إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
Kisah Keadilan Islam
Dalam kitab Rawai'
min at-Tarikh al-'Usmani diriwayatkan sebuah kisah yang menggambarkan
keadilan kaum muslim meskipun terhadap pemeluk agama lain. Kisahnya berawal
ketika Sultan Muhammad al-Fatih memerintahkan untuk membangun sebuah Masjid di
kota Istambul. Sultan menunjuk seorang arsitek berkebangsaan Romawi, Abslante
yang terkenal hebat saat itu, menjadi konsultan pembangunan Masjid tersebut.
Di antara perintah Sultan
ialah pilar-pilar Masjid harus terbuat dari batu pualam dan dibuat tinggi agar
Masjid terlihat megah. Sultan sendiri yang menentukan ukuran tinggi pilar-pilar
tersebut. Namun karena beberapa hal, sang arsitek memerintahkan pelaksana
pembangungan untuk mengurangi ketinggian yang telah ditetapkan Sultan tanpa
berkomunikasi terlebih dahulu dengan beliau. Begitu mendengar hal itu, Sultan
sangat marah, karena menurutnya pilar-pilar yang dibawa dari tempat yang jauh
tersebut jadi tidak bermanfaat sama sekali. Saking marahnya, dia perintahkan
untuk memotong tangan arsitek tersebut.
Penyesalan arsitek
tidak berguna karena tangannya terlanjur dieksekusi. Tetapi dia tidak tinggal
diam menerima keputusan itu, ia pun memperkarakan Sultan kepada Qadhi/Hakim
Istambul, Syekh Sari Khadr Jalbi yang kesohor adil di seantero imperium Turki
'Usmani. Arsitekt tersebut mengadukan perintah zalim Sultan. Qadhi Sari Khadr
ternyata tidak bimbang sedikitpun dalam menerima dan memproses pengaduannya,
bahkan beliau langsung mengutus seseorang memanggil Sultan supaya datang ke
pengadilan karena ada gugatan yang diterimanya dari salah seorang rakyat.
Sultan juga tidak segan
memenuhi panggilan Qadhi, karena Sultan paham lebih berkewajiban untuk
menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Hadirlah Sultan pada hari yang telah
ditentukan. Setelah masuk ruang sidang ia memilih kursi untuk duduk, maka sang
Qadhi berkata padanya, "Anda tidak diperkenankan duduk di sini, tapi
anda harus berdiri di sebelah orang yang berperkara dengan anda!"
Sultan Muhammad Fatih
pun berdiri di sisi orang Romawi itu, yang kemudian menjelaskan pada Qadhi
duduk perkara yang menimpanya. Pada gilirannya sang Sultan membenarkan apa yang
diaduan orang Romawi tersebut, kemudian dia diam menunggu keputusan sang Qadhi.
Sejenak kemudian Qadhi Sari Khadr memandang Sultan dan berkata, "Sesuai
dengan hukum syar'i, maka anda dihukum potong tangan berdasarkan qishas!"
Arsitek Romawi itu
tidak percaya mendengar vonis ini, seluruh tubuhnya bergetar mendengarnya,
tidak pernah terpikir dan terbayang olehnya bahwa Qadhi berani memberi sanksi
seberat itu. Muhammad al Fatih, penakluk Konstantinopel yang menggetarkan seluruh
Eropa dihukum potong tangan oleh hakimnya sendiri karena tuntutan seorang
Romawi yang Nasrani. Menurut perkiraannya Qadhi tidak lebih berani daripada
memerintahkan Sultan untuk memberi ganti rugi saja.
Dia terpana, lalu
dengan gugup dia menyatakan mencabut tuntutannya, dia hanya berharap diberi
ganti rugi, karena hukuman potong tangan untuk Sultan tidak memberi manfaat
apa-apa kepadanya. Qadhi Sari akhirnya memutuskan Sultan berkewajiban membayar
ganti rugi sebesar sepuluh koin setiap hari seumur hidupnya, sebagai ganti rugi
atas kerugian yang begitu besar yang dideritanya. Tapi Sultan Muhammad al-Fatih
memutuskan memberikan duapuluh koin setiap harinya sebagai ungkapan gembiranya karena
telah selamat dari hukuman qishas potong tangan, dan penyesalan atas
perbuatannya.
Sungguh indah sejarah
Islam ketika berbicara tentang para khalifah dan sultan yang adil.
Sumber: Majalah Qiblati, Edisi 01 Tahun VIII, Hal.33-34, Oleh Syaikh Mamduh
Farhan al Buhairi
0 komentar:
Posting Komentar