إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
Bersama : Fadliilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Penulisan dan pengumpulan Al-Qur’an melewati tiga jenjang.
Tahap Pertama.
Zaman Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Pada jenjang ini penyandaran pada hafalan lebih banyak
daripada penyandaran pada tulisan karena hafalan para Sahabat Radhiyallahu
‘anhum sangat kuat dan cepat di samping sedikitnya orang yang bisa baca
tulis dan sarananya. Oleh karena itu siapa saja dari kalangan mereka yang
mendengar satu ayat, dia akan langsung menghafalnya atau menuliskannya dengan
sarana seadanya di pelepah kurma, potongan kulit, permukaan batu cadas atau
tulang belikat unta. Jumlah para penghapal Al-Qur’an sangat banyak.
Dalam kitab Shahih Bukhari
dari Anas Ibn Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengutus tujuh puluh orang yang disebut Al-Qurra’. Mereka
dihadang dan dibunuh oleh penduduk dua desa dari suku Bani Sulaim ; Ri’l dan
Dzakwan di dekat sumur Ma’unah. Namun di kalangan para sahabat selain mereka
masih banyak para penghapal Al-Qur’an, seperti Khulafaur Rasyidin, Abdullah Ibn
Mas’ud, Salim bekas budak Abu Hudzaifah, Ubay Ibn Ka’ab, Mu’adz Ibn Jabal, Zaid
Ibn Tsabit dan Abu Darda Radhiyallahu ‘anhum. (Diriwayatkan oleh
Bukhari, Kitab Al-Jihad, Bab Al-Aunu Bil Madad, hadits [no.3064]).
Tahap Kedua
Pada zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu
‘anhu tahun dua belas Hijriyah. Penyebabnya adalah : Pada perang Yamamah
banyak dari kalangan Al-Qurra’ yang terbunuh, diantaranya Salim bekas budak Abu
Hudzaifah ; salah seorang yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan untuk mengambil pelajaran Al-Qur’an darinya.
Maka Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu
memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur’an agar tidak hilang. Dalam kitab Shahih
Bukahri disebutkan, bahwa Umar Ibn Khaththab mengemukakan pandangan
tersebut kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu setelah selesainya perang
Yamamah. Abu Bakar tidak mau melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar
terus-menerus mengemukakan pandangannya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala
membukakan pintu hati Abu Bakar untuk hal itu, dia lalu memanggil Zaid Ibn
Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, di samping Abu Bakar bediri Umar, Abu Bakar
mengatakan kepada Zaid : “Sesunguhnya engkau adalah seorang yang masih muda
dan berakal cemerlang, kami tidak meragukannmu, engkau dulu pernah menulis
wahyu untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sekarang carilah
Al-Qur’an dan kumpulkanlah!”, Zaid berkata : “Maka akupun mencari dan mengumpulkan
Al-Qur’an dari pelepah kurma, permukaan batu cadas dan dari hafalan
orang-orang. Mushaf tersebut berada di tangan Abu Bakar hingga dia wafat,
kemudian dipegang oleh Umar hingga wafatnya, dan kemudian di pegang oleh Hafsah
Binti Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Diriwayatkan oleh Bukhari secara panjang
lebar. (Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab At-Tafsir, Bab Qauluhu Ta’ala : Laqad
jaa’akum Rasuulun Min Anfusikum Aziizun Alaihi Maa Anittum … al-ayat)
Kaum muslimin saat itu seluruhnya
sepakat dengan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar, mereka menganggap
perbuatannya itu sebagai nilai positif dan keutamaan bagi Abu Bakar, sampai Ali
Ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Orang yang paling
besar pahalanya pada mushaf Al-Qur’an adalah Abu Bakar, semoga Allah Subhanahu
wa Ta’ala memberi rahmat kepada Abu Bakar karena, dialah orang yang pertama
kali mengumpulkan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tahap Ketiga
Pada zaman Amirul Mukminin Utsman
Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu pada tahun dua puluh lima Hijriyah. Sebabnya
adalah perbedaan kaum muslimin pada dialek bacaan Al-Qur’an sesuai dengan
perbedaan mushaf-mushaf yang berada di tangan para sahabat Radhiyallahu
‘anhum. Hal itu dikhawatirkan akan menjadi fitnah, maka Utsman Radhiyallahu
‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan mushaf-mushaf tersebut menjadi satu
mushaf sehingga kaum muslimin tidak berbeda bacaannya kemudian bertengkar pada
Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akhirnya berpecah belah.
Dalam kitab Shahih Bukhari
disebutkan, bahwasanya Hudzaifah Ibnu Yaman Radhiyallahu ‘anhu datang
menghadap Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu dari perang pembebasan
Armenia dan Azerbaijan. Dia khawatir melihat perbedaaan mereka pada dialek
bacaan Al-Qur’an, dia katakan : “Wahai Amirul Mukminin, selamatkanlah umat
ini sebelum mereka berpecah belah pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti
perpecahan kaum Yahudi dan Nasrani!” Utsman lalu mengutus seseorang kepada
Hafsah Radhiyallahu ‘anhuma : “Kirimkan kepada kami mushaf yang
engkau pegang agar kami gantikan mushaf-mushaf yang ada dengannya kemudian akan
kami kembalikan kepadamu!”, Hafshah lalu mengirimkan mushaf tersebut. (Diriwayatkan
oleh Bukhari, Kitab Fadhaailul Qur’an, Bab Jam’ul Qur’an, hadits [no.4978])
Kemudian Utsman memerintahkan Zaid
Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Az-Zubair, Sa’id Ibnul Ash dan Abdurrahman Ibnul
Harits Ibn Hisyam Radhiyallahu ‘anhum untuk menuliskannya kembali dan
memperbanyaknya. Zaid Ibn Tsabit berasal dari kaum Anshar sementara tiga orang
yang lain berasal dari Quraisy. Utsman mengatakan kepada ketiganya : “Jika
kalian berbeda bacaan dengan Zaid Ibn Tsabit pada sebagian ayat Al-Qur’an, maka
tuliskanlah dengan dialek Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dengan dialek
tersebut!”, merekapun lalu mengerjakannya dan setelah selesai, Utsman
mengembalikan mushaf itu kepada Hafshah dan mengirimkan hasil pekerjaan
tersebut ke seluruh penjuru negeri Islam serta memerintahkan untuk membakar
naskah mushaf Al-Qur’an selainnya.
Utsman Radhiyallahu ‘anhu
melakukan hal ini setelah meminta pendapat kepada para sahabat Radhiyalahu
‘anhum yang lain sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari
Ali Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia mengatakan : “Demi Allah,
tidaklah seseorang melakukan apa yang dilakukan pada mushaf-mushaf Al-Qur’an
selain harus meminta pendapat kami semuanya”, Utsman mengatakan : “Aku
berpendapat sebaiknya kita mengumpulkan manusia hanya pada satu Mushaf saja
sehingga tidak terjadi perpecahan dan perbedaan”. Kami menjawab : “Alangkah
baiknya pendapatmu itu”. (Diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam Kitabnya Al-Fashl
Lil Washl Al-Mudraj, jilid : 2 hal.954, dalam sanadnya terdapat rawi
bernama Muhammad Ibn Abban Al-Ju’fi (Al-Ilal karya Ad-Daruquthni, jilid
3, hal.229-230), Ibn Ma’in mengatakan : “Dia dha’if (Al-Jarhu wat
Ta’dil karya Ar-Razi, jilid 7 hal.200. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu
Dawud dalam kitab Al-Mashaahif hal.22)
Mush’ab Ibn Sa’ad mengatakan : “Aku
melihat orang banyak ketika Utsman membakar mushaf-mushaf yang ada, merekapun
keheranan melihatnya”, atau dia katakan : “Tidak ada seorangpun dari
mereka yang mengingkarinya, hal itu adalah termasuk nilai positif bagi Amirul
Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu yang disepakati oleh kaum muslimin
seluruhnya. Hal itu adalah penyempurnaan dari pengumpulan yang dilakukan Khalifah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu
‘anhu. (Diriwayatklan oleh Abu Dawud dalam Kitab Al-Mashaahif, [hal.12])
Perbedaan antara pengumpulan yang
dilakukan Utsman dan pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar Radhiyallahu
anhuma adalah : Tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Abu Bakar adalah
menuliskan dan mengumpulkan keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf
agar tidak tercecer dan tidak hilang tanpa membawa kaum muslimin untuk bersatu
pada satu mushaf ; hal itu dikarenakan lebih terlihat pengaruh dari perbedaan
dialek bacaan yang mengharuskannya membawa mereka untuk bersatu pada satu
mushaf Al-Qur’an saja.
Sedangkan tujuan dari pengumpulan
Al-Qur’an di zaman Utsman Radhiyallahu ‘anhu adalah : Mengumpulkan dan
menuliskan Al-Qur’an dalam satu mushaf dengan satu dialek bacaan dan membawa
kaum muslimin untuk bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an karena timbulnya
pengaruh yang mengkhawatirkan pada perbedaan dialek bacaan Al-Qur’an.
Hasil yang didapatkan dari pengumpulan
ini terlihat dengan timbulnya kemaslahatan yang besar di tengah-tengah kaum
muslimin, di antaranya : Persatuan dan kesatuan, kesepakatan bersama dan saling
berkasih sayang. Kemudian mudharat yang besarpun bisa dihindari yang di
antaranya adalah : Perpecahan umat, perbedaan keyakinan, tersebar luasnya
kebencian dan permusuhan.
Mushaf Al-Qur’an tetap seperti itu
sampai sekarang dan disepakati oleh seluruh kaum muslimin serta diriwayatkan
secara Mutawatir. Dipelajari oleh anak-anak dari orang dewasa, tidak bisa
dipermainkan oleh tangan-tangan kotor para perusak dan tidak sampai tersentuh
oleh hawa nafsu orang-orang yang menyeleweng.
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa
Ta’ala Tuhan langit, Tuhan bumi dan Tuhan sekalian alam.
[Disalin dari kitab Ushuulun Fie At-Tafsir edisi Indonesia Belajar
Mudah Ilmu Tafsir oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit
Pustaka As-Sunnah, Penerjemah Farid Qurusy]
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar