إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
Tak jauh beda dengan keadaan
syi’ah Rafidhah, kaum Sufi –yang sebenarnya masih memiliki keterkaitan akidah
dengan mereka– pun mengusung berbagai jenis kesesatan dan kekufuran, sebagai
bahaya laten di tubuh kaum muslimin.
Bahkan disaat kaum
muslimin tidak lagi memperhatikan agamanya, muncullah mereka sebagai kekuatan
spiritual yang mengerikan. Sehingga mereka tak segan-segan lagi menampilkan
wacana kekufurannya di tengah-tengah kaum muslimin.
Puncak kekufuran yang
terdapat pada sekte sesat ini adalah adanya keyakinan atau akidah bahwa siapa
saja yang menelusuri ilmu laduni (ilmu batin) maka pada terminal akhir ia akan
sampai pada tingkatan fana (melebur/menyatu dengan Dzat Allah).
Sehingga ia memiliki
sifat-sifat laahuut (ilahiyyah) dan naasuut (insaniyyah). Secara lahir ia
bersifat insaniyyah namun secara batin ia memiliki sifat ilahiyyah. Maha suci
Allah dari apa yang mereka yakini. Akidah ini populer di tengah masyarakat kita
dengan istilah manunggaling kawula gusti.
Adapun munculnya akidah
rusak ini bukanlah sesuatu yang baru lagi di zaman sekarang ini dan bukan pula
isapan jempol dan tuduhan semata.
Bukti Bukti Nyata tentang Akidah Manunggaling Kawula Gusti di Tubuh Kaum
Sufi
Hal ini dapat dilihat
dari ucapan para tokoh legendaris dan pendahulu sufi seperti Al Hallaj, Ibnul
Faridh, Ibnu Sabi’in dan masih banyak lagi yang lainnya di dalam karya-karya
mereka.
Cukuplah dengan ini
sebagai saksi atas kebenaran bukti-bukti tadi.
1.
Al Hallaj berkata:
“Maha suci Dia yang
telah menampakkan sifat naasuut (insaniyah)-Nya lalu muncullah kami sebagai
laahuut (ilahiyah)-Nya, Kemudian Dia menampakkan diri kepada makhluk-Nya dalam
wujud orang yang makan dan minum. Sehingga makhluk-Nya dapat melihat-Nya dengan
jelas seperti pandangan mata dengan pandangan mata” (Ath Thawaasin
[hal.129]).
“Aku adalah Engkau
(Allah) tanpa adanya keraguan lagi, Maha suci Engkau Maha suci aku. Mengesakan
Engkau berarti mengesakan aku. Kemaksiatan kepada-Mu adalah kemaksiatan
kepadaku. Marah-Mu adalah marahku. Pengampunan-Mu adalah pengampunanku“ (Diwanul Hallaj
[hal.82])
“Kami adalah dua ruh
yang menitis jadi satu. Jika engkau melihatku berarti engkau melihat-Nya. Dan
jika engkau melihat-Nya berarti yang engkau lihat adalah kami” (Ath Thawaasin [hal.34])
2.
Ibnu Faridh berkata
dalam syairnya:
“Tidak ada shalat
kecuali hanya untukku. Dan shalatku dalam setiap raka’at bukanlah untuk
selainku”. (Tanbih Al Ghabi fi Takfir Ibnu Arabi [hal.64])
3.
Abu Yazid Al Busthami
berkata:
”Paling sempurnanya
sifat seseorang yang telah mencapai derajat ma’rifat adalah adanya sifat-sifat
Allah pada dirinya. (Demikian pula) sifat ketuhanan ada pada dirinya.” (An Nuur Min
Kalimati Abi Thaifut [hal.106] karya Abul Fadhl Al Falaki)
Maka diapun
mengungkapkan keheranannya dengan berujar: “Aku heran kepada orang-orang
yang mengaku mengenal Allah, bagaimana mereka bisa beribadah kepada-Nya?!”
Lebih daripada itu, dia
menuturkan pula akidah ini kepada orang lain tatkala seseorang datang dan
mengetuk rumahnya. Dia bertanya: “Siapa yang engkau cari?” Orang itu
menjawab: “Abu Yazid.” Diapun berkata: “Pergi! Tidaklah yang ada di
rumah ini kecuali Allah.” (An Nuur [hal.84])
Pada hal.110 dia pernah
ditanya tentang perihal tasawuf maka dia menjawab: “Sifat Allah telah
dimiliki oleh seorang hamba”.
Akidah Manunggaling
Kawula Gusti membawa kaum sufi kepada keyakinan yang lebih rusak yaitu wihdatul
wujud. Berarti tidak ada wujud kecuali Allah itu sendiri, tidak ada dzat lain
yang tampak dan kelihatan ini selain dzat yang satu, yaitu dzat Allah.
Ibnu Arabi berkata: “Tuhan
itu memang benar ada dan hamba itu juga benar ada. Wahai kalau demikian siapa
yang di bebani syariat?
Bila engkau katakan yang ada ini adalah hamba, maka hamba itu mati. Atau
(bila) engkau katakan yang ada ini adalah Tuhan lalu mana mungkin Dia dibebani
syariat?” (Fushulul Hikam [hal.90])
Penyair sufi bernama Muhammad
Baharuddin Al Baithar berkata: “Anjing dan babi tidak lain adalah Tuhan kami.
Allah itu hanyalah pendeta yang ada di gereja” (Suufiyat [hal.27])
Dalil-Dalil yang Dijadikan Kaum Sufi sebagai Penopang Akidah Manunggaling
Kawula Gusti
Sepintas, seorang
awampun mampu menolak atau bahkan mengutuk akidah mereka ini dengan sekedar
memakai fitrah dan akalnya yang sehat. Namun, bagaimana kalau ternyata kaum
Sufi membawakan beberapa dalil baik dari Al Qur’an maupun As Sunnah bahwa
akidah Manunggaling Kawula Gusti benar-benar diajarkan di dalam agama ini -tentunya
menurut sangkaan mereka-?!
Mampukah orang tersebut
membantah ataukah sebaliknya, justru tanpa terasa dirinya telah digiring kepada
pengakuan akidah ini ketika mendengar dalil-dalil tersebut?
Dali-dalil tersebut
adalah:
1.
Surat Al Hadid ayat 5 :
“Dan Dia (Allah) bersama kalian dimana kalian berada.”
2.
Surat Qaaf ayat 16 :
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ
الْوَرِيدِ
“Dan Kami lebih dekat kepadanya (hamba) daripada urat lehernya sendiri”.
3.
Sabda Rasulullah dalam
hadits Qudsi: “Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kapada-Ku dengan
amalan-amalan sunnah sampai Aku pun mencintainya Bila Aku mencinatainya maka
jadilah Aku sebagai telinganya yang dia mendengar dengannya, mata yang dia
melihat dengannya, tangan yang dia memegang sesuatu dengannya, dan kaki yang
dia berjalan dengannya”. (H.R. Al-Bukhari)
Bantahan terhadap Syubhat (Kerancuan Berfikir) Mereka.
Dalam mengambil dalil-dalil
di atas dengan mengacu kepada Al Qur’an dan As Sunnah di bawah bimbingan para
ulama terpercaya, maka kita akan dapati bahwa syubhat mereka tidak lebih
daripada sarang laba-laba yang sangat rapuh.
1.
Tentang firman Allah di
dalam surat Al Hadid ayat 5
Para ulama telah
bersepakat bahwa kebersamaan Allah dengan hamba-hamba-Nya tersebut artinya ilmu
Allah meliputi keberadaan mereka, bukan Dzat Allah menyatu bersama mereka.
Al Imam Ath Thilmanki rahimahullah
berkata: “Kaum muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah telah bersepakat bahwa
makna firman Allah yang artinya: “Dan Dia (Allah) bersama kalian dimana kalian
berada” adalah ilmu-Nya. (Dar’ut Ta’arudh 6/250)
2.
Yang dimaksud dengan
lafadz “kami” di dalam surat Qaaf ayat 16 adalah para malaikat
pencatat-pencatat amalan. Hal ini ditunjukkan sendiri oleh konteks ayat
setelahnya.
Pendapat ini dipilih oleh
Imam Syaikhul Mufassir Ibnu Jarir Ath Thabari, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim,
Ibnu Katsir dan para ulama yang lainnya. Sedangkan Ath Thilmanki dan Al Baghawi
memilih pendapat bahwa yang dimaksud lafadz “lebih dekat” adalah ilmu
dan kekuasaan-Nya lebih dekat dengan hambanya-Nya daripada urat lehernya
sendiri.
3.
Al Imam Ath Thufi
ketika mengomentari hadits Qudsi tersebut menyatakan, “bahwa ulama telah
bersepakat kalau hadits tersebut merupakan sebuah ungkapan tentang pertolongan
dan perhatian Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Bukan hakikat Allah sebagai
anggota badan hamba tersebut sebagaimana keyakinan Wihdatul Wujud”. (Fathul
Bari)
Bahkan Al Imam Ibnu
Rajab rahimahullah menegaskan bahwa, “barangsiapa mengarahkan
pembicaraannya di dalam hadits ini kepada Wihdatul Wujud maka Allah dan
rasul-Nya berlepas diri dari itu”. (Jami’ul Ulum wal Hikam hal.
523-524, Iqadhul Himam)
Beberapa Ucapan Batil yang Terkait Erat dengan Akidah Ini
1.
Dzat Allah ada
dimana-mana.
Ucapan ini sering
dikatakan sebagian kaum muslimin ketika ditanya: “Dimana Allah berada?”
Maka sesungguhnya
jawaban ini telah menyimpang dari Al Qur’an dan As Sunnah serta kesepakatan
Salaf.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata:
“Barang siapa yang mengatakan bahwa Dzat Allah ada di setiap tempat maka
dia telah menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan Salaf. Bersamaan
dengan itu dia menyelisihi fitrah dan akal yang Allah tetapkan bagi
hamba-hambanya”. (Majmu’ Fatawa 5/125)
2.
Dzat Allah ada di
setiap hati seorang hamba
Ini adalah jawaban yang
tak jarang pula dikatakan sebagian kaum muslimin tatkala ditanya tentang
keberadaan Allah.
Beliau (Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah) juga berkata,
“Dan adapun keyakinan bahwa Dzat Allah ada di dalam hati setiap orang kafir
maupun mukmin maka ini adalah batil. Tidak ada seorang pun dari pendahulu
(Salaf) umat ini yang berkata seperti itu.
Tidak pula Al Qur’an ataupun As Sunnah, bahkan Al Qur’an, As Sunnah,
kesepakatan Salaf dan akal yang bersih justru bertentangan dengam keyakinan
tersebut”. (Syarhu Haditsin Nuzuul hal.375)
Beberapa Ayat Al Qur’an yang Membantah Akidah Manunggaling Kawula Gusti
Ayat-ayat Al Qur’an
secara gamblang menegaskan bahwa akidah Manunggaling Kawula Gusti benar-benar
batil.
Allah ta’ala berfirman
:
وَجَعَلُوا لَهُ
مِنْ عِبَادِهِ جُزْءًا ۚ
إِنَّ الْإِنسَانَ لَكَفُورٌ مُّبِينٌ
“Dan mereka (orang-orang musyrikin) menjadikan sebagian hamba-hamba Allah
sebagai bagian dari-Nya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang
nyata.” (QS. Az Zukhruf : 15)
فَاطِرُ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ
جَعَلَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجًا ۖ
يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ ۚ
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ
وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Dia Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu
sendiri yang berpasang-pasangan dan dari jenis binatang ternak yang
berpasang-pasangan (pula), Dia jadikan kamu berkembangbiak dengan jalan itu.
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan dia, dan Dialah yang Maha Mendengar
lagi Maha Melihat” (QS. Asy Syura : 11)
Lihatlah, ketika Allah
menjawab permintaan Musa yang ingin melihat langsung wujud Allah di dunia.
Allah pun berfirman :
وَلَمَّا جَاءَ مُوسَىٰ لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ
أَرِنِي أَنظُرْ إِلَيْكَ ۚ
قَالَ لَن تَرَانِي وَلَٰكِنِ انظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ
فَسَوْفَ تَرَانِي ۚ
فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا ۚ
فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ
الْمُؤْمِنِينَ
“Kamu sekali-sekali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke gunung
itu, tatkala ia tetap di tempat itu niscaya kamu dapat melihat-Ku. Tatkala
Tuhan menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikan gunung itu hancur luluh dan
Musa pun pingsan. Setelah sadar Musa berkata: ‘Maha suci Engkau, aku bertaubat
dan aku orang yang pertama-tama beriman”. (QS. Al A’raf : 143)
0 komentar:
Posting Komentar