(2) Sejarah dan fakta lapangan membuktikan kebenaran hadits Nabi di atas.
Benarlah, Iraq adalah sumber fitnah [4], baik yang telah terjadi maupun yang
belum terjadi. Seperti,
Ø Keluarnya Ya’juj dan Ma’juj
Ø Perang Jamal
Ø Perang Shifin
Ø Fitnah Karbala
Ø Tragedi Tatar
Ø Demikian pula munculnya kelompok-kelompok sesat seperti Khawarij yang
muncul di kota Harura’ –kota dekat Kufah–, Rafidhah (Syi’ah) –hingga kini masih
kuat–, Mu’tazilah, Jahmiyah, dan Qadariyah. Awal kemunculan mereka di Iraq,
sebagaimana dalam hadits pertama Shahih Muslim.
Dan kenyataan yang kita
saksikan dengan mata kepala pada saat ini, keamanan di Iraq terasa begitu
mahal. Banyak peperangan dan pertumpahan darah, serta andil (campur tangan)
orang-orang kafir dalam menguasai Iraq. Kita berdo’a kepada Alloh agar
memperbaiki keadaan di Iraq, menetapkan langkah para mujahidin di Iraq dan
menyatukan barisan mereka. Aamiin.
Imam Ibnu Abdil Barr
berkata dalam al-Istidzkar (27/248), ”Rasulullah mengkhabarkan
datangnya fitnah dari arah timur, dan memang benar secara nyata bahwa
kebanyakan fitnah muncul dari timur dan terjadi di sana. Seperti perang Jamal,
perang Shifin, terbunuhnya al-Husain, dan lain sebagainya dari fitnah yang
terjadi di Iraq dan Khurasan semenjak dahulu hingga sekarang. Akan sangat panjang
kalau mau diuraikan. Memang, fitnah terjadi di setiap penjuru kota Islam, namun
terjadinya dari arah timur jauh lebih banyak.”
Syaikh Abdur Rahman bin
Hasan berkata dalam Majmu’atur Rasa’il wal Masa’il (4/264-265), ”Telah
terjadi di Iraq beberapa fitnah dan tragedi mengerikan yang tidak pernah
terjadi di Nejed Hijaz. Hal itu diketahui oleh seorang yang menelaah sejarah,
seperti keluarnya Khawarij, pembunuhan al-Husain, fitnah Ibnu Asy’ats, fitnah
Mukhtar yang mengaku sebagi nabi … dan apa yang terjadi pada masa pemerintahan
Hajjaj berupa pertumpahan darah, sangat panjang kalau mau diuaraikan.”
Syaikh Mahmud Syukri
al-Alusi al-Iraqi berkata dalam Ghayatul Amani (2/180), ”Tidak aneh,
Iraq memang pusat fitnah dan musibah. Penduduk Islam di sana selalu dihantam
fitnah satu demi satu. Tidak samar lagi bagi kita, fitnah ahli Harura’
(kelompok Khawarij–pen) yang mencemarkan Islam. Fitnah Jahmiyah yang banyak
dikafirkan oleh mayoritas ulama salaf juga muncul dan berkembang di Iraq.
Fitnah Mu’tazilah dan ucapan mereka terhadap Hasan al-Bashri serta lima pokok
ajaran mereka yang berseberangan dengan paham Ahli Sunnah begitu masyhur.
Fitnah ahli bid’ah kaum sufi yang menggugurkan beban perintah dan larangan yang
berkembang di Bashrah. Dan fitnah kaum Rafidhah dan Syi’ah serta perbuatan
ghuluw (berlebihan) mereka terhadap ahli bait, ucapan kotor terhadap Ali bin
Abu Thalib-radhiyallahu a’nhu- serta celaan terhadap pembesar para sahabat,
merupakan hal yang sangat masyhur juga.”
(3) Anggaplah bahwa ”Nejed” yang dimaksud hadits di atas adalah Nejed
Hijaz, tetap saja tidak mendukung keinginan mereka, sebab hadits tersebut hanya
mengkhabarkan terjadinya fitnah di suatu tempat, tidak menvonis perorangan
seperti Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Terjadinya suatu fitnah di suatu
tempat, tidaklah mengharuskan tercelanya setiap orang yang bertempat tinggal di
tempat tersebut.
Bukankah Nabi -shallallahu
‘alaihi wa sallam- juga mengkhabarkan akan terjadi fitnah di kota Madinah
Nabawiyah?! Seandainya terjadinya fitnah di suatu tempat pasti mengakibatkan
setiap penduduknya tercela, maka itu artinya seluruh penduduk Madinah tercela,
padahal tak seorangpun mengatakan hal ini. Bahkan tidak ada suatu tempat pun di
dunia ini –baik telah terjadi maupun belum– kecuali akan terjadi fitnah di
dalamnya. Lantas akankah seseorang berani mencela seluruh kaum muslimin
seantero dunia?! Jadi, timbangan celaan seorang bukanlah karena dia lahir di
tempat ini atau itu. Tetapi timbangannya adalah kalau dia sebagai pencetus
fitnah berupa kekufuran, kesyirikan, dan kebid’ahan. (Shiyanatul Insan ‘an
Waswasah Syaikh Dahlan [hal.498-500] oleh Syaikh Muhammad Basyir al-Hindi)
Syaikh Abdur Rahman bin
Hasan mengatakan, ”Bagaimanapun juga, celaan itu silih berganti waktu
tergantung kepada penduduknya, sekalipun memang tempat itu bertingkat-tingkat
keutamaannya. Tempat maksiat pada suatu waktu bisa saja akan menjadi tempat
ketaatan di waktu lain, demikian pula sebaliknya. Seandainya Nejed
tercela karena Musailamah (al-Kadzdzab) setelah kemusnahannya bersama para
pengikutnya, niscaya Yaman juga tercela karena Aswad al-Ansiy yang mengaku
nabi. Kota Madinah tidaklah tercela karena kaum Yahudi tinggal di sana dan kota
Makkah tidaklah tercela disebabkan penduduknya dahulu mendustakan Nabi
-shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan memusuhi dakwahnya.” (Majmu’atur
Rasa’il wal Masa’il [4/265]).
Syaikh Abdul Lathif bin
Abdur Rahman bin Hasan berkata dalam Minhaj Ta’sis wa Taqdis [hal.92]
”Timbangan keutamaan itu tergantung pada penduduknya, berbeda dan berpindah
bersama ilmu dan agama. Kota dan desa yang paling utama di setiap waktu adalah
yang paling banyak ilmu dan sunnahnya, dan sejelek-jelek kota adalah yang
paling sedikit ilmu, paling banyak kejahilan, kebid’ahan, dan kesyirikan,
paling lemah dalam menjalankan sunnah dan jejak salafush shalih. Jadi,
keutamaan kota itu tergantung kepada penduduk dan orangnya.”
Sebagai kesimpulan,
penulis ingin menurunkan ucapan berharga dari penjelasan ahli hadits abad ini,
Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah yang telah menepis salah
paham hadits ini dalam berbagai kesempatan. Beliau berkata setelah takhrij
hadits yang panjang,
”Sengaja saya memperluas keterangan takhrij hadits shahih ini serta menyebutkan jalur dan lafazh-lafazhnya, karena sebagian ahli bid’ah yang memerangi sunnah dan menyimpang dari tauhid telah mencela Imam Muhammad bin Abdul Wahhab, pembaharu dakwah tauhid di jazirah Arab, dan mereka mengarahkan hadits ini pada beliau, dengan alasan karena beliau berasal dari Nejed yang populer saat ini.
”Sengaja saya memperluas keterangan takhrij hadits shahih ini serta menyebutkan jalur dan lafazh-lafazhnya, karena sebagian ahli bid’ah yang memerangi sunnah dan menyimpang dari tauhid telah mencela Imam Muhammad bin Abdul Wahhab, pembaharu dakwah tauhid di jazirah Arab, dan mereka mengarahkan hadits ini pada beliau, dengan alasan karena beliau berasal dari Nejed yang populer saat ini.
Mereka tidak tahu atau memang pura-pura tidak tahu bahwa hal itu bukanlah
yang dimaksud oleh hadits ini, namun yang dimaksud adalah Iraq sebagaimana
dijelaskan oleh kebanyakan jalur hadits ini. Demikianlah yang ditegaskan oleh
para ulama semenjak dahulu seperti Imam Khaththabi, Ibnu Hajar al-Asqalani, dan
sebagainya.
Mereka tidak tahu juga bahwa orang yang berasal dari negeri tercela
tidaklah otomatis dia tercela kalau memang dia orang yang shalih. Demikian pula
sebaliknya, betapa banyak orang fajir dan fasik di Makkah, Madinah, dan Syam.
Dan betapa banyak orang alim dan shalih di Iraq [5] ? Alangkah bagusnya ucapan
Salman al-Farisi kepada Abu Darda’ tatkala mengajak dirinya hijrah dari Iraq ke
Syam, ”Amma ba’du, sesungguhnya negeri yang mulia tidaklah membuat seorang pun
menjadi mulia, namun yang membuat mulia ialah amal perbuatannya.”
(Silsilah Ahadits Shahihah [5/305])
Beliau rahimahullah juga
berkata,
”Jalur-jalur hadits ini menguatkan bahwa arah yang diisyaratkan oleh Nabi
adalah arah timur, yang tepatnya adalah Iraq, sebagaimana anda lihat secara
jelas dalam sebagian riwayat. Hadits ini merupakan tanda diantara tanda-tanda
kenabian, sebab awal fitnah adalah dari arah timur, yang merupakan penyebab
perpecahan di tengah kaum muslimin, demikian pula bid’ah-bid’ah muncul dari
arah yang sama, seperti bid’ah Syi’ah, Khawarij, dan sebagainya. Imam Bukhari
[7/77] dan Ahmad [2/85], [153] meriwayatkan dari Ibnu Abi Nu’min, bahwasanya
dia menyaksikan Ibnu Umar -radhiyallahu a’nhu- ketika ditanya oleh seorang dari
Iraq tentang hukum membunuh lalat bagi muhrim (orang yang sedang ihram). Maka
berkata Ibnu Umar,
’Wahai penduduk Iraq! Kalian bertanya kepadaku tentang orang muhrim
membunuh lalat, padahal kalian telah membunuh anak putri-Rasulullah, sedangkan
beliau (Nabi) sendiri bersabda: Keduanya (al-Hasan dan al-Husain) adalah
kesayanganku di dunia.’”
(Silsilah Ahadits Shahihah [5/655-656])
Beliau rahimahullah juga berkata,
”Apa yang dikhabarkan oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah
terbukti. Sebab kebanyakan fitnah besar munculnya dari Iraq, seperti peperangan
antara Ali dan Mu’awiyah, antara Ali dan Khawarij, antara Ali dan Aisyah, dan
sebagainya yang disebutkan dalam kitab-kitab sejarah. Dengan demikian, hadits
ini merupakan salah satu mu’jizat dan tanda-tanda kenabiannya.”
(Takhrij Ahadits Fadha’il Syam wa Dimsyaq [hal.26-27])
0 komentar:
Posting Komentar