Pages

Selasa, 27 November 2012

Aqidah Sufi atau Tasawuf



إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة فنار



Tak jauh beda dengan keadaan syi’ah Rafidhah, kaum Sufi –yang sebenarnya masih memiliki keterkaitan akidah dengan mereka– pun mengusung berbagai jenis kesesatan dan kekufuran, sebagai bahaya laten di tubuh kaum muslimin.

Bahkan disaat kaum muslimin tidak lagi memperhatikan agamanya, muncullah mereka sebagai kekuatan spiritual yang mengerikan. Sehingga mereka tak segan-segan lagi menampilkan wacana kekufurannya di tengah-tengah kaum muslimin.

Puncak kekufuran yang terdapat pada sekte sesat ini adalah adanya keyakinan atau akidah bahwa siapa saja yang menelusuri ilmu laduni (ilmu batin) maka pada terminal akhir ia akan sampai pada tingkatan fana (melebur/menyatu dengan Dzat Allah).

Sehingga ia memiliki sifat-sifat laahuut (ilahiyyah) dan naasuut (insaniyyah). Secara lahir ia bersifat insaniyyah namun secara batin ia memiliki sifat ilahiyyah. Maha suci Allah dari apa yang mereka yakini. Akidah ini populer di tengah masyarakat kita dengan istilah manunggaling kawula gusti.

Adapun munculnya akidah rusak ini bukanlah sesuatu yang baru lagi di zaman sekarang ini dan bukan pula isapan jempol dan tuduhan semata.


Bukti Bukti Nyata tentang Akidah Manunggaling Kawula Gusti di Tubuh Kaum Sufi

Hal ini dapat dilihat dari ucapan para tokoh legendaris dan pendahulu sufi seperti Al Hallaj, Ibnul Faridh, Ibnu Sabi’in dan masih banyak lagi yang lainnya di dalam karya-karya mereka.

Cukuplah dengan ini sebagai saksi atas kebenaran bukti-bukti tadi.

1.        Al Hallaj berkata:

“Maha suci Dia yang telah menampakkan sifat naasuut (insaniyah)-Nya lalu muncullah kami sebagai laahuut (ilahiyah)-Nya, Kemudian Dia menampakkan diri kepada makhluk-Nya dalam wujud orang yang makan dan minum. Sehingga makhluk-Nya dapat melihat-Nya dengan jelas seperti pandangan mata dengan pandangan mata” (Ath Thawaasin [hal.129]).

“Aku adalah Engkau (Allah) tanpa adanya keraguan lagi, Maha suci Engkau Maha suci aku. Mengesakan Engkau berarti mengesakan aku. Kemaksiatan kepada-Mu adalah kemaksiatan kepadaku. Marah-Mu adalah marahku. Pengampunan-Mu adalah pengampunanku“ (Diwanul Hallaj [hal.82])

“Kami adalah dua ruh yang menitis jadi satu. Jika engkau melihatku berarti engkau melihat-Nya. Dan jika engkau melihat-Nya berarti yang engkau lihat adalah kami” (Ath Thawaasin [hal.34])


2.        Ibnu Faridh berkata dalam syairnya:

“Tidak ada shalat kecuali hanya untukku. Dan shalatku dalam setiap raka’at bukanlah untuk selainku”. (Tanbih Al Ghabi fi Takfir Ibnu Arabi [hal.64])


3.        Abu Yazid Al Busthami berkata:

”Paling sempurnanya sifat seseorang yang telah mencapai derajat ma’rifat adalah adanya sifat-sifat Allah pada dirinya. (Demikian pula) sifat ketuhanan ada pada dirinya.” (An Nuur Min Kalimati Abi Thaifut [hal.106] karya Abul Fadhl Al Falaki)


Maka diapun mengungkapkan keheranannya dengan berujar: “Aku heran kepada orang-orang yang mengaku mengenal Allah, bagaimana mereka bisa beribadah kepada-Nya?!”

Lebih daripada itu, dia menuturkan pula akidah ini kepada orang lain tatkala seseorang datang dan mengetuk rumahnya. Dia bertanya: “Siapa yang engkau cari?” Orang itu menjawab: “Abu Yazid.” Diapun berkata: “Pergi! Tidaklah yang ada di rumah ini kecuali Allah.” (An Nuur [hal.84])

Pada hal.110 dia pernah ditanya tentang perihal tasawuf maka dia menjawab: “Sifat Allah telah dimiliki oleh seorang hamba”.


Akidah Manunggaling Kawula Gusti membawa kaum sufi kepada keyakinan yang lebih rusak yaitu wihdatul wujud. Berarti tidak ada wujud kecuali Allah itu sendiri, tidak ada dzat lain yang tampak dan kelihatan ini selain dzat yang satu, yaitu dzat Allah.

Ibnu Arabi berkata: “Tuhan itu memang benar ada dan hamba itu juga benar ada. Wahai kalau demikian siapa yang di bebani syariat?
Bila engkau katakan yang ada ini adalah hamba, maka hamba itu mati. Atau (bila) engkau katakan yang ada ini adalah Tuhan lalu mana mungkin Dia dibebani syariat?” (Fushulul Hikam [hal.90])

Penyair sufi bernama Muhammad Baharuddin Al Baithar berkata: “Anjing dan babi tidak lain adalah Tuhan kami. Allah itu hanyalah pendeta yang ada di gereja” (Suufiyat [hal.27])


Dalil-Dalil yang Dijadikan Kaum Sufi sebagai Penopang Akidah Manunggaling Kawula Gusti

Sepintas, seorang awampun mampu menolak atau bahkan mengutuk akidah mereka ini dengan sekedar memakai fitrah dan akalnya yang sehat. Namun, bagaimana kalau ternyata kaum Sufi membawakan beberapa dalil baik dari Al Qur’an maupun As Sunnah bahwa akidah Manunggaling Kawula Gusti benar-benar diajarkan di dalam agama ini -tentunya menurut sangkaan mereka-?!

Mampukah orang tersebut membantah ataukah sebaliknya, justru tanpa terasa dirinya telah digiring kepada pengakuan akidah ini ketika mendengar dalil-dalil tersebut?

Dali-dalil tersebut adalah:
1.        Surat Al Hadid ayat 5 :


“Dan Dia (Allah) bersama kalian dimana kalian berada.”

2.        Surat Qaaf ayat 16 :

وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
“Dan Kami lebih dekat kepadanya (hamba) daripada urat lehernya sendiri”.

3.        Sabda Rasulullah dalam hadits Qudsi: “Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kapada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sampai Aku pun mencintainya Bila Aku mencinatainya maka jadilah Aku sebagai telinganya yang dia mendengar dengannya, mata yang dia melihat dengannya, tangan yang dia memegang sesuatu dengannya, dan kaki yang dia berjalan dengannya”. (H.R. Al-Bukhari)


Bantahan terhadap Syubhat (Kerancuan Berfikir) Mereka.

Dalam mengambil dalil-dalil di atas dengan mengacu kepada Al Qur’an dan As Sunnah di bawah bimbingan para ulama terpercaya, maka kita akan dapati bahwa syubhat mereka tidak lebih daripada sarang laba-laba yang sangat rapuh.

1.        Tentang firman Allah di dalam surat Al Hadid ayat 5

Para ulama telah bersepakat bahwa kebersamaan Allah dengan hamba-hamba-Nya tersebut artinya ilmu Allah meliputi keberadaan mereka, bukan Dzat Allah menyatu bersama mereka.

Al Imam Ath Thilmanki rahimahullah berkata: “Kaum muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah telah bersepakat bahwa makna firman Allah yang artinya: “Dan Dia (Allah) bersama kalian dimana kalian berada” adalah ilmu-Nya. (Dar’ut Ta’arudh 6/250)

2.        Yang dimaksud dengan lafadz “kami” di dalam surat Qaaf ayat 16 adalah para malaikat pencatat-pencatat amalan. Hal ini ditunjukkan sendiri oleh konteks ayat setelahnya.

Pendapat ini dipilih oleh Imam Syaikhul Mufassir Ibnu Jarir Ath Thabari, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Katsir dan para ulama yang lainnya. Sedangkan Ath Thilmanki dan Al Baghawi memilih pendapat bahwa yang dimaksud lafadz “lebih dekat” adalah ilmu dan kekuasaan-Nya lebih dekat dengan hambanya-Nya daripada urat lehernya sendiri.

3.        Al Imam Ath Thufi ketika mengomentari hadits Qudsi tersebut menyatakan, “bahwa ulama telah bersepakat kalau hadits tersebut merupakan sebuah ungkapan tentang pertolongan dan perhatian Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Bukan hakikat Allah sebagai anggota badan hamba tersebut sebagaimana keyakinan Wihdatul Wujud”. (Fathul Bari)

Bahkan Al Imam Ibnu Rajab rahimahullah menegaskan bahwa, “barangsiapa mengarahkan pembicaraannya di dalam hadits ini kepada Wihdatul Wujud maka Allah dan rasul-Nya berlepas diri dari itu”. (Jami’ul Ulum wal Hikam hal. 523-524, Iqadhul Himam)


Beberapa Ucapan Batil yang Terkait Erat dengan Akidah Ini

1.        Dzat Allah ada dimana-mana.

Ucapan ini sering dikatakan sebagian kaum muslimin ketika ditanya: “Dimana Allah berada?”

Maka sesungguhnya jawaban ini telah menyimpang dari Al Qur’an dan As Sunnah serta kesepakatan Salaf.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
“Barang siapa yang mengatakan bahwa Dzat Allah ada di setiap tempat maka dia telah menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan Salaf. Bersamaan dengan itu dia menyelisihi fitrah dan akal yang Allah tetapkan bagi hamba-hambanya”. (Majmu’ Fatawa 5/125)

2.        Dzat Allah ada di setiap hati seorang hamba

Ini adalah jawaban yang tak jarang pula dikatakan sebagian kaum muslimin tatkala ditanya tentang keberadaan Allah.

Beliau (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) juga berkata,
“Dan adapun keyakinan bahwa Dzat Allah ada di dalam hati setiap orang kafir maupun mukmin maka ini adalah batil. Tidak ada seorang pun dari pendahulu (Salaf) umat ini yang berkata seperti itu.
Tidak pula Al Qur’an ataupun As Sunnah, bahkan Al Qur’an, As Sunnah, kesepakatan Salaf dan akal yang bersih justru bertentangan dengam keyakinan tersebut”. (Syarhu Haditsin Nuzuul hal.375)


Beberapa Ayat Al Qur’an yang Membantah Akidah Manunggaling Kawula Gusti

Ayat-ayat Al Qur’an secara gamblang menegaskan bahwa akidah Manunggaling Kawula Gusti benar-benar batil.

Allah ta’ala berfirman :
وَجَعَلُوا لَهُ مِنْ عِبَادِهِ جُزْءًا ۚ إِنَّ الْإِنسَانَ لَكَفُورٌ مُّبِينٌ
“Dan mereka (orang-orang musyrikin) menjadikan sebagian hamba-hamba Allah sebagai bagian dari-Nya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang nyata.” (QS. Az Zukhruf : 15)

فَاطِرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ جَعَلَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجًا ۖ يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ ۚ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Dia Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri yang berpasang-pasangan dan dari jenis binatang ternak yang berpasang-pasangan (pula), Dia jadikan kamu berkembangbiak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. Asy Syura : 11)


Lihatlah, ketika Allah menjawab permintaan Musa yang ingin melihat langsung wujud Allah di dunia.

Allah pun berfirman :

وَلَمَّا جَاءَ مُوسَىٰ لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنظُرْ إِلَيْكَ ۚ قَالَ لَن تَرَانِي وَلَٰكِنِ انظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي ۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا ۚ فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ
Kamu sekali-sekali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke gunung itu, tatkala ia tetap di tempat itu niscaya kamu dapat melihat-Ku. Tatkala Tuhan menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun pingsan. Setelah sadar Musa berkata: ‘Maha suci Engkau, aku bertaubat dan aku orang yang pertama-tama beriman”. (QS. Al A’raf : 143)


0 komentar:

Posting Komentar