(Seputar Syubhat Tawassul)
Suatu malam di kuburan
Ikhwan : “Lho koq kita malah kemari?”
Quburiyyun : “Iya, mampir sebentar. Ada sedikit keperluan?”
Ikhwan : “Ada keperluan apa di kuburan malam-malam begini?”
Quburiyyun : “Besok kita kan mau pergi safar mendaki gunung, jadi kita
perlu ziarah kemari.”
Ikhwan : “Memang apa hubungannya pergi safar dengan ziarah kubur?”
Quburiyyun : “Ya ada. Supaya kepergian kita nanti lebih selamat dan
dimudahkan Allah.”
Ikhwan : “Wah tidak boleh itu. Kalau ingin selamat dan dimudahkan kenapa
tidak berdoa langsung kepada Allah? Kenapa harus ada acara ziarah kubur?”
Quburiyyun : “Ziarah kubur itu dianjurkan dalam Islam, banyak dalilnya.
Jangan seperti Wahhabi yang melarang ziarah kubur.”
Ikhwan : “Memang ziarah kubur dianjurkan dalam Islam dan banyak
dalilnya. Lagipula Wahhabi tidak mutlak melarang ziarah kubur. Yang dilarang
adalah ziarah kubur yang menyelisihi syariat.”
Quburiyyun : “Seperti apa ziarah kubur yang syar’i (sesuai syariat)?”
Ikhwan : “Kita sebatas mengucapkan salam kepada penghuni kubur dan
mendoakannya, karena itu untuk mengingatkan kita kepada kematian.”
Quburiyyun : “Nah, saya juga seperti itu ziarah kuburnya. Jadi ziarah
saya ini sesuai syar’i. Jadi kenapa kamu melarang?”
Ikhwan : “Bukankah kamu tadi mengatakan bahwa niatmu ziarah kubur di sini
supaya kepergian kita besok bisa lebih selamat dan dimudahkan Allah?”
Quburiyyun : “Iya, bukankah itu termasuk dari mendoakan juga? apa yang
salah?”
Ikhwan : “Berarti kamu meminta keselamatan dan kemudahan kepada orang
yang sudah mati atau penghuni kubur ini. Perbuatan seperti itu adalah perbuatan
syirik, karena meminta keselamatan dan kemudahan kepada selain Allah. Bukankah
yang bisa memberikan keselamatan dan kemudahan hanyalah Allah?”
Quburiyyun : “Saya tidak meminta keselamatan dan kemudahan kepada
penghuni kubur ini. Saya juga tahu bahwasanya hanya Allah yang mampu memberikan
keselamatan dan kemudahan.”
Ikhwan : “Kalau kamu mengetahuinya, lantas kenapa harus mendatangi
kuburan ini? Kenapa tidak berdoa langsung kepada Allah di rumah atau di
masjid?”
Quburiyyun : “Saya hanya bertawassul (menjadikan wasilah/perantara)
kepada penghuni kuburan ini. Karena pemiliki kuburan ini adalah orang shalih
atau wali Allah. Saya meminta kepada penghuni kubur ini agar mendoakan saya
kepada Allah. Saya tidak meminta langsung kepada penghuni kubur ini, tapi hanya
menjadikan dia sebagai perantara saja.”
Ikhwan : “Kenapa kamu menjadikan orang yang sudah mati sebagai perantara?
Bukankah dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang? Ketika orang ini masih
hidup, dia tidak mampu memberi kamu keselamatan, apalagi ketika dia telah
meninggal? Lebih tidak mampu lagi. Hanya Allah yang mampu memberi keselamatan
dan atas izin-Nya.”
Quburiyyun : “Kamu jangan berkata seperti itu, penghuni kubur ini adalah
orang shalih, nanti kamu bisa kualat jika berkata seperti itu! Wali Allah itu
tidak sama dengan orang biasa.”
Ikhwan : “Berdoalah kepada Allah secara langsung tanpa melalui perantara
kepada orang yang sudah mati. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Dan Rabbmu
berfirman: ”Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu.’ (QS.
Al-Mukmin : 60)”
Quburiyyun : “Kamu telah keliru dalam memahami makna tawassul.
Sesungguhnya bila ada salah seorang diantara kita mempunyai urusan dengan
seorang Raja atau Penguasa atau Menteri yang memiliki kedudukan yang sangat
besar, maka ia tidak mungkin menghadap kepadanya secara langsung, karena ia
merasa tidak akan diperhatikan nantinya.
Makanya kita mencari seorang yang dikenal oleh Raja tersebut, yang dekat
dengannya, yang didengar olehnya, lalu kita jadikan dia sebagai perantara
antara kita dengan Raja atau Penguasa itu. Dengan begitu, niscaya urusan kita
akan diperhatikan oleh Raja. Begitu juga halnya antara saya dengan orang shalih
tersebut, yang mana orang shalih itu adalah perantara saya dalam meminta kepada
Allah.”
Ikhwan : “Astaghfirullah, tidakkah kamu tahu? Bahwa sesungguhnya kamu
baru saja menyamakan Allah dengan makhluk-Nya? Bahkan menyamakan Allah dengan
makhluk-Nya yang zhalim dan keji! Wal iyadzubillah”
Quburiyyun : “Maksudnya? Saya tidak menyamakan Allah dengan makhluk-Nya,
saya hanya mengambil qiyas agar kamu bisa paham maksud saya.”
Ikhwan : “Yang kamu qiyaskan adalah sama saja dengan menyamakan atau
menyerupakan Allah, Dzat Yang Maha Mengurus langit dan bumi, Hakim Yang Maha
Adil dan Bijaksana, dan Rabb Yang Maha Penyantun dan Penyanyang, disamakan
dengan Raja atau Penguasa yang zhalim, diktator, sewenang-wenang, dan tidak
memperhatikan kemaslahatan rakyatnya, yang mana mereka telah menjadikan antara
dirinya dan rakyatnya dengan tirai pemisah dan pengawal, sehingga rakyatnya
tidak mungkin menghadap Rajanya kecuali dengan perantara atau sarana, bahkan
sering didapati dengan suap menyuap!
Sekiranya seseorang menghadap seorang penguasa secara langsung, berbicara
dengannya tanpa perantara atau pengawal, apakah hal itu menjadi sikap yang
lebih sempurna dan lebih terpuji baginya, ataukah ketika ia menghadapnya dengan
cara perantara yang kemungkinan butuh waktu yang terkadang panjang dan
terkadang pendek?”
Quburiyyun : (diam sambil nelan ludah)
Ikhwan : “Kamu bangga dengan Khalifah Umar bin Al Khaththab bukan? Salah
satu kebanggaan kalian adalah beliau sangat dekat dengan rakyatnya, sehingga
orang yang miskin atau lemah, bahkan yang ndeso sekalipun mampu bertemu secara
langsung dan bercakap-cakap dengan beliau, tanpa harus ada perantara atau
pengawal.
Maka perhatikanlah, apakah penguasa yang seperti ini lebih baik dan lebih
utama ataukah penguasa yang menjadi acuan qiyas kamu terhadap Allah yang harus
melalui perantara? Menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya yaitu Penguasa yang
adil saja sangat dilarang, apalagi menyerupakan Allah dengan Penguasa yang
zhalim, jahat atau buruk?!”
Quburiyyun : “Bukankah tidak ada dalil yang melarang bertawassul kepada
orang yang sudah mati? Jika hal itu dilarang, mana dalilnya?”
Ikhwan : “Tawassul merupakan bentuk ibadah, jadi segala macam bentuk
ibadah itu harus disertai dalil. Ada kaidah yang menjelaskan bahwa hukum asal
ibadah itu terlarang, sampai ada dalil yang memerintahkannya. Seperti halnya
shalat zhuhur 5 rakaat, apakah ada dalil yang melarang shalat zhuhur 5 rakaat?
Jika tidak ada, apakah boleh shalat zhuhur sebanyak 5 rakaat?”
Quburiyyun : “Baiklah, tapi dengarkan, sudah banyak kejadian, dan ini
nyata, tidak dusta! Yaitu banyak orang yang datang ke kuburan ini kemudian
bertawassul kepada penghuni kubur ini, lalu tidak lama kemudian doanya dikabulkan
oleh Allah. Dan ini benar-benar terjadi! Sehingga semakin banyak orang yang
mendatangi kuburan ini kemudian doa2 mereka banyak yang terkabul. Seandainya
tawassul seperti itu salah, lantas kenapa Allah mengabulkan doa-doa mereka?”
Ikhwan : “Terkabulnya doa seperti itu adalah ujian dari Allah untuk
orang tersebut, dan bukan berarti perbuatan tersebut merupakan tolak ukur
kebenaran, apalagi jika orang-orang menyangka ini semua karena sebab penghuni
kubur ini yang memiliki keutamaan dan karamah. Tidak seperti itu, itu adalah
pemahaman yang keliru!
Yang perlu kamu ketahui juga, bahwa Allah juga memberikan ujian kepada
hamba-Nya dengan cara memudahkan kemaksiatan untuknya. Dan ini adalah suatu
perkara yang terjadi pada umat-umat terdahulu dan juga pada umat ini.”
Quburiyyun : “Maksudnya? saya belum paham”
Ikhwan : “Saya kasih contoh, salah satu ujian dari Allah dengan cara
memberikan kemudahan dalam bermaksiat adalah seperti kisahnya Bani Israil yang
melanggar aturan pada hari Sabtu (lihat surah Al A’raf ayat 163).
Allah mengharamkan Bani Israil untuk memancing ikan pada hari Sabtu, dan
mereka tetap dalam kondisi seperti itu beberapa waktu lamanya. Kemudian Allah
menguji mereka dengan adanya ikan-ikan besar pada hari Sabtu, ikan-ikan besar
itu muncul dengan sangat banyak kepermukaan laut pada hari Sabtu, sedangkan di
hari lainnya tidak mereka dapati.
Maka Bani Israil membuat tipu daya dan strategi. Mereka kemudian meletakkan
jala dan memasangnya pada hari jumat, lalu jika ikan-ikan itu muncul pada hari
Sabtu pastilah ikanikan itu akan terperangkap dan mereka tidak akan bisa keluar
dari jala itu. Dan bila hari Ahad tiba, maka mereka pergi mengambil jala
tersebut dan mendapatkan banyak ikan di dalamnya. Dengan tipu daya mereka
akhirnya Allah mengadzab mereka dengan merubahnya menjadi kera.
Begitu halnya dengan doa-doa mereka yang dikabulkan oleh Allah karena
tawassulnya kepada orang yang sudah mati. Allah sengaja memberikan ujian kepada
mereka dengan memberikan kemudahan dalam bermaksiat, hingga tiba waktunya
datang adzab dari Allah. Wallahul musta’an.”
Quburiyyun : “Astaghfirullah, lantas bagaimana halnya dengan dalil-dalil
yang menyebutkan tentang bolehnya tawassul kepada orang yang sudah mati? Banyak
sekali dalilnya bukan?”
Ikhwan : “Ada waktu tersendiri untuk membahas dalil-dalil tersebut, dan
itu butuh waktu yang luang dan panjang. Intinya, seluruh dalil yang dipakai
oleh orang-orang yang membolehkan tawassul dengan orang yang telah mati, ada
dua kemungkinan:
a) Dalil itu lemah, atau
b) Dalil itu shahih, tetapi difahami dengan keliru.
Tiba-tiba ada yang ikut bergabung dengan mereka.
Penghuni kubur : “Hihihi... Kenapa kalian meminta doa kepadaku? Padahal
aku ini sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Semua amalan-amalanku telah
terputus, kecuali 3 yaitu anak shalih yang mendoakan, ilmu yang bermanfaat dan
shadaqah jariyah.
Seharusnya kalian yang mendoakan aku agar aku selamat dari adzab kubur dan
api neraka, bukannya kalian yang meminta aku untuk mendoakan kalian? terbalik
itu! Aku sangat membutuhkan doa dari kalian, karena kalian tidak tahu apa yang
aku alami di dalam kubur ini.
Dari ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu ‘Anhu, dia berkata, “Kebiasaan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam apabila selesai menguburkan mayat,
beliau berdiri lalu bersabda, “Mohonkanlah ampunan untuk saudaramu dan mintalah
keteguhan, sesungguhnya sekarang dia sedang ditanya.” (HR. Abu Dawud dan
Hakim).
Lagi pula aku tidak bisa mendengar perkataan kalian. Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman:
‘Dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur
dapat mendengar.’ (QS. Fathir : 22)
Hihihi...”
Quburiyyun : “Kabuuurrr…” (takut sama hantu).
0 komentar:
Posting Komentar