إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
Pada sebuah kesempatan,
Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan Hafizhahullah ditanya,
“Diantara para penuntut
ilmu / santri terdapat perbedaan mengenai definisi mubtadi’ (ahlul bid’ah).
Sebagian mereka mengatakan mubtadi’ adalah orang yang mengatakan atau melakukan
kebid’ahan, meskipun ia belum paham. Sebagian yang lain berkata bahwa mubtadi’
itu pelaku bid’ah yang sudah dipahamkan bahwa yang dilakukannya adalah bid’ah.
Sebagian lagi ada yang membedakan apakah pelaku bid’ah itu ulama mujtahid yang
mempelopori kebid’ahan ataukah bukan ulama mujtahid. Dari beberapa pengertian
ini kadang timbul vonis bahwa Ibnu Hajar Al Asqalani atau An Nawawi adalah
mubtadi’ tanpa toleransi sedikitpun kepada mereka. Kami meminta kejelasan dari
anda yang memiliki pemahaman yang mendalam dalam permasalahan ini. Semoga Allah
membalas kebaikan anda.”
Beliau Hafizhahullah
menjawab,
Pertama, seorang penuntut ilmu agama yang masih pemula atau juga orang awam
hendaknya tidak menyibukkan dirinya dalam memvonis seseorang itu mubtadi’ atau
seseorang itu fasiq. Karena hal ini sangat berbahaya bagi orang yang tidak
memiliki ilmu agama yang mendalam tentang masalah ini. Selain itu, menyibukkan
diri dalam memvonis mubtadi’ atau fasiq akan menimbulkan permusuhan dan
kebencian diantara mereka. Maka yang semestinya menjadi kesibukan para penuntut
ilmu yang masih pemula atau orang awam adalah menuntut ilmu agama, dan menahan
lisan mereka dari hal-hal yang tidak memberikan faidah bagi mereka. Bahkan
menyibukkan diri dalam memvonis tersebut akan menimbulkan bahaya bagi diri
sendiri maupun bagi yang lain.
Kedua, bid’ah adalah perkara yang diada-adakan dalam urusan agama yang
tidak diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Sebagaimana
sabda beliau,
مَنْ
أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa saja yang
mengada-adakan sesuatu dalam urusan kami ini (agama), yang tidak diajarkan oleh
agama, maka tertolak” (HR. Bukhari [no.167], dari jalan ‘Aisyah Radhiallahu’anha)
Jika seseorang berbuat
bid’ah karena tidak paham, maka ia dimaafkan karena ketidak-tahuannya tersebut
dan tidak dihukumi sebagai mubtadi’, namun perbuatannya disebut sebagai
perbuatan bid’ah.
Ketiga, ulama yang berbuat kesalahan ijtihad berupa ta’wil (sifat-sifat
Allah), sebagaimana Ibnu Hajar Al Asqalani dan An Nawawi yang telah menta’wil
beberapa sifat Allah, mereka berdua tidak dihukumi mubtadi’. Camkan baik-baik,
mereka berdua telah berbuat kesalahan dalam hal tersebut, namun kita memohonkan
ampunan Allah untuk keduanya karena mengingat perjuangan mereka berdua dalam
mengagungkan sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Mereka
berdua adalah imam besar yang terpercaya dikalangan para ulama.
[Diterjemahkan dari Muntaqa
Fatawa Al Fauzan Jilid 2, fatwa no.181, Asy Syamilah]
Penerjemah : Yulian
Purnama
0 komentar:
Posting Komentar