إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
Oleh : Ustadz Abu Ihsan al-Maidani al-Atsari
Pemungutan suara atau
voting sering digunakan oleh lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi baik
skala besar seperti sebuah negara maupun kecil seperti sebuah perkumpulan, di
dalam mengambil sebuah sikap atau di dalam memilih pimpinan dan lain-lain.
Sepertinya hal ini sudah lumrah dilangsungkan. Hingga dalam menentukan pimpinan
umat harus dilakukan melalui pemungutan suara, dan tentu saja masyarakat
umumpun dilibatkan di dalamnya. Padahal banyak di antara mereka yang tidak tahu
menahu apa dan bagaimana kriteria seorang pemimpin menurut Islam.
Dengan cara dan praktek
seperti ini bisa jadi seorang yang tidak layak menjadi pemimpin keluar sebagai
pemenangnya. Adapun yang layak dan berhak tersingkir atau tidak dipandang sama
sekali ! Tentu saja metoda pemungutan suara seperti ini tidak sesuai menurut
konsep Islam yang menekankan konsep syura (musyawarah) antara para ulama dan
orang-orang shalih. Allah telah berfirman,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا
وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ
إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ
كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan menyuruh kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkannya dengan adil.” (An-Nisa’ : 58)
Kepemimpinan adalah
sebuah amanat yang amat agung, yang menyangkut aspek-aspek kehidupan manusia
yang amat sensitif. Oleh sebab itu amanat ini harus diserahkan kepada yang
berhak menurut kaca mata syari’at. Proses pemungutan suara bukanlah cara yang
syar'i untuk penyerahan amanat tersebut. Sebab tidak menjamin penyerahan amanat
kepada yang berhak. Bahkan di atas kertas dan di lapangan terbukti bahwa
orang-orang yang tidak berhaklah yang memegang (diserahi) amanat itu. Di
samping bahwa metoda pemungutan suara ini adalah metoda bid'ah yang tidak
dikenal oleh Islam. Sebagaimana diketahui bahwa tidak ada satupun dari
Khulafaur Rasyidin yaitu: Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali radhiyallahu 'anhum
maupun yang sesudah mereka, yang dipilih atau diangkat menjadi khalifah,
melalui cara pemungutan suara yang melibatkan seluruh umat.
Lantas dari mana sistem
pemungutan suara ini berasal ?!
Jawabnya: tidak lain
dan tidak bukan ia adalah produk demokrasi ciptaan Barat (baca kafir).
Ada anggapan bahwa
pemungutan suara adalah bagian dari musyawarah. Tentu saja amat jauh
perbedaannya antara musyawarah mufakat menurut Islam dengan pemungutan suara
ala demokrasi di antaranya:
1.
Dalam musyawarah
mufakat, keputusan ditentukan oleh dalil-dalil syar'i yang menempati al-haq
walaupun suaranya minoritas.
2.
Anggota musyawarah
adalah ahli ilmu (ulama) dan orang-orang shalih, adapun di dalam pemungutan
suara anggotanya bebas siapa saja.
3.
Musyawarah hanya perlu dilakukan
jika tidak ada dalil yang jelas dari al-Kitab dan as-Sunnah. Adapun dalam
pemungutan suara, walaupun sudah ada dalil yang jelas seterang matahari, tetap
saja dilakukan karena yang berkuasa adalah suara terbanyak, bukan al-Qur'an dan
as-Sunnah.
MAKNA PEMUNGUTAN SUARA
Pemungutan suara
maksudnya adalah : pemilihan hakim atau pemimpin dengan cara mencatat nama yang
terpilih atau sejenisnya atau dengan voting.
Pemungutan suara ini,
walaupun bermakna pemberian hak pilih, tidak perlu digunakan di dalam syariat
untuk pemilihan hakim/pemimpin. Sebab ia berbenturan dengan istilah syar'i
yaitu syura (musyawarah). Apalagi dalam istilah pemungutan suara itu terdapat
konotasi haq dan batil. Maka penggunaan istilah pemungutan suara ini jelas
berseberangan jauh dengan istilah syura. Sehingga tidak perlu menggunakan
istilah tersebut, sebab hal itu merupakan sikap latah kepada mereka.
MAFSADAT PEMUNGUTAN SUARA
Amat banyak
kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan dari cara pemungutan suara ini di
antaranya:
[1]. Termasuk perbuatan syirik kepada Allah.
[2]. Menekankan suara terbanyak.
[3]. Anggapan dan tuduhan bahwa agama Islam kurang lengkap.
[4]. Pengabaian wala' dan bara'.
[5]. Tunduk kepada Undang-Undang sekuler.
[6]. Mengecoh (memperdayai) orang banyak khususnya kaum Muslimin.
[7]. Memberikan kepada demokrasi baju syariat.
[8]. Termasuk membantu dan mendukung musuh-musuh Islam yaitu Yahudi dan
Nashrani.
[9]. Menyelisihi Rasulullah dalam metoda menghadapi musuh.
[10]. Termasuk cara yang diharamkan.
[11]. Memecah belah kesatuan umat.
[12]. Menghancurkan persaudaraan sesama Muslim.
[13]. Menumbuhkan sikap fanatisme golongan atau partai yang terkutuk.
[14] Menumbuhkan pembelaan membabi buta (jahiliyah) terhadap partai-partai
di golongan mereka.
[15]. Rekomendasi yang diberikan hanya untuk kemaslahatan golongan.
[16]. Janji janji tanpa realisasi dari para calon hanya untuk menyenangkan
para pemilih.
[17]. Pemalsuan-pemalsuan dan penipuan-penipuan serta kebohongan-kebohongan
hanya untuk meraup simpati massa.
[18]. Menyia-nyiakan waktu hanya untuk berkampanye bahkan terkadang
meninggalkan kewajiban (shalat dan lain-lain).
[19]. Membelanjakan harta tidak pada tempat yang disyariatkan.
[20]. Money politic, si calon menyebarkan uang untuk mempengaruhi dan
membujuk para pemilih.
[21]. Terperdaya dengan kuantitas tanpa kualitas.
[22]. Ambisi merebut kursi tanpa perduli rusaknya aqidah.
[23]. Memilih seorang calon tanpa memandang kelurusan aqidahnya.
[24]. Memilih calon tanpa perduli dengan syarat syarat syar'i seorang pemimpin.
[25]. Pemakaian dalil-dalil syar'i tidak pada tempatnya, di antaranya
adalah ayat-ayat yaitu Asy-Syura': 46.
[26] .Tidak diperhatikannya syarat-syarat syar'i di dalam persaksian, sebab
pemberian amanat adalah persaksian.
[27]. Penyamarataan yang tidak syar'i, di mana disamaratakan antara wanita
dan pria, antara seorang alim dengan si jahil, antara orang-orang shalih dan
orang-orang fasiq, antara Muslim dan kafir.
[28]. Fitnah wanita yang terdapat dalam proses pemungutan suara, di mana
mereka boleh dijadikan sebagai salah satu calon! Padahal Rasulullah telah
bersabda: "Tidak beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka
kepada kaum wanita". (Hadits Riwayat Bukhari dari Abu Bakrah)
[29]. Mengajak manusia untuk mendatangi tempat-tempat pemalsuan.
[30]. Termasuk bertolong-tolongan dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
[31]. Melibatkan diri dalam perkara yang sia-sia dan tidak bermanfaat.
[32]. Janji-janji palsu dan semu yang disebar.
[33]. Memberi label pada perkara-perkara yang tidak ada labelnya seperti
label partai dengan partai Islam, pemilu Islami, kampanye Islami dan lain-lain.
[34]. Berkoalisi atau beraliansi dengan partai-partai menyimpang dan sesat
hanya untuk merebut suara terbanyak.
[35]. Sogok-menyogok dan praktek-praktek curang lainnya yang digunakan
untuk memenangkan pemungutan suara.
[36]. Pertumpahan darah yang kerap kali terjadi sebelum atau sesudah
pemungutan suara karena memanasnya suasana pasca pemungutan suara atau karena
tidak puas karena kalah atau merasa dicurangi.
Sebenarnya masih banyak
lagi kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan akibat dari proses pemungutan suara
ini. Kebanyakan dari kerusakan-kerusakan yang disebutkan tadi adalah suatu yang
sering nampak atau terdengar melalui media massa atau lainnya !
Lalu apakah pantas
seorang Muslim -apalagi seorang salafi- ikut-ikutan latah seperti orang-orang
jahil tersebut ?!
Sungguh sangat tidak
pantas bagi seorang Muslim salafi yang bertakwa kepada Rabb-Nya melakukan hal
itu, padahal ia mendengar firman Rabb-Nya,
مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُون َفَنَجْعَلُ
الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ
“Maka apakah patut bagi
Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa
(kafir). Mengapa kamu berbuat demikian ? Bagaimanakah kamu membuat keputusan ?” (Al-Qalam : 35-36)
Pada saat bangsa ini
sedang menghadapi bencana, yang seharusnya mereka memperbaiki kekeliruannya
adalah dengan kembali kepada agama yang murni sebagaimana firman Allah,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan
di daratan dan di lautan disebabkan buah tangan perbuatan manusia agar mereka
merasakan sebagian perbuatan mereka dan agar mereka kembali.” (Ar-Ruum : 41)
Yaitu, agar mereka
kembali kepada agama ini sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi
wasallam,
“Jika kalian telah berjual beli dengan sistem 'inah dan kalian telah
mengikuti ekor-ekor sapi, telah puas dengan bercocok tanam dan telah kalian
tinggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan atas kalian kehinaan; tidak akan
kembali (kehinaan) dan kalian hingga kalian kembali ke dien kalian”.
Kembali kepada dien
yang murni itulah solusinya, kembali kepada nilai-nilai tauhid yang murni, mempelajari
dan melaksanakan-melaksanakan konsekuensi-konsekuensinya, menyemarakkan
as-Sunnah dan mengikis bid'ah dan mentarbiyah ummat di atas nilai tauhid.
Da'wah kepada jalan Allah itulah jalan keluarnya, dan bukan melalui kotak suara
atau kampanye-kampanye semu! Tetapi realita apa yang terjadi??
Para Du'at (da'i) sudah
berubah profesi, kini ia menyandang predikat baru, yaitu juru kampanye
(jurkam), menyeru kepada partainya dan bukan lagi menyeru kepada jalan Allah.
Menebar janji-janji; bukan lagi menebar nilai-nilai tauhid. Sibuk berkampanye
baik secara terang-terangan maupun terselubung. Bukan lagi berdakwah, tetapi
sibuk mengurusi urusan politik yang padahal bukan bidangnya dan ahlinya- serta
tidak lagi menuntut ilmu.
Mereka berdalih : "Masalah tauhid memang penting akan tetapi kita
tidak boleh melupakan waqi' (realita)."
Waqi' (realita) apa
yang mereka maksud ? Apakah realita yang termuat di koran-koran,
majalah-majalah, surat kabar-surat kabar ? -karena itulah referensi mereka-
atau realita umat yang masih jauh dari aqidah yang benar, praktek syirik yang
masih banyak dilakukan, atau amalan bid'ah yang masih bertebaran. Ironinya hal
ini justru ada pada partai-partai yang mengatas namakan Islam ! Wallahul
Musta'an
Mereka ngotot untuk
tetap ikut pemungutan suara, agar dapat duduk di kursi parlemen. Dan untuk
mengelabuhi umat merekapun melontarkan beberapa syubhat!
SYUBHAT-SYUBHAT DAN BANTAHANNYA
[1]. Mereka mengatakan : Bahwa sistem demokrasi sesuai dengan Islam secara
keseluruhan. Lalu mereka namakan dengan syura (musyawarah) berdalil dengan
firman Allah,
... وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ
"Dan urusan
mereka dimusyawarahkan di antara mereka". (Asy-Syuura : 38)
Lalu mereka membagi
demokrasi menjadi dua bagian yang bertentangan dengan syariat dan yang tidak
bertentangan dengan syariat ?!
Bantahan:
Tidak samar lagi batilnya ucapan yang menyamakan antara syura menurut Islam
dengan demokrasi ala Barat. Dan sudah kita cantumkan sebelumnya tiga perbedaan
antara syura dan demokrasi !
Adapun yang membagi demokrasi ke dalam shahih (benar) dan tidak shahih
adalah pembagian tanpa dasar, sebab istilahnya sendiri tidak dikenal dalam
Islam.
إِنْ هِيَ إِلَّا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنتُمْ وَآبَاؤُكُم مَّا أَنزَلَ
اللَّهُ بِهَا مِن سُلْطَانٍ ۚ
إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنفُسُ ۖ وَلَقَدْ
جَاءَهُم مِّن رَّبِّهِمُ الْهُدَىٰ
"Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak
lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah
tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk, (menyembah)-nya. Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti persangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka,
dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka" (An-Najm : 22-23)
[2]. Mereka mengatakan : Bahwa pemungutan suara sudah ada pada awal-awal
Islam, ketika Abu Bakar, Umar, Ustman radhiyallahu 'anhum telah dipilih dan
dibaiat. (Lihat kitab Syari'atul Intikhabat [hal.15])
Bantahan:
Ucapan mereka itu tidak benar karena beberapa sebab:
[a] Telah jelas bagi kita semua kerusakan yang ditimbulkan oleh pemungutan
suara seperti kebohongan, penipuan, kedustaan, pemalsuan dan pelanggaran
syariat lainnya. Maka amat tidak mungkin sebaik-baik kurun melakukan
praktek-praktek seperti itu.
[b] Para sahabat (sebagaimana yang dimaklumi dan diketahui di dalam
sejarah) telah bermufakat dan bermusyawarah tentang khalifah umat ini
sepeninggal Rasul.
Dan setelah dialog yang panjang di antaranya ucapan Abu Bakar as-Sidiq yang
membawakan sebuah hadits yang berbunyi, "Para imam itu adalah dari
bangsa Quraisy." Lalu mereka bersepakat membaiat Abu Bakar sebagai
khalifah. Tidak diikutsertakan seorang wanitapun di dalam musyawarah tersebut.
Kemudian Abu Bakar mewasiatkan Umar sebagai khalifah setelah beliau, tanpa
ada musyawarah.
Kemudian Umar menunjuk 6 orang sebagai anggota musyawarah untuk menetapkan
salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah. Keenam orang itu
termasuk 10 orang sahabat Rasulullah yang dijamin masuk surga. Adapun sangkaan
sebagian orang bahwa Abdurrahman bin Auf menyertakan wanita dalam musyawarah
adalah tidak benar.
Di dalam riwayat
Bukhari tidak disebutkan di dalamnya penyebutan musyawarah Abdurrahman bin Auf
bersama wanita dan tidak juga bersama para tentara. Bahkan yang tersebut di
dalam riwayat Bukhari tersebut, Abdurrahman bin Auf mengumpulkan 5 orang yang
telah ditunjuk Umar yaitu Ustman, Ali, Zubair, Thalhah, Saad dan beliau sendiri
(Fathul Bari juz 7 [hal.61,69]), Tarikhul Islam karya Adz-Dzahabi
[hal. 303], Ibnu Ashir dalam Thariknya [3/36], Ibnu Jarir at-Thabari
dalam Tarikhkul Umam [4/431]. Adapun yang disebutkan oleh Imam Ibnu
Isuji di dalam Kitabnya al-Munthadam riwayatnya dhaif).
Dan yang disebutkan
oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa Nihayah (4/151) adalah riwayat
tanpa sanad, tidak dapat dijadikan sandaran.
[3] Mereka mengatakan : Ini adalah masalah ijtihadiyah'
Bantahan:
Apa yang dimaksud dengan masalah ijtihadiyah ?
Jika mereka katakan : yaitu masalah baru yang tidak dikenal di massa wahyu
dan khulafaur rasyidin.
Maka jawabannya:
[a] Ucapan mereka ini menyelisihi atau bertentangan dengan ucapan
sebelumnya yaitu sudah ada pada awal Islam.
[b] Memang benar pemungutan suara ini tidak ada pada zaman wahyu, tetapi
bukan berarti seluruh perkara yang tidak ada pada zaman wahyu ditetapkan
hukumnya dengan ijtihad. Dalam masalah ini ulama menetapkan hukum setiap
masalah berdasarkan kaedah-kaedah usul dan kaedah-kaedah umum. Dan untuk
masalah pemungutan suara ini telah diketahui kerusakan-kerusakannya.
Jika dikatakan : yang kami maksud masalah ijtihadiyah adalah masalah yang
belum ada dalil al-Kitab dan as-Sunnah. Maka jawabannya sama seperti jawaban kami
yang telah lalu.
Jika dikatakan : masalah ijtihadiyah artinya, kami mengetahui keharamannya,
tetapi kami memandang ikut serta di dalamnya untuk mewujudkan maslahat. Maka
jawabannya: kalau ucapan itu benar, maka pasti sudah ada buktinya semenjak
munculnya pemikiran seperti ini. Di negara-negara Islam tidak pernah terwujud
maslahat tersebut, bahkan hanya kembali dua sepatu usang (gagal).
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda,
“Seorang Mukmin tidaklah disengat 2 kali dari satu lubang" (Mutafaqun ‘alaih)
Jika dikatakan : masalah ijtihadiyah adalah masalah yang diperdebatkan dan
diperselisihkan di kalangan ulama serta bukan masalah ijma'.
Maka jawabannya:
[a] Coba tunjukkan perselisihan di kalangan ulama yang mu'tabar (dipercaya)
yang dida'wakan itu. Tentu saja mereka tidak akan mendapatkannya.
[b] Yang dikenal di kalangan ulama, bahwa yang dimaksud khilafiyah atau
masalah yang diperdebatkan, yaitu : jika kedua pihak memiliki alasan atau dalil
yang jelas dan dapat diterima sesuai kaedah. Sebab kalau hanya mencari masalah
khilafiyah, maka tidak ada satu permasalahanpun melainkan di sana ada khilaf
atau perbedaan pendapat. Akan tetapi banyak di antara pendapat-pendapat itu
yang tidak mu'tabar.
[4]. Mereka mengatakan : Bahwa pemungutan suara tersebut termasuk maslahat
mursalah.
Bantahannya:
[a] Maslahat mursalah bukanlah sumber asli hukum syar'i, tapi hanyalah
sumber taba'i (mengikut) yang tidak dapat berdiri sendiri. Maslahat mursalah
hanyalah wasilah yang jika terpenuhi syaratsyaratnya, baru bisa
diamalkan.
[b] Menurut defisinya maslahat mursalah itu adalah: apa-apa yang tidak ada
nash tertentu padanya dan masuk ke dalam kaedah umum. Menurut definisi lain
adalah: sebuah sifat (maslahat) yang belum ditetapkan oleh syariat.
Jadi maslahat mursalah
itu adalah salahsatu proses ijtihad untuk mencapai sebuah kemaslahatan bagi
umat, yang belum disebutkan syariat, dengan memperhatikan syarat-syaratnya.
Kembali kepada masalah
pemungutan yang dikatakan sebagai maslahat mursalah tersebut apakah sesuai
dengan tujuan maslahat mursalah itu sendiri atau justru bertentangan. Tentu
saja amat bertentangan; dilihat dari kerusakan kerusakan pemungutan suara yang
cukup menjadi bukti bahwa antara keduanya amat jauh berbeda.
[5]. Mereka mengatakan : Pemungutan suara ini hanya wasilah, bukan tujuan
dan maksud kami adalah baik.
Bantahan:
Tidak dikenal kamus tujuan menghalalkan segala cara, sebab itu adalah
kaidah Yahudi.
Sebab berdasarkan kaidah Usuliyah: hukum sebuah wasilah ditentukan hasil
yang terjadi (didapat); jika yang terjadi adalah perkara haram (hasilnya haram)
maka wasilahnya juga haram.
Adapun ucapan mereka bahwa yang mereka inginkan adalah kebaikan.
Maka jawabannya bahwa niat yang baik lagi ikhlas serta keinginan yang baik
lagi tulus belumlah menjamin kelurusan amal. Sebab betapa banyak orang yang
menginginkan kebaikan tetapi tidak mendapatkannya.
Sebab sebuah amal dapat dikatakan shahih dan makbul jika memenuhi 2 syarat:
[a] Niat ikhlas dan
[b] Menetapi as-Sunnah. Jadi bukan hanya bermodal keinginan / i'tikad baik
saja
[6]. Mereka mengatakan : Kami mengikuti pemungutan suara dengan tujuan
menegakkan daulah Islam.
Bantahannya:
Ada sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada mereka, bagaimana cara
menegakkan daulah Islam ?
Sedangkan di awal
perjuangan, mereka sudah tunduk pada undang-undang sekuler yang diimpor dari
Eropa. Mengapa mereka tidak memulai menegakkan hukum Islam itu pada diri mereka
sendiri, atau memang ucapan mereka "Kami akan menegakkan daulah Islam"
hanyalah slogan kosong belaka. Terbukti mereka tidak mampu untuk menegakkannya
pada diri mereka sendiri. Kalau ingin buktinya maka silahkan melihat
mereka-mereka yang meneriakkan slogan tersebut.
afwan, ane mau ketawa lihat tulisan ini...
BalasHapusdengan begitu meyakinkan nte bilang demokrasi/pemilu sistem syirik/sistem kafir..
hukum yang digunakan hukum sekuler/hukum kafir,
tapi kok aneh dengan beribu2 keaneha, kalian itu keukeuh banget kalo Presiden negeri ini sebagai ULIL AMRI...
kan dari tulisan diatas sudah sangat jelas, tertulis :
MAFSADAT PEMUNGUTAN SUARA
Amat banyak kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan dari cara pemungutan suara ini di antaranya:
[1]. Termasuk perbuatan syirik kepada Allah.
[2]. Menekankan suara terbanyak.
[3]. Anggapan dan tuduhan bahwa agama Islam kurang lengkap.
[4]. Pengabaian wala' dan bara'.
[5]. Tunduk kepada Undang-Undang sekuler.
[6]. Mengecoh (memperdayai) orang banyak khususnya kaum Muslimin.
[7]. Memberikan kepada demokrasi baju syariat.
[8]. Termasuk membantu dan mendukung musuh-musuh Islam yaitu Yahudi dan Nashrani.
[9]. Menyelisihi Rasulullah dalam metoda menghadapi musuh.
[10]. Termasuk cara yang diharamkan.
dst
di poin nomor 1 tertulis termasuk perbuatan syirik kepada ALLAH,
jika proses pemilu adalah sebuah keSyirikan maka sudah jelas Hasilnya juga sebuah ke Syirikan,
dan hasil dari Pemilu adalah terpilihnya Presiden,
dan sudah dipastikan Presiden ini Produk Syirik yang tidak mungkin disebut sebagai ULIL AMRI, karena ULIL AMRI itu muslim, dan jelas dipilih dengan cara yang telah diterangkan oleh ALLAH dan RasulNya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah..
kemudian di poin ke 5,
[5]. Tunduk kepada Undang-Undang sekuler.
ya jelaslah negera ini menggunakan Hukum Sekuler/hukum kafir, hukum jahiliyyah,
tapi kok aneh, kalian masih menyebut negara ini sebagai negara Islam, dimanakah letak ke Islamannya???
atau dikarenakan di negeri ini dibolehkan berkumandangnya adzan, dibolehkan sholat, baik sholat jum'at atau sholat wajib, atau sholat ied????
jika karena alasan ini kalian mengatakan negeri Kafir republik indonesia ini sebagai negara Islam,
maka apa bedanya dengan kalian mengatakan bahwa Inggris, australia, amerika, canada dll adalah negara Islam juga,
kenapa???
karena di negeri tersebut, adzan boleh berkumandang, sholat pun boleh dijalankan, bahkan di inggris ketika sholat ied mengadakan hingga 6 kloter, sampai baru selesai hampir mendekati sholat dzuhur..
so, sebenarnya seperti apakah pandangan kalian tentang Negara ini, apakah kalian masih bersikukuh menyatakan bahwa negeri ini adalah Negara Islam???
dan apakah kalian masih mengatakan bahwa Presiden SBY adalah ULIL AMRI kalian????
semoga dengan tulisan ini, dan dengan hati kalian yang senantiasa berfikir, bisa menjadikan Pikiran kalian terbuka dan terhindar dari Kesesatan..
wallahu a'lam
afwan...
Al-Haitsami
"jika proses pemilu adalah sebuah keSyirikan maka sudah jelas Hasilnya juga sebuah ke Syirikan,
Hapusdan hasil dari Pemilu adalah terpilihnya Presiden, dan sudah dipastikan Presiden ini Produk Syirik yang tidak mungkin disebut sebagai ULIL AMRI, "
Jawaban :
1. Untung yg mengucapkan ini adalah anda, bukan ulama.
2. Rasulullah shollollohu 'alaihi wasallam bersabda,
"...bertaqwalah kepada Allah, mendengar dan taat walaupun yg memimpin kalian adalah seorang budak..."
perhatikan kalimatnya, taat kepada pemimpin adalah perintah Rasulullah, sekalipun jika pemimpinnya adalah seorang budak, padahal budak itu tidak boleh menjadi pemimpin, tetapi jika Allah mentaqdirkan budak tersebut sebagai pemimpin maka kita wajib taat.
Sekarang pertanyaannya, apakah di dalam sejarah Islam, pemimpin itu hanya dipilih dengan cara dari Al-Quran dan Sunnah?
Tentu tidak. Perhatikan bagaimana Bani Abasiyyah meraih kepemimpinan, mereka mendapatkannya dg cara kudeta, saling bunuh membunuh.
Manakah yg lebih haram, demokrasi atau membunuh?
Jelas bahwa membunuh adalah lebih haram, dan ulama yg hidup pada zaman itu tetap taat kepada pemimpin (dalam hal yg ma'ruf tentunya).
3. Perkataan para Ulama
Imam Asy-Syafi'i berkata dalam Manaqibusy Syafi'i,
"Setiap orang yang berhasil menguasai dengan pedang hingga ia dinamai pemimpin dan manusia berkumpul padanya, maka ia adalah pemimpin”
Imam Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari,
"Para fuqahaa’ telah bersepakat tentang wajibnya taat kepada pemimpin yang menang (saat merebut kekuasaan) dan berjihad bersamanya. Dan bahwasannya ketaatan kepadanya lebih baik daripada memberontak kepadanya..."
Jadi, siapakah yg lebih ahli dalam Ilmu, para Ulama atau anda???
"tapi kok aneh, kalian masih menyebut negara ini sebagai negara Islam, dimanakah letak ke Islamannya???
atau dikarenakan di negeri ini dibolehkan berkumandangnya adzan, dibolehkan sholat, baik sholat jum'at atau sholat wajib, atau sholat ied????"
Jawaban :
1. Memang salah satu sebabnya adalah itu.
Dan jangan lupa, pemerintah juga mewadahi dalam masalah zakat.
2. Jika Indonesia bukan negri Islam, lalu negri apa? Negri Kafir??? *senyum*
3. Bukankah presiden kita adalah seorang Muslim? dan mayoritas penduduknya adalah Muslim?
"maka apa bedanya dengan kalian mengatakan bahwa Inggris, australia, amerika, canada dll adalah negara Islam juga"
Jawaban :
Jelas beda, pemimpin Inggris itu Kafir! Pemimpin Australia itu kafir! Pemimpin Amerika itu Kafir! dan pemimpin Canada juga kafir!
sedangkan pemimpin Indonesia itu Muslim. masa mau disama-samain?? Coba kalo anda ana samakan dengan orang kafir? Mau gak? *senyum*
"dan apakah kalian masih mengatakan bahwa Presiden SBY adalah ULIL AMRI kalian????"
Jawaban :
1. Memang Ulil Amri menurut anda itu seperti apa? Apakah ulil amri itu hanya Kholifah?
2. SBY memang ulil amri. Karena para Ulama mengartikan Ulil Amri itu adalah Pemimpin secara umum. Ini para Ulama lho yg mengartikan, lebih alim mana, anda atau Ulama???
3. Jika yg anda maksud ulil amri itu hanya Kholifah, coba berikan saya setengah dalil saja yg mengatakan bahwa taat kepada pemimpin hanya sebatas taat pada Kholifah ?! *senyum*
Wallahu a'lam
Sebenarnya syubhat ini adalah syubhat klasik, yg sudah banyak dibantah oleh Ulama Ahlussunnah.
Allahul Musta'an
Bismillah, walhamdulillah, was sholatu was salamu ala rosulillah, wa ala alihi wa shohbihi wa man waalaah.
BalasHapusPemilu merupakan masalah besar yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat umum, masalah ini juga bisa dikategorikan dalam masalah “ma ta’ummu bihil balwa” atau perkara yang menimpa masyarakat luas, bahkan di beberapa negara yang dulunya tidak ada pemilihan umum pun, sekarang mulai memberlakukan aturan itu, walaupun hanya di beberapa lini pemerintahannya.
http://addariny.wordpress.com/2014/01/08/tentang-memberikan-suara-di-pemilu-2/