إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
[7]. Mereka mengatakan : Kami tidak mau berpangku tangan dengan membiarkan
musuh-musuh bergerak leluasa tanpa hambatan.
Bantahannya:
Apakah masuk akal jika untuk menghadapi musuh-musuhnya, mereka bergandengan
tangan dengan musuh-musuhnya dalam kursi parlemen, berkompromi dengan musuh
dalam membuat undang-undang? Bukankah ini tipu daya ala Yahudi yang telah Allah
nyatakan dalam al-Qur'an,
وَقَالَت
طَّائِفَةٌ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ آمِنُوا بِالَّذِي أُنزِلَ عَلَى الَّذِينَ
آمَنُوا وَجْهَ النَّهَارِ وَاكْفُرُوا آخِرَهُ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
"Segolongan lain dari ahli Kitab berkata kepada sesamanya:
Perlihatkanlah seolah-olah kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada
orang-orang yang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan
ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang Mukmin) kembali (kepada
kekafiran)". (Ali-Imran : 72)
Dan ucapan mereka bahwa masuknya mereka ke kancah demokrasi itu adalah
refleksi perjuangan mereka, tidak dapat dipercaya. Bukankah Allah telah
mengatakan,
وَلَن تَرْضَىٰ عَنكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ
مِلَّتَهُمْ ۗ
قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ ۗ وَلَئِنِ
اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُم بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ
مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِن وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
"Orang-orang
Yahudi dan Nashrani tidak akan senang kepada kamu, hingga kamu mengikuti agama
mereka" (Al-Baqarah : 120).
Lalu mengapa mereka
saling bahu membahu dengan orang-orang Yahudi dan Nashrani? Apakah mereka
menerapkan kaedah: saling bertolong-tolongan pada perkara-perkara yang
disepakati dan saling toleransi pada perkara- perkara yang diperselisihkan.
Tidakkah mereka takut pada firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ
مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ ۚ
أَتُرِيدُونَ أَن تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُّبِينًا
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Inginkah kamu
mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu ?)". (An-Nisaa : 144)
[8]. Mereka mengatakan : Kami terjun dalam kancah demokrasi karena alasan
darurat.
Bantahan:
Darurat menurut Ushul yaitu: keadaan yang menimpa seorang insan berupa
kesulitan bahaya dan kepayahan/kesempitan, yang dikhawatirkan terjadinya
kemudharatan atau gangguan pada diri (jiwa), harta, akal, kehormatan dan
agamanya. Maka dibolehkan baginya perkara yang haram (meninggalkan perkara yang
wajib) atau menunda pelaksanaannya untuk menolak kemudharatan darinya, menurut
batas-batas yang dibolehkan syariat.
Lalu timbul pertanyaan
kepada mereka: yang dimaksud alasan itu, karena keadaan darurat atau karena
maslahat?
Sebab maslahat tentu
saja lebih luas dan lebih umum ketimbang darurat. Jika dahulu mereka katakan
bahwa demokrasi itu atau pemungutan suara itu hanyalah wasilah maka berarti
yang mereka lakukan tersebut bukanlah karena darurat akan tetapi lebih tepat
dikatakan untuk mencari maslahat, Maka terungkaplah bahwa ikut sertanya mereka
dalam kancah demokrasi tersebut bukanlah karena darurat tapi hanya karena
sekedar mencari setitik maslahat.
[9]. Mereka mengatakan : Kami terpaksa melakukannya, sebab jika tidak maka
musuh akan menyeret kami dan melarang kami menegakkan hukum Islam dan melarang
kami shalat di masjid-masjid dan melarang kami berbicara (berkhutbah).
Bantahan:
Mereka hanya dihantui bayangan saja; atau mereka menyangka kelangsungan
da'wah kepada jalan Allah hanya tergantung di tangan mereka saja. Dengan itu
mereka menyimpang dari manhaj an-nabawi dalam berda'wah kepada Allah dan dalam
al-islah (perbaikan).
Lalu mereka menuduh orang-orang yang tetap berpegang teguh pada as- Sunnah
sebagai orang-orang pengecut (orang-orang yang acuh tak acuh terhadap nasib
umat). Apakah itu yang menyebabkan mereka membabi buta dan gelap mata?
Hendaknya mereka mengambil pelajaran dari seorang sahabat yang mulia yaitu Abu Dzar
al-Giffari ketika Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam berpesan
kepadanya,
"Tetaplah kau di tempat engkau jangan pergi kemana-mana sampai aku
mendatangimu. Kemudian. Rasulullah pergi di kegelapan hingga lenyap dari
pandangan, lalu aku mendengar suara gemuruh. Maka aku khawatir jika seseorang
telah menghadang Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, hingga aku ingin
mendatangi beliau. Tapi aku ingat pesan beliau: tetaplah engkau di tempat
jangan kemana-mana, maka akupun tetap di tempat tidak ke mana-mana. Hingga
beliau mendatangiku. Lalu aku berkata bahwa aku telah mendengar suara gemuruh,
sehingga aku khawatir terhadap beliau, lalu aku ceritakan kisahku. Lalu beliau
berkata apakah engkau mendengarnya?. Ya, kataku. Beliau berkata itu adalah Jibril,
yang telah berkata kepadaku: barang siapa di antara umatmu (umat Rasulullah)
yang wafat dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, akan masuk ke
dalam surga. Aku bertanya, walaupun dia berzina dan mencuri? Beliau berkata,
walaupun dia berzina dan mencuri". (Mutafaqun alaih)
Lihatlah bagaimana
keteguhan Abu Dzar al-Ghifari terhadap pesan Rasulullah untuk tidak bergeming
dari tempat, walaupun dalam sangkaan beliau, Rasulullah berada dalam mara
bahaya ! Bukankah hal tersebut gawat dan genting. Suara gemuruh yang
mencemaskan beliau atas nasib Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam.
Namun apa gerangan yang menahan Abu Dzar al-Ghifari untuk menemui Rasulullah.
Apakah beliau takut, atau beliau pengecut, atau beliau acuh tak uh akan nasib
Rasulullah ? Tidak ! Sekali-kali tidak! Tidak ada yang menahan beliau melainkan
pesan Rasulullah : tetaplah engkau di tempat, jangan pergi ke mana-mana hingga
aku datang!
Keteguhan beliau di
atas garis as-Sunnah telah mengalahkan (menundukkan) pertimbangan akal dan
perasaan! Beliau tidak memilih melanggar pesan Rasulullah dengan alasan ingin
menyelamatkan beliau shalallahu 'alaihi wasallam.
Kemudian kita lihat
hasil keteguhan beliau atas pesan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam
berupa ilmu tentang tauhid yang dibawa malaikat Jibril kepada Rasulullah
shalallahu 'alaihi wasallam. Kabar gembira bagi para muwahhid (ahli tauhid)
yaitu surga. Seandainya beliau melanggar pesan Rasulullah shalallahu 'alaihi
wasallam maka belum tentu beliau mendapatkan ilmu tersebut pada saat itu !!
Demikian pula dikatakan
kepada mereka: Kami tidak hendak melanggar as-Sunnah dengan dalih menyelamatkan
umat ! (Karena keteguhan di atas as-Sunnah itulah yang akan menyelamatkan ummat
-red).
Berbahagialah ahlu
sunnah (salafiyin) berkat keteguhan mereka di atas as-Sunnah.
[10]. Mereka mengatakan : Bahwa mereka mengikuti kancah pemunggutan suara
untuk memilih kemudharatan yang paling ringan.
Mereka juga berkata bahwa mereka mengetahui hal itu adalah jelek, tapi
ingin mencari mudharat yang paling ringan demi mewujudkan maslahat yang lebih
besar.
Bantahannya:
Apakah mereka menganggap kekufuran dan syirik sebagai sesuatu yang ringan
kemudharatannya? Timbangan apa yang mereka pakai untuk mengukur berat ringannya
suatu perkara? Apakah timbangan akal dan hawa nafsu? Tidakkah mereka mengetahui
bahwa demokrasi itu adalah sebuah kekufuran dan syirik produk Barat? Lalu
apakah ada yang lebih berat dosanya selain kekufuran dan syirik.
Kemudian apakah mereka mengetahui syarat-syarat dan batasan-batasan kaedah
"memilih kemudharatan yang paling ringan."
Jika jawaban mereka tidak mengetahui; maka hal itu adalah musibah.
Jika jawabannya mereka mengetahui, maka dikatakan kepada mereka: coba
perhatikan kembali syarat-syaratnya! Di antaranya:
[a]. Maslahat yang ingin diraih adalah nyata (realistis) bukan sekedar
perkiraan (anggapan belaka). Kegagalan demi kegagalan yang dialami oleh mereka
yang melibatkan di dalam kancah demokrasi itu cukuplah sebagai bukti bahwa
maslahat yang mereka janjikan itu hanyalah khayalan dan isapan jempol belaka.
[b]. Maslahat yang ingin dicapai harus lebih besar dari mafsadah
(kerusakan) yang dilakukan, berdasarkan paham ahli ilmu. Jika realita adalah
kebalikannya yaitu maslahat yang hendak dicapai lebih kecil ketimbang mafsadah
yang terjadi,
maka kaedahnya berganti menjadi:
Menolak mafsadah (kerusakan) lebih didahulukan ketimbang mencari
(mengambil) mashlahat.
[c]. Tidak ada cara (jalan) lain untuk mencapai maslahat tersebut melainkan
dengan melaksanakan mafsadah (kerusakan) tersebut.
Syarat yang ketiga ini
sungguh amat berat untuk dipenuhi oleh mereka sebab konsekuensinya adalah:
tidak ada jalan lain untuk menegakkan hukum Islam, kecuali dengan jalan
demokrasi tersebut. Sungguh hal itu adalah kebathilan yang amat nyata! Apakah
mungkin manhaj Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dalam ishlah (perbaikan)
divonis tidak layak dipakai untuk menegakkan hukum Islam? Tidaklah kita
mengenal Islam, kecuali melalui beliau shalallahu 'alaihi wasallam?
[11] Mereka mengatakan : Bahwa beberapa Ulama ahlu sunnah telah berfatwa
tentang disyariatkannya pemungutan suara (pemilu) ini seperti: Syeikh
al-Albani, Bin Baz, Bin Utsaimin. Lalu apakah kita menuduh mereka (para ulama)
hizbi ?
Jawabannya tentu saja tidakl Amat jauh para ulama itu dari sangkaan mereka,
karena beberapa alasan:
[a]. Mereka adalah ulama dan pemimpin kita, serta pemimpin da'wah yang
penuh berkah ini (da'wah salafiyah) dan pelindung Islam. Kita tidak meneguk
ilmu kecuali dari mereka. Kita berlindung kepada Allah semoga mereka tidak
demikian (tidak hizbi)! Bahkan sebaliknya, merekalah yang telah memperingatkan
umat dari bahaya hizbiyah. Tidaklah umat selamat dari hizbiyah kecuali, melalui
nasihat-nasihat mereka setelah taufiq dari Allah tentunya. Kitab-kitab dan
kaset-kaset mereka penuh dengan peringatan tentang hizbiyah.
[b]. Para ulama berfatwa (memberi fatwa) sesuai dengan kadar soal yang
ditanyakan. Bisa saja seorang datang kepada ulama dan bertanya,
Ya Syeikh!, kami ingin menegakkan syariat Allah dan kami tidak mampu
kecuali melalui pemungutan suara dengan tujuan untuk mengenyahkan orang-orang
sosialis dan sekuler dari posisi mereka! Apakah boleh kami memilih seorang yang
shalih untuk melaksanakan kepentingan ini? Demikianlah soalnya!
Lain halnya seandainya bunyi soal : Ya Syeikh, pemungutan suara itu
menimbulkan mafsadah (kerusakan) begini dan begini, dengan menyebutkan sisi
negatif yang ditimbulkannya, maka niscaya jawabannya akan lain. Mereka-mereka
itu (yaitu hizbiyun dan orang-orang yang terfitnah oleh hizbiyun) mencari-cari
talbis (tipu daya) terhadap para ulama! Adapun dalil bahwa seorang alim
berfatwa berdasarkan apa yang ia dengar. Dan sebuah fatwa ada kalanya keliru,
adalah dari sebuah hadits dari Ummu Salamah,
“Sesungguhnya kalian akan mengadukan pertengkaran di antara kalian padaku,
barang kali sebagian kalian lebih pandai berdalih ketimbang lainnya. Barang
siapa yang telah aku putuskan baginya dengan merebut hak saudaranya, maka yang
dia ambil itu hanyalah potongan dari api neraka; hendaknya dia ambil atau dia
tinggalkan" (Mutafaqun alaih)
Rasulullah shalallahu
'alaihi wasallam juga telah memerintahkan kepada para qadi untuk
mendengarkan kedua belah pihak yang bersengketa. Dalam sebuah hadits riwayat
Ahmad, Rasulullah berkata kepada Ali bin Abu Thalib,
“Wahai Ali jika menghadap kepada engkau dua orang yang bersengketa,
janganlah engkau putuskan antara mereka berdua, hingga engkau mendengar dari
salah satu pihak sebagaimana engkau mendengarnya dari pihak lain. Sebab jika
engkau melakukan demikian, akan jelas bagi engkau, putusan yang akan
diambil". (Hadits Riwayat Ahmad)
Oleh sebab itu
kejahatan yang paling besar yang dilakukan oleh seorang Muslim adalah
diharamkannya perkara-perkara yang sebelumnya halal, disebabkan pertanyaannya.
Dalam sebuah hadits riwayat Saad bin Abi Waqas radhiyallahu 'anhu,
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Sesungguhnya kejahatan seorang Muslim yang paling besar adalah
bertanya tentang sebuah perkara yang belum diharamkan. Lalu diharamkan
disebabkan pertanyaannya". (Mutafaqun Alaih)
Ibnu Thin berkata bahwa
kejahatan yang dimaksud adalah menyebabkan kemudharatan atas kaum Muslimin
disebabkan pertanyaannya. Yaitu menghalangi mereka dari perkara-perkara halal
sebelum pertanyaannya.
Hendaknya orang-orang
yang melakukan tindakan berbahaya seperti ini bertaubat kepada Allah. Dan para
tokoh kaum Muslimin agar berhati-hati terhadap orang-orang semacam itu.
[c]. Lalu bagaimana sikap mereka (para Hizbiyin) tatkala telah jelas bahwa
bagi para Ulama, demokrasi dan pemilihan suara ini adalah haram disebabkan
mafsadah yang ditimbulkannya. Apakah mereka akan mengundurkan diri dari kancah
demokrasi dan pemilu itu? atau mereka tetap nekat. Realita menunjukkan bahwa
mereka hanya memancing di air keruh. Mereka hanya mencari keuntungan untuk
golongannya saja dari fatwa para ulama. Terbukti jika fatwa ulama tidak
menguntungkan golongan mereka, maka merekapun menghujatnya dengan berbagai
macam pelecehan.
Wallahu a'lam.
[Disalin dari Majalah
As-Sunnah Edisi 11/Th. III/1420-1999. Disadur dari kitab Tanwiir adz-Dzulumat
tulisan Abu Nashr Muhammad bin Abdillah al-Imam dan kitab Madarik an-Nazhar Fi
Siasah tulisan Abdul Malik Ramadhani]
http://www.facebook.com/notes/new-abu-warda/syubhat-syubhat-sekitar-masalah-demokrasi-dan-pemungutan-suara/253764501411222
0 komentar:
Posting Komentar