Pages

Sabtu, 01 Desember 2012

Perang terhadap Teroris Khowarij bukan Perang terhadap Islam



إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة فنار



(Sebuah Catatan Atas Tertangkapnya Abu Bakar Ba’asyir, Bag. 1)

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah menganugerahkan nikmat yang sangat besar kepada kaum muslimin di bulan Ramadhan tahun 1431 H yang penuh berkah ini, yaitu dengan tertangkapnya seorang tokoh yang berpaham Teroris Khawarij, Abu Bakar Ba’asyir.

Ucapan terima kasih juga selayaknya diberikan kepada Pemerintah RI, khususnya POLRI melalui Densus 88 –jazaahumullahu khairan- yang telah mengerahkan segenap tenaga untuk menangkap tokoh yang satu ini dan mengumpulkan bukti-bukti keterlibatannya dalam aksi-aksi Teroris Khawarij.

Namun ternyata, di tengah-tengah kegembiraan kaum muslimin atas tertangkapnya tokoh kesesatan tersebut, ada sekelompok kecil orang-orang yang mengatasnamakan umat Islam yang memprotes dan menyatakan secara terbuka ketidaksetujuan mereka, bahkan mengecam pemerintah dengan keras atas penangkapan tersebut. Diantaranya adalah sebuah forum yang menamakan diri Forum Umat Islam (FUI), yang mengklaim beranggotakan ormas-ormas Islam, diantaranya Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin, Jamaah Anshorut Tauhid, Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI), Al Irsyad Al Islamiyyah, Front Perjuangan Islam Solo (FPIS), Majelis Tafsir Al Quran (MTA), Majelis Az Zikra, PP Daarut Tauhid, Hidayatullah, PII dan Wahdah Islamiyah yang berpusat di Makassar.

Bahkan salah seorang kader ormas yang disebut terakhir di atas, membuat tulisan dalam blog hitamnya yang berisi tuduhan-tuduhan keji dengan judul ‘Bisnis Darah dan Nyawa Manusia dan Penangkapan Ustadz Ba’asyir dan Kehancuran NKRI’. Sebelumnya juga, website resmi mereka di cabang Jogya telah menurunkan sebuah artikel untuk memprotes kebijakan pemerintah terhadap teroris dalam sebuah tulisan berjudul ‘Menjustifikasi Kematian Teroris’. Tidak ketinggalan pula Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), melalui juru bicaranya Muhammad Ismail Yusanto mengecam penangkapan Abu Bakar Ba’asyir (ABB).

Seperti apakah pandangan Islam atas tertangkapnya tokoh yang berpaham Teroris Khawarij? Bagaimana pula sikap Islam terhadap orang-orang yang membelanya? Catatan ringan ini insya Allah mencoba menghadirkan bukti-bukti ilmiah akan benarnya tindakan yang telah diambil oleh POLRI dan sekaligus sebagai bantahan atas kekeliruan sekelompok kecil orang-orang yang menyalahkan pemerintah atas penangkapan ABB.



Benarkah Abu Bakar Ba’asyir berpaham Teroris Khawarij?

Sebelum kita membuktikan benarnya tindakan penangkapan atas ABB (semoga insya Allah bisa dilanjutkan dengan penangkapan orang-orang yang semisal dengannya), tentunya kita harus membuktikan dulu bahwa pemahaman dan ajaran yang diamalkan dan disebarkan oleh ABB, kelompoknya dan jaringannya adalah ajaran sesat Teroris Khawarij.

Kami sebut sebagai ajaran Teroris, karena dampak dari ajaran-ajaran mereka bermuara pada aksi-aksi terorisme. Adapun penyebutan Khawarij, inilah sebenarnya akar kesesatan mereka. Khawarij adalah satu kelompok sesat yang akarnya telah ada di zaman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan akan terus berlanjut sampai akhir zaman, hingga generasi terakhir mereka akan bergabung bersama Dajjal –wal’iyadzu billah-.

Akar Khawarij bermula dari protes terang-terangan atas nama “amar ma’ruf nahi munkar” oleh seorang yang bernama Dzul Khuwaisiroh terhadap kebijakan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam distribusi harta kekayaan negara, bahkan dia menuduh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak berlaku adil, sampai dia berkata, “Wahai Rasulullah, berlaku adillah”. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berkata, “Celaka engkau, siapa lagi yang bisa berlaku adil jika aku tidak berlaku adil. Sungguh engkau celaka dan merugi jika aku tidak berlaku adil.” (HR. Muslim, no. 2505)

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda:

يخرج من ضئضئ هؤلاء قومٌ يتلون كتاب الله رطباً لا يجاوز حناجرهم يمرقون من الدين كما يمرق السهم من الرمية

“Sesungguhnya akan keluar dari orang ini satu kaum yang membaca Kitabullah (Al-Qur’an) dengan mudah, namun tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama bagaikan anak panah yang meleset dari sasarannya.” (HR. Muslim, no. 2500)

Beliau juga bersabda:

ينشأ نشأ يقرءون القرآن لا يجاوز تراقيهم كلما خرج قرن قطع كلما خرج قرن قطع حتى يخرج في أعراضهم الدجال

“Akan muncul sekelompok pemuda yang (pandai) membaca Al-Qur‘an namun bacaan mereka tidak melewati kerongkongannya. Setiap kali muncul sekelompok dari mereka pasti tertumpas”. Dalam satu riwayat Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma berkata, “Saya mendengar Rasulullah mengulang kalimat, “Setiap kali muncul sekelompok dari mereka pasti tertumpas” lebih dari 20 kali”. Hingga beliau bersabda, “Sampai muncul Dajjal dalam barisan mereka.” (HR. Ibnu Majah, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’, no. 8171)

Hadits ini menunjukkan bahwa eksistensi kelompok Khawarij akan tetap ada sampai akhir zaman. Berikut ini kami akan menyebutkan insya Allah, bukti-bukti ajaran ABB dan jaringannya adalah ajaran Teroris Khawarij:


Pertama: Mengkafirkan kaum muslimin, khususnya pemerintah muslim

Tidak terhitung lagi pernyataan Abu Bakar Ba’asyir dan kelompoknya yang menganggap kafir pemerintah muslim, bahkan sebuah web yang dibuat khusus untuk free ABB dengan tegas mengutip pernyataan jaringan mereka bahwa pemerintah Indonesia adalah pemerintah murtad. Demikian pula dalam khutbah Idul Adha 1430 H, ABB mengkafirkan para ulama dan penguasa-penguasa Arab dan menjuluki mereka sebagai thogut dan antek-antek zionis.

Inilah ciri Khawarij yang paling menonjol, yaitu pemahaman takfiri, mengkafirkan kaum muslimin yang pada zaman modern ini dihidupkan kembali oleh Sayyid Qutb, tokoh Ikhwanul Muslimin Mesir, yang buku-bukunya banyak dikonsumsi oleh gerakan-gerakan Islam di tanah air. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan diantara sifat Khawarij adalah, “Mengkafirkan orang-orang yang menyelisihi mereka.” (Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 3/355)

Padahal Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah mengingatkan bahaya gegabah dan terburu-buru dalam mengkafirkan seorang muslim, beliau bersabda:

أيما امرئٍ قال لأخيه كافر فقد باء بها أحدهما إن كان كما قال وإلا رجعت عليه

“Siapa saja berkata kepada saudaranya, ‘Wahai kafir!’ maka salah satu dari keduanya menjadi kafir. Jika yang dipanggil benar-benar kafir, jika tidak maka kembali kepada yang mengatakannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma)

Adapun bimbingan ulama Ahlus Sunnah dalam menghukumi seseorang atau sebuah pemerintahan dengan kekafiran atau murtad, adalah hak para ulama yang mendalam ilmunya, bukan anak-anak muda hasil binaan ABB, Abu Jibril, Aman Abdurrahman dan yang semisal dengan mereka, yang hanya bermodal semangat tanpa ilmu. 

Asy-Syaikh Al-‘Allamah Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata:
“Menghukumi seseorang telah murtad atau keluar dari agama Islam adalah kewenangan para ulama yang mendalam ilmunya, mereka adalah para qadhi di mahkamah syari’at dan para ahli fatwa yang diakui keilmuannya. Sebagaimana pula dalam permasalahan lainnya, berbicara dalam masalah seperti ini bukanlah hak setiap orang, bukan pula hak para penuntut ilmu atau yang menisbatkan diri kepada ilmu agama padahal pemahamannya tentang ilmu agama masih sangat terbatas.
Bukanlah hak mereka untuk menghukumi seseorang telah murtad, karena perbuatan tersebut akan melahirkan kerusakan. Bisa jadi mereka memvonis seseorang telah murtad padahal dia tidak murtad. Sedang mengkafirkan seorang muslim yang tidak melakukan salah satu pembatal keislaman sangat berbahaya. Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya, “wahai kafir” atau “wahai fasik”, padahal dia tidak seperti itu maka perkataan itu kembali kepada orang yang mengucapkannya. Olehnya, yang berhak memvonis murtad hanyalah para qadhi syar’i dan ahli fatwa yang diakui keilmuannya. Adapun yang merealisasikan hukumnya adalah pemerintah kaum muslimin, selain itu hanya akan melahirkan kekacauan.” (Lihat Min Fatawa As-Siyasah Asy-Syar’iyyah)

Pada kesempatan lain, ketika Asy-Syaikh Al-‘Allamah Shalih Al-Fauzan hafizhahullah ditanya, “Apakah masih ada di zaman ini orang yang mengusung pemikiran Khawarij?” Baliau menjawab, “Subhanallah, mengkafirkan kaum muslimin, bukankah itu perbuatan Khawarij?! Bahkan lebih parah lagi, membunuh dan memusuhi kaum muslimin. Ini adalah mazhab Khawarij, yang terdiri dari tiga bagian. Pertama: Mengkafirkan kaum muslimin. Kedua: Keluar dari ketaatan kepada penguasa. Ketiga: Menumpahkan darah kaum muslimin. Ini adalah mazhab Khawarij, meskipun seseorang hanya meyakini dalam hati tanpa mengatakan atau melakukan aksi apa pun, dia telah menjadi seorang Khawarij dalam aqidah dan pemikirannya.” (Muhadharah: Ya Ahlal Haramain wa ‘Askaral Islam, Asy-Syaikh Sulthon Al-‘Ied hafizhahullah, hal. 6)


Kedua: Memahami Al-Qur’an dengan pemahaman Khawarij, bukan pemahaman Ahlus Sunnah

Inilah sebab utama penyimpangan Abu Bakar Ba’asyir dan kelompoknya yang kemudian melahirkan pemahaman takfiri dan sejumlah kesesatan lainnya. Diantaranya kesalahan fatal mereka dalam menafsirkan firman Allah Ta’ala:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah : 44)

Dengan modal pemahaman yang salah terhadap ayat inilah mereka mengkafirkan kaum muslimin, Al-Imam Al-Mufassir Al-Jasshash rahimahullah berkata:
“Khawarij mentakwikan ayat ini untuk mengkafirkan orang yang meninggalkan hukum Allah meskipun dia tidak mengingkari (hukum Allah tersebut).” (Lihat Ahkamul Qur’an, 2/534)

Adapun pemahaman Ahlus Sunnah, yaitu sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang dibina oleh beliau dan para ulama Ahlus Sunnah setelahnya adalah sebagai berikut:

Sahabat yang mulia Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma menjelaskan tafsir ayat di atas adalah, “Barangsiapa yang mengingkari hukum Allah maka dia kafir, adapun yang masih mengakuinya namun tidak berhukum dengannya maka dia zalim lagi fasik.” (Dikeluarkan oleh Ath-Thobari dalam Jami’ul Bayan (6/166), dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah [6/114])

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Bukan kekafiran yang mengeluarkan pelakunya dari Islam (yakni kufur asghar).” (Lihat Suaalat Ibni Hani’, 2/192)

Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Kesimpulannya, barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah disertai pengingkaran terhadapnya, padahal dia tahu bahwa itu adalah hukum Allah, seperti yang dilakukan oleh Yahudi, maka dia kafir. Adapun orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah karena menuruti hawa nafsu tanpa disertai pengingkaran terhadapnya, maka dia zalim lagi fasik.” (Lihat Zadul Masir, 2/366)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Perkataan Salaf bahwa, “Bisa jadi dalam diri seseorang terdapat keimanan dan kemunafikan”, sama dengan perkataan mereka, “Pada dirinya ada keimanan dan kekafiran”, maka yang dimaksudkan adalah bukan kekafiran yang menyebabkan murtad, sebagaimana perkataan Ibnu Abbas dan murid-murid beliau dalam menjelaskan firman Allah, “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang yang kafir” (Al-Maidah: 44), maksud ayat ini bukanlah kekafiran yang menyebabkan murtad. Pemahaman terhadap ayat ini kemudian diikuti oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal dan para ulama Ahlus Sunnah lainnya.” (Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 7/312)

Al-‘Allamah Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Yang benar dalam permasalahan ini adalah, sesungguhnya berhukum dengan selain hukum Allah mencakup dua bentuk kekafiran, yaitu kufur asghar (kecil) dan kufur akbar (besar), maka hukumnya tergantung keadaan pelakunya. Jika dia meyakini wajibnya berhukum dengan hukum Allah, hanya saja dia berpaling karena mempertututkan nafsu kemaksiatannya dengan tetap meyakini bahwa dia telah salah hingga berhak dihukum, maka yang seperti ini kufur asghar (tidak sampai murtad). Adapun jika dia meyakini bahwa tidak wajib berhukum dengan syari’at Allah, atau boleh memilih antara hukum syari’at dan hukum buatan manusia, padahal dia yakin bahwa itu memang hukum Allah, maka yang seperti ini kufur akbar (menyebabkan murtad). Akan tetapi jika dia jahil dan tersalah karena kejahilannya itu maka hukumnya sama dengan hukum kepada orang yang jahil (yakni dimaafkan dan diajarkan).” (Lihat Madarijus Salikin, 1/336)

Inilah sesungguhnya pemahaman ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap ayat di atas. Maka tidak boleh gegabah dan terburu-buru memvonis kafir penguasa muslim karena telah melakukan satu bentuk kekafiran dan tetap wajib bagi setiap muslim untuk menaati penguasa dalam perkara yang ma’ruf meskipun penguasa tersebut zalim dan fasik. 


Ketiga: Memuji dan memberi semangat kepada pelaku aksi Teroris Khawarij

Setiap kali polisi berhasil membunuh atau menangkap teroris, ABB pun berkomentar bahwa mereka itu adalah mujahid bukan teroris. Tidak diragukan lagi, pujian-pujian ABB dan kelompoknya kepada para pelaku terorisme sebagai “mujahid” merupakan pembakar semangat bagi anak-anak muda yang miskin ilmu. Hal ini mengingatkan kita kepada salah satu sekte Khawarij yang bernama Al-Qa’adiyah, sebagaimana ABB yang mungkin sudah uzur untuk turun langsung “berjihad” namun masih menjadi motivator ulung untuk membakar semangat “mujahid” menjadi “pengantin surga”.

Demikian pula Al-Qa’adiyah, mereka tidak turun langsung berperang melawan pemerintah kaum muslimin, namun kerjaan mereka adalah memprovokasi kaum muslimin untuk memberontak.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Al-Qa’adiyah memprovokasi pemberontakan kepada para penguasa, meskipun mereka tidak terlibat langsung.” (Lihat Hadyus Sari, oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah-, (hal. 459), sebagaimana dalam Syarru Qatla tahta Adimis Sama’, [hal.20])

Bahkan sekte Khawarij inilah sebenarnya yang paling berbahaya, karena dengan sebab ceramah-ceramah mereka kemudian orang-orang terprovokasi untuk menentang penguasa dan melakukan aksi-aksi terosisme. 

Abdullah bin Muhammad Adh-Dha’if rahimahullah berkata: “Kelompok Al-Qa’adiyah ini merupakan pecahan khawarij yang paling jelek!” (Riwayat Abu Dawud dalam Masaa’il Al-Imam Ahmad, [hal.271], sebagaimana dalam Syarru Qatla tahta Adimis Sama’, [hal.21])


Keempat: Memberontak kepada pemerintah muslim, baik dengan demonstrasi, menyebarkan aib penguasa melalui mimbar-mimbar terbuka ataupun pernyataan di media masa, hingga membentuk organisasi yang menyerupai negara dalam negara

ABB dalam ceramah-ceramahnya selalu mengritik pemerintah Indonesia secara terang-terangan, demikian pula kelompok dan jaringannya tidak segan-segan untuk melakukan aksi-aksi demo melawan pemerintah. Padahal mengingkari kemungkaran penguasa secara terang-terangan di depan khalayak dengan demonstrasi dan orasi di mimbar-mimbar terbuka atau menulis artikel sebagai teguran kepada pemerintah di media massa adalah bentuk pemberontakan kepada penguasa yang dicontohkan oleh kaum Khawarij. Adapun tuntunan Islam dalam menasihati penguasa adalah dengan tidak menampakkannya kepada khalayak ramai.

Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul hafizhahullah berkata, “Nasihat kepada penguasa secara rahasia merupakan salah satu pokok dari pokok-pokok Manhaj Salaf yang diselisihi oleh ahlul ahwa’ wal bida’, seperti Khawarij.”

Beliau (Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah-) juga menjelaskan bahwa menyebarkan aib-aib penguasa merupakan bentuk pertolongan kepada Khawarij dalam membunuh penguasa muslim, sehingga jelas bahwa pemberontakan itu tidak hanya dengan senjata, tapi juga dengan lisan.

Beliau berkata: “Hal tersebut dilarang karena bisa mengantarkan kepada perbuatan menumpahkan darah dan pembunuhan, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dalam At-Tabaqot, dari Abdullah bin Ukaim al-Juhani, bahwa beliau berkata:
“Aku tidak akan menolong pembunuhan seorang Khalifah selamanya setelah Utsman”, maka dikatakan kepadanya, “Wahai Abu Ma’bad, apakah engkau telah membantu (Khawarij) dalam membunuh Utsman?” Maka beliau berkata, “Sungguh aku menganggap perbuatan membicarakan keburukan-keburukan beliau sebagai bentuk pertolongan kepada (Khawarij) dalam membunuhnya”.
Maka camkanlah baik-baik atsar ini, tatkala beliau menganggap pembicaraan tentang kejelekan-kejelekan penguasa termasuk perkara yang membantu pembunuhannya.”

Kemudian beliau (Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul hafizhahullah) memberikan komentar pada catatan kaki, “Atsar ini berfaedah pelajaran bahwa pemberontakan itu dapat terjadi dengan senjata (pedang), maupun dengan ucapan. Berbeda dengan pendapat (yang salah) bahwa pemberontakan itu tidak terjadi kecuali dengan senjata. Maka camkanlah ini baik-baik dan ingatlah selalu.”

Beliau juga menukil penegasan Asy-Syaikh Bin Baz –rahimahullah-, “Bukan termasuk manhaj Salaf menelanjangi aib-aib penguasa dan membicarakannya di atas mimbar-mimbar, karena hal tersebut mengantarkan kepada kudeta dan ketidaktaatan masyarakat dalam hal yang ma’ruf kepada penguasa. Lebih dari itu, mengantarkan kepada pemberontakan yang hanya membahayakan dan tidak bermanfaat.” (Lihat As-Sunnah fii maa Yata’allaqu bi Waliyyil Ummah, oleh Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah-)

Terlebih lagi membentuk organisasi yang menyerupai negara dalam negara, dimana para anggota menyebut pemimpinnya sebagai Amir, membuat aturan-aturan khusus yang harus ditaati dan anggotanya pun berjanji atau melakukan bai’at (sumpah setia) untuk mendengar dan taat kepada pemimpin tersebut sebagaimana layaknya ketaatan kepada seorang pemimpin negara. Lebih parah dari itu, apabila ada anggotanya keluar atau memisahkan diri dari kelompoknya maka mereka mengatakan kepadanya, “Anda telah keluar dari jama’ah”. Bahkan tidak jarang disertai dengan pengucilan dan pengkafiran anggota yang keluar dari jama’ah mereka.

Hal ini terjadi karena kebodohan mereka dalam memahami makna jama’ah yang ada dalam dalil-dalil syar’i. Mereka mengira bahwa jama’ah yang dimaksud adalah asal ngumpul lalu mengangkat seorang amir. Padahal jama’ah yang dimaksudkan adalah pemerintah kaum muslimin yang memiliki kekuatan dan wilayah kekuasaan. Oleh karena itu, langkah yang mereka tempuh dengan membentuk jama’ah dalam jama’ah adalah bentuk pemberontakan kepada pemimpin kaum muslimin.


Kelima: Menyerukan slogan-slogan Khawarij, yakni perkataan yang benar namun yang diinginkan dengannya adalah kebatilan

ABB dan kelompoknya di mana-mana selalu meneriakkan jihad dan penegakkan syari’at Islam, meskipun hakikatnya mereka tidak menerapkan syari’at itu dalam diri dan keluarga mereka. Seruan jihad dan penegakkan syari’at Islam adalah seruan yang mulia, namun yang mereka inginkan di balik seruan yang mulia tersebut sebenarnya adalah kebatilan. Sebab jihad mereka bukanlah jihad yang syar’i.

Demikian pula penegakkan syari’at yang mereka serukan adalah syari’at yang sesuai manhaj Khawarij, bukan manhaj Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. Hal ini mengingatkan kita kepada Khawarij generasi awal yang diperangi oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu. Dimana Khawarij generasi awal pun meneriakkan slogan yang sama, yakni penegakkan syari’at Islam, seperti yang dituturkan oleh Ubaidullah bin Abi Rafi’ radhiyallahu’anhu berikut ini:

أن الحرورية لما خرجت على علي بن أبي طالب وهو معه فقالوا لا حكم إلا لله قال علي كلمة حق أريد بها باطلٌ إن رسول الله {صلى الله عليه وسلم} وصف لنا ناساً إني لأعرف صفتهم في هؤلاء يقولون الحق بألسنتهم لا يجاوز هذا منهم وأشار إلى حلقه

“Bahwasannya kaum Khawarij Haruriyah ketika memberontak kepada pemerintahan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu mereka mengatakan, “Tidak ada hukum kecuali milik Allah”. Maka Ali berkata, “Perkataan yang benar, namun yang diinginkan dengannya adalah kebatilan. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah menjelaskan kepadaku tentang ciri-ciri sekelompok orang yang telah aku tahu sekarang bahwa ciri-ciri tersebut ada pada mereka (Khawarij), yaitu mereka mengucapkan perkataan yang benar hanya dengan lisan-lisan mereka, namun tidak melewati kerongkongan mereka (yakni mereka tidak memahaminya).” (HR. Muslim, no. 2517)

Namun yang sangat mengherankan, ketika mereka butuh dengan hukum buatan manusia yang jelas-jelas bertentangan dengan hukum Allah Ta’ala, mereka pun tak segan-segan menggunakan jasa para pengacara yang setiap harinya berkecimpung dalam hukum-hukum hasil kerajinan tangan manusia dan peninggalan penjajah Belanda yang mereka kecam. Ini semua menunjukkan kebodohan mereka terhadap syari’at Allah Ta’ala.

Oleh karena itu kami nasihatkan kepada kaum muslimin, khususnya para pemuda, janganlah mudah tertipu dengan seruan-seruan jihad dan penegakkan syari’at yang selalu mereka dengung-dengungkan. Karena hakikatnya, mereka tidak memahami jihad dan penegakkan syari’at seperti yang dipahami Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat beliau.

Demikian pula, jangan engkau tertipu dengan penampilan yang islami, seperti memelihara jenggot, menggunakan pakaian tanpa menutupi mata kaki dan istri-istri mereka menggunakan jilbab syar’i dan menggunakan cadar. Tidak diragukan lagi, ini semua merupakan bagian dari syari’at Islam.

Akan tetapi semua itu tidaklah berarti sama sekali bagi seseorang jika aqidahnya rusak, karena mengikuti aqidah sesat Khawarij. Inilah keadaan kaum Khawarij dahulu, sangat nampak keshalihan dan kuatnya ibadah mereka, namun sayang aqidah mereka menyelisihi aqidah Ahlus Sunnah. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah memperingatkan:

يخرج قومٌ من أمتي يقرءون القرآن ليس قراءتكم إلى قراءتهم بشيء ولا صلاتكم إلى صلاتهم بشيء ولا صيامكم إلى صيامهم بشيء

“Akan keluar satu kaum dari umatku yang membaca Al-Qur’an, dimana bacaan kalian tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan bacaan mereka, demikian pula sholat kalian tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sholat mereka, juga puasa kalian tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan puasa mereka.” (HR. Muslim, no. 2516)

Perhatikanlah bagaimana hebatnya ibadah mereka, namun bersamaan dengan itu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menyatakan mereka adalah anjing-anjing neraka, sebagaimana dalam hadits berikut ini:

كلاب النار شر قتلى تحت أديم السماء خير قتلى من قتلوه

“Mereka adalah anjing-anjing neraka; seburuk-buruknya makhluk yang terbunuh di bawah kolong langit, sedang sebaik-baiknya makhluk yang terbunuh adalah yang dibunuh oleh mereka.” (HR. At-Tirmidzi, [no.3000], dari Abu Umamah Al-Bahili -radhiyallahu’anhu-, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Misykah, [no.3554])

Maka jelaslah, mengikuti aqidah dan pemahaman generasi As-Salafus Shalih, yaitu generasi Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat beliau, adalah perkara yang sangat penting dalam kehidupan seorang hamba, agar selamat dari jeratan-jeratan kelompok sesat dan selamat dari adzab Allah Tabaraka wa Ta’ala di negeri akhirat.

Wallahul Musta’an.

Bersambung insya Allah Ta’ala.


[Alhamdulillah tulisan bagian pertama ini selesai menjelang buka puasa 13 Ramadhan 1431 H di Maktabah Asy-Syaikh Shalih bin Abdullah Al-Ghusn hafizhahullah di kota Riyadh, KSA. Kami ucapkan jazaakumullahu khairan kepada Asy-Syaikh Shalih dan kepada Al-Akh Abu Syakir Imam Syuhada Iskandar, murid Asy-Syaikh Shalih yang menjaga maktabah beliau. Tulisan ini sekaligus sebagai realisasi taubat kami dari pemahaman Khawarij yang dulu sempat kami yakini ketika bergabung dengan salah satu kelompok yang mengaku Ahlus Sunnah namun terjangkit virus Khawarij di kota Makassar, Indonesia].

Sumber :

0 komentar:

Posting Komentar