إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
Allah mengancam dengan
keras orang-orang yang berani membantah ajaran Nabi-Nya. Tidak saja diancam
dengan adzab akhirat, namun banyak yang disegerakan hukumannya di dunia.
Salah seorang murid
Al-Imam Ahmad rahimahullah bernama Abu Thalib mengatakan,
“Saya mendengar Al-Imam Ahmad ditanya tentang sebuah kaum yang meninggalkan hadits dan cenderung kepada pendapat Sufyan (yakni Ats-Tsauri rahimahullah, salah seorang ulama kala itu), maka Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata,
“Saya merasa heran terhadap sebuah kaum yang tahu hadits dan tahu sanad hadits serta keshahihannya lalu meninggalkannya, lantas pergi kepada pendapat Sufyan dan yang lainnya, padahal Allah berfirman,
“Saya mendengar Al-Imam Ahmad ditanya tentang sebuah kaum yang meninggalkan hadits dan cenderung kepada pendapat Sufyan (yakni Ats-Tsauri rahimahullah, salah seorang ulama kala itu), maka Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata,
“Saya merasa heran terhadap sebuah kaum yang tahu hadits dan tahu sanad hadits serta keshahihannya lalu meninggalkannya, lantas pergi kepada pendapat Sufyan dan yang lainnya, padahal Allah berfirman,
فَلْيَحْذَرِ
الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ
عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah berhati-hati orang yang menyelisihi perintah Rasul-Nya untuk tertimpa fitnah atau tertimpa adzab yang pedih.” (QS. An-Nur : 63). Tahukah kalian apa arti fitnah? Fitnah adalah kufur. Allah Ta'ala berfirman,
“Dan fitnah (yakni kufur) itu lebih besar daripada pembunuhan.” (Fathul Majid [hal.466])
Ayat yang dibacakan
oleh Al-Imam Ahmad rahimahullah tersebut benar-benar merupakan ancaman
keras bagi orang-orang yang menyelisihi Sunnah Nabi.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah
menafsirkan ayat ini, “Hendaklah takut siapa saja yang menyelisihi syariat Rasul
secara lahir maupun batin untuk tertimpa fitnah dalam hatinya baik berupa kekafiran,
kemunafikan atau bid’ah atau tertimpa adzab yang pedih di dunia dengan dihukum
mati atau dihukum had atau dipenjara atau sejenisnya.” (Tafsir Ibnu
Katsir [3/319])
Allah 'Azza Wajalla juga berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ
بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَن تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنتُمْ
لَا تَشْعُرُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian keraskan suara kalian di
atas suara Nabi dan jangan kalian bersuara keras terhadap Nabi sebagaimana
kerasnya suara sebagian kalian kepada sebagian yang lain supaya tidak gugur
amal kalian sedangkan kalian tidak menyadarinya.” (Al-Hujurat : 2)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
menjelaskan ayat ini, “Allah memperingatkan kaum mukminin dari gugurnya
amal-amal mereka dengan sebab mereka mengeraskan suara kepada Rasul sebagaimana
kerasnya suara mereka kepada sebagian yang lain. Padahal amalan ini bukan
merupakan kemurtadan bahkan sekedar maksiat, akan tetapi ia dapat menggugurkan
amalan dan pelakunya tidak menyadari. Lalu bagaimana dengan yang mendahulukan
ucapan, petunjuk, dan jalan seseorang di atas ucapan, petunjuk dan jalan Nabi?!
Bukankah yang demikian telah menggugurkan amalannya sedang dia tidak merasa?”
(Kitabush Shalah [hal.65], Al-Wabilush Shayyib [hal.24] dan Ta’zhimus
Sunnah [hal.22-23])
Dalam hadits yang lalu
Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa yang membenci Sunnahku, dia bukan dari golonganku.” (Shahih, HR. Muslim)
“Barangsiapa yang membenci Sunnahku, dia bukan dari golonganku.” (Shahih, HR. Muslim)
Maksud bukan dari
golonganku artinya dia termasuk orang kafir jika ia berpaling dari Sunnah Nabi,
tidak meyakini As Sunnah sesuai dengan nyatanya. Tapi jika ia meninggalkannya
karena menggampangkannya, maka artinya ia tidak di atas tuntunan Nabi shalallahu
'alaihi wasallam. (Syarh Shahih Muslim, Al-Imam An-Nawawi [9/179]
dan Nashihati lin Nisa` [hal. 37])
Ancaman-ancaman
tersebut cukup menakutkan. Tapi ada yang tak kalah menakutkan yaitu bahwa orang
yang menentang Sunnah Nabi terkadang Allah percepat hukumannya semasa mereka di
dunia, sebagaimana diriwayatkan dalam beberapa riwayat, di antaranya Dari
Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu 'anhu, dari Nabi bahwa beliau bersabda,
“Jangan kalian datang kepada istri kalian (dari safar) di malam hari.”
Kemudian di suatu saat Nabi datang dari safar maka tiba-tiba dua orang
(langsung) pergi mendatangi istri mereka (di malam hari) maka keduanya
mendapati istri mereka sudah bersama laki-laki lain.” (Sunan Ad-Darimi [1/118])
Didapatinya istri
mereka bersama laki-laki lain adalah hukuman bagi mereka di mana mereka
melanggar larangan Nabi untuk mendatangi istri mereka di malam hari sepulangnya
dari safar yang cukup lama, kecuali jika sebelumnya mereka sudah terlebih
dahulu memberi tahu bahwa mereka akan datang di malam itu, maka yang demikian
diperbolehkan sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari
(9/240, 242).
Salamah bin Al-Akwa’
berkata, “Bahwa seseorang makan dengan tangan kiri di hadapan Rasulullah,
maka Rasulullah menegurnya: ‘Makanlah dengan tangan kananmu.’ Ia menjawab: ‘Saya
tidak bisa.’ Maka Nabi katakan: ‘Semoga kamu tidak bisa’.
Tidaklah menghalangi dia kecuali sombong. Akhirnya ia tidak dapat mengangkat tangannya ke mulutnya.” (Shahih, HR. Muslim [no.5236], Kitabul Asyribah)
Tidaklah menghalangi dia kecuali sombong. Akhirnya ia tidak dapat mengangkat tangannya ke mulutnya.” (Shahih, HR. Muslim [no.5236], Kitabul Asyribah)
Abdurrahman bin
Harmalah mengisahkan, seseorang datang kepada Sa’id bin Al-Musayyib mengucapkan
salam perpisahan untuk haji atau umrah, lalu Sa’id mengatakan kepadanya, “Jangan
kamu pergi hingga kamu shalat dulu karena Rasulullah bersabda: ‘Tidaklah ada
yang keluar dari masjid setelah adzan kecuali seorang munafiq, kecuali seorang
yang terdorong keluar karena kebutuhannya dan ingin kembali ke masjid.’
Kemudian orang itu menjawab: “Sesungguhnya teman-temanku berada di Harrah,” lalu keluarlah dia dari masjid, maka Sa’id terus terbayang-bayang mengingatnya sampai beliau dikhabari bahwa orang tersebut jatuh dari kendaraannya dan patah pahanya. (Sunan Ad-Darimi [1/119], Ta’zhimus Sunnah [hal.31], Miftahul Jannah [hal.134])
Kemudian orang itu menjawab: “Sesungguhnya teman-temanku berada di Harrah,” lalu keluarlah dia dari masjid, maka Sa’id terus terbayang-bayang mengingatnya sampai beliau dikhabari bahwa orang tersebut jatuh dari kendaraannya dan patah pahanya. (Sunan Ad-Darimi [1/119], Ta’zhimus Sunnah [hal.31], Miftahul Jannah [hal.134])
Abu Abdillah Muhammad
bin Isma’il At-Taimi mengatakan, dirinya membaca pada sebagian kisah-kisah
bahwa sebagian ahlul bid’ah ketika mendengar sabda Nabi:
“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya maka janganlah ia celupkan tangannya ke bejana sebelum mencucinya terlebih dahulu karena sesungguhnya ia tidak tahu di mana tangannya bermalam.” (Shahih, HR. Muslim [no.641], Kitab Ath-Thaharah). Maka ahlul bid’ah tersebut mengatakan dengan nada mengejek:
“Saya tahu di mana tanganku bermalam, tanganku bermalam di kasur.”
Lalu paginya dia bangun dari tidurnya dalam keadaan tangannya sudah masuk ke dalam duburnya sampai ke lengannya. At-Taimi lalu berkata,
“Maka berhati-hatilah seseorang untuk menganggap remeh As Sunnah dan sesuatu yang bersifat mengikut perintah agama. Lihatlah bagaimana akibat perbuatan jelek menyampaikan kepadanya.”
“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya maka janganlah ia celupkan tangannya ke bejana sebelum mencucinya terlebih dahulu karena sesungguhnya ia tidak tahu di mana tangannya bermalam.” (Shahih, HR. Muslim [no.641], Kitab Ath-Thaharah). Maka ahlul bid’ah tersebut mengatakan dengan nada mengejek:
“Saya tahu di mana tanganku bermalam, tanganku bermalam di kasur.”
Lalu paginya dia bangun dari tidurnya dalam keadaan tangannya sudah masuk ke dalam duburnya sampai ke lengannya. At-Taimi lalu berkata,
“Maka berhati-hatilah seseorang untuk menganggap remeh As Sunnah dan sesuatu yang bersifat mengikut perintah agama. Lihatlah bagaimana akibat perbuatan jelek menyampaikan kepadanya.”
Al-Qadhi Abu Thayyib
menceritakan kejadian yang ia alami, katanya:
“Kami berada di sebuah majlis kajian di masjid Al-Manshur. Datanglah seorang pemuda dari daerah Khurasan, ia bertanya tentang masalah musharat lalu dia minta dalilnya sehingga disebutkan dalilnya dari hadits Abu Hurairah yang menjelaskan masalah itu. Dia (orang itu bermadzhab Hanaf) mengatakan:
‘Abu Hurairah tidak bisa diterima haditsnya…’ . Maka belum sampai ia tuntaskan ucapannya tiba-tiba jatuh seekor ular besar dari atap masjid sehingga orang-orang meloncat karenanya dan pemuda itu lari darinya. Ular itupun terus mengikutinya. Ada orang yang mengatakan,
‘Taubatlah engkau! Taubatlah engkau!’ Kemudian dia mengatakan ‘Saya bertaubat.’
Maka pergilah ular itu dan tidak terlihat lagi bekasnya.” Adz-Dzahabi berkata bahwa sanad kisah ini adalah para Imam.
“Kami berada di sebuah majlis kajian di masjid Al-Manshur. Datanglah seorang pemuda dari daerah Khurasan, ia bertanya tentang masalah musharat lalu dia minta dalilnya sehingga disebutkan dalilnya dari hadits Abu Hurairah yang menjelaskan masalah itu. Dia (orang itu bermadzhab Hanaf) mengatakan:
‘Abu Hurairah tidak bisa diterima haditsnya…’ . Maka belum sampai ia tuntaskan ucapannya tiba-tiba jatuh seekor ular besar dari atap masjid sehingga orang-orang meloncat karenanya dan pemuda itu lari darinya. Ular itupun terus mengikutinya. Ada orang yang mengatakan,
‘Taubatlah engkau! Taubatlah engkau!’ Kemudian dia mengatakan ‘Saya bertaubat.’
Maka pergilah ular itu dan tidak terlihat lagi bekasnya.” Adz-Dzahabi berkata bahwa sanad kisah ini adalah para Imam.
Itulah beberapa
kejadian nyata (insya Allah) dan bukan cerita fiktif yang diada-adakan, tetapi
cerita-cerita yang diriwayatkan dengan sanad.
Tentu yang demikian
menjadi pelajaran buat kita karena bukan hal yang mustahil kejadian di atas
terjadi di masa kita sebagaimana terjadi di masa dahulu manakala ada seseorang
yang menghina Sunnah Nabi.
Ancaman ini telah ditetapkan di dalam Al Qur`an sebagaimana firman-Nya,
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ
“Sesungguhnya orang yang mencelamu, dialah yang terputus.” (Al-Kautsar : 3)
Yakni terputus dari segala kebaikan. (Taisir Al-Karimirrahman [hal.935])
Imam Ibnu Katsir rahimahullah
menjelaskan, “Yang mencelamu artinya yang membencimu wahai Muhammad, yang
membenci apa yang engkau bawa berupa petunjuk dan kebenaran serta bukti yang
nyata dan yang terang, dialah yang akan terputus, yang hina, dan tidak akan
dikenang namanya (dengan baik).”
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
'anhuma mengatakan, “makna ‘yang mencelamu’ adalah musuh-musuhmu. Dan
ini mencakup siapa saja yang memiliki sifat itu baik yang disebut atau yang
lain.” (Tafsir Ibnu Katsir [4/598])
Jadi, apa yang telah
Allah ancamkan sangat mungkin terjadi pada individu atau kelompok pada
masyarakat kita jika Allah tidak memberi rahmat-Nya. Bahkan bagi seseorang yang
mengagungkan Sunnah-Sunnah Nabi lalu ia perhatikan perilaku manusia dalam
menyikapinya dengan sikap negatif, dia akan mendapatkan kebenaran firman Allah
'Azza Wajalla di atas. Dia akan melihat tidak sedikit dari orang-orang yang
tertimpa musibah lantaran menghina Sunnah Nabi.
0 komentar:
Posting Komentar