إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
Sebagian di
antara kita mungkin pernah menemui di beberapa kitab para ulama yang memuat
hadits-hadits dla’if bahkan palsu. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi
dimana kesemuanya itu dapat terangkum dalam tujuh sebab utama, yaitu :
Ø Beberapa
ulama memandang bahwa jika ia meriwayatkan hadits maudlu’ beserta sanadnya,
maka mereka terbebas dari tanggung jawab, karena mereka merasa tidak menipu
kaum muslimin dan para ulama lainnya. Ia hanyalah menuliskannya untuk mereka
sebuah hadits lengkap dengan sanadnya sehingga para penuntut ilmu dapat
membahas dan menelitinya hingga mencapai kesimpulan yang diharapkan. Pendapat
ini dikutip oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Lisaanul-Miizaan [1] ketika
menjelaskan biografi Al-Imam Ath-Thabarani, penulis tiga kitab Mu’jam.
Ø Para ulama
yang menuliskan hadits-hadits dla’if atau maudlu’ ini merasa khawatir akan
hilangnya sebagian ilmu pengetahuan. Namun tindakannya ini membuat samar
sebagian orang yang kemudian menganggapnya sebagai hadits shahih. Mereka
menuliskan hadits-hadits ini dalam rangka menjaga semua ilmu yang sampai
kepadanya, sekalipun di dalamnya ada cacat, namun hal ini dilakukan dalam
rangka agar ia dapat membedakan antara yang buruk dengan yang baik. Keterangan
ini dikutip oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika membicarakan beberapa
kitab hadits.[2]
Ø Ada yang
meriwayatkan hadits-hadits jenis ini dalam rangka memberikan peringatan darinya
dan dari kejahatannya. Dengan itu, orang-orang yang membacanya dapat mengetahui
hadits-hadits itu adalah dusta yang dibuat-buat, sehingga mereka dapat
menghindar dari keburukannya. Hal ini pernah dinyatakan oleh Al-Imam Ibnu
Hibban dalam kitabnya Al-Majruhiin saat menerangkan biografi Jaabir
Al-Ju’fi. Ia menyebutkan bahwa Syu’bah pernah meriwayatkan hadits darinya. Ibnu
Hibban kemudian menyebutkan bahwa Waki’ pernah menanyakan alasan perbuatan
Syu’bah tersebut : “Anda meninggalkan riwayat si Fulan dan si Fulan, lalu
kenapa Anda meriwayatkan hadits dari Jaabir Al-Ju’fiy ?”. Syu’bah menjawab,
روى أشياء لم نصبر عنها
“Aku menuliskan riwayat-riwayatnya yang membuat kita tidak sabar terhadapnya (untuk menolaknya dan membuangnya)”.
Muhammad bin Raafi’ pernah melihat Ahmad bin Hanbal duduk di majelis Yazid bin Harun dimana beliau menulis hadits Zuhair dari Jaabir (Al-Ju’fi). Muhammad bin Raafi’ bertanya : “Wahai Abu ‘Abdillah, Anda melarang kami (meriwayatkan) hadits Jaabir , namun ternyata Anda sendiri justru menuliskannya ?”. Maka beliau menjawab : “Kami mengetahui (kedla’ifan) haditsnya”.[3]
Ø Ada beberapa
ulama yang meriwayatkan hadits-hadits jenis ini karena rasa fanatik mereka
terhadap satu madzhab, dengan tujuan agar hadits-hadits tersebut mendukung
madzhab dan pendapat mereka. Terutama, jika madzhab atau pendapatnya tersebut
sesuatu yang membuatnya berani atau terlalu gampang dalam meriwayatkan
hadits-hadits ini. Rasa fanatik dapat membuat seseorang dihukumi seperti yang
diungkapkan oleh Ibnu Mu’tamir bahwa tidak ada bedanya antara binatang ternak
yang ditundukkan dengan manusia yang ikut-ikutan (taqlid).
Ada beberapa
orang yang sadar bahwa pendapatnya tersebut salah, lalu ia mendapatkan sebuah
hadits palsu yang dapat menopang pendapatnya, kemudian syaithan meng-hijab
(menghalangi) dirinya dari cahaya kebenaran sehingga ia berani menjadikan hadits
tersebut sebagai hujjah dan pendukung pendapatnya.
Ø Ketidaktahuan
akan tingkatan hadits tersebut. Kadang-kadang seorang ulama meriwayatkan sebuah
hadits, namun ia bukan termasuk orang yang memiliki pengetahuan khusus mengenai
ilmu hadits. Ia meriwayatkan hadits ini dengan anggapan bahwa hadits tersebut
shahih atau ia bertaqlid kepada orang-orang sebelumnya. Hal ini merupakan
realitas yang nyata bahwa ada sebagian ulama yang menonjol dalam satu bidang
ilmu tertentu, namun ia tidak menonjol di bidang ilmu yang lain. Kenyataan ini
berdasarkan kecenderungan masing-masing orang. Maka kita akan menjumpai seorang
ahli di bidang ilmu nahwu dan bayan, akan tetapi ia tidak banyak mengetahui
ilmu hadits. Sebaliknya, kita menjumpai seseorang yang ahli di bidang ilmu
hadits, ia mengenal betul mengenai ilmu ’ilal hadits dan sanad-sanad hadits,
akan tetapi sering ditemukan kerancuan dalam kalimat-kalimat yang
dilontarkannya.
Al-Imam
Adz-Dzahabi dalam kitabnya Tadzkiratul-Huffadh memberikan beberapa
ungkapan dan contoh yang cukup bagus dalam hal ini. Misalnya saja ketika beliau
menerangkan biografi Al-Hulaimi, seorang ulama madzhab Syafi’iyyah dalam hadits
yang berbunyi :
لِصَاحِبِ الْقُرْانِ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ خَتْمِهِ
”Seorang
yang sering membaca Al-Qur’an memiliki doa mustajab ketika ia
mengkhatamkannya”.
Adz-Dzahabi menuturkan bahwa dalam sanad hadits ini terdapat rawi yang bernama Abi ’Ishmah Nuh Al-Jami’ Al-Marwadzi, seorang yang menurut Adz-Dzahabi memiliki segudang ilmu; namun sayangnya haditsnya ditinggalkan orang.
Lebih lanjut Adz-Dzahabi mengatakan :
فكم من امام في فن مقصر عن غيره كسيبويه مثلا امام في النحو ولا يدري ما الحديث ووكيع امام في الحديث ولا يعرف العربية وكأبي نواس راس في الشعر عري من غيره وعبد الرحمن بن مهدي امام في الحديث لا يدري ما الطب قط وكمحمد بن الحسن راس في الفقه ولا يدري ما القراءات وكحفص امام في القراءة تالف في الحديث وللحروب رجال يعرفون بها
”Berapa banyak ulama yang menjadi imam dalam bidang ilmu tertentu namun tidak pada yang lainnya. Seperti halnya Sibawaih, imam dalam ilmu nahwu, namun ia tidak mengerti apa itu hadits. Waki’, imam di bidang hadits, namun ia tidak mengetahui bahasa Arab. Abu Nawas, seorang yang lihai di bidang sya’ir, namun nihil di bidang lainnya. ’Abdurrahman bin Mahdi, seorang imam dalam ilmu hadits, namun tidak mengetahui ilmu kedokteran. Muhammad bin Al-Hasan, seorang imam dalam ilmu fiqh, namun tidak mengerti ilmu qira’at. Hafsh, seorang imam dalam ilmu qira’at, namun tidak memiliki andil dalam ilmu hadits. Intinya, masing-masing medan keilmuan memiliki tokoh-tokoh yang mengerti akan medan tersebut…”.
Ø Ada sebagian
ulama yang berpandangan bahwa banyaknya sanad/jalur periwayatan dapat
mengangkat suatu hadits mencapai tingkatan tertentu yang dapat dijadikan
hujjah. Kaidah ini pada prinsipnya benar, namun tidaklah berlaku mutlak, karena
ada beberapa hadits yang jika dikumpulkan semua jalannya tetap tidak akan
mengangkat derajat hadits tersebut sedikitpun. Tidak lain akibat terlalu
parahnya status kedla’ifannya. Dan hadits yang dalam sanadnya terdapat perawi
yang berstatus matruk, dicurigai melakukan kedustaan (muttaham bil-kidzb), atau
pendusta (kadzdzaab); maka ia tidaklah bisa terangkat dengan banyaknya jalur
periwayatan.
Ø Terlalu
gampang dalam menghukumi hadits-hadits yang tidak berkaitan dengan hukum.
Terutama mereka yang berlebihan dalam membela pendapat dapat digunakannya
hadits dla’if pada perkara keutamaan amal (fadlaailul-a’mal) tanpa
memperhatikan beberapa syarat yang telah ditetapkan para ulama. Hingga ada
beberapa ulama yang memasukkan hadits-hadits palsu ke dalam katagori ini.
Itulah tujuh sebab yang dijelaskan
oleh Asy-Syaikh ’Abdul-’Aziz bin Muhammad As-Sadhan hafidhahullah. Semoga ada
manfaatnya. Walhamdulillahi rabbil-’aalamiin.
Abu Al-Jauzaa’
Catatan kaki
[1] Lisaanul-Miizaan, 3/75.
[2] Ar-Radd ‘alal-Bakri, halaman 19.
[3] Al-Majruhiin, halaman 208.
0 komentar:
Posting Komentar