إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
Hadits-hadits
yang dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam ada
yang shahih, hasan, dha’if (lemah), dan maudhu’ (palsu).
Dalam kitab
haditsnya, Imam Muslim menyebutkan di awal kitab sesuatu yang memperingatkan
tentang hadits dha’if, memilih judul: “Bab larangan menyampaikan hadits dari
setiap apa yang didengar.” Berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa
Salam,
“Cukuplah seseorang sebagai
pendusta, jika ia menyampaikan hadits dari setiap apa yang ia dengar.” (HR. Muslim)
Imam Nawawi
dalam kitabnya Syarah Muslim, menyebutkan: “Bab larangan meriwayatkan
dari orang-orang dha’if (lemah).” Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa Salam,
“Kelak akan ada di akhir zaman
segolongan manusia dari umatku yang menceritakan hadits kepadamu apa yang kamu
tidak pernah mendengarnya, tidak juga nenek moyang kamu, maka waspadalah dan
jauhilah mereka.” (HR.
Muslim)
Imam lbnu
Hibban dalam kitab Shahih-nya menyebutkan: “Pasal; Peringatan
terhadap wajibnya masuk Neraka orang yang menisbatkan sesuatu kepada
Al-Mushthafa (Muhammad), sedangkan dia tidak mengetahui kebenarannya.”
Selanjutnya beliau menyebutkan dasarnya, yaitu sabda Nabi Shallallaahu
‘alaihi wa Salam,
“Barangsiapa berbohong atasku
(dengan mengatakan) sesuatu yang tidak aku katakan, maka hendaknya ia menempati
tempat duduknya di Neraka.” (HR. Ahmad, hadits hasan)
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wa Salam memperingatkan dari hadits-hadits maudhu’ (palsu), dengan sabdanya,
“Barangsiapa berdusta atasku dengan
sengaja, maka hendaknya ia menempati tempat duduknya di Neraka.” (Muttafaq ‘alaih)
Tetapi
sungguh amat disayangkan, kita banyak mendengar dari para Syaikh hadits-hadits
maudhu’ dan dha’if untuk menguatkan madzhab dan kepercayaan mereka. Di
antaranya seperti hadits,
“Perbedaan (pendapat) di kalangan
umatku adalah rahmat.”
Al-Allamah
lbnu Hazm berkata, “ltu bukan hadits, bahkan ia batil dan dusta, sebab jika
perbedaan pendapat (khilafiyah) adalah rahmat, niscaya kesepakatan (ittifaq )
adalah sesuatu yang dibenci. Hal yang tak mungkin diucapkan oleh seorang
muslim.”
Termasuk hadits makdzub (dusta)
adalah:
“Belajarlah (ilmu) sihir, tetapi
jangan mengamalkannya.”
“Seandainya salah seorang di antara
kamu mempercayai (meski) terhadap sebongkah batu, niscaya akan bermanfaat
baginya.”
Adapun hadits yang kini banyak
beredar:
“Jauhkanlah masjidku dari anak-anak
kecil dan orang-orang gila.”
Menurut Ibnu
Hajar itu adalah hadits dha’if, lemah. Ibnu Al-Jauzi berkata, hadits itu tidak
shahih. Sedang Abdul Haq mengomentari sebagai hadits yang tidak ada sumber
asalnya.
Penolakan
terhadap hadits tersebut lebih dikuatkan lagi oleh ada-nya hadits shahih dari
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam :
“Ajarilah anak-anakmu shalat, saat
mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka karena meninggalkannya, ketika
mereka berusia sepuluh tahun.” (HR. Ahmad, hadits shahih)
Mengajar
shalat tersebut dilakukan di dalam masjid, sebagaimana Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa Sallam telah mengajar para sahabatnya. Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa Sallam mengajar dari atas mimbar, sedang anak-anak ketika itu
berada di masjid Nabi, bahkan hingga mereka yang belum mencapai baligh.
Tidak cukup
pada akhir setiap hadits kita mengatakan, “Hadits riwayat At-Tirmidzi” atau
lainnya. Sebab kadang-kadang, beliau juga meriwayatkan hadits-hadits yang tidak
shahih . Karena itu, kita harus menyebutkan derajat hadits: shahih, hasan atau
dha’if. Adapun meng-akhiri hadits dengan mengatakan, “Hadits riwayat Al-Bukhari
atau Muslim” maka hal itu cukup. Karena hadits-hadits yang diriwayatkan oleh
kedua imam tersebut senantiasa shahih.
Hadits
dha’if tidak dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam
, karena adanya cacat dalam sanad (jalan periwayatan) atau matan (isi hadits).
Jika salah
seorang dari kita pergi ke pasar, lalu melihat daging yang gemuk segar dan
daging yang kurus lagi kering, tentu ia akan memilih yang gemuk segar dan
meninggalkan daging yang kurus lagi kering. Islam memerintahkan agar dalam berkurban
kita memilih binatang sembelihan yang gemuk dan meninggalkan yang kurus. Jika
demikian, bagaimana mungkin diperbolehkan mengambil hadits dha’if dalam masalah
agama, apalagi masih ada hadits yang shahih…?
Para ulama
hadits memberi ketentuan, bahwa hadist dha’if tidak boleh dikatakan dengan
lafazh: Qoola Rasuulullaahi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam (Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda), karena lafazh itu adalah untuk hadits
shahih. Tetapi hadits dha’if itu harus diucapkan dengan lafazh “ruwiya”
(diriwayatkan), dengan shighat majhul (tidak diketahui dari siapa). Hal itu
untuk membedakan antara hadits dha’if dengan hadits shahih.
Sebagian
ulama kontemporer berpendapat, hadits dha’if itu boleh diambil dan diamalkan,
tetapi harus memenuhi kriteria berikut:
Ø Hadits itu
menyangkut masalah fadha’ilul a’maal (keutamaan-keutamaan amalan)
Ø Hendaknya
berada di bawah pengertian hadits shahih.
Ø Hadits itu
tidak terlalu amat lemah (dha’if).
Ø Hendaknya
tidak mempercayai ketika mengamalkan, bahwa hadits itu berasal dari Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam
Tetapi, saat
ini orang-orang tak lagi mematuhi batasan syarat-syarat tersebut, kecuali
sebagian kecil dari mereka.
CONTOH HADITS MAUDHU’
“Sesungguhnya Allah menggenggam
segenggam dari cahaya-Nya, lalu berfirman kepadanya, ‘Jadilah Muhammad’.”
“Wahai Jabir, bahwa yang pertama
kali diciptakan oleh Allah adalah cahaya Nabimu.”
“Bertawassullah dengan martabat dan
kedudukanku.”
“Barangsiapa yang menunaikan haji
kemudian tidak berziarah kepadaku, maka dia telah bersikap kasar kepadaku.”
“Pembicaraan di masjid memakan
kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.”
“Cinta tanah air adalah sebagian
daripada iman.”
“Berpegang teguhlah kamu dengan
agama orang-orang lemah.”
“Barangsiapa yang mengetahui
dirinya, maka dia telah mengetahui Tuhannya.”
“Aku adalah harta yang tersembunyi.”
“Ketika Adam melakukan kesalahan, ia
berkata, ‘Wahai Tuhan-ku, aku memohon kepadaMu dengan hak Muhammad agar Engkau
mengampuni aku.”
“Semua manusia (dalam keadaan) mati
kecuali para ulama. Semua ulama binasa kecuali mereka yang mengamalkan
(Ilmunya). Semua orang yang mengamalkan ilmunya tenggelam, kecuali mereka yang
ikhlas. Dan orang-orang yang ikhlas itu berada dalam bahaya yang besar.”
“Para sahabatku laksana bintang-bintang.
Siapa pun dari mereka yang engkau teladani, niscaya engkau akan mendapat petunjuk.”
“Jika khatib telah naik mimbar, maka
tak ada lagi shalat dan perbincangan.”
“Carilah Ilmu meskipun (sampai) di
negeri Cina.”
Sumber : File CHM dari kitab Jalan Golongan yang Selamat karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu Bagian (hal.41-42)
0 komentar:
Posting Komentar