إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
Ilmu kasyaf atau yang lebih dikenal
dengan ilmu laduni (ilmu batin) tidaklah asing ditelinga kita, lebih – lebih
lagi bagi siapa saja yang sangat erat hubungannya dengan tasawuf beserta
tarekat-tarekatnya.
Kata sebagian orang: “Ilmu ini
sangat langka dan sakral. Tak sembarang orang bisa meraihnya, kecuali para wali
yang telah sampai pada tingkatan ma’rifat. Sehingga jangan sembrono untuk buruk
sangka, apalagi mengkritik wali-wali yang tingkah lakunya secara dhahir
menyelisihi syariat. Wali-wali atau gus-gus itu beda tingkatan dengan kita,
mereka sudah sampai tingkatan ma’rifat yang tidak boleh ditimbang dengan
timbangan syari’at lagi”. Benarkah demikian? Inilah topik yang kita kupas
pada kajian kali ini.
Hakikat Ilmu Laduni
Kaum sufi telah memproklamirkan
keistimewaan ilmu laduni. Ia merupakan ilmu yang paling agung dan puncak dari
segala ilmu. Dengan mujahadah, pembersihan dan pensucian hati akan terpancar
nur dari hatinya, sehingga tersibaklah seluruh rahasia-rahasia alam ghaib
bahkan bisa berkomunikasi langsung dengan Allah, para Rasul dan ruh-ruh yang
lainnya, termasuk nabi Khidhir. Tidaklah bisa diraih ilmu ini kecuali setelah
mencapai tingkatan ma’rifat melalui latihan-latihan, amalan-amalan, ataupun dzikir-dzikir
tertentu.
Ini bukan suatu wacana atau tuduhan
semata, tapi terucap dari lisan tokoh-tokoh tenar kaum sufi, seperti Al
Junaidi, Abu Yazid Al Busthami, Ibnu Arabi, Al Ghazali, dan masih banyak lagi
yang lainnya yang terdapat dalam karya-karya tulis mereka sendiri.
1. Al Ghazali dalam kitabnya Ihya’
Ulumuddin [1/11-12] berkata: “Ilmu kasyaf adalah tersingkapnya tirai
penutup, sehingga kebenaran dalam setiap perkara dapat terlihat jelas seperti
menyaksikan langsung dengan mata kepala… inilah ilmu-ilmu yang tidak tertulis
dalam kitab-kitab dan tidak dibahas… “. Dia juga berkata: “Awal dari
tarekat, dimulai dengan mukasyafah dan musyahadah, sampai dalam keadaan terjaga
(sadar) bisa menyaksikan atau berhadapan langsung dengan malaikat-malaikat dan
juga ruh-ruh para Nabi dan mendengar langsung suara-suara mereka bahkan mereka
dapat langsung mengambil ilmu-ilmu dari mereka”. (Jamharatul Auliya’
: 155).
2.
Abu Yazid Al Busthami berkata: “Kalian
mengambil ilmu dari orang-orang yang mati. Sedang kami mengambil ilmu dari
Allah yang Maha Hidup dan tidak akan mati. Orang seperti kami berkata: “Hatiku
telah menceritakan kepadaku dari Rabbku”. (Al Mizan : 1/28)
3. Ibnu Arabi berkata: “Ulama
syariat mengambil ilmu mereka dari generasi terdahulu sampai hari kimat.
Semakin hari ilmu mereka semakin jauh dari nasab. Para wali mengambil ilmu
mereka langsung dari Allah yang dihujamkan ke dalam dada-dada mereka.” (Rasa’il
Ibnu Arabi hal. 4)
Dedengkot
wihdatul wujud ini juga berkata: “Sesungguhnya seseorang tidak akan sempurna
kedudukan ilmunya sampai ilmunya berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla secara
langsung tanpa melalui perantara, baik dari penukilan ataupun dari gurunya.
Sekiranya ilmu tadi diambil melalui penukilan atau seorang guru, maka tidaklah
kosong dari sistim belajar model tersebut dari penambahan-penambahan. Ini
merupakan aib bagi Allah ‘Azza wa Jalla – sampai dia berkata – maka tidak ada
ilmu melainkan dari ilmu kasyaf dan ilmu syuhud bukan dari hasil pembahasan,
pemikiran, dugaan ataupun taksiran belaka”.
Ilmu Laduni dan Dampak Negatifnya terhadap Umat
Kaum sufi dengan ilmu laduninya
memiliki peran sangat besar dalam merusak agama Islam yang mulia ini. Dengannya
bermunculan akidah-akidah kufur –seperti diatas – dan juga amalan-amalan
bid’ah. Selain dari itu, mereka secara langsung ataupun tidak langsung terlibat
dalam kasus pembodohan umat. Karena menuntut ilmu syar’i merupakan pantangan
besar bagi kaum sufi.
Berkata Al Junaidi: “Saya
anjurkan kepada kaum sufi supaya tidak membaca dan tidak menulis, karena dengan
begitu ia bisa lebih memusatkan hatinya”. (Quutul Qulub 3/135).
Abu Sulaiman Ad-Daraani berkata: “Jika
seseorang menuntut ilmu hadits atau bersafar mencari nafkah atau menikah
berarti ia telah condong kepada dunia”. (Al Futuhaat Al Makiyah
1/37).
Berkata Ibnul Jauzi: “Seorang
guru sufi ketika melihat muridnya memegang pena. Ia berkata: “Engkau telah
merusak kehormatanmu.” (Tablis Iblis hal. 370).
Oleh karena itu, Al Imam Asy Syafi’i
berkata: “Ajaran tasawuf itu dibangun atas dasar rasa malas.” (Tablis
Iblis 309).
Tak sekedar melakukan tindakan
pembodahan umat, merekapun telah jatuh dalam pengkebirian umat. Dengan membagi
umat manusia menjadi tiga kasta yaitu: syariat, hakekat, dan ma’rifat, seperti
Sidarta Budha Gautama membagi manusia menjadi empat kasta. Sehingga seseorang
yang masih pada tingkatan syari’at tidak boleh baginya menilai atau mengkritik
seseorang yang telah mencapai tingkatan ma’rifat atau hakekat.
Syubhat-Syubhat Kaum Sufi dan Bantahannya
1.
Kata laduni mereka petik dari ayat
Allah yang berbunyi:
وَعَلَمَّنَاهُ
مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا
“Dan kami telah ajarkan kepadanya (Nabi khidhir) dari sisi Kami
suatu ilmu”. (QS.
Al Kahfi : 65).
Mereka memahami dari ayat ini adanya
ilmu laduni sebagaimana yang Allah anugerahkan ilmu tersebut kepada Nabi
Khidhir. Lebih anehnya mereka meyakini pula bahwa Nabi Khidhir hidup sampai
sekarang dan membuka majlis-majlis ta’lim bagi orang-orang khusus (ma’rifat).
Telah menjadi ijma’ (kesepakatan)
seluruh kaum muslimin, wajibnya beriman kepada nabi-nabi Allah tanpa membedakan
satu dengan yang lainnya dan mereka diutus khusus kepada kaumnya masing-masing.
Nabi Khidhir diutus untuk kaumnya dan syari’at Nabi Khidhir bukanlah syari’at
bagi umat Muhammad. Rasulullah bersabda:
كَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ
خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
“Nabi yang terdahulu diutus khusus kepada kaumnya sendiri dan aku
diutus kepada seluruh umat manusia” (Muttafaqun ‘alaihi).
Allah berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَافَّةً
لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada seluruh
umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan peringatan”. (QS. Saba’ : 28)
Adapun keyakinan bahwa Nabi Khidhir
masih hidup dan terus memberikan ta’lim kepada orang-orang khusus, maka
bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Allah berfirman:
وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ
الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ
“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum
kamu (Muhammad).” (QS. Al Anbiya’ : 34)
Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ مَنْفُوْسَةٍ اليَوْمَ تَأْتِيْ
عَلَيْهَا مِائَةُ سَنَةٍ وَهِيَ يَوْمَئِذٍ حَيَّةٌ
“Tidak satu jiwapun hari ini yang akan bertahan hidup setelah
seratus tahun kedepan”. (HR At Tirmidzi dan Ahmad)
Adapun keyakinan kaum sufi bahwa
seseorang yang sudah mencapai ilmu kasyaf, akan tersingkap baginya
rahasia-rahasia alam ghaib. Dengan cahaya hatinya, ia bisa berkomunikasi dengan
Allah, para Rasul, malaikat, ataupun wali-wali Allah. Pada tingkatan
musyahadah, ia dapat berinteraksi langsung tanpa adanya pembatas apapun.
Cukup dengan pengakuannya mengetahui ilmu ghaib, sudah
bisa dikatakan ia sebagai seorang pendusta. Rasul Shalallahu ‘alaihi
wassalam adalah seorang yang paling mulia dari seluruh makhluk Allah, namun
Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam tidaklah mengetahui ilmu ghaib kecuali
apa yang telah diwahyukan kepadanya.
قُلْ إِنْ أَدْرِي أَقَرِيبٌ مَا
تُوعَدُونَ أَمْ يَجْعَلُ لَهُ رَبِّي أَمَدًا ﴿٢٥﴾ عَالِمُ الْغَيْبِ فَلاَ
يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا
“Dia (Allah) yang mengetahui ilmu ghaib, maka Dia tidak
memperlihatkan seseorangpun tentang yang ghaib kecuali dari para rasul yang
diridhai-Nya”. (QS.
Al Jin : 25-26)
Apalagi mengaku dapat berkomunikasi dengan
Allah atau para arwah yang ghaib baik lewat suara hatinya atau berhubungan
langsung tanpa adanya pembatas adalah kedustaan yang paling dusta. Akal sehat
dan fitrah suci pasti menolaknya sambil berkata: “Tidaklah muncul omongan
seperti itu kecuali dari orang stres saja”. Kalau ada yang bertanya, lalu
suara dari mana itu? Dan siapa yang diajak bicara? Kita jawab, Maha Benar Allah
dari segala firman-Nya:
هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَنْ تَنَزَّلُ
الشَّيَاطِينُ ﴿٢٢١﴾ تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ ﴿٢٢٢﴾ يُلْقُونَ
السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ ﴿٢٢۳﴾
“Apakah akan Aku beritakan, kepada siapa syaithan-syaithan itu
turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak dosa, mereka
menghadapkan pendengaran (kepada syaithan) itu, dan kebanyakan mereka
orang-orang pendusta”. (QS. Asy Syu’ara : 221-223)
2.
Sebagian kaum sufi berkilah dengan
pernyataannya bahwa ilmu laduni (Al Kasyaf) merupakan ilham dari Allah (yang
diistilahkan wangsit). Dengan dalih hadits Nabi Muhammad:
إِنَّهُ
قَدْ كَانَ قَبْلَكُمْ فِيْ الأَمَمِ مُحَدَّثُوْنَ فَإِنْ يَكَنْ فِيْ أُمَّتِي
أَحَدٌ فَعُمَر
“Dahulu ada beberapa orang dari umat-umat sebelum kamu yang diberi
ilham. Kalaulah ada satu orang dari umatku yang diberi ilham pastilah orang itu
Umar.”
(Muttafaqun ‘alaihi)
Hadits ini sama sekali tidak bisa
dijadikan hujjah bagi mereka. Makna dhohir hadits ini, menunjukkan keberadaan
ilham itu dibatasi dengan huruf syarat (kalaulah ada). Maksudnya, kalaupun ada
pada umat ini, pastilah orang yang mendapatkan ilham adalah Umar Ibnul Khathab.
Sehingga beliau digelari al mulham (orang yang mendapatkan ilham). Dan bukan
menunjukkan dianjurkannya cari wangsit, seperti petuah tokoh-tokoh tua kaum
sufi. Bagaimana mereka bisa memastikan bisikan-bisikan dalam hati itu adalah
ilham? Sementara mereka menjauhkan dari majlis-majlis ilmu yang dengan ilmu
syar’i inilah sebagai pemisah antara kebenaran dengan kebatilan.
Mereka berkilah lagi: “Ini bukan
bisikan-bisikan syaithan, tapi ilmu laduni ini merubah firasat seorang mukmin,
bukankah firasat seorang mukmin itu benar? Sebagaimana sabda Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wassalam: “Hati-hati terhadap firasat seorang mukmin. Karena
dengannya ia melihat cahaya Allah”. (HR At Tirmidzi)
Hadits ini dho’if (lemah), sehingga tidak boleh diamalkan. Karena
ada seorang perawi yang bernama Athiyah Al Aufi. Selain dia seorang perawi yang
dho’if, diapun suka melakukan tadlis (penyamaran hadits).
Singkatnya, ilham tidaklah bisa
mengganti ilmu naqli (Al Qur’an dan As Sunnah), lebih lagi sekedar firasat.
Ditambah dengan adanya keyakinan-keyakinan batil yang ada pada mereka seperti
mengaku mengetahui alam ghaib, merupakan bukti kedustaan diatas kedustaan.
Berarti, yang ada pada kaum sufi dengan ilmu laduninya, bukanlah suatu ilham
melainkan bisikan-bisikan syaithan atau firasat rusak yang bersumber dari hawa
nafsu semata. Disana masih banyak syubhat-syubhat mereka, tapi laksana sarang
laba-laba, dengan fitrah sucipun bisa meruntuhkan dan membantahnya.
Hadits-Hadits Dho’if Dan Palsu Yang Tersebar Di Kalangan Umat
Hadits Ali bin Abi Thalib:
عِلْمُ الْبَاطِنِ سِرٌّ مِنْ أَسْرَارِ
اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ، وَحُكْمٌ مِنْ أَحْكَامِ اللهِ ، يَقْذِفُهُ فِيْ قُلُوْبِ
مَنْ يَشَاءَ مِنْ عِبَادِهِ
“Ilmu batin merupakan salah satu rahasia Allah ‘Azza wa Jalla, dan
salah satu dari hukum-hukum-Nya yang Allah masukkan kedalam hati
hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya”.
Keterangan:
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi di dalam kitab Al
Wahiyaat 1/74, beliau berkata: “Hadits ini tidak shahih dan secara
mayoritas para perawinya tidak dikenal”. Al Imam Adz Dzahabi berkata: “Ini
adalah hadits batil”. Asy Syaikh Al Albani menegaskan bahwa hadits ini
palsu. (Lihat Silsilah Adh Dha’ifah no 1227)
(Dikutip dari Buletin Islam Al Ilmu Edisi 31/II/I/1425, diterbitkan
Yayasan As Salafy Jember. Judul asli “Tasawuf Dan Ilmu Laduni”. Dikirim oleh al
Al Akh Ibn Harun via email.)
0 komentar:
Posting Komentar