إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
Silih
bergantinya hari dan bulan adalah suatu kebahagiaan tersendiri bagi setiap
muslim. Betapa tidak, Allah telah melimpahkan berbagai rahmat dan kemurahan-Nya
kepada umat Islam, berupa kebaikan dan amalan sholih yang disyari’atkan
pada hari-hari atau bulan-bulan itu.
Dalam
sepekan misalnya, ada hari Jum’at yang padanya terdapat sejumlah keutamaan, ada
Senin dan Kamis yang merupakan waktu puasa sunnah yang telah dimaklumi
keutamaannya. Demikian pula di berbagai bulan ada sejumlah keutamaan padanya,
seperti bulan Ramadhan, bulan Dzul Hijjah dan lain-lainnya.
Maka sudah
sepatutnya bagi seorang muslim untuk mengenal dan mengetahui apa yang
dituntunkan agamanya di saat menyongsong bulan-bulan tersebut agar kehidupannya
menjadi suatu yang sangat berarti dan penuh kebahagiaan di dunia yang fana ini
dan sangat bermakna untuk akhiratnya kelak. Namun jangan lupa, bahwa di masa
ini sangat banyak terjadi bentuk ritual ibadah yang sama sekali tidak memiliki
dasar tuntunannya dalam syari’at kita, karena itu haruslah dibedakan antara hal
yang dituntunkan dengan hal yang tidak ada tuntunannya bahkan merupakan perkara
baru dalam agama alias bid’ah.
Alasan kenapa dinamakan Sya'ban
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan dalam tafsir
beliau (4/1655),
"As Sakhawi rahimahullah mengatakan bahwa Sya'ban (dalam bahasa Arab artinya berpencar atau bercabang
-pen) berasal dari berpencar atau berpisahnya para kabilah Arab untuk
berperang. Mereka lalu berkumpul pada dua atau lebih regu pasukan."
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan di dalam Fathul
Bari (5/743),
"Bulan Sya'ban disebut sya'ban karena pada bulan tersebut
para kabilah Arab saling berpencar untuk mencari air atau untuk melakukan
penyerbuan kepada kabilah yang lain setelah mereka keluar dari bulan Rajab
(yang diharamkan untuk berperang di dalamnya). Dan yang tujuan untuk berperang
inilah yang lebih mendekati kebenaran dari tujuan yang pertama (untuk mencari
air). "
(Sya'ban Fadhail wa Ahkam, Abu Nafi' Salim Al Kilali, hal.1).
Sya'ban adalah Gerbang Ramadhan
Bulan Ramadhan adalah bulan penuh ampunan dari Allah ta'ala.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا
تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
"Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh
keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang
telah berlalu."
(Muttafaqun 'alaihi dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
Untuk mencapai ampunan yang Allah janjikan maka diperlukan
kesungguh-sungguhan, persiapan dan latihan terlebih dahulu di bulan Sya'ban.
Oleh karena itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam banyak melakukan
ibadah puasa di bulan Sya'ban sebagai persiapan untuk memasuki Ramadhan.
Dari 'Aisyah radhiyallaahu 'anha, beliau berkata,
لَمْ يكن النبي - صلى الله عليه وسلم - يَصُومُ مِنْ شَهْرٍ
أكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah berpuasa
dalam suatu bulan lebih banyak daripada bulan Sya'ban. Dahulu beliau berpuasa
pada bulan Sya'ban seluruhnya." (Muttafaq 'alaihi).
Tanpa persiapan yang matang sebelumnya, seseorang bisa jadi akan
melewatkan bulan Ramadhan sebagaimana bulan-bulan lainnya, tidak diampuni
dosanya wal 'iyadzu billah. [2]
Beberapa Hadits Shohih
Seputar Sya’ban
Hadits Pertama
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ حَتَّى نَقُوْلُ لاَ يُفْطِرُ
وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُوْلُ لاَ يَصُوْمُ فَمَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ
رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامً مِنْهُ فِيْ شَعْبَانَ
“Adalah Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa ‘alaihi wa sallam berpuasa hingga kami berkata bahwa
beliau tidak akan berbuka, dan beliau berbuka hingga kami berkata bahwa beliau
tidak akan/pernah berpuasa, maka saya tidak pernah melihat Rasulullah
shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam menyempurnakan puasa sebulan selain
bulan Ramadhan dan tidaklah saya melihat paling banyaknya beliau berpuasa di
bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari [no.1969]
Muslim [no.1156] Abu Dâud [no.2434] An-Nasa’i [4/151] dan Ibnu Majah [no.1710]
dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha).
Hadits Kedua
مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ شَهْرَيْنِ مَتَتَابِعَيْنِ إِلاَّ
شَعْبَانَ وَرَمَضَانَ
“Saya tidak pernah
melihat Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dua bulan berturut-turut
kecuali pada Sya’ban dan Ramadhan.” (HR.Abu Dawud [no. 2336], At-Tirmidzy [no.
735], An-Nasa’i [4/151], [200], Ad-Darimy [2/29] dan lain-lainnya dari Ummu
Salamah radhiyallahu ‘anha. Dan sanadnya shohih)
Hadits Ketiga
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, beliau
berkata kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘sallam, “Wahai
Rasulullah, saya tidak pernah melihat engkau berpuasa dalam suatu bulan
sebagaimana engkau berpuasa pada bulan Sya’ban?” Maka beliau menjawab,
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ
عَنْهُ بَيْنَ رَجَب وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الأَعْمَالُ إِلَى
رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعُ عَمَلِيْ وَأَنَا صَائِمٌ
“Itu adalah bulan antara Rajab dan Ramadhan yang
manusia lalai darinya. Dan ia adalah bulan yang padanya segala amalan akan
diangkat kepada Rabbul ‘Alamin. Maka saya senang amalanku diangkat sementara
saya sedang berpuasa.”
(HR. Ahmad [5/201], Ibnu Abu Syaibah [2/347,]
An-Nasa’i [4/201], Ath-Thahawy dalam Syarah Ma’any Al Atsar [2/82], Al Baihaqy
dalam Syu’bul Iman [3/377] dan Abu Nu’aim dalam Al Hilyah [9/18]. Dan
sanadnya dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil [4/103]
dan Tamamul Minnah hal. 412).
Hadits Keempat
يَطَّلِعُ اللهُ إِلَى خَلْقِهِ
لَيلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيْعِ خَلْقِهِ إِلاَّ مُشْرِكٌ
أَوْ مَشَاحِنٌ
“Allah melihat kepada makhluk-Nya pada malam nishfu (pertengahan)
Sya’ban lalu mengampuni seluruh makhluk-Nya kecuali orang musyrik dan orang
yang bertikai.”
(dari Abu Bakr Ash Shiddiq, Mu’adz
bin Jabal, Abu Tsa’labah Al Khusyany, ‘Aisyah, Abu Hurairah, ‘Abdullah bin ‘Amr
bin ‘Ash, Abu Musa Al ‘Asy’ary, ‘Auf bin Malik, ‘Utsmin bin Abil ‘Ash dan Abu
Umamah Al Bahily radhiyallahu ‘anhum, Dan hadits di atas dishohihkan
oleh Syaikh Al Albani dari seluruh jalannya).
Sunnah-sunnah di Bulan Sya'ban
Ada beberapa sunnah di bulan Sya'ban yang hendaknya
diperhatikan:
1.
Memperbanyak Puasa di Bulan Sya'ban
Sebagaimana
hadits 'Aisyah radhiyallaahu 'anha yang telah berlalu, beliau berkata,
لَمْ يكن النبي - صلى الله عليه وسلم - يَصُومُ مِنْ شَهْرٍ
أكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
"Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah berpuasa dalam suatu bulan lebih
banyak daripada bulan Sya'ban. Dahulu beliau berpuasa pada bulan Sya'ban
seluruhnya."
(Muttafaq 'alaihi)
Maksud
ucapan beliau radhiyallahu 'anha "… berpuasa pada bulan Sya'ban seluruhnya"
adalah beliau berpuasa pada mayoritas hari di bulan Sya'ban, bukan pada
keseluruhan harinya, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidaklah
pernah berpuasa sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan. (Fathul Bari)
Oleh karena itu sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk memperbanyak puasa di bulan Sya'ban ini lebih banyak daripada puasa-puasa di bulan lainnya. Para ulama menjelaskan bahwa hikmah dari puasa Sya'ban ini adalah agar seseorang menjadikannya dengan bulan Ramadhan seperti shalat rawatib dan shalat wajib (maksudnya agar dia menjadikan puasa di bulan Sya'ban ini sebagai ibadah tambahan sebelum dia masuk ke dalam puasa Ramadhan - pen.) (Syarh Riyadhis Shalihin, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin (3/408)
2.
Menghitung Hari Bulan Sya'ban
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأفْطِرُوا لِرُؤيَتِهِ، فَإنْ غَبِيَ عَلَيْكُمْ ، فَأكمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
"Berpuasalah
kalian ketika melihat hilal dan berbukalah ketika melihatnya. Apabila hilal
tersebut tertutup atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan Sya'ban menjadi
tigapuluh hari."
(Muttafaqun 'alaihi)
Sudah
sepantasnya kaum muslimin menghitung bulan Sya'ban sebagai persiapan sebelum
memasuki Ramadhan. Karena satu bulan itu terkadang dua puluh sembilan hari dan
terkadang tigapuluh hari, maka puasa itu dimulai ketika melihat hilal bulan
Ramadhan. Jika terhalang awan hendaknya menyempurnakan bulan Sya'ban menjadi
tiga puluh hari. Karena Allah menciptakan langit-langit dan bumi serta
menjadikan tempat-tempat tertentu agar manusia mengetahui jumlah tahun dan
hisab. Satu bulan tidak akan lebih dari tiga puluh hari. (Shifat Shaumin Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, [hal.27])
3.
Tidak Mendahului Ramadhan dengan Puasa Satu atau Dua Hari
Sebelumnya
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda,
لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُم رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ ، إِلاَّ أنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَومَهُ ، فَليَصُمْ ذَلِكَ اليَوْمَ
"Janganlah
salah seorang di antara kalian mendahului Ramadhan dengan melakukan puasa satu
atau dua hari sebelumnya kecuali seorang yang telah rutin berpuasa maka
hendaknya dia tetap berpuasa pada hari tersebut." (Muttafaqun 'alaihi)
Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam melarang seseorang untuk mendahului Ramadhan
dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya. Kecuali apa yang sudah menjadi
rutinitas seseorang. Misalnya seseorang yang sudah terbiasa berpuasa di hari
Senin, ketika puasanya bertabrakan dengan satu atau dua hari sebelum Ramadhan
maka tidak mengapa baginya untuk berpuasa. (Syarh Riyadhis Shalihin,
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin [3/393])
4.
Tidak Berpuasa pada Hari yang Diragukan
Dari
'Ammar bin Yasir radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda,
مَنْ
صَامَ اليَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ ، فَقَدْ عَصَى أَبَا القَاسِمِ - صلى الله
عليه وسلم -
"Barangsiapa
yang berpuasa pada hari yang diragukan, maka sesungguhnya dia telah bermaksiat
kepada Abul Qosim
(yaitu Rasulullah –pen) shallallahu 'alaihi wasallam." (HR. Abu
Dawud dan At Tirmidzi, dan At Tirmidzi mengatakan, "Hadits hasan
shahih." Dishahihkan oleh Al Albani di Shahih Abi Dawud no. 2022)
Yaumusy
Syak (hari yang diragukan) adalah hari ketigapuluh dari bulan Sya'ban apabila
hilal tertutup mendung atau karena langit berawan pada malam sebelumnya. Para
ulama berbeda pendapat tentang larangan ini apakah sifatnya pengharaman atau
makruh. Dan yang kuat dari pendapat para ulama adalah pengharamannya. [7]
Faidah:
Di dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
إِذَا بَقِيَ نِصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلاَ تَصُوْمُوْا
"Ketika
masih tersisa separuh dari bulan Sya'ban, maka janganlah kalian berpuasa." (HR. At Tirmidzi, beliau berkata "Hasan
shahih.")
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan di dalam Syarh
Riyadush Sholihin (3/394-395),
"Meski
At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini adalah hasan shahih, akan tetapi hadits
ini adalah hadits yang lemah. Al Imam Ahmad mengatakan bahwa hadits ini syadz[9]. Hadits ini menyelisihi riwayat Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu di mana Nabi bersabda,
"Janganlah salah seorang di antara kalian mendahului Ramadhan dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya."
"Janganlah salah seorang di antara kalian mendahului Ramadhan dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya."
Dipahami
dari sini bahwa boleh berpuasa pada tiga hari sebelum Ramadhan, atau empat
hari, atau bahkan sepuluh hari sebelumnya, kalau pun haditsnya shahih,
maka larangan di sini bukanlah bersifat pengharaman, hanya saja dimakruhkan
sebagaimana pendapat sebagian ulama. Kecuali apabila dia sudah memiliki
rutinitas puasa, maka hendaknya dia tetap pada rutinitasnya tersebut meski di
paruh kedua bulan Sya'ban.
Dengan demikian, puasa pada kondisi ini terbagi menjadi tiga:
1. Setelah pertengahan Sya'ban sampai tanggal dua puluh
delapan, maka ini hukumnya makruh kecuali bagi yang sudah punya rutinitas
puasa. Akan tetapi pendapat ini dibangun atas anggapan bahwa hadits larangan
puasa tersebut shahih. Al Imam Ahmad tidaklah menshahihkan hadits ini, maka
dengan demikian tidaklah dimakruhkan sama sekali.
2. Satu atau dua hari sebelum Ramadhan, maka ini
hukumnya haram kecuali bagi yang sudah punya rutinitas berpuasa sebelumnya.
3. Pada yaumusy syak (hari yang diragukan). Maka ini
haram secara mutlak. Tidak boleh berpuasa pada hari syak karena Nabi shallallahu
'alaihi wasallam telah melarangnya.
Bid'ah-bid'ah pada Bulan Sya'ban
Bid'ah secara bahasa artinya perkara yang baru dibuat. Adapun
secara syar'i, bid'ah artinya jalan atau metodologi baru dalam yang agama yang
menyerupai syariat yang dimaksudkan dengannya untuk berlebih-lebihan dalam
beribadah kepada Allah ta'ala. [10]
Bid'ah hukumnya haram. Allah ta'ala berfirman,
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ
يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah
yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?" (Asy Syura : 21)
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيهِ أمرُنا فَهُوَ رَدٌّ
"Barangsiapa yang beramal dengan sebuah amalan yang bukan
dari ajaran kami maka amalan itu akan tertolak." (Muttafaqun 'alaih dari 'Aisyah radhiyallahu
'anha)
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
وَشّرُّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلًّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِيْ النَّارِ
"Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang baru (dalam
agama). Semua perkara yang baru dalam agama adalah bid'ah, dan semua bid'ah
adalah kesesatan, dan semua kesesatan tempatnya di neraka." (HR. An Nasa'i, Ibnu Majah dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu
'anhuma. Dishahihkan oleh Al Albani dalam Al Irwa' No. 608)
Sahabat Hudzaifah radhiyallahu 'anhu berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ إِنْ رَآهاَ النَّاسُ حَسَنَةً
"Setiap bid’ah adalah sesat, meskipun oleh manusia hal
itu dianggap sebuah kebaikan."
Dan di antara bid'ah yang tersebar di kalangan manusia pada
bulan Sya'ban adalah:
Ø
Peringatan Malam Nisfu Sya'ban
Syaikh
Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah, Mufti Kerajaan Saudi Arabia
mengatakan,
"Di
antara bid'ah yang biasa dilakukan oleh banyak orang ialah bid'ah upacara
peringatan malam Nisfu Sya'ban dan mengkhususkan pada hari tersebut dengan
puasa tertentu. Padahal tidak ada satu pun dalil yang dapat dijadikan sandaran.
Memang ada hadits-hadits tentang keutamaan malam tersebut, akan tetapi
hadits-hadits tersebut adalah hadits yang lemah sehingga tidak dapat dijadikan
landasan. Adapun hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan shalat pada hari
itu adalah hadits yang palsu. Dalam hal ini, banyak di antara para ulama yang menyebutkan
tentang lemahnya hadits-hadits yang berkenaan dengan pengkhususan puasa dan
keutamaan shalat pada hari Nisfu Sya'ban.
Al
Hafizh Ibnu Rajab dalam kitab beliau Lathaiful Ma'arif mengatakan bahwa
perayaan malam Nisfu Sya'ban adalah bid'ah dan hadits-hadits yang menerangkan
keutamaannya lemah. Hadits-hadits lemah bisa diamalkan dalam ibadah jika
asalnya didukung oleh hadits-hadits shahih, sedangkan upacara perayaan malam
Nisfu Sya'ban tidak ada dasar hadits yang shahih sehingga tidak bisa didukung
dengan dalil hadits- hadits dhaif."[11]
Ø
Nyekar/Ziarah Qubur
Ziarah
qubur pada asalnya adalah perkara yang disyariatkan. Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda,
إِنِّي نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا, فَإِنَّ فِيْهَا عِبْرَةً, وَلاَ تَقُوْلُوا مَا يُسْخِطُ الرَّبُّ
“Sesungguhnya
dulu aku melarang kalian dari ziarah kubur. Maka sekarang ziarahilah kuburan,
karena dalam ziarah kubur ada pelajaran. Namun jangan kalian mengeluarkan
ucapan yang membuat Rabb kalian murka.” (HR. Ahmad dan yang selainnya dari Ali radhiyallahu 'anhu.
Dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Silsilah Ash
Shahihah no. 886)
Beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
فَزُوْرُوْا الْقُبُوْرَ, فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
“Ziarahilah
kuburan karena sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan kepada kematian.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
Imam
Ash Shan'ani rahimahullah mengatakan,
“Hadits-hadits
ini menunjukkan disyariatkannya ziarah kubur, menerangkan hikmahnya, dan
dilakukannya dalam rangka mengambil pelajaran. Maka bila dalam ziarah kubur
tidak tercapai hal ini berarti ziarah itu bukanlah ziarah yang diinginkan
secara syar’i.”
[12]
Akan
tetapi, mengkhususkan ziarah kubur pada bulan Sya'ban, atau menjelang Ramadhan
adalah perkara yang tidak pernah dituntunkan di dalam syariat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,
"Bahkan
di sebagian kuburan, orang-orang berkumpul di sekitarnya pada hari tertentu
dalam setahun, mereka melakukan perjalanan jauh ke kuburan tersebut baik pada
bulan Muharram, Rajab, Sya'ban, Dzulhijjah atau di bulan selainnya. Sebagian
mereka berkumpul pada hari 'Asyura (10 Muharram), sebagiannya lagi pada
hari Arafah, yang lainnya pada hari Nisfu Sya'ban dan sebagian lagi di waktu
yang berbeda. Mereka mengkhususkan hari tertentu dalam setahun untuk
mengunjungi kuburan tersebut." [13]
Perkara
ini dilarang karena tidak ada tuntunannya di dalam agama. Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيهِ أمرُنا فَهُوَ رَدٌّ
"Barangsiapa
yang beramal dengan sebuah amalan yang bukan dari ajaran kami maka amalan itu
akan tertolak."
(Muttafaqun 'alaih dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha)
Selain
itu beliau juga melarang untuk melakukan safar untuk berziarah kecuali ke tiga
masjid. Dari Abu Said Al Khudri radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda,
لاَ تَشُدُّوا الرِّحاَلَ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَساَجِدَ. مَسْجِدِي هَذاَ وَالْمَسْجِدِ الْحَراَمِ وَالْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى
“Janganlah
kalian bepergian (mengadakan safar dengan tujuan ibadah) kecuali kepada tiga
masjid: Masjidku ini, Masjid Al Haram, dan Masjid Al Aqsha.” (Muttafaqun 'alaihi)
Pelarangan
ini semakin keras apabila ziarah tersebut diiringi dengan tawasul atau berdoa
meminta kepada kuburan yang diziarahi. Allah berfirman,
وَأَنَّ الْمَساَجِدَ ِللهِ فَلاَ تَدْعُوا مَعَ اللهِ أَحَدا
“Dan
bahwa masjid-masjid itu milik Allah maka janganlah kalian berdoa kepada
seorangpun bersama Allah.”
(Al Jin : 18)
Apabila
seseorang berdoa kepada selain Allah, maka sesungguhnya dia telah terjatuh ke
dalam perbuatan syirik yang tidak diampuni oleh Allah subhanahu wata'ala. Allah
berfirman,
إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ ماَ دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشآءُ
“Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang
selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An Nisa : 48)
Ø
Shalat Alfiyah
Di
dalam kitab beliau Al Bida' Al Hauliyyah, ketika menyebutkan tentang
bid'ahnya shalat Alfiyah di Bulan Sya'ban, Asy Syaikh Abdullah At Tuwaijiri
mengatakan,
"Shalat
bid'ah ini dinamakan Shalat Alfiyah karena di dalamnya dibacakan surat Al
Ikhlash sebanyak seribu kali. Jumlah raka'atnya seratus, dan pada setiap rakaat
dibacakan surat Al Ikhlas sepuluh kali.
Tata
cara shalat ini dan pahala amalannya telah diriwayatkan dari banyak jalan
sebagaimana yang telah disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam kitab beliau Al
Maudhu'at (kumpulan hadits-hadits palsu). Beliau berkata,
"Kami tidaklah ragu lagi kalau hadits ini benar-benar palsu. Kebanyakan perawi hadits ini dalam tiga jalannya adalah para majahil (tidak diketahui ketsiqahan/kebenaran riwayatnya), dan di dalam terdapat rawi yang sangat lemah, sehingga haditsnya tidaklah teranggap sama sekali." [14]
Ø Padusan
Padusan adalah acara mandi bersama yang dilakukan pada akhir bulan Sya'ban, menjelang masuknya bulan Ramadhan. Biasanya orang-orang berkumpul di sungai, danau, air terjun atau kolam, lalu mandi bersama dengan keyakinan perkara tersebut akan membersihkan dosa-dosa mereka sebelum mereka masuk ke dalam bulan Ramadhan.
Padusan adalah acara mandi bersama yang dilakukan pada akhir bulan Sya'ban, menjelang masuknya bulan Ramadhan. Biasanya orang-orang berkumpul di sungai, danau, air terjun atau kolam, lalu mandi bersama dengan keyakinan perkara tersebut akan membersihkan dosa-dosa mereka sebelum mereka masuk ke dalam bulan Ramadhan.
Di
sebagian tempat, acara mandi-mandi ini dilakukan dengan mengguyurkan air dari
dalam bejana yang telah dicampur dengan berbagai kembang dan jeruk limau.
Acara
seperti ini memiliki kemungkaran dari berbagai sisi:
a.
Merupakan bid'ah yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam dan tidak pernah pula dikerjakan oleh generasi awal Islam,
dan telah berlalu penjelasan tentang keharamannya.
b.
Di dalamnya terdapat keyakinan yang rusak bahwa dengan acara
mandi-mandi tersebut akan membersihkan dosa-dosa. Ini adalah keyakinan yang
keliru karena sesungguhnya dosa-dosa tidaklah akan terhapus dengan acara mandi
seperti itu. Dosa-dosa akan terhapus dengan taubat, meminta ampunan dari Allah
serta memperbanyak amalan shalih.
Allah
ta'ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ
"Hai
orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan taubat yang
semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kalian akan menghapus kesalahan-kesalahan
kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai."
(At Tahrim : 8)
وَمَنْ
يُؤْمِنْ بِاللَّهِ وَيَعْمَلْ صَالِحًا يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ
"Dan
barang siapa yang beriman kepada Allah dan mengerjakan amal shalih niscaya
Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya." (At Taghabun : 9)
c.
Di dalam acara semacam ini juga terjadi ikhtilath, campur baur
antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dengan tujuan yang jelek, maka
ini tidak diragukan lagi keharamannya. [15]
Ø Sedekah Ruwah
Di
beberapa tempat di Indonesia , sering diadakan sedekah ruwah. Sedekah ruwah
adalah acara kenduri (makan-makan) yang tujuannya adalah mengumpulkan orang
banyak untuk kemudian membacakan tahlil dan surat Yasin untuk kemudian
dihadiahkan kepada arwah orang tua dan karib kerabat yang telah meninggal
dunia. Acara ini juga termasuk bid'ah yang tidak pernah dituntunkan oleh
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Kemungkaran di dalam
acara ini juga bertambah apabila diiringi dengan khurafat, keyakinan yang batil
bahwa arwah orang yang telah meninggal ikut hadir untuk mengunjungi
saudara-saudaranya yang masih hidup. Wallahul musta'an.
Selain perkara yang disebutkan di atas, masih ada tradisi yang
sebaiknya juga ditinggalkan. Tradisi tersebut adalah bermaaf-maafan sebelum
memasuki bulan Ramadhan. Kalau memang seseorang punya kesalahan terhadap orang
tua, karib kerabat, atau teman-temannya maka hendaknya dia segera meminta maaf,
tidak perlu mengkhususkan sebelum masuk bulan puasa karena yang demikian
menyelisihi sunnah.
Untuk mendukung kegiatan saling memaafkan sebelum Ramadhan ini,
sebagian orang membawakan hadits yang bunyinya,
“Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum
memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut: Tidak memohon
maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada); Tidak
berma’afan terlebih dahulu antara suami istri; Tidak berma’afan terlebih dahulu
dengan orang-orang sekitarnya. Dan barang siapa yang menyambut bulan Ramadhan
dengan suka cita , maka diharamkan kulitnya tersentuh api neraka."
Hadits ini wallahu a'lam datangnya darimana, siapa sahabat
perawinya, diriwayatkan di kitab apa, bagaimana keadaan sanadnya.
Apabila hadits ini adalah buatan orang, kemudian disandarkan
kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka ditakutkan dia akan
terjatuh ke dalam sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ
النَّارِ
"Barangsiapa yang dengan sengaja berdusta atas kami, maka
hendaknya dia mengambil tempat duduknya dari api neraka." (Muttafaqun 'alaih dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu)
Adapun hadits yang mirip dengan hadits tersebut, lafazhnya
adalah sebagai berikut,
أَنَّ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَقَى الْمِنْبَر
فَقَال:
"آمين، آمين، آمين" قِيْلَ لَهُ : يَا
رَسَوْلَ اللهِ! مَا كُنْتَ تَصْنَعْ هَذَا؟ فَقَالَ: " قَالَ لِيْ
جِبْرِيْلُ : رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ أَدْرَكَ أَبَوْيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا لَمْ
يُدْخِلْهُ الْجَنَّةَ. قُلْتُ: آمين.
ثم قال: رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ
لَمْ يَغْفِرْ لَهُ. فقُلْتُ : آمين. ثُمَّ قَالَ : رَغِمَ أَنْفُ امرئ ذُكِرْتَ
عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ، فقُلْتُ: آمين ".
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam naik ke atas mimbar
kemudian berkata, "Amin, amin, amin". Para sahabat bertanya,
"Ya Rasulullah, kenapa engkau mengatakan perkara tersebut?" Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Jibril berkata kepadaku, 'Celaka seorang hamba yang mendapatkan kedua orang tuanya atau salah seorang dari keduanya masih hidup akan tetapi tidak memasukkan dia ke surga dan katakanlah amin!' Maka kukatakan, 'Amin.'" Kemudian Jibril berkata lagi, 'Celaka seorang hamba yang masuk bulan Ramadhan tetapi keluar dari bulan Ramadhan tidak diampuni dosanya oleh Allah dan katakanlah amin!' Maka aku katakan, 'Amin'. Kemudian Jibril berkata, 'Wahai Muhammad, celaka seseorang yang jika disebut namamu namun dia tidak bershalawat kepadamu dan katakanlah amin!' Maka kukatakan, 'Amin.'" (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu. Asy Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan bahwa haditsnya hasan shahih).
"Jibril berkata kepadaku, 'Celaka seorang hamba yang mendapatkan kedua orang tuanya atau salah seorang dari keduanya masih hidup akan tetapi tidak memasukkan dia ke surga dan katakanlah amin!' Maka kukatakan, 'Amin.'" Kemudian Jibril berkata lagi, 'Celaka seorang hamba yang masuk bulan Ramadhan tetapi keluar dari bulan Ramadhan tidak diampuni dosanya oleh Allah dan katakanlah amin!' Maka aku katakan, 'Amin'. Kemudian Jibril berkata, 'Wahai Muhammad, celaka seseorang yang jika disebut namamu namun dia tidak bershalawat kepadamu dan katakanlah amin!' Maka kukatakan, 'Amin.'" (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu. Asy Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan bahwa haditsnya hasan shahih).
Demikianlah sedikit pembahasan yang berkaitan dengan bulan
Sya'ban. Semoga Allah jadikan sebagai amalan shalih bagi penulis dan bisa
memberikan manfaat bagi kaum muslimin. Wallahu ta'ala a'lam, semoga
shalawat dan salam tercurah pada junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu
'alaihi wasallam.
Catatan kaki:
[1] Sya'ban Fadhail wa Ahkam, Abu Nafi' Salim Al Kilali, hal. 1
[2] Faidah dari Muhadharah bertema Hal Al Muslim fi Sya'ban
(Rajab 1432 H), Abu Hasyim Asy Syihri
[3] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqalani (4/214)
[4] Syarh Riyadhis Shalihin
[5] Shifat Shaumin Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, Asy Syaikh
Salim Al Hilali dan Asy Syaikh Ali Hasan Al Halabi.
[9] Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang
tsiqah, akan tetapi menyelisihi rawi lain yang lebih tsiqah atau menyelisihi
sekelompok rawi yang lebih banyak jumlahnya.
[10] Al I'tisham, Al Imam Asy Syatibi (1/26)
[11] At Tahdzir minal Bida', Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz hal.
20
[12] Subulus Salam, Al Imam Ash Shan'ani (2/114).
[13] Iqtidha' Sirathil Mustaqim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah,
hal. 257.
[14] Al Bida' Al Hauliyyah, Asy Syaikh Abdullah At Tuwaijiri,
hal 291.
[15] At Tahdzir minal Ikhtilath, Syaikhuna Abdullah bin Al
Mar'ie bin Buraik, hal 3.
0 komentar:
Posting Komentar