إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
(Sebuah Catatan Atas Tertangkapnya Abu Bakar Ba’asyir, Bag. 1)
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang telah menganugerahkan nikmat yang sangat besar kepada kaum muslimin
di bulan Ramadhan tahun 1431 H yang penuh berkah ini, yaitu dengan
tertangkapnya seorang tokoh yang berpaham Teroris Khawarij, Abu Bakar Ba’asyir.
Ucapan terima kasih juga selayaknya
diberikan kepada Pemerintah RI, khususnya POLRI melalui Densus 88
–jazaahumullahu khairan- yang telah mengerahkan segenap tenaga untuk menangkap
tokoh yang satu ini dan mengumpulkan bukti-bukti keterlibatannya dalam
aksi-aksi Teroris Khawarij.
Namun ternyata, di tengah-tengah
kegembiraan kaum muslimin atas tertangkapnya tokoh kesesatan tersebut, ada
sekelompok kecil orang-orang yang mengatasnamakan umat Islam yang memprotes dan
menyatakan secara terbuka ketidaksetujuan mereka, bahkan mengecam pemerintah
dengan keras atas penangkapan tersebut. Diantaranya adalah sebuah forum yang
menamakan diri Forum Umat Islam (FUI), yang mengklaim beranggotakan ormas-ormas
Islam, diantaranya Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin, Jamaah
Anshorut Tauhid, Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI), Al Irsyad Al
Islamiyyah, Front Perjuangan Islam Solo (FPIS), Majelis Tafsir Al Quran (MTA),
Majelis Az Zikra, PP Daarut Tauhid, Hidayatullah, PII dan Wahdah Islamiyah yang
berpusat di Makassar.
Bahkan salah seorang kader ormas
yang disebut terakhir di atas, membuat tulisan dalam blog hitamnya yang berisi
tuduhan-tuduhan keji dengan judul ‘Bisnis Darah dan Nyawa Manusia dan
Penangkapan Ustadz Ba’asyir dan Kehancuran NKRI’. Sebelumnya juga, website
resmi mereka di cabang Jogya telah menurunkan sebuah artikel untuk memprotes
kebijakan pemerintah terhadap teroris dalam sebuah tulisan berjudul ‘Menjustifikasi
Kematian Teroris’. Tidak ketinggalan pula Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),
melalui juru bicaranya Muhammad Ismail Yusanto mengecam penangkapan Abu Bakar
Ba’asyir (ABB).
Seperti apakah pandangan Islam atas tertangkapnya
tokoh yang berpaham Teroris Khawarij? Bagaimana pula sikap Islam terhadap
orang-orang yang membelanya? Catatan ringan ini insya Allah mencoba
menghadirkan bukti-bukti ilmiah akan benarnya tindakan yang telah diambil oleh
POLRI dan sekaligus sebagai bantahan atas kekeliruan sekelompok kecil
orang-orang yang menyalahkan pemerintah atas penangkapan ABB.
Benarkah Abu Bakar Ba’asyir berpaham Teroris Khawarij?
Sebelum kita membuktikan benarnya
tindakan penangkapan atas ABB (semoga insya Allah bisa dilanjutkan dengan
penangkapan orang-orang yang semisal dengannya), tentunya kita harus
membuktikan dulu bahwa pemahaman dan ajaran yang diamalkan dan disebarkan oleh
ABB, kelompoknya dan jaringannya adalah ajaran sesat Teroris Khawarij.
Kami sebut sebagai ajaran Teroris,
karena dampak dari ajaran-ajaran mereka bermuara pada aksi-aksi terorisme.
Adapun penyebutan Khawarij, inilah sebenarnya akar kesesatan mereka. Khawarij
adalah satu kelompok sesat yang akarnya telah ada di zaman Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam dan akan terus berlanjut sampai akhir zaman, hingga generasi
terakhir mereka akan bergabung bersama Dajjal –wal’iyadzu billah-.
Akar Khawarij bermula dari protes
terang-terangan atas nama “amar ma’ruf nahi munkar” oleh seorang yang bernama
Dzul Khuwaisiroh terhadap kebijakan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
dalam distribusi harta kekayaan negara, bahkan dia menuduh Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam tidak berlaku adil, sampai dia berkata, “Wahai Rasulullah,
berlaku adillah”. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berkata, “Celaka
engkau, siapa lagi yang bisa berlaku adil jika aku tidak berlaku adil. Sungguh
engkau celaka dan merugi jika aku tidak berlaku adil.” (HR. Muslim, no.
2505)
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
juga bersabda:
يخرج من ضئضئ هؤلاء قومٌ
يتلون كتاب الله رطباً لا يجاوز حناجرهم يمرقون من الدين كما يمرق السهم من الرمية
“Sesungguhnya akan keluar dari orang ini satu kaum yang membaca
Kitabullah (Al-Qur’an) dengan mudah, namun tidak melampaui tenggorokan mereka.
Mereka keluar dari agama bagaikan anak panah yang meleset dari sasarannya.” (HR. Muslim, no. 2500)
Beliau juga bersabda:
ينشأ نشأ يقرءون القرآن لا
يجاوز تراقيهم كلما خرج قرن قطع كلما خرج قرن قطع حتى يخرج في أعراضهم الدجال
“Akan muncul sekelompok pemuda yang (pandai) membaca Al-Qur‘an
namun bacaan mereka tidak melewati kerongkongannya. Setiap kali muncul
sekelompok dari mereka pasti tertumpas”. Dalam satu riwayat Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma
berkata, “Saya mendengar Rasulullah mengulang kalimat, “Setiap kali muncul
sekelompok dari mereka pasti tertumpas” lebih dari 20 kali”. Hingga beliau
bersabda, “Sampai muncul Dajjal dalam barisan mereka.” (HR. Ibnu Majah,
dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’, no. 8171)
Hadits ini menunjukkan bahwa
eksistensi kelompok Khawarij akan tetap ada sampai akhir zaman. Berikut ini
kami akan menyebutkan insya Allah, bukti-bukti ajaran ABB dan jaringannya
adalah ajaran Teroris Khawarij:
Pertama: Mengkafirkan kaum muslimin, khususnya pemerintah muslim
Tidak terhitung lagi pernyataan Abu
Bakar Ba’asyir dan kelompoknya yang menganggap kafir pemerintah muslim, bahkan
sebuah web yang dibuat khusus untuk free ABB dengan tegas mengutip pernyataan
jaringan mereka bahwa pemerintah Indonesia adalah pemerintah murtad. Demikian
pula dalam khutbah Idul Adha 1430 H, ABB mengkafirkan para ulama dan
penguasa-penguasa Arab dan menjuluki mereka sebagai thogut dan antek-antek
zionis.
Inilah ciri Khawarij yang paling
menonjol, yaitu pemahaman takfiri, mengkafirkan kaum muslimin yang pada zaman
modern ini dihidupkan kembali oleh Sayyid Qutb, tokoh Ikhwanul Muslimin Mesir,
yang buku-bukunya banyak dikonsumsi oleh gerakan-gerakan Islam di tanah air.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah menjelaskan diantara sifat Khawarij adalah, “Mengkafirkan
orang-orang yang menyelisihi mereka.” (Lihat Majmu’ Al-Fatawa,
3/355)
Padahal Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam telah mengingatkan bahaya gegabah dan terburu-buru dalam
mengkafirkan seorang muslim, beliau bersabda:
أيما امرئٍ قال لأخيه كافر
فقد باء بها أحدهما إن كان كما قال وإلا رجعت عليه
“Siapa saja berkata kepada saudaranya, ‘Wahai kafir!’ maka salah
satu dari keduanya menjadi kafir. Jika yang dipanggil benar-benar kafir, jika
tidak maka kembali kepada yang mengatakannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari
Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma)
Adapun bimbingan ulama Ahlus Sunnah dalam
menghukumi seseorang atau sebuah pemerintahan dengan kekafiran atau murtad,
adalah hak para ulama yang mendalam ilmunya, bukan anak-anak muda hasil binaan
ABB, Abu Jibril, Aman Abdurrahman dan yang semisal dengan mereka, yang hanya
bermodal semangat tanpa ilmu.
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Shalih
Al-Fauzan hafizhahullah berkata:
“Menghukumi seseorang telah murtad atau keluar dari agama Islam
adalah kewenangan para ulama yang mendalam ilmunya, mereka adalah para qadhi di
mahkamah syari’at dan para ahli fatwa yang diakui keilmuannya. Sebagaimana pula
dalam permasalahan lainnya, berbicara dalam masalah seperti ini bukanlah hak
setiap orang, bukan pula hak para penuntut ilmu atau yang menisbatkan diri
kepada ilmu agama padahal pemahamannya tentang ilmu agama masih sangat
terbatas.
Bukanlah hak mereka untuk menghukumi seseorang telah murtad, karena
perbuatan tersebut akan melahirkan kerusakan. Bisa jadi mereka memvonis
seseorang telah murtad padahal dia tidak murtad. Sedang mengkafirkan seorang
muslim yang tidak melakukan salah satu pembatal keislaman sangat berbahaya.
Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya, “wahai kafir” atau “wahai
fasik”, padahal dia tidak seperti itu maka perkataan itu kembali kepada orang
yang mengucapkannya. Olehnya, yang berhak memvonis murtad hanyalah para qadhi
syar’i dan ahli fatwa yang diakui keilmuannya. Adapun yang merealisasikan
hukumnya adalah pemerintah kaum muslimin, selain itu hanya akan melahirkan kekacauan.” (Lihat Min Fatawa As-Siyasah
Asy-Syar’iyyah)
Pada kesempatan lain, ketika
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Shalih Al-Fauzan hafizhahullah ditanya, “Apakah masih
ada di zaman ini orang yang mengusung pemikiran Khawarij?” Baliau menjawab,
“Subhanallah, mengkafirkan kaum muslimin, bukankah itu perbuatan Khawarij?!
Bahkan lebih parah lagi, membunuh dan memusuhi kaum muslimin. Ini adalah mazhab
Khawarij, yang terdiri dari tiga bagian. Pertama: Mengkafirkan kaum muslimin.
Kedua: Keluar dari ketaatan kepada penguasa. Ketiga: Menumpahkan darah kaum
muslimin. Ini adalah mazhab Khawarij, meskipun seseorang hanya meyakini dalam
hati tanpa mengatakan atau melakukan aksi apa pun, dia telah menjadi seorang
Khawarij dalam aqidah dan pemikirannya.” (Muhadharah: Ya Ahlal Haramain wa
‘Askaral Islam, Asy-Syaikh Sulthon Al-‘Ied hafizhahullah, hal. 6)
Kedua: Memahami Al-Qur’an dengan pemahaman Khawarij, bukan
pemahaman Ahlus Sunnah
Inilah sebab utama penyimpangan Abu
Bakar Ba’asyir dan kelompoknya yang kemudian melahirkan pemahaman takfiri dan
sejumlah kesesatan lainnya. Diantaranya kesalahan fatal mereka dalam
menafsirkan firman Allah Ta’ala:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah : 44)
Dengan modal pemahaman yang salah
terhadap ayat inilah mereka mengkafirkan kaum muslimin, Al-Imam Al-Mufassir
Al-Jasshash rahimahullah berkata:
“Khawarij mentakwikan ayat ini untuk mengkafirkan orang yang
meninggalkan hukum Allah meskipun dia tidak mengingkari (hukum Allah
tersebut).”
(Lihat Ahkamul Qur’an, 2/534)
Adapun pemahaman Ahlus Sunnah, yaitu
sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang dibina oleh beliau dan
para ulama Ahlus Sunnah setelahnya adalah sebagai berikut:
Sahabat yang mulia Abdullah bin
Abbas radhiyallahu’anhuma menjelaskan tafsir ayat di atas adalah, “Barangsiapa
yang mengingkari hukum Allah maka dia kafir, adapun yang masih mengakuinya
namun tidak berhukum dengannya maka dia zalim lagi fasik.” (Dikeluarkan
oleh Ath-Thobari dalam Jami’ul Bayan (6/166), dihasankan Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Ash-Shahihah [6/114])
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
berkata, “Bukan kekafiran yang mengeluarkan pelakunya dari Islam (yakni
kufur asghar).” (Lihat Suaalat Ibni Hani’, 2/192)
Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah
berkata, “Kesimpulannya, barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah
disertai pengingkaran terhadapnya, padahal dia tahu bahwa itu adalah hukum
Allah, seperti yang dilakukan oleh Yahudi, maka dia kafir. Adapun orang yang
tidak berhukum dengan hukum Allah karena menuruti hawa nafsu tanpa disertai
pengingkaran terhadapnya, maka dia zalim lagi fasik.” (Lihat Zadul
Masir, 2/366)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Perkataan Salaf bahwa, “Bisa jadi dalam diri seseorang terdapat
keimanan dan kemunafikan”, sama dengan perkataan mereka, “Pada dirinya ada
keimanan dan kekafiran”, maka yang dimaksudkan adalah bukan kekafiran yang
menyebabkan murtad, sebagaimana perkataan Ibnu Abbas dan murid-murid beliau
dalam menjelaskan firman Allah, “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa
yang Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang yang kafir” (Al-Maidah:
44), maksud ayat ini bukanlah kekafiran yang menyebabkan murtad. Pemahaman
terhadap ayat ini kemudian diikuti oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal dan para ulama
Ahlus Sunnah lainnya.” (Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 7/312)
Al-‘Allamah Ibnul Qoyyim rahimahullah
berkata, “Yang benar dalam permasalahan ini adalah, sesungguhnya berhukum
dengan selain hukum Allah mencakup dua bentuk kekafiran, yaitu kufur asghar
(kecil) dan kufur akbar (besar), maka hukumnya tergantung keadaan pelakunya.
Jika dia meyakini wajibnya berhukum dengan hukum Allah, hanya saja dia
berpaling karena mempertututkan nafsu kemaksiatannya dengan tetap meyakini
bahwa dia telah salah hingga berhak dihukum, maka yang seperti ini kufur asghar
(tidak sampai murtad). Adapun jika dia meyakini bahwa tidak wajib berhukum
dengan syari’at Allah, atau boleh memilih antara hukum syari’at dan hukum
buatan manusia, padahal dia yakin bahwa itu memang hukum Allah, maka yang
seperti ini kufur akbar (menyebabkan murtad). Akan tetapi jika dia jahil dan
tersalah karena kejahilannya itu maka hukumnya sama dengan hukum kepada orang
yang jahil (yakni dimaafkan dan diajarkan).” (Lihat Madarijus Salikin,
1/336)
Inilah sesungguhnya pemahaman ulama
Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap ayat di atas. Maka tidak boleh gegabah dan
terburu-buru memvonis kafir penguasa muslim karena telah melakukan satu bentuk
kekafiran dan tetap wajib bagi setiap muslim untuk menaati penguasa dalam
perkara yang ma’ruf meskipun penguasa tersebut zalim dan fasik.
Ketiga: Memuji dan memberi semangat kepada pelaku aksi Teroris
Khawarij
Setiap kali polisi berhasil membunuh
atau menangkap teroris, ABB pun berkomentar bahwa mereka itu adalah mujahid
bukan teroris. Tidak diragukan lagi, pujian-pujian ABB dan kelompoknya kepada
para pelaku terorisme sebagai “mujahid” merupakan pembakar semangat bagi
anak-anak muda yang miskin ilmu. Hal ini mengingatkan kita kepada salah satu
sekte Khawarij yang bernama Al-Qa’adiyah, sebagaimana ABB yang mungkin sudah
uzur untuk turun langsung “berjihad” namun masih menjadi motivator ulung untuk
membakar semangat “mujahid” menjadi “pengantin surga”.
Demikian pula Al-Qa’adiyah, mereka
tidak turun langsung berperang melawan pemerintah kaum muslimin, namun kerjaan
mereka adalah memprovokasi kaum muslimin untuk memberontak.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
berkata, “Al-Qa’adiyah memprovokasi pemberontakan kepada para penguasa,
meskipun mereka tidak terlibat langsung.” (Lihat Hadyus Sari, oleh
Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah-, (hal. 459), sebagaimana dalam Syarru
Qatla tahta Adimis Sama’, [hal.20])
Bahkan sekte Khawarij inilah
sebenarnya yang paling berbahaya, karena dengan sebab ceramah-ceramah mereka
kemudian orang-orang terprovokasi untuk menentang penguasa dan melakukan
aksi-aksi terosisme.
Abdullah bin Muhammad Adh-Dha’if rahimahullah
berkata: “Kelompok Al-Qa’adiyah ini merupakan pecahan khawarij yang paling
jelek!” (Riwayat Abu Dawud dalam Masaa’il Al-Imam Ahmad, [hal.271],
sebagaimana dalam Syarru Qatla tahta Adimis Sama’, [hal.21])
Keempat: Memberontak kepada pemerintah muslim, baik dengan
demonstrasi, menyebarkan aib penguasa melalui mimbar-mimbar terbuka ataupun
pernyataan di media masa, hingga membentuk organisasi yang menyerupai negara
dalam negara
ABB dalam ceramah-ceramahnya selalu
mengritik pemerintah Indonesia secara terang-terangan, demikian pula kelompok
dan jaringannya tidak segan-segan untuk melakukan aksi-aksi demo melawan
pemerintah. Padahal mengingkari kemungkaran penguasa secara terang-terangan di
depan khalayak dengan demonstrasi dan orasi di mimbar-mimbar terbuka atau
menulis artikel sebagai teguran kepada pemerintah di media massa adalah bentuk
pemberontakan kepada penguasa yang dicontohkan oleh kaum Khawarij. Adapun
tuntunan Islam dalam menasihati penguasa adalah dengan tidak menampakkannya
kepada khalayak ramai.
Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul hafizhahullah
berkata, “Nasihat kepada penguasa secara rahasia merupakan salah satu pokok
dari pokok-pokok Manhaj Salaf yang diselisihi oleh ahlul ahwa’ wal bida’,
seperti Khawarij.”
Beliau (Asy-Syaikh Ahmad bin Umar
Bazmul –hafizhahullah-) juga menjelaskan bahwa menyebarkan aib-aib
penguasa merupakan bentuk pertolongan kepada Khawarij dalam membunuh penguasa
muslim, sehingga jelas bahwa pemberontakan itu tidak hanya dengan senjata, tapi
juga dengan lisan.
Beliau berkata: “Hal tersebut
dilarang karena bisa mengantarkan kepada perbuatan menumpahkan darah dan
pembunuhan, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dalam At-Tabaqot, dari
Abdullah bin Ukaim al-Juhani, bahwa beliau berkata:
“Aku tidak akan menolong pembunuhan seorang Khalifah selamanya
setelah Utsman”, maka dikatakan kepadanya, “Wahai Abu Ma’bad, apakah engkau
telah membantu (Khawarij) dalam membunuh Utsman?” Maka beliau berkata, “Sungguh
aku menganggap perbuatan membicarakan keburukan-keburukan beliau sebagai bentuk
pertolongan kepada (Khawarij) dalam membunuhnya”.
Maka camkanlah baik-baik atsar ini, tatkala beliau menganggap
pembicaraan tentang kejelekan-kejelekan penguasa termasuk perkara yang membantu
pembunuhannya.”
Kemudian beliau (Asy-Syaikh Ahmad
bin Umar Bazmul hafizhahullah) memberikan komentar pada catatan kaki, “Atsar
ini berfaedah pelajaran bahwa pemberontakan itu dapat terjadi dengan senjata
(pedang), maupun dengan ucapan. Berbeda dengan pendapat (yang salah) bahwa
pemberontakan itu tidak terjadi kecuali dengan senjata. Maka camkanlah ini
baik-baik dan ingatlah selalu.”
Beliau juga menukil penegasan
Asy-Syaikh Bin Baz –rahimahullah-, “Bukan termasuk manhaj Salaf
menelanjangi aib-aib penguasa dan membicarakannya di atas mimbar-mimbar, karena
hal tersebut mengantarkan kepada kudeta dan ketidaktaatan masyarakat dalam hal
yang ma’ruf kepada penguasa. Lebih dari itu, mengantarkan kepada pemberontakan
yang hanya membahayakan dan tidak bermanfaat.” (Lihat As-Sunnah fii maa
Yata’allaqu bi Waliyyil Ummah, oleh Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah-)
Terlebih lagi membentuk organisasi
yang menyerupai negara dalam negara, dimana para anggota menyebut pemimpinnya
sebagai Amir, membuat aturan-aturan khusus yang harus ditaati dan anggotanya
pun berjanji atau melakukan bai’at (sumpah setia) untuk mendengar dan taat kepada
pemimpin tersebut sebagaimana layaknya ketaatan kepada seorang pemimpin negara.
Lebih parah dari itu, apabila ada anggotanya keluar atau memisahkan diri dari
kelompoknya maka mereka mengatakan kepadanya, “Anda telah keluar dari jama’ah”.
Bahkan tidak jarang disertai dengan pengucilan dan pengkafiran anggota yang
keluar dari jama’ah mereka.
Hal ini terjadi karena kebodohan
mereka dalam memahami makna jama’ah yang ada dalam dalil-dalil syar’i. Mereka
mengira bahwa jama’ah yang dimaksud adalah asal ngumpul lalu mengangkat seorang
amir. Padahal jama’ah yang dimaksudkan adalah pemerintah kaum muslimin yang
memiliki kekuatan dan wilayah kekuasaan. Oleh karena itu, langkah yang mereka
tempuh dengan membentuk jama’ah dalam jama’ah adalah bentuk pemberontakan
kepada pemimpin kaum muslimin.
Kelima: Menyerukan slogan-slogan Khawarij, yakni perkataan yang
benar namun yang diinginkan dengannya adalah kebatilan
ABB dan kelompoknya di mana-mana
selalu meneriakkan jihad dan penegakkan syari’at Islam, meskipun hakikatnya
mereka tidak menerapkan syari’at itu dalam diri dan keluarga mereka. Seruan
jihad dan penegakkan syari’at Islam adalah seruan yang mulia, namun yang mereka
inginkan di balik seruan yang mulia tersebut sebenarnya adalah kebatilan. Sebab
jihad mereka bukanlah jihad yang syar’i.
Demikian pula penegakkan syari’at
yang mereka serukan adalah syari’at yang sesuai manhaj Khawarij, bukan manhaj
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. Hal ini
mengingatkan kita kepada Khawarij generasi awal yang diperangi oleh Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu. Dimana Khawarij generasi
awal pun meneriakkan slogan yang sama, yakni penegakkan syari’at Islam, seperti
yang dituturkan oleh Ubaidullah bin Abi Rafi’ radhiyallahu’anhu berikut
ini:
أن الحرورية لما خرجت على علي
بن أبي طالب وهو معه فقالوا لا حكم إلا لله قال علي كلمة حق أريد بها باطلٌ إن
رسول الله {صلى الله عليه وسلم} وصف لنا ناساً إني لأعرف صفتهم في هؤلاء يقولون
الحق بألسنتهم لا يجاوز هذا منهم وأشار إلى حلقه
“Bahwasannya kaum Khawarij Haruriyah ketika memberontak kepada
pemerintahan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu mereka mengatakan, “Tidak ada
hukum kecuali milik Allah”. Maka Ali berkata, “Perkataan yang benar, namun yang
diinginkan dengannya adalah kebatilan. Sesungguhnya Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam pernah menjelaskan kepadaku tentang ciri-ciri
sekelompok orang yang telah aku tahu sekarang bahwa ciri-ciri tersebut ada pada
mereka (Khawarij), yaitu mereka mengucapkan perkataan yang benar hanya dengan
lisan-lisan mereka, namun tidak melewati kerongkongan mereka (yakni mereka
tidak memahaminya).” (HR. Muslim, no. 2517)
Namun yang sangat mengherankan,
ketika mereka butuh dengan hukum buatan manusia yang jelas-jelas bertentangan
dengan hukum Allah Ta’ala, mereka pun tak segan-segan menggunakan jasa para
pengacara yang setiap harinya berkecimpung dalam hukum-hukum hasil kerajinan
tangan manusia dan peninggalan penjajah Belanda yang mereka kecam. Ini semua
menunjukkan kebodohan mereka terhadap syari’at Allah Ta’ala.
Oleh karena itu kami nasihatkan
kepada kaum muslimin, khususnya para pemuda, janganlah mudah tertipu dengan
seruan-seruan jihad dan penegakkan syari’at yang selalu mereka
dengung-dengungkan. Karena hakikatnya, mereka tidak memahami jihad dan
penegakkan syari’at seperti yang dipahami Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam dan para sahabat beliau.
Demikian pula, jangan engkau tertipu
dengan penampilan yang islami, seperti memelihara jenggot, menggunakan pakaian
tanpa menutupi mata kaki dan istri-istri mereka menggunakan jilbab syar’i dan
menggunakan cadar. Tidak diragukan lagi, ini semua merupakan bagian dari
syari’at Islam.
Akan tetapi semua itu tidaklah
berarti sama sekali bagi seseorang jika aqidahnya rusak, karena mengikuti
aqidah sesat Khawarij. Inilah keadaan kaum Khawarij dahulu, sangat nampak
keshalihan dan kuatnya ibadah mereka, namun sayang aqidah mereka menyelisihi
aqidah Ahlus Sunnah. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah
memperingatkan:
يخرج قومٌ من أمتي يقرءون
القرآن ليس قراءتكم إلى قراءتهم بشيء ولا صلاتكم إلى صلاتهم بشيء ولا صيامكم إلى
صيامهم بشيء
“Akan keluar satu kaum dari umatku yang membaca Al-Qur’an, dimana
bacaan kalian tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan bacaan mereka,
demikian pula sholat kalian tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan
sholat mereka, juga puasa kalian tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan
puasa mereka.”
(HR. Muslim, no. 2516)
Perhatikanlah bagaimana hebatnya
ibadah mereka, namun bersamaan dengan itu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
menyatakan mereka adalah anjing-anjing neraka, sebagaimana dalam hadits berikut
ini:
كلاب النار شر قتلى تحت أديم
السماء خير قتلى من قتلوه
“Mereka adalah anjing-anjing neraka; seburuk-buruknya makhluk yang
terbunuh di bawah kolong langit, sedang sebaik-baiknya makhluk yang terbunuh
adalah yang dibunuh oleh mereka.” (HR. At-Tirmidzi, [no.3000], dari Abu Umamah Al-Bahili -radhiyallahu’anhu-,
dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Misykah, [no.3554])
Maka jelaslah, mengikuti aqidah dan
pemahaman generasi As-Salafus Shalih, yaitu generasi Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat beliau, adalah perkara yang
sangat penting dalam kehidupan seorang hamba, agar selamat dari jeratan-jeratan
kelompok sesat dan selamat dari adzab Allah Tabaraka wa Ta’ala di negeri
akhirat.
Wallahul Musta’an.
Bersambung insya Allah Ta’ala.
[Alhamdulillah tulisan bagian pertama ini selesai menjelang buka
puasa 13 Ramadhan 1431 H di Maktabah Asy-Syaikh Shalih bin Abdullah Al-Ghusn hafizhahullah
di kota Riyadh, KSA. Kami ucapkan jazaakumullahu khairan kepada Asy-Syaikh
Shalih dan kepada Al-Akh Abu Syakir Imam Syuhada Iskandar, murid Asy-Syaikh
Shalih yang menjaga maktabah beliau. Tulisan ini sekaligus sebagai realisasi
taubat kami dari pemahaman Khawarij yang dulu sempat kami yakini ketika
bergabung dengan salah satu kelompok yang mengaku Ahlus Sunnah namun terjangkit
virus Khawarij di kota Makassar, Indonesia].
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar