Pages

Minggu, 28 Oktober 2012

Jangan Salah Berdzikir



إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة فنار




Ketika mendengar kata ‘dzikir’, terlintas di benak kita sosok orang yang duduk menghadap kiblat, dengan bibir komat-kamit sambil memegang tasbih atau menghitung ruas jari.

Kata ‘dzikir’ sering dikonotasikan sebagai ‘wirid’, alias bacaan tasbih, tahmid, takbir, tahlil, istighfar, dan semisalnya. Sehingga majelis dzikir pun menjadi identik dengan majelis wirid.  Memang, pemahaman di atas tidak mutlak salah; namun juga tidak sepenuhnya benar.

Berikut ini beberapa hadits tentang fadhilah dzikir dan majelis dzikir yang sering difahami secara keliru. Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al Khudri radhiyallaahu ‘anhuma meriwayatkan, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Tidaklah sekelompok orang duduk mengingat Allah, melainkan malaikat akan mengitari mereka, rahmat melingkupi mereka, rasa tenteram menyelimuti mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan malaikat di sisi-Nya”.[1]

Dalam hadits lainnya, Rasulullah bersabda yg artinya, “Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang menyusuri jalan-jalan demi mencari ahli dzikir. Bila mereka menjumpai suatu kaum yang sedang berdzikir (mengingat Allah), mereka saling memanggil: “Ayo kesini, apa yang kamu cari ada di sini”, kemudian mereka saling membentangkan sayapnya hingga memenuhi langit dunia.
Lalu Allah menanyai mereka -padahal Dia lah yang lebih tahu-: “Apa yg diucapkan oleh hamba-hamba-Ku?”. Kata para malaikat: “Mereka bertasbih, bertakbir, bertahmid, dan memuji-Mu”. “Apakah mereka pernah melihat-Ku?” tanya Allah. “Tidak, demi Allah. Mereka belum pernah melihat-Mu” jawab malaikat. “Bagaimana jika mereka melihat-Ku?” tanya Allah. “Jika mereka melihat-Mu, pastilah mereka lebih giat lagi dalam beribadah, memuji-Mu, dan menyucikan-Mu” jawab malaikat. “Apa yang mereka minta?” tanya Allah. “Mereka menginginkan Jannah (Surga)” jawab malaikat.”
Pernahkah mereka melihatnya?” tanya Allah. “Belum ya Allah” jawab malaikat. “Bagaimana kira-kira jika mereka melihatnya?” tanya Allah. “Mereka pasti lebih bersemangat dan sungguh-sungguh dalam mengejarnya” jawab malaikat. “Lalu mereka mohon perlindungan dari apa?” tanya Allah. “Dari Neraka” jawab malaikat.
“Pernahkah mereka melihat Neraka?” tanya Allah. “Belum pernah” jawab malaikat. “Kira-kira bagaimana jika mereka pernah melihatnya?” tanya Allah. “Pastilah mereka semakin lari dan takut darinya” jawab malaikat. Lalu Allah berfirman, “Saksikanlah oleh kalian, bahwa Aku telah mengampuni mereka”.
Salah seorang malaikat menyela, “Namun di antara mereka ada si fulan yang bukan dari mereka (ahli dzikir). Ia sekedar datang ke majelis itu untuk suatu keperluan” lanjutnya. Maka kata Allah, “Siapa yang duduk bersama mereka (ahli dzikir) maka tidak akan celaka”.[2]

Zhahir kedua hadits di atas seakan mendukung praktek dzikir berjama’ah yang marak dilakukan akhir-akhir ini. Akan tetapi, cobalah kita simak terlebih dahulu penjelasan para ulama tentang hadits-hadits di atas.

Al Hafizh Badruddin Al ‘Aini mengatakan, “bahwa pengertian ‘ahli dzikir’ meliputi orang-orang yang mengerjakan shalat, membaca Al Qur’an, menyampaikan hadits, mengajarkan ilmu-ilmu agama, berdiskusi dengan para ulama, dan semisalnya”.[3]

Dalam kitab monumentalnya yang berjudul Al Adzkar, Imam Nawawi mengatakan, “Ketahuilah bahwa fadhilah dzikir (mengingat Allah) tak terbatas pada tasbih, tahlil, tahmid, takbir dan semisalnya. Bahkan setiap orang yang berbuat taat kepada Allah, berarti ingat kepada Allah. Demikian menurut Sa’id bin Jubeir dan ulama lainnya.”

Sedangkan Atha’ bin Abi Rabah rahimahullah mengatakan, “Majelis dzikir adalah majelis yang membahas tentang halal-haram, membahas bagaimana engkau berjual-beli, berpuasa, shalat, menikah, mencerai, berhaji, dan semisalnya”.[4]
Adapun Ash Shan’ani mengatakan, “Dzikir bisa diartikan mengingat Allah secara lisan. Orang yang mengucapkannya akan mendapat pahala. Dalam dzikir tidak disyaratkan harus meresapi makna yang diucapkan, namun syaratnya ia harus bermaksud mengingat Allah. Jika di samping berdzikir secara lisan hatinya juga berdzikir, maka lebih sempurna lagi.
Jika setelah itu ditambah pula dengan meresapi makna bacaan dzikir yang meliputi pengagungan terhadap Allah dan penafian sifat-sifat negatif dari-Nya; maka lebih sempurna lagi. Lalu jika hal tersebut dilakukan dalam amalan wajib seperti shalat, jihad, dan semisalnya; maka lebih sempurna lagi…”[5]

Walaupun kedua hadits di atas menganjurkan kita untuk berkumpul dalam rangka mengingat Allah, akan tetapi tidak boleh difahami sebagai anjuran mengadakan tahlilan, shalawatan, dan dzikir jama’i. Sebab pengertian dzikir jama’i yang marak kita saksikan akhir-akhir ini[6], adalah sesuatu yang tidak dikenal oleh para salaf, bahkan dianggap bid’ah dholalah.

Simaklah hadits berikut. Salah seorang tabi’in bernama ‘Amru bin Salamah al Hamdani mengisahkan, bahwa Abu Musa Al Asy’ari pernah berkata kepada Ibnu Mas’ud, “Wahai Abu Abdirrahman, barusan di mesjid kulihat sesuatu yang aneh. Akan tetapi ia sesuatu yang baik, alhamdulillah”. “Apa itu?” tanya Ibnu Mas’ud. “Kamu bisa melihat sendiri nanti” jawab Abu Musa. “Tadi Aku melihat orang-orang dalam beberapa halaqah (kelompok) sedang duduk di mesjid. Sembari menunggu shalat, di masing-masing halaqah ada satu orang yang memimpin mereka, dan masing-masing anggotanya menggenggam kerikil.
Orang tersebut lalu berseru, “Ayo takbir seratus kali..” lalu mereka mulai bertakbir. Lalu ia berkata, “Ayo tahlil seratus kali” dan mereka pun bertahlil. Kemudian ia berkata “Ayo tasbih seratus kali” dan mereka pun bertasbih. Lanjut Abu Musa. “Lantas apa yang kau katakan kepada mereka?” tanya Ibnu Mas’ud. “Aku sengaja tidak mengatakan apa-apa, karena ingin tahu apa pendapatmu” Jawab Abu Musa. “Mengapa tidak kau perintahkan agar mereka menghitung kesalahan mereka, dan kau jamin bahwa kebaikan mereka takkan hilang?” tegur Ibnu Mas’ud.
Keduanya pun berlalu meneruskan perjalanan, dan kami mengikuti mereka sampai tiba di salah satu halaqah yang dimaksud. Sambil berdiri di hadapan mereka, Ibnu Mas’ud bertanya: “Apa yang sedang kalian lakukan?” “Wahai Abu Abdirrahman, ini adalah kerikil yang kami gunakan untuk menghitung takbir, tahlil, dan tasbih” jawab mereka.
“Hitung saja kesalahan kalian, karena kujamin tidak akan ada kebaikan kalian yang hilang sedikitpun… Celakalah kalian wahai umat Muhammad ! Alangkah cepatnya kalian binasa, padahal para sahabat Rasulullah ada di mana-mana, pakaian Rasulullah belum lusuh, dan bejana beliau belum pecah?!
Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya; kemungkinannya hanya dua: kalian berada di atas ajaran yang lebih benar dari ajaran Muhammad, atau kalian pembuka pintu kesesatan !” lanjut Ibnu Mas’ud. “Wahai Abu Abdirrahman, Demi Allah, kami hanya mencari kebaikan” jawab mereka. “Berapa banyak pencari kebaikan yang tidak pernah mendapatkannya” tukas Ibnu Mas’ud.
“Rasulullah pernah bercerita kepada kami bahwa ada suatu kaum yang gemar membaca Al Qur’an namun tidak melebihi tulang selangka mereka. Demi Allah, boleh jadi mayoritas dari mereka adalah kalian” lanjut Ibnu Mas’ud seraya meninggalkan mereka.”

Amru bin Salamah -perawi kisah ini- lantas berkata, “Sungguh, aku melihat kebanyakan dari mereka akhirnya bersama kaum khawarij melawan kami di perang Nahrawan”.[7]


[1] HR. Muslim no 2700.
[2] HR. Bukhari no 6045, dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[3] ‘Umdatul Qaari 33/165. Pendapat beliau ini didukung oleh Al Qur’an yang menggunakan istilah ‘ahli dzikir’ ketika berbicara tentang orang yang berilmu. Lihat: QS. An Nahl : 43 dan Al Anbiya’ : 7.
[4] Al-Adzkar hal 38.
[5]Subulus Salam 4/214.
[6] Yaitu dengan berkumpul di suatu tempat, lalu membaca tasbih, tahmid, takbir, tahlil, dan sebagainya secara serempak atas komando seorang ustadz/kyai. Seperti majelis dzikir Sdr. M. Arifin Ilham dan semisalnya.
[7] HR. Darimi no 211 dengan sanad yang hasan (lihat: Silsilah Ash Shahihah no 2005).
[8] Lihat QS. Al A’raf : 55 & 205.

Ini merupakan adab dzikir secara umum, kecuali pada saat talbiyah dan takbir hari raya, maka bagi laki-laki disunnahkan untuk menjahr-kan suaranya, sedangkan wanita tetap mengucapkannya dengan sirr.

Demikian pula saat membaca wirid selepas shalat 5 waktu, maka ada sebagian ulama yang menganggapnya sunnah untuk dijahr-kan tanpa koor (bagi laki-laki), karena mengamalkan zhahir hadits Ibnu Abbas terkait masalah ini. Namun ada pula yg berpendapat sebaliknya. Ala kulli haal, kasus terakhir ini termasuk masalah ijtihadiyyah yang harus kita sikapi secara ilmiah dan toleran, wallahu a’lam.

Sumber :


0 komentar:

Posting Komentar