إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
Oleh : Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari
Apakah air mani itu
najis? Bila najis, apakah cara mencuci pakaian yang terkena air mani itu sama
dengan cara mencuci pakaian yang terkena darah haidh?
Dalam permasalahan
najis atau sucinya air mani, ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama.
Sebagian ulama menyatakan bahwa air mani itu najis, sebagaimana pendapat
Al-Imam Abu Hanifah dan Al-Imam Malik. Sebagian ulama yang lain berpendapat air
mani itu suci, sebagaimana pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam Ahmad.
Dari dua pendapat
tersebut, yang rajih -insya’ Allah- adalah pendapat kedua, yang menyatakan
bahwa air mani itu suci. Hal ini didasarkan pada hadits ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dan Muslim dengan lafazh,
diantaranya,
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ لَقَدْ كُنْتُ أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرْكًا فَيُصَلِّي فِيْهِ (رَوَاهُ مُسْلِمْ)
“Bahwasanya aku dahulu mengerik (air mani) dari pakaian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shalat dengan menggunakan pakaian tersebut.” (HR. Muslim)
Dalam lafazh lain,
لَقَدْ كُنْتُ أَحُكُّهُ يَا بِسًا بِظُفْرِي مِنْ
ثَوْبِهِ (رواه مسلم)
“Dahulu aku mengerik air mani yang telah kering dengan kukuku dari pakaian
Rasulullah.” (HR. Muslim).
Dari hadits di atas, jelaslah bahwa air mani merupakan sesuatu yang suci
karena,
1.
Perbuatan ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha membersihkan air mani yang telah kering tersebut hanya
mengerik dengan kukunya. Kalau seandainya air mani adalah sesuatu yang najis,
maka tidak cukup mensucikannya hanya dengan mengeriknya.
2. Sikap Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menunda pembersihan air mani yang menimpa
pakaiannya hingga kering, juga menunjukkan bahwa air mani itu suci. Kalau
seandainya najis, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan segera
membersihkannya, sebagaimana kebiasaan beliau di dalam mensikapi benda-benda
najis, seperti peristiwa tertimpanya pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam oleh air kencing anak kecil.
Dalam hadits Ummu Qais binti Mihshan yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dan Imam
Muslim, “Dia (Ummu Qais binti Mihshan -red) datang menemui Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan membawa seorang bayi yang belum memakan makanan,
kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendudukkannya di kamarnya,
kemudian bayi tersebut kencing di pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka segera Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta air dan
menyiramkannya pada pakaiannya.”
Begitu pula peristiwa seorang Badui yang kencing di masjid, sebagaimana
dikisahkan dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim.
Pendapat yang kedua ini
adalah pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahulloh dan
merupakan pendapat kebanyakan para ulama.
Sementara itu, cara membersihkan air mani adalah dengan dua cara,
1. Boleh dicuci dengan air, sebagaimana hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim dengan lafazh,
كَانَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْسِلُ الْمَنِي ثُمَّ يَخْرُجُ إِلَى الصَّلاةِ فِي ذَلِكَ الثَّوْبِِ وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى أَثَرِ الْغَسْلِ (متفق عليه)
“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencuci air mani, kemudian keluar shalat dengan mengenakan pakaian tersebut, sementara aku melihat adanya bekas cucian tersebut.”
2. Dengan mengeriknya (dengan kuku), sebagaimana dalam hadits yang telah lalu
jika air mani telah kering. Dan juga boleh dicuci walaupun telah kering.
Sedangkan darah haidh
adalah sesuatu yang najis hukumnya dan cara mencucinya pun berbeda (dengan cara
mencuci air mani) serta cenderung lebih ekstra. Hal ini sebagaimana dijelaskan
dalam hadits Asma’ binti Abi Bakr yang kurang lebih artinya,
“Telah datang seorang wanita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan berkata: ‘Salah satu dari kami telah tertimpa pakaiannya oleh
darah haidh, apa yang bisa dia lakukan?’ Berkata Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa salam: ‘Dikerik (dengan kukunya), kemudian dikucek dengan air,
kemudian dibasuh/disiram dengan air, kemudian boleh baginya shalat dengan
memakai pakaian tersebut.’” (Muttafaqun ‘alaih).
Dari hadits tersebut,
diketahui bahwa darah haidh adalah darah yang najis, karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mencucinya dengan cara yang ekstra ketat
sebelum digunakan pakaian tersebut untuk shalat.
Bahkan dalam riwayat
hadits Ummu Qais yang diriwayatkan Al-Imam Abu Dawud, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mencucinya dengan air yang telah dicampur
dengan daun bidara. Sebagaimana disebutkan oleh Asy-Syaikh Muqbil di dalam
kitabnya Al-Jaami’ Ash-Shahih (1/481) dengan judul ‘Bab Tata Cara
Mencuci Darah Haidh’.
Dengan ini telah
jelaslah perbedaan hukum air mani dengan darah haidh serta cara mencuci
keduanya. Wallaahu a’lamu bish shawaab.
0 komentar:
Posting Komentar