayaan malam Nisfu Sya'ban tidak ada dasar hadits yang shahih sehingga tidak bisa didukung dengan dalil hadits- hadits dhaif."[11]

Ø  Nyekar/Ziarah Qubur
Ziarah qubur pada asalnya adalah perkara yang disyariatkan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

إِنِّي نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا, فَإِنَّ فِيْهَا عِبْرَةً, وَلاَ تَقُوْلُوا مَا يُسْخِطُ الرَّبُّ
 
“Sesungguhnya dulu aku melarang kalian dari ziarah kubur. Maka sekarang ziarahilah kuburan, karena dalam ziarah kubur ada pelajaran. Namun jangan kalian mengeluarkan ucapan yang membuat Rabb kalian murka.” (HR. Ahmad dan yang selainnya dari Ali radhiyallahu 'anhu. Dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Silsilah Ash Shahihah no. 886)

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

فَزُوْرُوْا الْقُبُوْرَ, فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
 
“Ziarahilah kuburan karena sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan kepada kematian.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)

Imam Ash Shan'ani rahimahullah mengatakan,
“Hadits-hadits ini menunjukkan disyariatkannya ziarah kubur, menerangkan hikmahnya, dan dilakukannya dalam rangka mengambil pelajaran. Maka bila dalam ziarah kubur tidak tercapai hal ini berarti ziarah itu bukanlah ziarah yang diinginkan secara syar’i.” [12]

Akan tetapi, mengkhususkan ziarah kubur pada bulan Sya'ban, atau menjelang Ramadhan adalah perkara yang tidak pernah dituntunkan di dalam syariat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,
"Bahkan di sebagian kuburan, orang-orang berkumpul di sekitarnya pada hari tertentu dalam setahun, mereka melakukan perjalanan jauh ke kuburan tersebut baik pada bulan Muharram, Rajab, Sya'ban, Dzulhijjah atau di bulan selainnya. Sebagian mereka berkumpul pada hari 'Asyura  (10 Muharram), sebagiannya lagi pada hari Arafah, yang lainnya pada hari Nisfu Sya'ban dan sebagian lagi di waktu yang berbeda. Mereka mengkhususkan hari tertentu dalam setahun untuk mengunjungi kuburan tersebut." [13]

Perkara ini dilarang karena tidak ada tuntunannya di dalam agama. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيهِ أمرُنا فَهُوَ رَدٌّ
 
"Barangsiapa yang beramal dengan sebuah amalan yang bukan dari ajaran kami maka amalan itu akan tertolak." (Muttafaqun 'alaih dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha)

Selain itu beliau juga melarang untuk melakukan safar untuk berziarah kecuali ke tiga masjid. Dari Abu Said Al Khudri radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

لاَ تَشُدُّوا الرِّحاَلَ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَساَجِدَ. مَسْجِدِي هَذاَ وَالْمَسْجِدِ الْحَراَمِ وَالْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى

“Janganlah kalian bepergian (mengadakan safar dengan tujuan ibadah) kecuali kepada tiga masjid: Masjidku ini, Masjid Al Haram, dan Masjid Al Aqsha.” (Muttafaqun 'alaihi)

Pelarangan ini semakin keras apabila ziarah tersebut diiringi dengan tawasul atau berdoa meminta kepada kuburan yang diziarahi. Allah berfirman,

وَأَنَّ الْمَساَجِدَ ِللهِ فَلاَ تَدْعُوا مَعَ اللهِ أَحَدا
 
“Dan bahwa masjid-masjid itu milik Allah maka janganlah kalian berdoa kepada seorangpun bersama Allah.” (Al Jin : 18)

Apabila seseorang berdoa kepada selain Allah, maka sesungguhnya dia telah terjatuh ke dalam perbuatan syirik yang tidak diampuni oleh Allah subhanahu wata'ala. Allah berfirman,

إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ ماَ دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشآءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An Nisa : 48)

Ø  Shalat Alfiyah
Di dalam kitab beliau Al Bida' Al Hauliyyah, ketika menyebutkan tentang bid'ahnya shalat Alfiyah di Bulan Sya'ban, Asy Syaikh Abdullah At Tuwaijiri mengatakan,

"Shalat bid'ah ini dinamakan Shalat Alfiyah karena di dalamnya dibacakan surat Al Ikhlash sebanyak seribu kali. Jumlah raka'atnya seratus, dan pada setiap rakaat dibacakan surat Al Ikhlas sepuluh kali.
Tata cara shalat ini dan pahala amalannya telah diriwayatkan dari banyak jalan sebagaimana yang telah disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam kitab beliau Al Maudhu'at (kumpulan hadits-hadits palsu). Beliau berkata,

"Kami tidaklah ragu lagi kalau hadits ini benar-benar palsu. Kebanyakan perawi hadits ini dalam tiga jalannya adalah para majahil (tidak diketahui ketsiqahan/kebenaran riwayatnya), dan di dalam terdapat rawi yang sangat lemah, sehingga haditsnya tidaklah teranggap sama sekali." [14]

Ø  Padusan
Padusan adalah acara mandi bersama yang dilakukan pada akhir bulan Sya'ban, menjelang masuknya bulan Ramadhan. Biasanya orang-orang berkumpul di sungai, danau, air terjun atau kolam, lalu mandi bersama dengan keyakinan perkara tersebut akan membersihkan dosa-dosa mereka sebelum mereka masuk ke dalam bulan Ramadhan.

Di sebagian tempat, acara mandi-mandi ini dilakukan dengan mengguyurkan air dari dalam bejana yang telah dicampur dengan berbagai kembang dan jeruk limau.

Acara seperti ini memiliki kemungkaran dari berbagai sisi:
a.              Merupakan bid'ah yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan tidak pernah pula dikerjakan oleh generasi awal Islam, dan telah berlalu penjelasan tentang keharamannya.
b.             Di dalamnya terdapat keyakinan yang rusak bahwa dengan acara mandi-mandi tersebut akan membersihkan dosa-dosa. Ini adalah keyakinan yang keliru karena sesungguhnya dosa-dosa tidaklah akan terhapus dengan acara mandi seperti itu. Dosa-dosa akan terhapus dengan taubat, meminta ampunan dari Allah serta memperbanyak amalan shalih.
Allah ta'ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ
 
"Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kalian akan menghapus kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai." (At Tahrim : 8)

وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ وَيَعْمَلْ صَالِحًا يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ
 
"Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan mengerjakan amal shalih niscaya Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya." (At Taghabun : 9)

c.              Di dalam acara semacam ini juga terjadi ikhtilath, campur baur antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dengan tujuan yang jelek, maka ini tidak diragukan lagi keharamannya. [15]

Ø  Sedekah Ruwah
Di beberapa tempat di Indonesia , sering diadakan sedekah ruwah. Sedekah ruwah adalah acara kenduri (makan-makan) yang tujuannya adalah mengumpulkan orang banyak untuk kemudian membacakan tahlil dan surat Yasin untuk kemudian dihadiahkan kepada arwah orang tua dan karib kerabat yang telah meninggal dunia.  Acara ini juga termasuk bid'ah yang tidak pernah dituntunkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.

Kemungkaran di dalam acara ini juga bertambah apabila diiringi dengan khurafat, keyakinan yang batil bahwa arwah orang yang telah meninggal ikut hadir untuk mengunjungi saudara-saudaranya yang masih hidup. Wallahul musta'an.

Selain perkara yang disebutkan di atas, masih ada tradisi yang sebaiknya juga ditinggalkan. Tradisi tersebut adalah bermaaf-maafan sebelum memasuki bulan Ramadhan. Kalau memang seseorang punya kesalahan terhadap orang tua, karib kerabat, atau teman-temannya maka hendaknya dia segera meminta maaf, tidak perlu mengkhususkan sebelum masuk bulan puasa karena yang demikian menyelisihi sunnah.
Untuk mendukung kegiatan saling memaafkan sebelum Ramadhan ini, sebagian orang membawakan hadits yang bunyinya,
“Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut: Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada); Tidak berma’afan terlebih dahulu antara suami istri; Tidak berma’afan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya. Dan barang siapa yang menyambut bulan Ramadhan dengan suka cita , maka diharamkan kulitnya tersentuh api neraka."
Hadits ini wallahu a'lam datangnya darimana, siapa sahabat perawinya, diriwayatkan di kitab apa, bagaimana keadaan sanadnya.
Apabila hadits ini adalah buatan orang, kemudian disandarkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka ditakutkan dia akan terjatuh ke dalam sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
 
"Barangsiapa yang dengan sengaja berdusta atas kami, maka hendaknya dia mengambil tempat duduknya dari api neraka." (Muttafaqun 'alaih dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
Adapun hadits yang mirip dengan hadits tersebut, lafazhnya adalah sebagai berikut,
أَنَّ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَقَى الْمِنْبَر فَقَال: "آمين، آمين، آمين" قِيْلَ لَهُ : يَا رَسَوْلَ اللهِ! مَا كُنْتَ تَصْنَعْ هَذَا؟ فَقَالَ: " قَالَ لِيْ جِبْرِيْلُ : رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ أَدْرَكَ أَبَوْيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا لَمْ يُدْخِلْهُ الْجَنَّةَ. قُلْتُ: آمين. ثم قال: رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ لَمْ يَغْفِرْ لَهُ. فقُلْتُ : آمين. ثُمَّ قَالَ : رَغِمَ أَنْفُ امرئ ذُكِرْتَ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ، فقُلْتُ: آمين ".
 
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam naik ke atas mimbar kemudian berkata, "Amin, amin, amin". Para sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, kenapa engkau mengatakan perkara tersebut?" Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Jibril berkata kepadaku, 'Celaka seorang hamba yang mendapatkan kedua orang tuanya atau salah seorang dari keduanya masih hidup akan tetapi tidak memasukkan dia ke surga dan katakanlah amin!' Maka kukatakan, 'Amin.'" Kemudian Jibril berkata lagi, 'Celaka seorang hamba yang masuk bulan Ramadhan tetapi keluar dari bulan Ramadhan tidak diampuni dosanya oleh Allah dan katakanlah amin!' Maka aku katakan, 'Amin'. Kemudian Jibril berkata, 'Wahai Muhammad, celaka seseorang yang jika disebut namamu namun dia tidak bershalawat kepadamu dan katakanlah amin!'  Maka kukatakan, 'Amin.'" (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu. Asy Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan bahwa haditsnya hasan shahih).

Demikianlah sedikit pembahasan yang berkaitan dengan bulan Sya'ban. Semoga Allah jadikan sebagai amalan shalih bagi penulis dan bisa memberikan manfaat bagi kaum muslimin.  Wallahu ta'ala a'lam, semoga shalawat dan salam tercurah pada junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.


Catatan kaki:
[1] Sya'ban Fadhail wa Ahkam, Abu Nafi' Salim Al Kilali, hal. 1
[2] Faidah dari Muhadharah bertema Hal Al Muslim fi Sya'ban (Rajab 1432 H), Abu Hasyim Asy Syihri
[3] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqalani (4/214)
[4] Syarh Riyadhis Shalihin
[5] Shifat Shaumin Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, Asy Syaikh Salim Al Hilali dan Asy Syaikh Ali Hasan Al Halabi.
[9] Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah, akan tetapi menyelisihi rawi lain yang lebih tsiqah atau menyelisihi sekelompok rawi yang lebih banyak jumlahnya.
[10] Al I'tisham, Al Imam Asy Syatibi (1/26)
[11] At Tahdzir minal Bida', Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz hal. 20
[12] Subulus Salam, Al Imam Ash Shan'ani (2/114).
[13] Iqtidha' Sirathil Mustaqim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hal. 257.
[14] Al Bida' Al Hauliyyah, Asy Syaikh Abdullah At Tuwaijiri, hal 291.
[15] At Tahdzir minal Ikhtilath, Syaikhuna Abdullah bin Al Mar'ie bin Buraik, hal 3.

0 komentar:

Posting Komentar