إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
Oleh: Zulkarnain Khidir (Mahasiswa Universitas Prof. DR. HAMKA,
Jakarta)
Belakangan
ketika isu terorisme kian dihujamkan di jantung pergerakan umat Islam agar
iklim pergerakan dakwah terkapar lemah tak berdaya. Nama Wahabi menjadi salah
satu faham yang disorot dan kian menjadi bulan-bulanan aksi “tunjuk hidung”
bahkan hal itu dilakukan oleh kalangan ustadz dan kiyai yang berasal dari tubuh
umat Islam itu sendiri.
Beberapa buku
propaganda pun diterbitkan untuk menghantam pergerakan yang dituding Wahabi, di
antaranya buku hitam berjudul “Sejarah Berdarah Sekte Salafi-Wahabi: Mereka
Membunuh Semuanya Termasuk Para Ulama.” Bertubi-tubi, berbagai tudingan
dialamatkan oleh alumnus dari Universitas di Bawah Naungan Kerajaan Ibnu Saud
yang berhaluan Wahabi, yaitu Prof. Dr. Said Siradj, MA.
Tak mau kalah,
para kiyai dari pelosok pun ikut-ikutan menghujat siapapun yang dituding Wahabi.
Kasus terakhir adalah statement dari kiyai Muhammad Bukhori Maulana dalam
tabligh akbar FOSWAN di Bekasi baru-baru ini turut pula menyerang Wahabi dengan
tudingan miring. Benarkah tudingan tersebut?
Menarik memang
menyaksikan fenomena tersebut. Gelagat pembunuhan karakter terhadap dakwah atau
personal pengikut Wahabi ini bukan hal baru, melainkan telah lama terjadi. Hal
ini bahkan telah diurai dengan lengkap oleh ulama pejuang dan mantan ketua MUI
yang paling karismatik, yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang biasa
disapa Buya HAMKA. Siapa tak mengenal Buya HAMKA? Kegigihan, keteguhan dan
independensinya sebagai seorang ulama tidak perlu diragukan lagi tentunya.
Dalam buku “Dari
Perbendaharaan Lama” Buya HAMKA dengan gamblang beliau merinci berbagai
fitnah terhadap Wahabi di Indonesia sejatinya telah berlangsung berkali-kali.
Sejak Masa Penjajahan hingga beberapa kali Pemilihan Umum yang diselenggarakan
pada era Orde Lama, Wahabi seringkali menjadi objek perjuangan yang ditikam
fitnah dan diupayakan penghapusan atas eksistensinya. Mari kita cermati apa
yang pernah diungkap Buya Hamka dalam buku tersebut:
“Seketika
terjadi Pemilihan Umum, orang telah menyebut-nyebut kembali yang baru lalu,
untuk alat kampanye, nama “Wahabi.” Ada yang mengatakan bahwa Masyumi itu
adalah Wahabi, sebab itu jangan pilih orang Masyumi. Pihak komunis pernah
turut-turut pula menyebut-nyebut Wahabi dan mengatakan bahwa Wahabi itu dahulu
telah datang ke Sumatera. Dan orang-orang Sumatera yang memperjuangkan Islam di
tanah Jawa ini adalah dari keturunan kaum Wahabi.
Memang sejak
abad kedelapan belas, sejak gerakan Wahabi timbul di pusat tanah Arab, nama
Wahabi itu telah menggegerkan dunia. Kerajaan Turki yang sedang berkuasa, takut
kepada Wahabi. Karena Wahabi adalah permulaan kebangkitan bangsa Arab, sesudah
jatuh pamornya, karena serangan bangsa Mongol dan Tartar ke Baghdad. Dan Wahabi
pun ditakuti oleh bangsa-bangsa penjajah, karena apabila dia masuk ke suatu
negeri, dia akan mengembangkan mata penduduknya menentang penjajahan. Sebab
faham Wahabi ialah meneguhkan kembali ajaran Tauhid yang murni, menghapuskan
segala sesuatu yang akan membawa kepada syirik. Sebab itu timbullah perasaan
tidak ada tempat takut melainkan Allah. Wahabi adalah menentang keras kepada
Jumud, yaitu memahamkan agama dengan membeku. Orang harus kembali kepada
Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Ajaran ini
telah timbul bersamaan dengan timbulnya kebangkitan revolusi Prancis di Eropa.
Dan pada masa itu juga “infiltrasi” dari gerakan ini telah masuk ke tanah Jawa.
Pada tahun 1788 di zaman pemerintahan Paku Buwono IV, yang lebih terkenal
dengan gelaran “Sunan Bagus,” beberapa orang penganut faham Wahabi telah datang
ke tanah Jawa dan menyiarkan ajarannya di negeri ini. Bukan saja mereka itu
masuk ke Solo dan Yogya, tetapi mereka pun meneruskan juga penyiaran fahamnya
di Cirebon, Bantam dan Madura. Mereka mendapat sambutan baik, sebab terang anti
penjajahan.
Sunan Bagus
sendiri pun tertarik dengan ajaran kaum Wahabi. Pemerintah Belanda mendesak
agar orang-orang Wahabi itu diserahkan kepadanya. Pemerintah Belanda cukup
tahu, apakah akibatnya bagi penjajahannya jika faham Wahabi ini dikenal oleh
rakyat.
Padahal ketika
itu perjuangan memperkokoh penjajahan belum lagi selesai. Mulanya Sunan tidak
mau menyerahkan mereka. Tetapi mengingat akibat-akibatnya bagi
Kerajaan-kerajaan Jawa, maka ahli-ahli kerajaan memberi advis kepada Sunan,
supaya orang-orang Wahabi itu diserahkan saja kepada Belanda. Lantaran desakan
itu, maka mereka pun ditangkapi dan diserahkan kepada Belanda. Oleh Belanda
orang-orang itu pun diusir kembali ke tanah Arab.
Tetapi di tahun
1801, artinya 12 tahun di belakang, kaum Wahabi datang lagi. Sekarang bukan
lagi orang Arab, melainkan anak Indonesia sendiri, yaitu anak Minangkabau. Haji
Miskin Pandai Sikat (Agam) Haji Abdurrahman Piabang (Lubuk Limapuluh Koto), dan
Haji Mohammad Haris Tuanku Lintau (Luhak Tanah Datar).
Mereka
menyiarkan ajaran itu di Luhak Agam (Bukittinggi) dan banyak beroleh murid dan
pengikut. Diantara murid mereka ialah Tuanku Nan Renceh Kamang, Tuanku Samik
Empat Angkat. Akhirnya gerakan mereka itu meluas dan melebar, sehingga
terbentuklah “Kaum Paderi” yang terkenal. Di antara mereka ialah Tuanku Imam
Bonjol. Maka terjadilah “Perang Paderi” yang terkenal itu. Tiga puluh tujuh
tahun lamanya mereka melawan penjajahan Belanda.
Bilamana di
dalam abad ke delapan belas dan Sembilan belas gerakan Wahabi dapat dipatahkan,
pertama orang-orang Wahabi dapat diusir dari Jawa, kedua dapat dikalahkan
dengan kekuatan senjata, namun di awal abad kedua puluh mereka muncul lagi!
Di Minangkabau
timbullah gerakan yang dinamai “Kaum Muda.” Di Jawa datanglah K.H. Ahmad Dahlan
dan Syekh Ahmad Soorkati. K.H. Ahmad Dahlan mendirikan “Muhammadiyah.” Syekh
Ahmad Soorkati dapat membangun semangat baru dalam kalangan orang-orang Arab.
Ketika dia mulai datang, orang Arab belum pecah menjadi dua, yaitu Arrabithah
Alawiyah dan Al-Irsyad. Bahkan yang mendatangkan Syekh itu ke mari adalah dari
kalangan yang kemudiannya membentuk Ar-Rabithah Alawiyah.
Musuhnya dalam
kalangan Islam sendiri, pertama ialah Kerajaan Turki, kedua Kerajaan Syarif di
Mekkah, ketiga Kerajaan Mesir. Ulama-ulama pengambil muka mengarang buku-buku
buat “mengafirkan” Wahabi. Bahkan ada di kalangan Ulama itu yang sampai hati
mengarang buku mengatakan bahwa Muhammad bin Abdul Wahab pendiri faham ini
adalah keturunan Musailamah Al Kadzdzab!
Pembangunan
Wahabi pada umumnya adalah bermazhab Hambali, tetapi faham itu juga dianut oleh
pengikut Mazhab Syafi’i, sebagai kaum Wahabi Minangkabau. Dan juga penganut
Mazhab Hanafi, sebagai kaum Wahabi di India.
Sekarang
“Wahabi” dijadikan alat kembali oleh beberapa golongan tertentu untuk menekan
semangat kesadaran Islam yang bukan surut ke belakang di Indonesia ini,
melainkan kian maju dan tersiar. Kebanyakan orang Islam yang tidak tahu di
waktu ini, yang dibenci bukan lagi pelajaran wahabi, melainkan nama Wahabi.
Ir. Dr. Sukarno
dalam “Surat-Surat dari Endeh”nya kelihatan bahwa fahamnya dalam agama Islam
adalah banyak mengandung anasir Wahabi.
Kaum komunis
Indonesia telah mencoba menimbulkan sentiment Ummat Islam dengan
membangkit-bangkit nama Wahabi. Padahal seketika terdengar kemenangan
gilang-gemilang yang dicapai oleh Raja Wahabi Ibnu Saud, yang mengusir
kekuasaan keluarga Syarif dari Mekkah. Umat Islam mengadakan Kongres Besar di
Surabaya dan mengetok kawat mengucapkan selamat atas kemenangan itu (1925).
Sampai mengutus dua orang pemimpin Islam dari Jawa ke Mekkah, yaitu H.O.S.
Cokroaminoto dan K.H. Mas Mansur. Dan Haji Agus Salim datang lagi ke Mekkah
tahun 1927.
Karena tahun
1925 dan tahun 1926 itu belum lama, baru lima puluh tahun lebih saja, maka
masih banyak orang yang dapat mengenangkan bagaimana pula hebatnya reaksi pada
waktu itu, baik dari pemerintah penjajahan, walau dari Umat Islam sendiri yang
ikut benci kepada Wahabi, karena hebatnya propaganda Kerajaan Turki dan
Ulama-ulama pengikut Syarif.
Sekarang
pemilihan umum yang pertama sudah selesai. Mungkin menyebut-nyebut “Wahabi” dan
membusuk-busukkannya ini akan disimpan dahulu untuk pemilihan umum yang akan
datang. Dan mungkin juga propaganda ini masuk ke dalam hati orang, sehingga
gambar-gambar “Figur Nasional,” sebagai Tuanku Imam Bonjol dan K.H. Ahmad
Dahlan diturunkan dari dinding. Dan mungkin perkumpulan-perkumpulan yang memang
nyata kemasukan faham Wahabi seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis dan
lain-lain diminta supaya dibubarkan saja.
Kepada
orang-orang yang membangkit-bangkit bahwa pemuka-pemuka Islam dari sumatera
yang datang memperjuangkan Islam di Tanah Jawa ini adalah penganut atau
keturunan kaum Wahabi, kepada mereka orang-orang dari Sumatera itu mengucapkan
banyak-banyak terima kasih! Sebab kepada mereka diberikan kehormatan yang
begitu besar!
Sungguh pun
demikian, faham Wahabi bukanlah faham yang dipaksakan oleh Muslimin, baik
mereka Wahabi atau tidak. Dan masih banyak yang tidak menganut faham ini dalam
kalangan Masyumi. Tetapi pokok perjuangan Islam, yaitu hanya takut semata-mata
kepada Allah dan anti kepada segala macam penjajahan, termasuk Komunis, adalah anutan
dari mereka bersama!”
Dari paparan
tersebut, jelaslah bahwa Buya HAMKA berhasil menelisik akar terjadinya fitnah
yang dialamatkan kepada Wahabi. Ini menandakan vonis “Faham Hitam” yang
dituduhkan kepada Wahabi pada dasarnya adalah modus lama namun didesain dengan
gaya baru yang disesuaikan dengan kepentingan dan arahan yang disetting oleh
para Think Tank “Gurita Kolonialisme Abad 21.”
Maka
perhatikanlah apa yang pernah diutarakan oleh Buya HAMKA dalam pembahasan Islam
dan Majapahit berikut ini:
“Memang, di
zaman Jahiliyah kita bermusuhan, kita berdendam, kita tidak bersatu! Islam
kemudiannya adalah sebagai penanam pertama dari jiwa persatuan. Dan Kompeni
Belanda kembali memakai alat perpecahannya, untuk menguatkan kekuasaannya.”
Tahukah tuan,
bahwasanya tatkala Pangeran Dipenogero, Amirul Mukminin Tanah Jawa telah dapat
ditipu dan perangnya dikalahkan, maka Belanda membawa Pangeran Sentot Ali
Basyah ke Minangkabau buat mengalahkan Paderi? Tahukah tuan bahwa setelah
Sentot merasa dirinya tertipu, sebab yang diperanginya itu adalah kawan
sefahamnya dalam Islam, dan setelah kaum Paderi dan raja-raja Minangkabau
memperhatikan ikatan serbannya sama dengan ikatan serban Ulama Minangkabau,
sudi menerima Sentot sebagai “Amir” Islam di Minangkabau? Teringatkah tuan,
bahwa lantaran rahasia bocor dan Belanda tahu, Sentot pun diasingkan ke
Bengkulu dan di sana beliau berkubur buat selama-lamanya?
Maka dengan
memakai faham Islam, dengan sendirinya kebangsaan dan kesatuan Indonesia
terjamin. Tetapi dengan mengemukakan kebangsaan saja, tanpa Islam, orang harus
kembali mengeruk, mengorek tambo lama, dan itulah pangkal bala dan bencana!”
Kiranya,
sepeninggal HAMKA, alangkah baiknya jika umat Islam masih kenal dan bisa
mengimplementasikan apa yang diutarakan Buya HAMKA dalam bukunya tersebut.
Dengan demikian, niscaya umat Islam tidak perlu sampai menjadi keledai yang
terjerembab dalam lubang yang dibuat oleh musuh-musuh Islam dengan modus yang
sama tetapi dalam nuansa yang berbeda. Wallahu A’lam.
0 komentar:
Posting Komentar