إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
Mengangkat tema tasawuf dan kaum
Sufi terasa hampa dan kosong tanpa mencuatkan pemikiran mereka tentang wali dan
demikian juga karamah. Pasalnya, mitos ataupun legenda lawas tentang wali dan
karamah ini telah menjadi senjata andalan mereka didalam mengelabui kaum
muslimin.
Lantas dalam gambaran kebanyakan
orang, wali Allah adalah setiap orang yang bisa mengeluarkan keanehan dan
mempertontonkannya sesuai permintaan. Selain itu, dia juga termasuk orang yang
suka mengerjakan shalat lima waktu atau terlihat memiliki ilmu agama. Bagi
siapa yang memililki ciri-ciri tersebut, maka akan mudah baginya untuk
menyandang gelar wali Allah sekalipun dia melakukan kesyirikan dan kebid’ahan.
Wali menurut Al
Qur’an dan As Sunnah
Adalah perkara yang lumrah bila kita
mendengar kata-kata wali Allah. Di sisi lain, terkadang menjadi suatu yang
asing bila disebut kata wali setan. Itulah yang sering kita jumpai di antara
kaum muslimin. Bahkan sering menjadi sesuatu yang aneh bagi mereka kalau
mendengar kata wali setan. Fakta ini menggambarkan betapa jauhnya persepi
saudara kita kaum muslimin dari pemahaman yang benar tentang hakikat wali Allah
dan lawannya, yakni wali setan. Padahal Allah Ta’ala telah menetapkan bahwa
wali itu ada dua jenis yaitu: Wali Allah dan wali setan.
Allah berfirman :
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ
وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
“Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran
pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman
dan bertakwa.” (QS.
Yunus : 62-63).
Allah berfirman tentang wali setan :
إِنَّمَا ذَٰلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ
فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Sesungguhnya Mereka tidak lain adalah setan yang menakut-nakuti
wali-walinya (kawan-kawannya), karena itu janganlah kalian takut kepada mereka
jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (QS. Ali Imran : 175).
Dari kedua ayat ini jelaslah bahwa
wali Allah itu adalah siapa saja yang beriman dan bertakwa kepada Allah Ta’ala
dengan sebenar-benarnya. Sedangkan wali setan itu adalah lawan dari mereka.
Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah
mengatakan: “Wali-wali Allah adalah mereka yang beriman dan bertakwa
sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah Ta’ala tentang mereka, sehingga setiap
orang yang bertakwa adalah wali-Nya.” (Tafsir Ibnu Katsir [2/422]).
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
mengatakan: “Wali Allah adalah orang yang berilmu tentang Allah dan dia
terus-menerus diatas ketaatan kepada-Nya dengan penuh keikhlasan.” (Fathul
Bari [11/342]).
Di dalam ayat yang lainnya Allah
menyatakan bahwa wali Allah itu tidak mesti ma’shum (terpelihara dari
kesalahan). Dia berfirman :
وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ ۙ
أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُون لَهُم مَّا يَشَاءُونَ عِندَ رَبِّهِمْ ۚ
ذَٰلِكَ جَزَاءُ الْمُحْسِنِينَ لِيُكَفِّرَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَسْوَأَ الَّذِي
عَمِلُوا وَيَجْزِيَهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ الَّذِي كَانُوا يَعْمَلُونَ َ
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya,
maka mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka
kehendaki disisi Rabb mereka. Itulah balasan bagi orang-orang yang berbuat
baik. Agar Allah akan mengampuni bagi mereka perbuatan paling buruk yang mereka
kerjakan kemudian membalas mereka dengan ganjaran yang lebih baik dari apa yang
telah mereka kerjakan.” (QS. Az Zumar : 33-35)
Karamah menurut
Al Qur’an dan As Sunnah
Demikian juga halnya, Allah Ta’ala
dan Rasul-Nya menerangkan bahwa karamah itu memang ada pada sebagian manusia
yang bertakwa, baik di masa dahulu maupun di masa yang akan datang sampai hari
kiamat.
Diantaranya apa yang Allah kisahkan
tentang Maryam dalam surat Ali Imran 37 ataupun Ashhabul Kahfi dalam surat Al
Kahfi dan kisah pemuda mukmin yang dibunuh Dajjal di akhir jaman (HR. Al
Bukhari [no.7132] dan Muslim [no.2938]). Selain itu, kenyataan yang kita lihat
ataupun dengar dari berita yang mutawaatir bahwa karamah itu memang terjadi di
zaman kita ini.
Adapun definisi karamah itu sendiri
adalah: kejadian diluar kebiasaan yang Allah anugerahkan kepada seorang hamba
tanpa disertai pengakuan (pemiliknya) sebagai seorang nabi, tidak memiliki
pendahuluan tertentu berupa doa, bacaan, ataupun dzikir khusus, yang terjadi
pada seorang hamba yang shalih, baik dia mengetahui terjadinya (karamah
tersebut) ataupun tidak, dalam rangka mengokohkan hamba tersebut dan agamanya.
(Syarhu Ushulil I’tiqad [9/15] dan Syarhu Al Aqidah Al Wasithiyah
[2/298] karya Asy Syaikh Ibnu Utsaimin).
Apakah wali Allah itu memiliki atribut-atribut tertentu?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
menyatakan bahwa wali-wali Allah itu tidak memiliki sesuatu yang membedakan
mereka dengan manusia lainnya dari perkara-perkara dhahir yang hukumnya mubah
seperti pakaian, potongan rambut atau kuku. Dan merekapun terkadang dijumpai
sebagai ahli Al Qur’an, ilmu agama, jihad, pedagang, pengrajin atau para
petani. (Disarikan dari Majmu’ Fatawa [11/194]).
Apakah wali Allah itu harus memiliki karamah? Lebih utama
manakah antara wali yang memilikinya dengan yang tidak?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
menyatakan bahwa tidak setiap wali itu harus memiliki karamah. Bahkan, wali
Allah yang tidak memiliki karamah bisa jadi lebih utama daripada yang memilikinya.
Oleh karena itu, karamah yang terjadi di kalangan para tabi’in itu lebih banyak
daripada di kalangan para sahabat, padahal para sahabat lebih tinggi derajatnya
daripada para tabi’in. (Disarikan dari Majmu’ Fatawa [11/283]).
Apakah setiap yang diluar kebiasaan dinamakan dengan
‘karamah’?
Asy Syaikh Abdul Aziz bin Nashir Ar
Rasyid rahimahullah memberi kesimpulan bahwa sesuatu yang di luar
kebiasaan itu ada tiga macam:
Mu’jizat yang terjadi pada para rasul dan nabi
Karamah yang terjadi pada para wali Allah
Tipuan setan yang terjadi pada wali-wali setan
(Disarikan dari At Tanbihaatus Saniyyah [hal.312-313]).
Sedangkan untuk mengetahui apakah
itu karamah atau tipu daya setan tentu saja dengan kita mengenal sejauh mana
keimanan dan ketakwaan pada masing-masing orang yang mendapatkannya (wali)
tersebut.
Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata:
“Apabila kalian melihat seseorang berjalan diatas air atau terbang di udara
maka janganlah mempercayainya dan tertipu dengannya sampai kalian mengetahui
bagaimana dia dalam mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam.” (A’lamus
Sunnah Al Manshurah [hal.193]).
Wali dan Karamah menurut Kaum Sufi
Pandangan kaum Sufi tentang wali dan
karamah sangatlah rancu, bahkan menyimpang dari Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wassalam.
Diantara pandangan mereka adalah
sebagai berikut:
o Wali adalah
gambaran tentang sosok yang telah menyatu dan melebur diri dengan Allah Ta’ala.
Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Al Manuufi (dedengkot
Sufi) dalam kitabnya Jamharatul ‘Auliya’ 1/98-99 (lihat Firaq
Mu’ashirah [2/699])
Gelar wali merupakan pemberian dari
Allah Ta’ala yang bisa diraih tanpa melakukan amalan (sebab), dan bisa diraih
oleh seorang yang baik atau pelaku kemaksiatan sekalipun. (Lihat Firaq
Mu’ashirah 2/701)
o Menurut Sufi,
Wali memiliki kekhususan melebihi kekhususan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam.
Diantara kekhususan tersebut adalah:
a.
Mengetahui apa yang ada di hati
manusia sebagaimana ucapan An-Nabhani tentang Muhammad Saifuddin Al Farutsi An
Naqsyabandi.
b. Mampu menolak malaikat maut yang
hendak mencabut nyawa atau mengembalikan nyawa seseorang. Hal ini diterangkan
Muhammad Shadiq Al Qaadiri tentang Asy Syaikh Abdul Qadir Al Jailani.
c. Mampu berjalan di atas air dan
terbang di udara. An Nabhani menceritakan hal itu tentang diri Muhammad As
Sarwi yang dikenal dengan Ibnu Abil Hamaa’il.
d.
Dapat menunaikan shalat lima waktu
di Makkah padahal mereka ada di negeri yang sangat jauh. An Nabhani membela
perbuatan wali-wali mereka tersebut.
e.
Memiliki kesanggupan untuk memberi
janin pada seorang ibu walaupun tidak ditakdirkan Allah Ta’ala. Sekali lagi
kedustaan Muhammad Shadiq Al Qaadiri tentang Asy Syaikh Abdul Qadir Al Jailani.
(Dinukil dari buku-buku kaum Sufi melalui kitab Khashaa’ishul Mushthafa [hal.280-293]).
Dan masih ada lagi keanehan-keanehan yang ada pada tokoh-tokoh atau
wali-wali mereka. Subhanallah, semua itu adalah kedustaan yang nyata!!
Sebelumnya Ibnu Arabi menyatakan
kalau kedudukan wali itu lebih tinggi dari pada nabi. Didalam sebuah syairnya
dia mengatakan: “Kedudukan puncak kenabian berada pada suatu tingkatan.
Sedikit dibawah
wali dan diatas rasul“. (Lathaa’iful Asraar hal.49)
Demikian juga Abu Yazid Al Busthami
berkata: “Kami telah mendalami suatu lautan, yang para nabi hanya mampu di tepi-tepinya
saja.” (Firaq Mu’ashirah 2/698)
o Menurut Sufi,
seorang wali tidak terikat dengan syariat Islam
Asy Sya’rani menyatakan bahwa Ad
Dabbagh pernah berkata: “Pada salah satu tingkatan kewalian dapat
dibayangkan seorang wali duduk bersama orang-orang yang sedang minum khamr
(minuman keras), dan dia ikut juga minum bersama mereka. Orang-orang pasti
menyangka ia seorang peminum khamr, namun sebenarnya ruhnya telah berubah
bentuk dan menjelma seperti yang terlihat tersebut.” (Ath Thabaqaatul
Kubra 2/41)
o Seorang Wali
Harus Ma’shum (Terjaga Dari Dosa)
Ibnu Arabi berkata: “Salah satu
syarat menjadi imam kebatinan adalah harus ma’shum. Adapun imam dhahir
(syariat-pen) tidak bisa mencapai derajat kema’shuman.” (Al Futuuhaat Al
Makkiyah 3/183)
o Menurut Sufi, seorang
wali harus ditaati secara mutlak
Al Ghazali berkata: “Apapun yang
telah diinstruksikan syaikhnya dalam proses belajar mengajar maka hendaklah dia
mengikutinya dan membuang pendapat pribadinya. Karena, kesalahan syaikhnya itu
lebih baik daripada kebenaran yang ada pada dirinya.” (Ihya’ Ulumuddin
1/50)
o Menurut Sufi,
perbuatan maksiat seorang Wali dianggap sebagai Karamah
Dalam menceritakan karamah Ali
Wahisyi, Asy Sya’rany berkata: “Syaikh kami itu, bila sedang mengunjungi
kami, dia tinggal di rumah seorang wanita tuna susila/pelacur.” (Ath
Thabaqaatul Kubra 2/135)
o Menurut Sufi,
karamah menjadikan seorang wali memiliki kema’shuman
Al Qusyairi berkata: “Salah satu
fungsi karamah yang dimiliki oleh para wali agar selalu mendapat taufiq untuk
berbuat taat dan ma’shum dari maksiat dan penyelisihan syari’at.” (Ar
Risalah Al Qusyairiyah hal.150)
Para pembaca, dari bahasan diatas
akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwasanya pengertian wali menurut kaum sufi
sangatlah rancu dan menyimpang, karena dengan pengertian sufi tersebut siapa
saja bisa menjadi wali, walaupun ia pelaku kesyirikan, bid’ah atau kemaksiatan.
Ini jelas-jelas bertentangan dengan Al Qur’an, As Sunnah dan fitrah yang suci. Wallahu
a’lam bishshawaab.
Hadits-hadits lemah dan palsu yang tersebar di kalangan ummat
Hadits Ubadah bin Shamit Radiyallahu
‘anhu :
“Wali Al Abdaal di umat ini ada 30 orang…”
Keterangan:
Asy Syaikh Al Albani rahimahullah banyak membawakan hadits
tentang wali Al Abdaal didalam Silsilah Adh Dha’ifah hadits no. 936, 1392,
1474, 1475, 1476, 1477, 1478, 1479, 2993, 4341, 4779 dan 5248. Beliau
mengatakan bahwa seluruh hadits tentang wali Al Abdaal adalah lemah, tidak ada
satupun yang shahih. (Lihat pembahasan ini lebih detailnya didalam Majmu’
Fatawa 11/433-444)
(Dikutip dari Buletin Islam Al Ilmu Edisi 551/IV/II/1426,
diterbitkan Yayasan As Salafy Jember. Judul asli “Tasawuf & Wali”. Dikirim
oleh al Al Akh Ibn Harun via email.)
0 komentar:
Posting Komentar