إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
Ketika mendengar kata
‘dzikir’, terlintas di benak kita sosok orang yang duduk menghadap kiblat,
dengan bibir komat-kamit sambil memegang tasbih atau menghitung ruas jari.
Kata ‘dzikir’ sering
dikonotasikan sebagai ‘wirid’, alias bacaan tasbih, tahmid, takbir, tahlil,
istighfar, dan semisalnya. Sehingga majelis dzikir pun menjadi identik dengan
majelis wirid. Memang, pemahaman di atas
tidak mutlak salah; namun juga tidak sepenuhnya benar.
Berikut ini beberapa
hadits tentang fadhilah dzikir dan majelis dzikir yang sering difahami secara
keliru. Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al Khudri radhiyallaahu ‘anhuma
meriwayatkan, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah sekelompok orang duduk mengingat Allah, melainkan malaikat
akan mengitari mereka, rahmat melingkupi mereka, rasa tenteram menyelimuti
mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan malaikat di sisi-Nya”.[1]
Dalam hadits lainnya,
Rasulullah bersabda yg artinya, “Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang
menyusuri jalan-jalan demi mencari ahli dzikir. Bila mereka menjumpai suatu
kaum yang sedang berdzikir (mengingat Allah), mereka saling memanggil: “Ayo
kesini, apa yang kamu cari ada di sini”, kemudian mereka saling membentangkan
sayapnya hingga memenuhi langit dunia.
Lalu Allah menanyai mereka -padahal Dia lah yang lebih tahu-: “Apa yg
diucapkan oleh hamba-hamba-Ku?”. Kata para malaikat: “Mereka bertasbih,
bertakbir, bertahmid, dan memuji-Mu”. “Apakah mereka pernah melihat-Ku?” tanya
Allah. “Tidak, demi Allah. Mereka belum pernah melihat-Mu” jawab malaikat.
“Bagaimana jika mereka melihat-Ku?” tanya Allah. “Jika mereka melihat-Mu,
pastilah mereka lebih giat lagi dalam beribadah, memuji-Mu, dan menyucikan-Mu”
jawab malaikat. “Apa yang mereka minta?” tanya Allah. “Mereka menginginkan
Jannah (Surga)” jawab malaikat.”
“Pernahkah mereka melihatnya?” tanya Allah. “Belum ya Allah” jawab
malaikat. “Bagaimana kira-kira jika mereka melihatnya?” tanya Allah. “Mereka
pasti lebih bersemangat dan sungguh-sungguh dalam mengejarnya” jawab malaikat.
“Lalu mereka mohon perlindungan dari apa?” tanya Allah. “Dari Neraka” jawab
malaikat.
“Pernahkah mereka melihat Neraka?” tanya Allah. “Belum pernah” jawab
malaikat. “Kira-kira bagaimana jika mereka pernah melihatnya?” tanya Allah.
“Pastilah mereka semakin lari dan takut darinya” jawab malaikat. Lalu Allah
berfirman, “Saksikanlah oleh kalian, bahwa Aku telah mengampuni mereka”.
Salah seorang malaikat menyela, “Namun di antara mereka ada si fulan yang
bukan dari mereka (ahli dzikir). Ia sekedar datang ke majelis itu untuk suatu
keperluan” lanjutnya. Maka kata Allah, “Siapa yang duduk bersama mereka (ahli
dzikir) maka tidak akan celaka”.[2]
Zhahir kedua hadits di
atas seakan mendukung praktek dzikir berjama’ah yang marak dilakukan
akhir-akhir ini. Akan tetapi, cobalah kita simak terlebih dahulu penjelasan
para ulama tentang hadits-hadits di atas.
Al Hafizh Badruddin Al
‘Aini mengatakan, “bahwa pengertian ‘ahli dzikir’ meliputi orang-orang yang
mengerjakan shalat, membaca Al Qur’an, menyampaikan hadits, mengajarkan
ilmu-ilmu agama, berdiskusi dengan para ulama, dan semisalnya”.[3]
Dalam kitab
monumentalnya yang berjudul Al Adzkar, Imam Nawawi mengatakan, “Ketahuilah
bahwa fadhilah dzikir (mengingat Allah) tak terbatas pada tasbih, tahlil,
tahmid, takbir dan semisalnya. Bahkan setiap orang yang berbuat taat kepada
Allah, berarti ingat kepada Allah. Demikian menurut Sa’id bin Jubeir dan ulama
lainnya.”
Sedangkan Atha’ bin Abi
Rabah rahimahullah mengatakan, “Majelis dzikir adalah majelis yang
membahas tentang halal-haram, membahas bagaimana engkau berjual-beli, berpuasa,
shalat, menikah, mencerai, berhaji, dan semisalnya”.[4]
Adapun Ash Shan’ani
mengatakan, “Dzikir bisa diartikan mengingat Allah secara lisan. Orang yang
mengucapkannya akan mendapat pahala. Dalam dzikir tidak disyaratkan harus
meresapi makna yang diucapkan, namun syaratnya ia harus bermaksud mengingat
Allah. Jika di samping berdzikir secara lisan hatinya juga berdzikir, maka
lebih sempurna lagi.
Jika setelah itu ditambah pula dengan meresapi makna bacaan dzikir yang
meliputi pengagungan terhadap Allah dan penafian sifat-sifat negatif dari-Nya;
maka lebih sempurna lagi. Lalu jika hal tersebut dilakukan dalam amalan wajib
seperti shalat, jihad, dan semisalnya; maka lebih sempurna lagi…”[5]
Walaupun kedua hadits
di atas menganjurkan kita untuk berkumpul dalam rangka mengingat Allah, akan
tetapi tidak boleh difahami sebagai anjuran mengadakan tahlilan, shalawatan,
dan dzikir jama’i. Sebab pengertian dzikir jama’i yang marak kita saksikan
akhir-akhir ini[6], adalah sesuatu yang tidak dikenal oleh para salaf, bahkan
dianggap bid’ah dholalah.
Simaklah hadits
berikut. Salah seorang tabi’in bernama ‘Amru bin Salamah al Hamdani
mengisahkan, bahwa Abu Musa Al Asy’ari pernah berkata kepada Ibnu Mas’ud, “Wahai
Abu Abdirrahman, barusan di mesjid kulihat sesuatu yang aneh. Akan tetapi ia
sesuatu yang baik, alhamdulillah”. “Apa itu?” tanya Ibnu Mas’ud. “Kamu
bisa melihat sendiri nanti” jawab Abu Musa. “Tadi Aku melihat
orang-orang dalam beberapa halaqah (kelompok) sedang duduk di mesjid. Sembari
menunggu shalat, di masing-masing halaqah ada satu orang yang memimpin mereka,
dan masing-masing anggotanya menggenggam kerikil.
Orang tersebut lalu berseru, “Ayo takbir seratus kali..” lalu mereka
mulai bertakbir. Lalu ia berkata, “Ayo tahlil seratus kali” dan mereka
pun bertahlil. Kemudian ia berkata “Ayo tasbih seratus kali” dan mereka
pun bertasbih. Lanjut Abu Musa. “Lantas apa yang kau katakan kepada mereka?”
tanya Ibnu Mas’ud. “Aku sengaja tidak mengatakan apa-apa, karena ingin tahu
apa pendapatmu” Jawab Abu Musa. “Mengapa tidak kau perintahkan agar
mereka menghitung kesalahan mereka, dan kau jamin bahwa kebaikan mereka takkan
hilang?” tegur Ibnu Mas’ud.
Keduanya pun berlalu meneruskan perjalanan, dan kami mengikuti mereka
sampai tiba di salah satu halaqah yang dimaksud. Sambil berdiri di hadapan
mereka, Ibnu Mas’ud bertanya: “Apa yang sedang kalian lakukan?” “Wahai Abu
Abdirrahman, ini adalah kerikil yang kami gunakan untuk menghitung takbir,
tahlil, dan tasbih” jawab mereka.
“Hitung saja kesalahan kalian, karena kujamin tidak akan ada kebaikan
kalian yang hilang sedikitpun… Celakalah kalian wahai umat Muhammad ! Alangkah
cepatnya kalian binasa, padahal para sahabat Rasulullah ada di mana-mana,
pakaian Rasulullah belum lusuh, dan bejana beliau belum pecah?!
Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya; kemungkinannya hanya dua:
kalian berada di atas ajaran yang lebih benar dari ajaran Muhammad, atau kalian
pembuka pintu kesesatan !” lanjut Ibnu Mas’ud. “Wahai Abu Abdirrahman, Demi
Allah, kami hanya mencari kebaikan” jawab mereka. “Berapa banyak pencari
kebaikan yang tidak pernah mendapatkannya” tukas Ibnu Mas’ud.
“Rasulullah pernah bercerita kepada kami bahwa ada suatu kaum yang gemar
membaca Al Qur’an namun tidak melebihi tulang selangka mereka. Demi Allah,
boleh jadi mayoritas dari mereka adalah kalian” lanjut Ibnu Mas’ud
seraya meninggalkan mereka.”
Amru bin Salamah
-perawi kisah ini- lantas berkata, “Sungguh, aku melihat kebanyakan dari
mereka akhirnya bersama kaum khawarij melawan kami di perang Nahrawan”.[7]
[1] HR. Muslim no 2700.
[2] HR. Bukhari no 6045, dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[3] ‘Umdatul Qaari 33/165. Pendapat beliau ini didukung oleh Al
Qur’an yang menggunakan istilah ‘ahli dzikir’ ketika berbicara tentang orang
yang berilmu. Lihat: QS. An Nahl : 43 dan Al Anbiya’ : 7.
[4] Al-Adzkar hal 38.
[5]Subulus Salam 4/214.
[6] Yaitu dengan berkumpul di suatu tempat, lalu membaca tasbih, tahmid,
takbir, tahlil, dan sebagainya secara serempak atas komando seorang
ustadz/kyai. Seperti majelis dzikir Sdr. M. Arifin Ilham dan semisalnya.
[7] HR. Darimi no 211 dengan sanad yang hasan (lihat: Silsilah Ash
Shahihah no 2005).
[8] Lihat QS. Al A’raf : 55 & 205.
Ini merupakan adab
dzikir secara umum, kecuali pada saat talbiyah dan takbir hari raya, maka bagi
laki-laki disunnahkan untuk menjahr-kan suaranya, sedangkan wanita tetap
mengucapkannya dengan sirr.
Demikian pula saat
membaca wirid selepas shalat 5 waktu, maka ada sebagian ulama yang
menganggapnya sunnah untuk dijahr-kan tanpa koor (bagi laki-laki), karena
mengamalkan zhahir hadits Ibnu Abbas terkait masalah ini. Namun ada pula yg
berpendapat sebaliknya. Ala kulli haal, kasus terakhir ini termasuk masalah
ijtihadiyyah yang harus kita sikapi secara ilmiah dan toleran, wallahu a’lam.
Sumber
:
0 komentar:
Posting Komentar