إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
KEKEJAMAN KAUM SYIAH
TERHADAP AHLUS SUNNAH
Oleh : Abu Ihsan
Al-Atsari
Benteng kaum Muslimin diserang dari dalam, kira-kira begitulah ungkapan
yang dirasakan umat ini atas kejahatan ahli bid’ah khususnya Syiah terhadap
Islam, Sunnah dan Ahlu Sunnah. Pengkhianatan dan kekejaman yang dilakukan oleh
ahli bid’ah terhadap Islam dan kaum Muslimin sangat banyak terjadi. Ini tidak
lain dilandasi oleh keyakinan mereka yang mengkafirkan dan menghalalkan darah
orang-orang yang berada di luar kalangan mereka. Kurangnya penghormatan mereka
terhadap kehormatan, harta dan darah kaum Muslimin dan kesembronoan mereka
dalam menjatuhkan vonis kafir terhadap siapa saja yang tidak sepaham menjadi
alasan mereka melakukan semua itu.
Tercatat di awal sejarah Islam dua kelompok bid’ah yang melakukan hal
tersebut, yaitu Syiah dan Khawarij. Akibat dari tindakan pengkhianatan mereka
tersebut banyak Sahabat Nabi radhiyallahu'anhum yang terbunuh. Mereka
tak segan-segan menghalalkan darah Sahabat radhiyallahu'anhum, para
Ulama dan orang shalih dengan alasan yang mengada-ada tanpa rasa takut dan rasa
malu sedikit pun terhadap Allah Ta'ala.
Sejak awal kemunculan kelompok-kelompok bid’ah ini selalu yang menjadi
incaran dan targetnya adalah Ahlu Sunnah. Kelompok-kelompok bid’ah itu rela
melupakan perbedaan-perbedaan di antara mereka walaupun dalam masalah yang
prinsipil untuk bekerja sama dalam mematikan Sunnah dan menghancurkan Ahlu
Sunnah, begitulah sejarah berbicara. Khususnya pada abad ke-4 Hijriyah ketika
mulai berdirinya daulah Syiah di beberapa wilayah, terutama di daerah-daerah
pegunungan. Seiring dengan semakin gencarnya gerakan dakwah mereka ditambah
lagi semakin lemahnya daulah Ahlu Sunnah pada masa itu.
Syi’ah, Musuh dalam
Selimut
Imam Ibnu Katsir rahimahullah telah menjelaskan fenomena ini dalam
kitabnya ketika menyebutkan biografi salah seorang tokoh Syiah yaitu Ibnu Nu’man,
“Ibnu Nu’man ini adalah
seorang tokoh Syiah dan pembela mereka. Ia punya kedudukan di kalangan
penguasa-penguasa daerah karena mayoritas penduduk di daerah-daerah tersebut
pada masa itu mulai condong kepada tasyayyu’ (Syi’ah). Di antara muridnya
adalah asy-Syaraf ar-Radhi dan al-Murtadha.”[1]
Beberapa sekte, seperti Isma’iliyah, Buwaihiyah, Qaramithah dan
lain-lainnya memakai jubah Syiah ini untuk meraih tujuannya. Contoh kasusnya
adalah yang terjadi di Afrika utara, salah seorang juru dakwah Syiah yang
bernama Husain bin Ahmad bin Muhammad bin Zakariya ash-Shan’ani yang berjuluk
Abu ‘Abdillah asy- Syi’i masuk ke wilayah Afrika seorang diri tanpa harta dan
tanpa satu pun orang yang mendampinginya. Ia terus melakukan kegiatan dakwah di
sana hingga ia berhasil menguasainya.[2]
Abu ‘Abdillah asy-Syi’i inilah yang berhasil meyakinkan kaum Muslimin untuk
menerima ‘Ubaidullah al-Qaddah sebagai imam dakwah sehingga mereka membaiatnya.
Lalu ‘Ubaidullah ini menggelari dirinya sebagai al-Mahdi dan mendirikan daulah
‘Ubaidiyah yang kemudian lebih dipopulerkan dengan sebutan sebagai daulah Fathimiyyah.
Padahal pada hakekatnya merupakan daulah yang beraliran bathiniyah.
Diantara kejahatan yang dilakukan oleh ‘Ubaidullah ini, suatu kali kudanya
masuk ke dalam masjid. Lalu rekan-rekannya ditanya tentang hal itu, mereka
menjawab, “Sesungguhnya kencing dan kotoran kuda itu suci, karena ia adalah
kuda al-Mahdi (yakni ‘Ubaidullah). Pengurus masjid mengingkari hal itu,
sehingga mereka pun membawanya ke hadapan ‘Ubaidullah al-Mahdi, dan akhirnya ia
menghabisi pengurus masjid tersebut.
Ibnu ‘Adzara rahimahullah berkata, “Sesungguhnya di akhir
hayatnya ‘Ubaidullah ini ditimpa sebuah penyakit yang mengerikan yaitu adanya
cacing yang keluar dari duburnya dan kemudian memakan kemaluannya. Begitulah
keadaannya hingga kematian merenggutnya.”[3]
Abu Syamah rahimahullah berkomentar tentang ‘Ubaidullâh ini dengan
berkata, “Ia adalah seorang zindiq (kafir), khabits (sangat buruk), dan
merupakan musuh Islam. Menunjukkan diri sebagai Syiah dan berupaya keras untuk
menghilangkan agama Islam. Ia banyak membunuh Fuqaha’, ahli hadits, orang-orang
shalih dan banyak manusia lainnya. Anak keturunannya tumbuh dengan pola pikir
seperti itu dan apabila ada kesempatan mereka akan menunjukkan taringnya, jika
tidak maka mereka akan menyembunyikan diri.”[4]
Adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Duhai kiranya kalau ia hanya
seorang penganut Syiah saja, tetapi ternyata di samping itu ia juga seorang
zindiq.”[5]
Para ulama yang telah mereka bunuh diantaranya adalah Abu Bakar an-Nabilisi,
Muhammad bin al-Hubulli, Ibnu Bardun yang dibunuh oleh Abu ‘Abdillah asy-Syi’i.
Sementara Ibnu Khairun Abu Ja’far Muhammad bin Khairun al-Mu’afiri tewas di
tangan ‘Ubaidullah al-Mahdi.
Diantara penguasa mereka yang telah banyak membunuh para Ulama adalah
al-‘Adhid, penguasa terakhir Bani ‘Ubaid. Ibnu Khalikan rahimahullah
berkata tentang orang ini, “al-‘Adhid ini orang yang sangat kental
Syi’ahnya, sangat keterlaluan dalam mencaci maki Sahabat Nabi, apabila ia
melihat seorang Sunni (Ahlu Sunnah), ia menghalalkan darahnya.”[6]
Salah satu sekte yang menimpakan berbagai bala terhadap Ahlu Sunnah adalah
Buwaihiyah. Sekte ini dinisbatkan kepada Buwaihi bin Fannakhasru ad-Dailami
al-Farisi. Berkuasa di Irak dan Persia lebih kurang satu abad ketika
kekhalifahan ‘Abbasiyah sedang melemah di Baghdad. Sekte ini juga menunjukkan
kefanatikannya kepada ajaran Syi’ah. Bahkan mereka memotivasi orang-orang Syiah
di Baghdad untuk melakukan tindakan-tindakan perlawanan terhadap Ahlu Sunnah.
Hampir tiap tahun terjadi pertikaian dan benturan-benturan antara kaum Syiah
dan Ahlu Sunnah. Sehingga banyak korban jiwa jatuh dan menimbulkan kerugian materiil
yang besar, toko-toko dan pasar-pasar dibakar.
Untuk menunjukkan hegemoni dan dominasi mereka atas Ahlu Sunnah, pada tahun
351 H kaum Syiah di Baghdad dengan dukungan dari Mu’izzud Daulah mewajibkan
masjid-masjid untuk melaknat Mu’awiyah radhiyallahu'anhu dan tiga
Khalifah Rasyid (Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman radhiyallahu'anhum).
Sebuah ketetapan yang tak mampu dicegah oleh kekhalifahan ‘Abbasiyah.[7]
Bahkan pada tahun 352 H, Mu’izzud Daulah menyuruh kaum Muslimin untuk
menutup toko-toko mereka, mengosongkan pasar, meliburkan jual-beli dan menyuruh
mereka untuk meratap. Para wanita disuruh keluar tanpa penutup kepala dan wajah
dicoreng-moreng, lalu berkeliling kota sambil meratap dan menampar-nampar pipi
atas kematian Husain bin ‘Ali radhiyallahu'anhu. Maka kaum Muslimin pun
melakukannya, sementara Ahlu Sunnah tidak mampu mencegahnya karena banyaknya
jumlah kaum Syiah dan kekuasaan kala itu berada di tangan mereka (di tangan
kaum Buwaihiyyun).[8]
Sehingga Imam adz-Dzahabi rahimahullah sampai berkomentar, “Sungguh
telah terlantar urusan agama Islam dengan berdirinya daulah Bani Buwaihi dan
Bani ‘Ubaid yang bermadzhab Syiah ini. Mereka meninggalkan jihad dan mendukung
kaum Nasrani Romawi dan merampas kota Madain.”[9]
Diantara sekte Syiah adalah Syiah Isma’iliyah. Setelah wafatnya Ja’far bin
Muhammad ash-Shadiq, kaum Syiah terpecah dua kelompok. Satu kelompok
menyerahkan kepemimpinan kepada anaknya, yaitu Musa al-Kazhim, mereka inilah yang
kemudian disebut Syiah Itsna ‘Asyariyah (aliran Syiah yang meyakini adanya imam
yang berjumlah dua belas orang, red). Dan satu kelompok lagi menyerahkan
kepemimpinan kepada anaknya yang lain, yaitu Isma’il bin Ja’far, kelompok ini
kemudian dikenal sebagai Syiah Isma’iliyah. Kadang kala mereka dinisbatkan
kepada madzhab bathiniyah dan kadang kala dikaitkan juga dengan Qaramithah.
Akan tetapi, mereka lebih senang disebut Isma’iliyah.[10]
Adapun Qaramithah sendiri adalah penisbatan kepada Hamdan Qirmith. Kemudian
pengikut-pengikutnya dikenal dengan sebutan Qaramithah. Diantara tokoh mereka
yang menimpakan fitnah besar terhadap kaum Muslimin adalah Abu Thahir Sulaiman
bin Hasan al-Janabi.
Mereka inilah yang bersekutu bersama kaum Nasrani dan Tatar untuk melawan
Islam dan kaum Muslimin. Ketika mereka sudah memiliki kekuatan dan berhasil
mendirikan daulah Bahrain, mereka melakukan aksi-aksi yang membuat bulu kuduk
merinding; berupa perampasan, pembunuhan dan pemerkosaan. Bahkan kekejaman
seperti itu tidak pernah dilakukan oleh bangsa Tatar maupun kaum Nasrani
sekalipun.
Pada tahun 312 H, mereka menghadang kafilah haji yang hendak kembali ke
Irak. Mereka merampas kendaraan kafilah itu, bekal-bekal dan harta benda yang
mereka bawa, dan meninggalkan rombongan haji begitu saja sehingga kebanyakan
dari mereka mati kehausan dan kelaparan.[11]
Dan pada tahun 317 H, mereka menyerang jamaah haji di Masjidil Haram, dan
membunuhi para jamaah yang berada dalam masjid lalu membuang mayat-mayat ke
sumur Zamzam. Mereka membunuh orang-orang di jalan-jalan kota Mekah dan
sekitarnya. Jumlah korbannya mencapai tiga puluh ribu jiwa. Bahkan ia merampas
kelambu Ka’bah dan membagi-bagikannya kepada pasukannya. Ia menjarah
rumah-rumah penduduk Mekah dan mencungkil Hajar Aswad dari tempatnya untuk ia
bawa ke Hajar (ibukota daulah mereka di Bahrain).[12]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah merekam kekejaman yang dilakukan oleh
Abu Thahir al-Janabi al-Bathini ini dengan berkata, "Ia menjarah harta
penduduk Mekah dan menghalalkan darah mereka. Ia membunuhi manusia di
rumah-rumah mereka hingga yang berada di jalan-jalan. Bahkan menjagal banyak
jamaah haji di Masjdil Haram dan di dalam Ka’bah. Lalu pemimpin mereka, yakni
Abu Thahir –semoga Allâh Ta'ala melaknatnya- duduk di pintu Ka’bah, sementara
orang-orang disembelihi di hadapannya dan pedang-pedang berkelebatan membantai
orang-orang di Masjidil Haram pada bulan haram (suci) di hari Tarwiyah yang
merupakan hari yang mulia. Sementara Abu Thahir ini berseru, 'Aku adalah Allah,
Allah adalah aku. Aku menciptakan makhluk dan akulah yang mematikan mereka!'.
Orang-orang pun berlarian menyelamatkan diri dari kekejaman Abu Thahir ini. Diantara
mereka bahkan ada yang bergantung pada kelambu Ka’bah. Namun itu tidak
menyelamatkan jiwa mereka sedikit pun. Mereka tetap ditebas habis dalam keadaan
seperti itu. Mereka dibunuhi meskipun mereka sedang bertawaf…"
Dan jangan lupa juga pengkhianatan mereka terhadap Khalifah al-Musta’shim
Billah yang dilakoni oleh Muhammad bin al-Alqami dan Nashiruddin ath- Thusi,
yang anehnya kedua orang ini dianggap pahlawan oleh orang-orang Syi’ah.
Keruntuhan kota Baghdad yang kala itu merupakan ibukota Daulah Abbasiyah di
tangan pasukan Tatar tak lepas dari konspirasi yang dilakukan oleh Ibnul Alqami
dan ath-Thusi. Hal ini didorong dendam kesumat Ibnul Alqami ini terhadap Ahlu
Sunnah. Pasalnya, pada tahun 656 H terjadi peperangan hebat antara Ahlu Sunnah
dan Syiah yang berujung dengan takluknya kota Karkh yang merupakan pusat
kegiatan kaum Syiah dan beberapa rumah sanak keluarga al-Alqami menjadi korban
penjarahan.
Ia sangat berambisi meruntuhkan kekuatan Ahlu Sunnah dan menggunakan segala
cara untuk mencapai tujuannya, walaupun harus bersekutu dengan pasukan musuh
dan berkhianat terhadap khalifah. Hal itu ia lampiaskan ketika ia memegang
jabatan kementrian bagi Khalifah al-Musta’shim Billah, ia memberi jalan bagi
pasukan Tatar untuk masuk Baghdad.
Peristiwa itu terjadi pada tahun 656 H, ketika Hulago Khan dan pasukannya
yang berjumlah dua ratus ribu personil mengepung Baghdad dan menghujani istana
khalifah dengan anak panah. Pengamanan sekitar istana saat itu lemah karena
sebelum terjadinya peristiwa ini, Ibnul Alqami secara diam-diam telah
mengurangi jumlah personil tentara khalifah dengan cara memecat sejumlah besar
perwira dan mencoret nama mereka dari dinas ketentaraan. Pada masa kekhalifahan
sebelumnya, yaitu Khalifah al-Mustanshir, jumlah pasukan mencapai 100.000
personil. Sementara pada masa al-Musta’shim Billah jumlahnya menyusut menjadi
10.000 personil saja.
Kemudian Ibnul Alqami ini mengirim surat rahasia kepada bangsa Tatar dan
memprovokasi mereka untuk menyerang Baghdad. Ia sebutkan dalam surat rahasia
itu kelemahan angkatan bersenjata Daulah Abbasiyah di Baghdad. Itulah sebabnya
bangsa Tatar dengan sangat mudah dapat merebutnya.
Ketika pasukan Tatar mulai mengepung Baghdad sejak tanggal 12 Muharram 656
H, saat itulah Ibnul Alqami melakukan pengkhianatannya untuk kesekian kali.
Dialah orang pertama yang menemui pasukan Tatar. Lalu ia keluar bersama
keluarganya, pembantu serta pengikutnya pada saat-saat kritis itu untuk menemui
Hulago Khan dan mendapat perlindungan darinya. Kemudian ia membujuk Khalifah
agar ikut keluar bersamanya menemui Hulago Khan untuk mengadakan perdamaian,
yaitu memberikan separoh hasil devisa negara kepada bangsa Tatar.
Maka berangkatlah Khalifah bersama para Qadhi, Fuqaha’, tokoh-tokoh negara
dan masyarakat serta para pejabat tinggi negara lainnya dengan 700 kendaraan.
Ketika sudah mendekati markas Hulago Khan, mereka ditahan oleh pasukan Tatar
dan tidak diizinkan menemui Hulago Khan kecuali hanya Khalifah bersama 17 orang
saja. Permintaan ini dipenuhi oleh Khalifah. Ia berangkat bersama 17 orang
sementara yang lain menunggu. Sepeninggal Khalifah, sisa rombongan itu dirampok
dan dibunuh oleh pasukan Tatar. Selanjutnya Khalifah dibawa ke hadapan Hulago
Khan seperti seorang pesakitan yang tak berdaya.
Kemudian atas permintaan Hulago Khan, Khalifah kembali ke Baghdad ditemani
oleh Ibnul Alqami dan Nashiruddin ath-Thusi. Di bawah rasa takut dan tekanan
yang hebat, Khalifah mengeluarkan emas, perhiasan dan permata dalam jumlah yang
sangat banyak. Namun tanpa disadari oleh Khalifah, para pengkhianat dari Syiah
ini telah membisiki Hulago Khan agar menampik tawaran damai dari Khalifah.
Ibnul Alqami ini berhasil meyakinkan Hulago Khan dan membujuknya untuk membunuh
Khalifah. Dan tatkala Khalifah kembali dengan membawa perbendaharaan negara
yang banyak untuk diserahkan, Hulago Khan memerintahkan agar Khalifah
dieksekusi. Dan yang mengisyaratkan untuk membunuh Khalifah adalah Ibnul Alqami
dan ath-Thusi.
Dengan terbunuhnya Khalifah pasukan Tatar leluasa menyerbu Baghdad tanpa
perlawanan berarti. Maka jatuhlah Baghdad ke tangan musuh. Dilaporkan bahwa
jumlah orang yang tewas saat itu lebih kurang dua juta orang. Tidak ada yang
selamat kecuali Yahudi, Nashrani dan orang-orang yang meminta perlindungan
kepada pasukan Tatar, atau berlindung di rumah Ibnul Alqami dan orang-orang
kaya yang menebus jiwa mereka dengan menyerahkan harta kepada pasukan
Tatar.[14]
Sebuah Pelajaran
Berharga
Melalui rekaman sejarah yang telah dipaparkan para Ulama, menyerahkan
amanat dan jabatan kepada kaum Syiah merupakan tindakan bunuh diri yang
membahayakan umat. Karena sejarah telah membuktikan pengkhianatan yang mereka
lakukan terhadap kaum Muslimin, khususnya kepada Ahlu Sunnah.
Al-Baghdadi rahimahullah telah menjelaskan secara ringkas permusuhan
kaum Syiah Bathiniyah ini terhadap Islam dan kaum Muslimin. Beliau berkata, “Ketahuilah
–semoga Allah membuatmu bahagia– sesungguhnya bahaya yang ditimbulkan oleh kaum
Bathiniyah terhadap kaum Muslimin lebih besar daripada bahaya yang ditimbulkan
oleh kaum Yahudi, Nashrani maupun Majusi. Bahkan lebih besar daripada kaum
Dahriyah (atheis) serta kelompok-kelompok kafir lainnya. Bahkan lebih besar
daripada bahaya yang ditimpakan oleh Dajjal yang muncul di akhir zaman. Karena
orang-orang yang tersesat akibat dakwah Bathiniyah ini sejak awal mula
munculnya dakwah mereka sampai hari ini lebih banyak daripada orang-orang yang
disesatkan oleh Dajjal pada waktu munculnya nanti. Karena fitnah Dajjal tidak
lebih dari empat puluh hari, sementara kejahatan kaum Bathiniyah ini lebih
banyak daripada butiran pasir dan tetesan hujan.”[15]
Kaum Bathiniyah ini sengaja memilih ajaran Syiah sebagai alat untuk beraksi
karena adanya kecocokan dengan ambisi dan keinginan mereka. Karena mereka tidak
menemukan jalan masuk kepada Islam kecuali dengan menampakkan ajaran Syiah ini
dan menisbatkan diri kepada agama Syiah.
Abu Hamid Al-Ghazali rahimahullah mengungkapkan, “Telah sukses
diadakan pertemuan diantara pengikut-pengikut ajaran Majusi dan Mazdakiyah dari
kalangan kaum Tsanawiyah yang mulhid (kafir) serta sekelompok besar kaum
filsafat mulhid –ad-Dailami menambahkan– dan sisa-sisa pengikut ajaran
Kharamiyah serta kaum Yahudi. Mereka disatukan dengan satu slogan yaitu membuat
tipu daya untuk menolak Islam. Mereka berkata, “Sesungguhnya Muhammad telah
mengalahkan kita dan menghapus agama kita. Carilah sekutu untuk menghadapinya
karena kita tidak mampu secara frontal untuk menghadapi mereka. Kita tidak bisa
berhasil merebut kekuasaan yang ada di tangan kaum Muslimin dengan senjata dan
peperangan. Karena kekuatan mereka dan banyaknya personil pasukan mereka.
Demikian pula kita tidak mampu untuk beradu argumentasi dengan mereka karena
mereka memiliki Ulama, fudhala’ dan ahli tahqiq. Tidak ada cara kecuali
melakukan makar dan tipu daya.
Kemudian mereka membuat
rancangan dan program untuk mencapai tujuan ini. Dan di antara cara yang mereka
tempuh adalah masuk ke tengah kaum Muslimin melalui jalan tasyayyu’ (ajaran
Syi’ah). Walaupun mereka juga menganggap bahwa kaum Syiah ini sesat, hanya saja
mereka itu adalah orang yang paling dangkal akalnya, paling konyol logikanya,
paling mudah untuk menerima perkara-perkara yang mustahil, paling percaya
dengan riwayat-riwayat dusta yang mereka buat, serta yang paling mudah untuk
menerima riwayat-riwayat palsu. Apalagi dalam ideologi Syiah ini terdapat
ajaran taqiyah (bermuka dua) yang sangat mereka perlukan untuk menjalankan misi
mereka. Maka mereka pun bersembunyi di balik ajaran ini untuk melemahkan Islam
dan kaum Muslimin. Sehingga tampilan luar mereka adalah Syiah, tetapi batin
mereka berisi kekufuran (terhadap Islam).[16]
Itulah sedikit dari fakta sejarah yang sudah terjadi. Sebenarnya masih
banyak lagi sejarah hitam kekejaman ahli bid’ah ini (kaum Syiah) terhadap Ahlu
Sunnah khususnya dan kaum Muslimin pada umumnya. Kita harus mengambil pelajaran
dari masa lalu agar tidak berulang pada masa mendatang. Karena sesungguhnya
seorang Mukmin itu tidak boleh jatuh dalam satu lobang berulang kali,
sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Wallahu a’lam.
-Semoga Allah melaknat
Syi’ah-
[1] Al-Bidayah wan Nihayah (XII/17)
[2] Wafayatul A’yan,
Ibnu Khalikan (II/192)
[3] Akhbar Muluk
Bani ‘Ubaid tulisan ash-Shanhaji (hlm.96)
[4] Ar-Raudhataini
fi Akhbari Daulatain (hlm.201)
[5] Tarikh Islam ,
adz-Dzahabi
[6] Wafayatul A’yan
(III/110)
[7] Al-Kamil
(VIII/542)
[8] Al-Kamil
(VIII/549)
[9] Siyar A’lamun
Nubala’ (XVI/232)
[10] Al-Milal wan
Nihal (I/191-192)
[11] Tarikh Akhbar
Qaramithah (hlm.38)
[12] Tarikh Akhbar
Qaramithah (hlm.54)
[13] Al-Bidayah wan
Nihayah (XI/160)
[14] Al-Bidayah wan
Nihayah (XVIII/213-224)
[15] Al-Farqu bainal
Firaq (hlm.382)
[16] Silahkan lihat Fadhaih
Bathiniyah (hlm.18-19) dengan sedikit penambahan dan pengurangan.
(Majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIII)
0 komentar:
Posting Komentar