إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
Di bawah ini akan kami petikkan tulisan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dari
kitab Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, ketika beliau mengomentari
hadits berikut:
قَامَ مَنْ عِنْدِي جِبْرِيْلُ قَبْلُ
فَحَدَّثَنِيْ أَنَّ الْحُسَيْنَ يُقْتَلُ بِشَطِّ الْفُرَاتِ
“Telah datang malaikat Jibril di sisiku, lalu dia mengabarkan kepadaku
bahwa Husein akan dibunuh di Syaththil Furaats (Karbala)”. (HR. Ahmad dalam Musnadnya
[1/85]; dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dengan beberapa
syawahid (penguat-penguat hadits tersebut) dalam kitabnya Silsilah
Al-Ahadits Ash-Shahihah, [jilid III, hal. 159-162]).
Setelah beliau
men-takhrij dan menyebutkan berbagai syawahid-nya secara lengkap, beliau
berkata sebagai berikut, “Hadits-hadits ini [1] tidak menunjukkan
kesucian tanah Karbala, keutamaan sujud di atas tanah tersebut dan tidak pula
menunjukkan sunnah menjadikan qursh (batu lempengan) dari tanah Karbala untuk
sujud di atasnya ketika shalat sebagaimana yang dilakukan kaum Syi’ah pada hari ini. Kalau hal ini termasuk perkara sunnah, maka menjadikan
qursh dari tanah Masjidil Haram (Makkah) dan Masjid Nabawi (Madinah) paling pantas
untuk sujud di atasnya ketika shalat, tetapi hal ini merupakan bid’ah Syi’ah
dan sikap ghuluw mereka dalam mengaguungkan ahlul bait dan
peninggalan-peninggalan mereka.
Termasuk dari keanehan
kaum Syi’ah yang lain ialah pendapat mereka bahwa akal termasuk sumber tasyri’
(yang dijadikan patokan dalam syari’at). Oleh karena itu mereka mengatakan baik
dan jelek berdasarkan akal. Bersamaan dengan hal ini (akal sebagai sumber
tasyri’), mereka meriwayatkan atsar tentang keutamaan sujud di atas tanah
Karbala, padahal atsar tersebut adalah termasuk hadits-hadits yang dapat
dibuktikan kebatilannya oleh akal yang sehat secara aksioma.[2]
Aku (Syaikh Al-Albani) mendapatkan risalah (tulisan / karangan) yang
ditulis oleh seorang Syi’ah yang biasa dipanggil As-Sayyid Abdur-Ridha
Al-Mar’isyi Asy-Syihristaani (selanjutnya disingkat ARMS –pent.) dengan judul
As-Sujud ‘ala At-Turbah Al-Husainiyyah pada hal.15 dia berkata, “Telah
diriwayatkan bahwa sujud di atas tanah Karbala paling utama karena kemuliaan
dan kesucian tanah tersebut. Serta kesucian orang yang dikubur di tanah
tersebut". Dan telah diriwayatkan hadits dari A`imatil ‘Ithrah
Ath-Thahirah alaihimus salam[3] bahwa sujud
di atas Karbala menerangi bumi yang ketujuh. Dalam riwayat lain: “Dapat
menembus ketujuh hijab". Dan dalam riwayat lain: Allah menerima
shalat orang yang bersujud di atas tanah Karbala yang Dia tidak menerima shalat
orang yang bersujud di selainnya. Dalam riwayat lain bahwa sujud di atas
tanah kuburan Husein menerangi bumi.”
Hadits-hadits seperti
ini jelas kebatilannya menurut kami dan para Imam Ahlul Bait radliyallahu
‘anhum berlepas diri dari hadits-hadits tersebut. Hadits-hadits tersebut tidak
memiliki sanad-sanad di sisi mereka, sehingga dimungkinkan untuk dikritik dari
segi ilmu hadits dan ushul-ushul ilmu hadits. Hadits-hadits tersebut hanyalah
hadits-hadits yang mursal[4] dan mu’dlal[5].
Penulis risalah
tersebut belum puas memenuhi risalahnya dengan nukilan-nukilan ini yang
dianggap dari para imam Ahlul Bait. Bahkan dia mengelabui para pembaca
bahwasanya nukilan-nukilan tersebut seperti nukilan-nukilan kita Ahlus Sunnah.
Dia mengatakan (pada hal. 19): “Hadits-hadits keutamaan tanah Husainiyyah
(tanah Karbala) dan kesuciannya tidak terbatas pada hadits-hadits para Imam
Ahlul Bait alaihimus salam karena hadits-hadits yang serupa dengan
hadits-hadits ini masyhur (terkenal) dan banyak terdapat dalam kitab-kitab
induk firqah Islam yang lain dari jalan ulama-ulama dan rawi-rawi mereka. Di
antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Suyuthi dalam kitabnya Al-Khasha`ishul
Kubra bab Ikhbarun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biqatlil Husein alaihis
salam. Dia meriwayatkan dalam kitab tersebut sekitar 20 hadits dari tokoh-tokoh
yang terpercaya di kalangan mereka seperti Al-Hakim, Al-Baihaqi, Abu Nu’aim,
At-Thabrani, Al-Haitsami dalam Al-Mujma’ (9:191) dan lain-lain dari
perawi-perawi mereka yang terkenal.”
Wahai saudarakum
muslim, ketahuilah bahwasanya tidak ada pada As-Suyuthi dan tidak pula pada
Al-Haitsami satu hadits pun yang menunjukkan keutamaan tanah Al-Huseiniyyah
(tanah Karbala) dan kesuciannya.
Setiap nukilan yang ada
pada kitab-kitab tersebut yang sesuai kosa kata-kosa katanya sesungguhnya hanya
berupa pengkhabaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang terbunuhnya
Husein di tanah Karbala. Dan baru saja aku (As-Syaikh Al-Albani) paparkan
intisari-intisari nukilan tersebut. Apakah kalian dapatkan pada kitab-kitab
tersebut sebagaimana yang dinyatakan oleh Syi’ah ini (ARMS) pada risalahnya
atas As-Suyuthi dan Al-Haitsami?
“Demi Allah, tidak! Tetapi, Syi’ah dalam mendukung kesesatan bid’ahnya
menggunakan dalil yang lebih lemah dari sarang laba-laba. Dia (orang Syi’ah
ini) terus menerus membuat pengkaburan terhadap para pembaca bahkan sampai
berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Sebagaimana perkataannya pada hal. 13,
“Orang pertama yang menjadikan batu lempengan dari tanah untuk sujud di
atasnya adalah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun
ketiga hijriah tatkala terjadi peperangan yang luar biasa antara kaum muslimin
dan Quraisy pada perang Uhud dan gugur pada peperangan tersebut tokoh yang
paling agung dalam Islam yaitu Hamzah bin Abdil Muthalib paman Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
kepada para wanita Islam untuk berniyahah (meratap) atas kematian Hamzah
tersebut pada setiap pertemuan. Perkara pemuliaan Hamzah ini berkembang sampai
mereka (para shahabat) mengambil tanah kuburannya unntuk meminta berkah dan
sujud di atasnya karena Allah Ta’ala dan mereka membuat alat tasbih dari tanah
tersebut sebagaimana yang terdapat dalam kitab Al-Ardhu wat Turbatul
Husainiyyah. Dan para tabi’in melakukan yang demikian ini. Di antaranya
Al-Faqih…”
Kitab tersebut di atas
(Al-Ardhu wat Turbatul Husainiyyah) merupakan bagian kitab-kitab Syi’ah.
Wahai pembaca yang mulia! Perhatikanlah! Bagaimana dia berdusta atas Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pernyataannya bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah orang pertama yang menjadikan batu lempengan untuk
sujud di atasnya. Selanjutnya tidaklah dia memaparkan (‘atsar) untuk menopang
pernyataannya tersebut kecuali kepada kedustaan yang lain, yaitu perintah
Rasulullah kepada para wanita untuk meratap kematian Hamzah pada setiap
pertemuan, padahal tidak ada kaitan antara perintah niyahah ini –sekalipun
shahih- dengan menjadikan batu lempengan untuk sujud di atasnya sebagaimana
yang tampak. Perintah niyahah ini tidak benar (tidak sah) dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana hal ini terjadi, padahal beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam membai’at para wanita agar mereka tidak berniyahah
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dan selain keduanya dari
Umu ‘Athiyyah (lihat kitab kami Ahkamul Jana’iz hal. 28). Dan tampak bagiku
bahwasanya dia (penulis) menyertakan kedustaan yang ketiga kepada kedustaan di
atas, yaitu ucapannya tentang shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“… perkara tentang pemuliaan Hamzah ini berkembang sampai mereka (para
shahabat) mengambil tanah kuburannya untuk meminta berkah dan sujud di atasnya
karena Allah Ta’ala…” Hal ini adalah kedustaan atas para shahabat radliallahu
‘anhum. Dan mustahil para shahabat mendekati pemujian berhala seperti ini.
Cukup bagi pembaca melihat bukti kedustaan orang Syi’ah ini atas Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya bahwasanya dia tidak bisa menisbatkan
(menyandarkan) yang demikian ini kepada sumber yang ma’ruf dari sumber-sumber
kaum muslimin kecuali kitab Al-Ardhu wat Turbatul Husainiyyah yang termasuk
kitab-kitab orang-orang akhir di kalangan mereka dan tidak diketahui
pengarangnya. Orang Syi’ah ini (ARMS) tidak berani menyebutkan nama pengarang
kitab tersebut dan menuntupi identitasnya agar tidak terbuka kedoknya
(kejelekan dan kesalahannya) dengan penyebutan nama pengarang tersebut yang hal
ini sebagai sumber kedustaannya. Penulis (ARMS) belum puas menyuguhkan
kedustaannya terhadap as-salaful awwal bahkan berlanjut kedustaan terhadap
orang setelah mereka.
Perhatikanlah lanjutan ucapannya di atas,
“Dan di antara mereka adalah Al-Faqih Al-Kabir Masruq bin Al-Ajda’
meninggal tahun 62 Hijriah, seorang tabi’i besar yang tergolong rijal shihah
yang enam. Dia (Masruq) mengambil batu lempengan dari tanah Madinah Munawwarah
dalam safar-safarnya untuk sujud di atasnya sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Al-Hafidh Imamus Sunnah Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah dalam kitabnya Al-Mushannaf
jilid 2 bab Man Kaana Yahmilu fis-Safiinah Syaian Yasjudu ‘Alaihi. Dia
mengeluarkan (meriwayatkan)nya dengan dua sanad, bahwasanya Masruq apabila
safar dalam perahu ia membawa batu lempengan dari Madinah Munawwarah untuk sujud
di atasnya.
Aku (Syaikh Al-Albani) katakan, “Dalam ucapan ini banyak kedustaan:
1.
Ucapannya: “Dia
(Masruq) mengambil batu lempengan dalam safar-safarnya.” Ucapan safar ini
mencakup safar di daratan dan ini menyelisihi atsar yang dia sebutkan
(yaitu di laut –pent.)
2. Penetapan penulis bahwa
Masruq melakukan demikian memberikan (makna) bahwa atsar tersebut tsabit dari
Masruq padahal tidak demikian, bahkan dhaif munqathi’[6]
sebagaimana akan datang penjelasannya.
3.
Ucapannya: “… dengan
dua sanad” adalah dusta. Sesungguhnya sanadnya hanya satu yang bersumber
dari Ali Muhammad bin Siriin. Terjadi perselisihan tentang Ali Muhammad bin
Siriin dalam atsar ini. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam Al-Mushannaf
(2/43/2) dari jalan Yazid bin Ibrahim dari Ibnu Siriin bahwa dia (Yazid)
berkata, “Aku khabarkan bahwa Masruq membawa batu lempengan dalam perahu
untuk sujud di atasnya.” Dan dari jalan Ibnu ‘Aun dari Muhammad “bahwasanya
Masruq apabila safar dalam perahu dia membawa batu lempengan untuk sujud di
atasnya.”
Anda dapat melihat
bahwa atsar yang pertama dari jalan Ibnu Siriin dan yang lain (kedua) dari
jalan Muhammad yang dia itu tidak lain adalah Ibnu Siriin juga. Maka sanad ini pada
hakikatnya satu sanad. Tetapi Yazid bin Ibrahim berkata darinya (Ibnu Siriin), “Aku
khabarkan”. Dia (Yazid) menetapkan bahwa Ibnu Siriin melakukan demikian
dengan perantaraan Masruq sedangkan Ibnu ‘Aun tidak menetapkan demikian.
Masing-masing dari keduanya
(Yazid bin Ibrahim dan Ibnu ‘Aun) tsiqah/terpercaya dalam periwayatan (‘atsar),
hanya saja Yazid bin Ibrahim membawa tambahan ini (“Aku khabarkan”)
dalam sanadnya. Maka tambahan tersebut diterima sebagaimana yang ditetapkan
dalam Al-Musthalah (Ilmu Musthalah Hadits) bahwa, “Orang yang hafal
sebagai hujjah atas orang yang belum hafal.” Dan atas dasar ini maka
penyandaran perbuatan ini kepada Masruq adalah dhaif (lemah) yang tidak tegak
hujjah dengannya karena sumber atsar tersebut adalah satu rawi yang tidak
disebut namanya (majhul). Maka tidak boleh penetapan dengan menisbatkan
perbuatan tersebut pada Masruq radliallahu ‘anhu wa rahimahu sebagaimana yang
dilakukan oleh orang Syi’ah ini (ARMS).
4.
Orang Syi’ah ini
(penulis/ARMS) telah memasukkan pada atsar ini tambahan yang tidak ada asalnya
pada Al-Mushannaf yaitu ucapannya: “Dari tanah Madinah Munawwarah.”
Tidak ada penyebutan tambahan ini pada masing-masing riwayat tersebut
sebagaimana yang anda lihat.
Tahukah anda kenapa
orang Syi’ah ini mengadakan tambahan dalam atsar ini. Telah jelas baginya bahwa
pada atsar tersebut tidak ada dalil secara mutlak atas pengambilan batu
lempengan dari bumi Al-Mubaarakah (Madinah Munawarah) untuk sujud di atasnya
apabila dia membiarkan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah.
Oleh karena itu ia sertakan tambahan ini pada atsar tersebut untuk mengelabui
para pembaca bahwa Masruq rahimahullah menjadikan batu lempengan dari Madinah
untuk sujud di atasnya dalam rangka minta barakah. Apabila hal ini tsabit ia
sertakan pada atsar ini kebolehan menjadikan lempengan dari tanah Karbala
dengan seluruh penyertaan sebagai bumi yang disucikan.
Apabila anda mengetahui
bahwa yang dijadikan qiyas atasnya adalah batil dan tidak ada asalnya,
melainkan hanya berupa rekaan (perbuatan bohong) orang Syi’ah tersebut (ARMS)
maka anda mengetahui bahwa mengqiaskan kepadanya juga batil. Sebagaimana yang
dikatakan dalam pepatah: “Tidak akan tegak (lurus) suatu bayangan sedangkan
tongkat itu bengkok.”
Wahai pembaca yang
mulia, perhatikanlah keberanian Syi’ah yang luar biasa atas pendustaan ini
sampai mereka berdusta atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
rangka mendukung kesesatan yang ada pada mereka. Perhatikan yang demikian ini
niscaya akan jelas bagi anda kebenaran orang yang mensifati mereka dari
kalangan aimmah dengan ucapan: “Sedusta-dusta kelompok adalah Rafidlah
(Syi’ah Rafidlah).”
Termasuk
kedustaan-kedustaan adalah ucapannya (halaman 9): “Diriwayatkan dalam Shahih
Bukhari (!) (1/331) bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
membenci shalat di atas sesuatu yang bukan tanah.”
Perkataan ini adalah dusta dari dua sisi:
1. Tidak terdapat dalam shahih Bukhari lafadz ini, tidak dari beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam dan tidak pula dari kalangan salaf.
2. Atsar tersebut disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Syarhihi
ala Al-Bukhari (1/388) dari ‘Urwah dia berkata, “Ibnu Abi Syaibah
meriwayatkan dari ‘Urwah dan Az-Zubair bahwasanya dia membenci shalat atas
sesuatu yang bukan selain tanah.”
(Diterjemahkan oleh al Faqir ila maghfiratil Jaliil Abu Sa’id Hamzah bin
Halil dari Kitab Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah/Al-Albani jilid 3 hal.
162-166)
-semoga Allah melaknat Syi'ah-
-semoga Allah melaknat Syi'ah-
Sumber: Majalah SALAFY edisi VIII/Rabi’ul Awwal/1417/1996
[1] Yakni hadits di atas dan syawahidnya. Bagi yang ingin
mengetahui syawahid hadits ini, silakan baca kitab beliau tersebut di atas.
[4] Mursal: hadits yang diriwayat oleh tabi’i dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menyebut shahabat.
0 komentar:
Posting Komentar