إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
Penulis:
al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc
Jama’ah Tabligh tentu bukan nama yang asing lagi
bagi masyarakat kita, terlebih bagi mereka yang menggeluti dunia dakwah. Dengan
menghindari ilmu-ilmu fiqh dan aqidah yang sering dituding sebagai 'biang
pemecah belah umat', membuat dakwah mereka sangat populer dan mudah diterima
masyarakat dari berbagai lapisan.
Bahkan saking populernya, bila ada seseorang yang
berpenampilan mirip mereka atau kebetulan mempunyai ciri-ciri yang sama dengan
mereka, biasanya akan ditanya; ”Mas,
Jamaah Tabligh, ya?” atau “Mas,
karkun, ya?” Yang lebih tragis jika ada yang berpenampilan serupa meski
bukan dari kalangan mereka, kemudian langsung dihukumi sebagai Jama’ah Tabligh.
Pro dan kontra tentang mereka pun meruak. Lalu
bagaimanakah hakikat jama’ah yang berkiblat ke India ini? Kajian kali ini
adalah jawabannya.
Pendiri
Jama’ah Tabligh
Jama’ah Tabligh didirikan oleh seorang sufi dari
tarekat Jisytiyyah yang berakidah Maturidiyyah dan bermadzhab fiqih Hanafi. Ia
bernama Muhammad Ilyas bin Muhammad Isma'il al-Hanafi ad-Diyubandi al-Jisyti al-Kandahlawi
ad-Dihlawi.
Al-Kandahlawi merupakan nisbat dari Kandahlah,
sebuah desa yang terletak di daerah Sahranfur. Sementara ad-Dihlawi dinisbatkan
kepada Dihli (New Delhi), ibukota India. Di tempat dan negara inilah markas
gerakan Jama’ah Tabligh berada. Adapun ad-Diyubandi adalah nisbat dari
Diyuband, yaitu madrasah terbesar bagi penganut madzhab Hanafi di semenanjung
India. Sedangkan al-Jisyti dinisbatkan kepada tarekat al-Jisytiyah, yang
didirikan oleh Mu’inuddin al-Jisyti.
Muhammad Ilyas sendiri dilahirkan pada tahun 1303 H
dengan nama asli Akhtar Ilyas. Ia meninggal pada tanggal 11 Rajab 1363 H. (Bis Bri Musliman [hal.583], Sawanih Muhammad Yusuf [hal.144-146],
dinukil dari Jama’atut Tabligh Mafahim
Yajibu An Tushahhah [hal.2]).
Latar
Belakang Berdirinya Jama’ah Tabligh
Asy-Syaikh Saifurrahman bin Ahmad ad-Dihlawi
mengatakan, ”Ketika Muhammad Ilyas
melihat mayoritas orang Meiwat (suku-suku yang tinggal di dekat Delhi, India)
jauh dari ajaran Islam, berbaur dengan orang-orang Majusi para penyembah
berhala Hindu, bahkan bernama dengan nama-nama mereka, serta tidak ada lagi
keislaman yang tersisa kecuali hanya nama dan keturunan, kemudian kebodohan
yang kian merata, tergeraklah hati Muhammad Ilyas.
Pergilah ia ke Syaikhnya dan Syaikh
tarekatnya, seperti Rasyid Ahmad al-Kanhuhi dan Asyraf Ali at-Tahanawi untuk
membicarakan permasalahan ini. Dan ia pun akhirnya mendirikan gerakan tabligh
di India atas perintah dan arahan dari para syaikhnya tersebut.” (Nazhrah
'Abirah I’tibariyyah Haulal Jama'ah At-Tablighiyyah [hal.7-8], dinukil dari
kitab Jama'atut Tabligh Aqa’iduha Wa
Ta’rifuha, karya Sayyid Thaliburrahman [hal.19])
Merupakan suatu hal yang ma’ruf di
kalangan tablighiyyin (para pengikut jamah tabligh, red) bahwasanya Muhammad
Ilyas mendapatkan tugas dakwah tabligh ini setelah kepergiannya ke makam
Rasulullah (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah [hal.3]).
Markas
Jama’ah Tabligh
Markas besar mereka berada di Delhi, tepatnya di
daerah Nizhamuddin. Markas kedua berada di Raywind, sebuah desa di kota Lahore
(Pakistan). Markas ketiga berada di kota Dakka (Bangladesh). Yang menarik, pada
markas-markas mereka yang berada di daratan India itu, terdapat hizb (rajah)
yang berisikan Surat Al-Falaq dan An-Naas, nama Allah yang agung, dan nomor
2-4-6-8 berulang 16 kali dalam bentuk segi empat, yang dikelilingi beberapa
kode yang tidak dimengerti. (Jama’atut
Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah [hal.14]).
Yang lebih mengenaskan, mereka mempunyai sebuah
masjid di kota Delhi yang dijadikan markas oleh mereka, di mana di belakangnya
terdapat empat buah kuburan. Dan ini menyerupai orang-orang Yahudi dan
Nashrani, di mana mereka menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shalih
dari kalangan mereka sebagai masjid. Padahal Rasulullah melaknat orang-orang
yang menjadikan kuburan sebagai masjid, bahkan mengkhabarkan bahwasanya mereka
adalah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah . (Lihat Al-Qaulul Baligh Fit Tahdziri Min Jama’atit Tabligh, karya
Asy-Syaikh Hamud at-Tuwaijiri [hal.12]).
Asas
dan Landasan Jama’ah Tabligh
Jama’ah Tabligh mempunyai suatu asas dan landasan
yang sangat teguh mereka pegang, bahkan cenderung berlebihan. Asas dan landasan
ini mereka sebut dengan al-ushulus sittah (enam landasan pokok) atau
ash-shifatus sittah (sifat yang enam), dengan rincian sebagai berikut:
Pertama: Merealisasikan Kalimat Thayyibah Laa Ilaha
Illallah Muhammad Rasulullah
Mereka menafsirkan makna Laa Ilaha Illallah dengan: “Mengeluarkan keyakinan yang rusak tentang
sesuatu dari hati kita dan memasukkan keyakinan yang benar tentang dzat Allah,
bahwasanya Dialah Sang Pencipta, Maha Pemberi Rizki, Maha Mendatangkan Mudharat
dan Manfaat, Maha Memuliakan dan Menghinakan, Maha Menghidupkan dan Mematikan”.
Kebanyakan pembicaraan mereka tentang tauhid, hanya berkisar pada tauhid
rububiyyah semata (Jama’atut Tabligh
Mafahim Yajibu An Tushahhah [hal.4]).
Padahal makna Laa Ilaha Illallah sebagaimana
diterangkan para ulama adalah: “Tiada
sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah.” (Lihat Fathul Majid, karya Asy-Syaikh
Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh, [hal.52-55]). Adapun makna
merealisasikannya adalah merealisasikan tiga jenis tauhid; al-uluhiyyah,
ar-rububiyyah, dan al-asma wash shifat (Al-Quthbiyyah
Hiyal Fitnah Fa’rifuha, karya Abu Ibrahim Ibnu Sulthan Al-'Adnani, [hal.10]).
Dan juga sebagaimana dikatakan Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan: “Merealisasikan tauhid artinya membersihkan
dan memurnikan tauhid (dengan tiga jenisnya, pen) dari kesyirikan, bid’ah, dan
kemaksiatan.” (Fathul Majid [hal.75]).
Oleh karena itu, Asy-Syaikh Saifurrahman bin Ahmad
Ad-Dihlawi mengatakan, “Di antara
'keistimewaan' Jama’ah Tabligh dan para pemukanya adalah apa yang sering
dikenal dari mereka bahwasanya mereka adalah orang-orang yang berikrar dengan
tauhid. Namun tauhid mereka tidak lebih dari tauhidnya kaum musyrikin Quraisy
Makkah, di mana perkataan mereka dalam hal tauhid hanya berkisar pada tauhid
rububiyyah saja, serta kental dengan warna-warna tashawwuf dan filsafatnya.
Adapun tauhid uluhiyyah dan ibadah, mereka sangat kosong dari itu. Bahkan dalam
hal ini, mereka termasuk golongan orang-orang musyrik. Sedangkan tauhid asma
wash shifat, mereka berada dalam lingkaran Asya’irah serta Maturidiyyah, dan
kepada Maturidiyyah mereka lebih dekat”. (Nazhrah ‘Abirah I’tibariyyah Haulal Jamaah At-Tablighiyyah, [hal.46]).
Kedua: Shalat dengan Penuh Kekhusyukan dan Rendah
Diri
Asy-Syaikh Hasan Janahi berkata: “Demikianlah perhatian mereka kepada shalat
dan kekhusyukannya. Akan tetapi, di sisi lain mereka sangat buta tentang
rukun-rukun shalat, kewajiban-kewajibannya, sunnah-sunnahnya, hukum sujud
sahwi, dan perkara fiqih lainnya yang berhubungan dengan shalat dan thaharah.
Seorang tablighi (pengikut Jamaah Tabligh, red) tidaklah mengetahui hal-hal
tersebut kecuali hanya segelintir dari mereka.” (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, [hal. 5-6]).
Ketiga: Keilmuan yang Ditopang dengan Dzikir
Mereka membagi ilmu menjadi dua bagian. Yakni ilmu
masail dan ilmu fadhail. Ilmu masail, menurut mereka adalah ilmu yang
dipelajari di negeri masing-masing. Sedangkan ilmu fadhail adalah ilmu yang
dipelajari pada ritus khuruj (lihat penjelasan di bawah, red) dan pada
majlis-majlis tabligh. Jadi, yang mereka maksudkan dengan ilmu adalah sebagian
dari fadhail amal (amalan-amalan utama, pen) serta dasar-dasar pedoman Jama’ah
(secara umum), seperti sifat yang enam dan yang sejenisnya, dan hampir-hampir
tidak ada lagi selain itu.
Orang-orang yang bergaul dengan mereka tidak bisa
memungkiri tentang keengganan mereka untuk menimba ilmu agama dari para ulama,
serta tentang minimnya mereka dari buku-buku pengetahuan agama Islam. Bahkan
mereka berusaha untuk menghalangi orang-orang yang cinta akan ilmu, dan
berusaha menjauhkan mereka dari buku-buku agama dan para ulamanya. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An
Tushahhah, [hal. 6] dengan ringkas).
Keempat: Menghormati Setiap Muslim
Sesungguhnya Jama’ah Tabligh tidak mempunyai
batasan-batasan tertentu dalam merealisasikan sifat keempat ini, khususnya
dalam masalah al-wala (kecintaan) dan al-bara (kebencian). Demikian pula
perilaku mereka yang bertentangan dengan kandungan sifat keempat ini di mana
mereka memusuhi orang-orang yang menasehati mereka atau yang berpisah dari
mereka dikarenakan beda pemahaman, walaupun orang tersebut 'alim rabbani.
Memang, hal ini tidak terjadi pada semua tablighiyyin, tapi inilah yang disorot
oleh kebanyakan orang tentang mereka. (Jama’atut
Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 8).
Kelima: Memperbaiki Niat
Tidak diragukan lagi bahwasanya memperbaiki niat
termasuk pokok agama dan keikhlasan adalah porosnya. Akan tetapi semuanya
membutuhkan ilmu. Dikarenakan Jama’ah Tabligh adalah orang-orang yang minim
ilmu agama, maka banyak pula kesalahan mereka dalam merealisasikan sifat kelima
ini. Oleh karenanya engkau dapati mereka biasa shalat di masjid-masjid yang
dibangun di atas kuburan. (Jama’atut
Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 9).
Keenam: Dakwah dan Khuruj di Jalan Allah subhanahu
wata'ala
Cara merealisasikannya adalah dengan menempuh khuruj
(keluar untuk berdakwah -pen) bersama Jama’ah Tabligh, empat bulan untuk seumur
hidup, 40 hari pada tiap tahun, tiga hari setiap bulan, atau dua kali
berkeliling pada tiap minggu.
Yang pertama dengan menetap pada suatu daerah dan
yang kedua dengan cara berpindah-pindah dari suatu daerah ke daerah yang lain.
Hadir pada dua majelis ta’lim setiap hari, majelis ta’lim pertama diadakan di
masjid sedangkan yang kedua diadakan di rumah. Meluangkan waktu 2,5 jam setiap
hari untuk menjenguk orang sakit, mengunjungi para sesepuh dan bersilaturahmi,
membaca satu juz Al Qur’an setiap hari, memelihara dzikir-dzikir pagi dan sore,
membantu para jamaah yang khuruj, serta i’tikaf pada setiap malam Jum’at di
markas. Dan sebelum melakukan khuruj, mereka selalu diberi hadiah-hadiah berupa
konsep berdakwah (ala mereka, -pen) yang disampaikan oleh salah seorang anggota
jama’ah yang berpengalaman dalam hal khuruj. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, [hal.9]).
Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan berkata:
“Khuruj di jalan Allah adalah khuruj untuk berperang. Adapun apa yang sekarang
ini mereka (Jama’ah Tabligh, -pen) sebut dengan khuruj maka ini bid’ah. Belum
pernah ada (contoh) dari salaf tentang keluarnya seseorang untuk berdakwah di
jalan Allah yang harus dibatasi dengan hari-hari tertentu. Bahkan hendaknya
berdakwah sesuai dengan kemampuannya tanpa dibatasi dengan jama’ah tertentu,
atau dibatasi 40 hari atau lebih sedikit atau lebih banyak.” (Aqwal Ulama As-Sunnah fi Jama’atit Tabligh,
[hal.7]).
Asy-Syaikh Abdurrazzaq 'Afifi berkata: “Khuruj mereka ini bukanlah di jalan Allah,
tetapi di jalan Muhammad Ilyas. Mereka tidaklah berdakwah kepada Al Qur’an dan
As Sunnah, akan tetapi berdakwah kepada (pemahaman) Muhammad Ilyas, syaikh
mereka yang ada di Banglades (maksudnya India, -pen)”. (Aqwal Ulama As Sunnah fi Jama’atit Tabligh,
[hal.6]).
Aqidah
Jama’ah Tabligh dan Para Tokohnya
Jama’ah Tabligh dan para tokohnya, merupakan
orang-orang yang sangat rancu dalam hal aqidah [1]. Demikian pula kitab
referensi utama mereka Tablighi Nishab
atau Fadhail A’mal karya Muhammad
Zakariya Al-Kandahlawi merupakan kitab yang penuh dengan kesyirikan, bid’ah,
dan khurafat. Di antara sekian banyak kesesatan mereka dalam masalah aqidah
adalah [2]:
1.
Keyakinan
tentang Wihdatul Wujud (bahwa Allah menyatu dengan alam ini). (Tablighi Nishab [2/407] bab Fadhail
Shadaqat, cet. Idarah Nasyriyat Islam Urdu Bazar, Lahore).
2.
Sikap
berlebihan terhadap orang-orang shalih dan keyakinan bahwa mereka mengetahui
ilmu ghaib. (Fadhail A’mal bab
Fadhail Dzikir [hal. 468-469], [hal. 540-541] cet. Kutub Khanat Faidhi,
Lahore).
3.
Tawassul
kepada Nabi (setelah wafatnya) dan juga kepada selainnya, serta berlebihannya
mereka dalam hal ini. (Fadhail A’mal
bab Shalat [hal. 345], dan juga bab Fadhail Dzikir [hal. 481-482] cet. Kutub
Khanat Faidhi, Lahore).
4.
Keyakinan
bahwa para syaikh sufi dapat menganugerahkan berkah dan ilmu laduni (Fadhail A’mal bab Fadhail Qur’an [hal.
202-203], cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).
5.
Keyakinan
bahwa seseorang bisa mempunyai ilmu kasyaf, yakni bisa menyingkap segala
sesuatu dari perkara ghaib atau batin. (Fadhail
A’mal bab Dzikir [hal. 540-541], cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).
6.
Hidayah
dan keselamatan hanya bisa diraih dengan mengikuti tarekat Rasyid Ahmad
Al-Kanhuhi (Shaqalatil Qulub [hal.
190]). Oleh karena itu, Muhammad Ilyas sang pendiri Jama’ah Tabligh telah
membai’atnya di atas tarekat Jisytiyyah pada tahun 1314 H, bahkan terkadang ia
bangun malam semata-mata untuk melihat wajah syaikhnya tersebut. (Kitab Sawanih Muhammad Yusuf [hal. 143],
dinukil dari Jama’atut Tabligh Mafahim
Yajibu An Tushahhah [hal. 2]).
7.
Saling
berbai’at terhadap pimpinan mereka di atas empat tarekat sufi: Jisytiyyah,
Naqsyabandiyyah, Qadiriyyah, dan Sahruwardiyyah. (Ad-Da'wah fi Jaziratil 'Arab, karya Asy-Syaikh Sa’ad Al-Hushain [hal.
9-10], dinukil dari Jama’atut Tabligh
Mafahim Yajibu An Tushahhah [hal.12]).
8.
Keyakinan
tentang keluarnya tangan Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam dari kubur beliau untuk berjabat tangan dengan Asy-Syaikh
Ahmad Ar-Rifa’i. (Fadhail A’mal bab
Fadhail Ash-Shalati ‘alan Nabi [hal. 19], cet. Idarah Isya’at Diyanat Anarkli,
Lahore).
9.
Kebenaran
suatu kaidah, bahwasanya segala sesuatu yang menyebabkan permusuhan,
perpecahan, atau perselisihan -walaupun ia benar- maka harus dibuang
sejauh-jauhnya dari manhaj Jama’ah. (Al-Quthbiyyah
Hiyal Fitnah Fa’rifuha, [hal. 10]).
10.
Keharusan
untuk bertaqlid (Dzikir Wa I’tikaf Key
Ahmiyat, karya Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi [hal. 94], dinukil dari Jama'atut Tabligh ‘Aqaiduha wa Ta’rifuha
[hal. 70]).
11.
Banyaknya
cerita-cerita khurafat dan hadits-hadits lemah bahkan palsu di dalam kitab Fadhail A’mal mereka, di antaranya apa
yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Hasan Janahi dalam kitabnya Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An
Tushahhah [hal. 46-47], [hal. 50-52]. Bahkan cerita-cerita khurafat dan
hadits-hadits palsu inilah yang mereka jadikan sebagai bahan utama untuk
berdakwah. Wallahul Musta’an.
Fatwa
Para Ulama tentang Jama’ah Tabligh
1.
Syaikh
Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
berkata: “Siapa saja yang berdakwah di
jalan Allah bisa disebut “muballigh” artinya: (Sampaikan apa yang datang dariku
(Rasulullah), walaupun hanya satu ayat), akan tetapi Jama’ah Tabligh India yang
ma’ruf dewasa ini mempunyai sekian banyak khurafat, bid’ah dan kesyirikan. Maka
dari itu, tidak boleh khuruj bersama mereka kecuali bagi seorang yang berilmu,
yang keluar (khuruj) bersama mereka dalam rangka mengingkari (kebatilan mereka)
dan mengajarkan ilmu kepada mereka. Adapun khuruj, semata ikut dengan mereka
maka tidak boleh”.
2.
Syaikh
Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata: “Semoga
Allah merahmati Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz (atas pengecualian beliau tentang
bolehnya khuruj bersama Jama’ah Tabligh untuk mengingkari kebatilan mereka dan
mengajarkan ilmu kepada mereka, -pen), karena jika mereka mau menerima nasehat
dan bimbingan dari ahlul ilmi maka tidak akan ada rasa keberatan untuk khuruj
bersama mereka. Namun kenyataannya, mereka tidak mau menerima nasehat dan tidak
mau rujuk dari kebatilan mereka, dikarenakan kuatnya fanatisme mereka dan
kuatnya mereka dalam mengikuti hawa nafsu.
Jika
mereka benar-benar menerima nasehat dari ulama, niscaya mereka telah tinggalkan
manhaj mereka yang batil itu dan akan menempuh jalan ahlut tauhid dan ahlus
sunnah. Nah, jika demikian permasalahannya, maka tidak boleh keluar (khuruj)
bersama mereka sebagaimana manhaj as-salafush shalih yang berdiri di atas Al Qur’an
dan As Sunnah dalam hal tahdzir (peringatan) terhadap ahlul bid’ah dan
peringatan untuk tidak bergaul serta duduk bersama mereka. Yang demikian itu
(tidak bolehnya khuruj bersama mereka secara mutlak, pen), dikarenakan termasuk
memperbanyak jumlah mereka dan membantu mereka dalam menyebarkan kesesatan. Ini
termasuk perbuatan penipuan terhadap Islam dan kaum muslimin, serta sebagai
bentuk partisipasi bersama mereka dalam hal dosa dan kekejian. Terlebih lagi
mereka saling berbai’at di atas empat tarekat sufi yang padanya terdapat
keyakinan hulul, wihdatul wujud, kesyirikan dan kebid’ahan”.
3.
Syaikh
Al-Allamah Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahullah berkata: “Bahwasanya
organisasi ini (Jamaah Tabligh, -pen) tidak ada kebaikan padanya. Dan sungguh ia
sebagai organisasi bid’ah dan sesat. Dengan membaca buku-buku mereka, maka
benar-benar kami dapati kesesatan, bid’ah, ajakan kepada peribadatan terhadap
kubur-kubur dan kesyirikan, sesuatu yang tidak bisa dibiarkan. Oleh karena itu
-insya Allah- kami akan membantah dan membongkar kesesatan dan kebatilannya”.
4.
Syaikh
Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah
berkata: “Jama’ah Tabligh tidaklah
berdiri di atas manhaj Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam serta pemahaman as-salafus shalih.” Beliau juga berkata: “Dakwah Jamaah Tabligh adalah dakwah sufi
modern yang semata-mata berorientasi kepada akhlak. Adapun pembenahan terhadap
aqidah masyarakat, maka sedikit pun tidak mereka lakukan, karena -menurut
mereka- bisa menyebabkan perpecahan”. Beliau juga berkata: “Maka Jama’ah Tabligh tidaklah mempunyai
prinsip keilmuan, yang mana mereka adalah orang-orang yang selalu berubah-ubah
dengan perubahan yang luar biasa, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada”.
5.
Syaikh
Al-Allamah Abdurrazzaq 'Afifi berkata: “Kenyataannya
mereka adalah ahlul bid’ah yang menyimpang dan orang-orang tarekat Qadiriyyah
dan yang lainnya. Khuruj mereka bukanlah di jalan Allah, akan tetapi di jalan
Muhammad Ilyas. Mereka tidaklah berdakwah kepada Al Qur’an dan As Sunnah, akan
tetapi kepada Muhammad Ilyas, syaikh mereka di Bangladesh (maksudnya India, -pen)”.
Demikianlah
selayang pandang tentang hakikat Jama’ah Tabligh, semoga sebagai nasehat dan
peringatan bagi pencari kebenaran. Wallahul Muwaffiq wal Hadi Ila Aqwamith
Thariq.
0 komentar:
Posting Komentar