Pages

Rabu, 29 Agustus 2012

Jeleknya Berdebat dan Berbantahan Mengenai Agama



إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة فنار


Oleh : Syaikh Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al Haritsi

Abul Harits berkata, saya mendengar Imam Ahmad (Abu Abdillah) berkata : “Apabila kamu lihat seseorang suka berdebat maka jauhilah dia.” Dan diceritakan kepadaku tentang Abu Imran Al Ashbahani ia berkata, saya mendengar Imam Ahmad berkata : “Jangan duduk dengan orang yang suka berdebat meskipun untuk membela As Sunnah sebab sesungguhnya yang demikian tidak akan berubah menuju kebaikan.”

Maka jika ada yang berkata : “Anda telah memperingatkan kami agar menjauhi perbantahan, percekcokan, debat dan berdiskusi dan kami tahu ini adalah kebenaran dan merupakan jalannya ulama dan para shahabat serta orang-orang yang berakal dari kaum Mukminin dan ulama yang berpandangan tajam (memiliki bashirah).

Seandainya seseorang mendatangi saya dan menanyakan suatu perkara dari ahwa ini yang telah nyata, dan tentang madzhab-madzhab rusak yang telah tersebar dan ia mengajak dialog dengan sesuatu yang menuntut jawaban dari saya sedangkan saya termasuk orang yang dianugerahi Allah Yang Maha Mulia ilmu dan bashirah untuk menjawab dan membongkar syubhatnya itu.

Apakah saya harus tinggalkan dia mengatakan apa yang dia inginkan dan tidak dijawab dan saya biarkan dia dengan hawa nafsunya serta bid’ahnya itu dan saya tidak membantah ucapannya yang rusak tersebut?”

Maka saya katakan di sini : “Ketahuilah saudaraku –semoga Allah merahmatimu–. Sesungguhnya ujian yang kamu hadapi dari orang yang seperti ini tidak terlepas dari salah satu dalam tiga hal :
Bisa jadi ia seorang yang Anda kenal baik jalannya, madzhabnya, dan kecintaannya kepada keselamatan dan keinginannya untuk menuju sikap istiqamah, hanya saja ia biarkan telinganya mendengar ucapan orang-orang yang hati mereka dihuni oleh para syaithan dan berbicara dengan berbagai ucapan kekafiran lewat lisan mereka dan ia tidak mengetahui jalan keluar dari bencana yang menimpanya itu.

Maka bisa jadi pertanyaannya adalah pertanyaan yang menginginkan bimbingan lalu ia mencari jalan keluar dari apa yang dialaminya dan mencari obat untuk mengobati sakitnya dan bisa jadi Anda rasakan ketaatannya dan aman dari penentangannya maka orang yang seperti inilah yang wajib bagimu menghentikannya dan membimbingnya menjauhi jaring-jaring tipu daya para syaithan.

Hendaknya bekalmu membimbing dan menyelamatkannya itu bersumber dari Al Quran dan As Sunnah dan atsar yang shahih dari ulama ummat ini dari kalangan shahabat dan tabi’in yang tentunya semua itu harus dilakukan dengan Al Hikmah dan mau’izhah (nasihat) yang baik.

Jauhilah olehmu sikap takalluf (memberat-beratkan) terhadap perkara yang tidak kamu kenal lalu kamu bawakan pendapatmu (ra’yu) dan berbelit-belit dalam pembahasan. Jika kamu lakukan maka perbuatanmu ini adalah bid’ah meskipun kamu dengan perkataanmu itu ingin (membela) As Sunnah.
Karena keinginanmu menuju Al Haq akan tetapi tidak melalui jalan yang Haq merupakan kebathilan. Sedangkan ucapanmu tentang As Sunnah tapi tidak dengan tuntunan As Sunnah adalah bid’ah maka janganlah kamu carikan obat untuk shahabatmu dengan sakitnya jiwamu dan jangan harapkan keselamatannya dengan kerusakan dirimu. Maka sesungguhnya manusia itu tidak (boleh) dinasihati oleh orang yang menipu dirinya sendiri.

Barangsiapa yang tidak memiliki kebaikan untuk dirinya sendiri maka ia tidak akan dapat memberikan kebaikan kepada orang lain. Siapa yang Allah kehendaki menjadi baik maka Allah berikan ia taufiq dan Allah luruskan dia dan siapa yang bertaqwa maka Allah akan menolong dan memenangkannya.” (Al Ibanah [2/540-541 no.679]).



Dari Abu Aly Hanbal bin Ishaq bin Hanbal ia berkata, seseorang menyurati Imam Ahmad minta izin untuk menulis kitab menerangkan bantahan terhadap ahli bid’ah dan berdialog dengan mereka untuk membantah mereka maka Imam Ahmad membalasnya : “Semoga Allah memperbaiki akhir hidupmu, menghindarkanmu dari hal yang tidak disenangi dan dihindari. Sebagaimana yang kita dengar dan kita dapatkan dari para Ahli Ilmu bahwa sesungguhnya mereka tidak suka berdebat dan duduk bersama ahli zaigh (yang condong kepada kesesatan, ahli bid’ah).

Bahwasanya perkara agama ini adalah menerima dan kembali (merujuk) kepada apa yang diterangkan dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bukan duduk bersama ahli bid’ah dan ahli zaigh untuk membantah mereka karena sesungguhnya mereka akan mengelabui kamu (dalam perdebatan itu) sedangkan mereka tetap tidak akan kembali. Maka yang selamat –Insya Allah– adalah menjauhi majelis mereka dan tidak memperdalam pembahasan (bersama mereka) tentang bid’ah dan kesesatan mereka.

Oleh sebab itu hendaknya seseorang bertakwa kepada Allah dan kembali kepada apa yang memberi manfaat baginya pada masa mendatang (yakni akhirat) berupa amalan shalih yang ia usahakan untuk dirinya dan hendaknya janganlah ia termasuk orang yang mengada-adakan urusan karena ketika perkara baru itu keluar darinya ia membutuhkan hujjah dan berarti ia membawa dirinya kepada sesuatu yang mustahil dan ia mencarikan hujjah bagi perkara yang ia ada-adakan itu dengan sesuatu yang haq dan yang bathil agar ia dapat menghiasi bid’ahnya dan apa yang ia ada-adakan itu.

Dan yang lebih berbahaya lagi dari itu semua adalah kalau ia menuliskannya dalam sebuah kitab yang memuat perkara tersebut, ia akan menghiasinya dengan perkara yang haq dan bathil walaupun Al Haq itu telah jelas dan bukan seperti itu. Dan kami memohon kepada Allah agar memberi taufiq untuk kami dan kamu, Wassalamu’alaika.” (Al Ibanah [2/471-472 no.481])



Dari Yahya bin Sa’id ia berkata, Umar bin Abdul Aziz berkata :
“Siapa yang menjadikan agamanya bahan perdebatan dan perbantahan maka ia adalah orang yang paling sering berpindah-pindah (pemikirannya).” (Asy Syari’ah [62] dan Ad Darimy [1/102 no.304])



Dari Abdus Shamad bin Ma’qil ia berkata, saya mendengar Wahb mengatakan :
“Tinggalkanlah percekcokan dan perdebatan dalam urusanmu karena sesungguhnya kamu tidak mungkin melemahkan salah satu dari dua lawanmu yaitu seorang yang lebih alim darimu maka bagaimana mungkin kamu membantah dan mendebat orang yang jelas lebih alim dari kamu? Dan seorang yang kamu lebih alim daripada dia maka apakah pantas kamu membantah dan mendebat orang yang lebih bodoh dari kamu? Sedangkan ia tidak akan mentaati kamu, putuslah yang demikian atasmu.” (Asy Syari’ah [64])



Dari Ma’n bin Isa ia berkata, pada suatu hari Jum’at Imam Malik bin Anas keluar dari mesjid sambil bersandar ke lenganku, seseorang bernama Abul Huriyyah menyusulnya –ia diduga seorang Murjiah– katanya : “Hai Abu Abdillah, dengarkanlah! Saya mengajakmu bicara tentang sesuatu. Dan saya akan membantahmu dan mengeluarkan pendapatku kepadamu.”. Beliau berkata : “Kalau kamu mengalahkanku bagaimana?” Orang itu berkata : “Kalau aku menang kamu ikut saya.” Kata beliau lagi : “Bagaimana jika datang seseorang lalu mengajak kita berdebat dan mengalahkan kita?” Laki-laki itu menjawab : “Kita ikuti dia.” Maka berkatalah Imam Malik rahimahullah : “Hai hamba Allah! Allah mengutus Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam membawa agama yang satu tapi saya melihat kamu selalu berpindah dari satu agama ke agama yang lain.” (Ibid 62)



Imam Abu Bakr Al Ajurri berkata : Jika ada yang berkata : “Apabila seseorang telah diberi ilmu oleh Allah Azza wa Jalla lalu seseorang mendatanginya bertanya tentang agama ini, orang itu membantah dan mendebatnya. Bagaimana pendapat Anda bolehkah ia mendebat orang itu sampai ditegakkan hujjah dan dibantah ucapannya?” Katakan kepadanya : “Inilah yang dilarang kita melakukannya dan inilah yang telah diperingatkan para imam kaum Muslimin yang terdahulu.” Oleh sebab itu jika ada yang berkata : “Lalu apa yang harus kita perbuat?” Katakan kepadanya : “Jika ia menanyakannya kepadamu dengan pertanyaan untuk mencari petunjuk kepada jalan yang haq tanpa ingin berdebat, maka tunjukilah dia dengan tuntunan yang berisi keterangan ilmu dari Al Quran dan As Sunnah serta pendapat para shahabat dan para imam kaum Muslimin.
 
Adapun jika ia ingin berdebat denganmu dan ia membantahmu maka inilah yang tidak disukai ulama untukmu. Maka jangan kamu berdialog dengannya dan berhati-hatilah terhadapnya dalam agamamu.”
 
Kemudian jika ada yang berkata : “Apakah kami biarkan mereka berbicara dengan kebathilan dan kami berdiam diri dari mereka?” Katakan kepadanya : “Diamnya kamu dari mereka (tidak memperdulikan mereka), menyingkirnya kamu dari mereka jauh lebih menyakitkan bagi mereka daripada kamu berdiskusi dengan mereka, demikianlah yang dikatakan Salafus Shalih.”


(Sumber : Kilauan Mutiara Hikmah Dari Nasihat Salaful Ummah, terjemah dari kitab Lamudduril Mantsur minal Qaulil Ma’tsur, karya Syaikh Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al Haritsi. Diterjemahkan oleh Ustadz Idral Harits, Pengantar Ustadz Muhammad Umar As Sewwed.)


0 komentar:

Posting Komentar