إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
Tema pembahasan kali
ini seputar tarif ustadz Seleb atau Da’i Kondang. Banyak fenomena yang terjadi
di masyarakat kita ini berhubungan dengan mahalnya tarif seorang da’i kondang,
walaupun ini menyangkut individu namun kondisi seperti ini membuat nama atau
gelar seorang ustadz tercemar atau terbawa akibatnya.
Hal ini sangat jarang
dibahas oleh sebagian orang karena masih terkesan aib, namun jika hal ini
selalu ditutup-tutupi maka akan membawa dampak yang tidak baik juga untuk kita
semua. Sudah banyak sejarah menceritakan tentang kisah-kisah teladan dari
orang-orang shalih terdahulu, khususnya para Salafush Shalih ketika mereka
berdakwah tanpa membutuhkan upah atau tarif yang mahal, bahkan sangat banyak
dari mereka yang tidak mau dibayar atau ikhlas demi mencari Wajah Allah.
Maka itu, pada
kesempatan kali ini, akan saya nukil beberapa komentar dari saudara-saudara
kita mengenai mahalnya tarif untuk seorang Da’i Kondang atau Ustadz Seleb, yang
membuktikan bahwa segala sesuatu yang jauh dari Sunnah (alias Bid’ah) maka
mahal harganya. Berikut sebagian komentar-komentar mereka:
o
Ustadz Selebritis
Mematok Tarif Rp. 30Juta/15 Menit
Komentar ustadz Ahmad
Sarwat, “Ramadhan kemarin ada panitia ceramah yang ngaku terus terang ke saya
bahwa seharusnya yang diundang bukan saya, tapi ustadz X. Tapi gagal gak jadi
diundang lantaran pihak manager gak mau turun lagi TARIF-nya dari angka 30 juta
untuk ceramah 15 menit menjelang buka puasa. Akhirnya yang diundang saya yang
bisa dikasih “syukron” doang”.
Sumber :
o
Biaya Mendatangkan
Ustadz (seleb) itu, Bisa Menghabiskan Dana 90 Jutaan
Komentar Fulan: “...
dulu pernah menjadi bagian dari “dakwah jutawan” semacam ini, contohnya ingin
mendatangkan seorang dai dari bandung, mungkin hampir 100 jutaan, alasannya sih
mereka punya kantor, punya anak buah yang harus dibiayain, uang hotelnya (minta
hotel yang bagus/mahal), dan saat kita minta datang sendiri atau paling tidak
minimal dengan beberapa orang saja maka bagian agennya bilang tidak bisa karena
harus datang dengan rombongan, karena tidak ada dananya maka yang begitu itu
tidak jadi dilakukan. Pernah denger juga cerita, jadi di kampus saya pernah mau
didatangi seorang ustadz. Beliau bersedia asal dibayar minimal 40 juta.
Gilaaaa!!!”
Sumber :
o
Tentang Ustadz Kondang
yang Tarifnya 15 juta/jam.
Bisa dilihat disini: http://twicsy.com/i/vNyX2
o
Berapa Honor Ustadz Seleb?
Komentar seseorang: “…
honornya untuk setiap acara berbeda tetapi minimum sekarang 15 juta, ada yang
bahkan memberikan ratusan juta rupiah, karena memang beliau tidak mau
menetapkan tarif, jadi terserah yang memberi (yang memiliki acara) dan 5 juta
setiap pertemuan untuk acara2 yang tampil secara rutin di televisi.”
Sumber :
o
Tarif Ustadz C****
Sebesar Rp.10 Juta
Menurut pernyataan dari
ibu Kenah, biaya atau tarif Ustadz C**** sebesar 10 juta rupiah. Kendati biaya
itu cukup mahal untuk ukuran masyarakat yang berada di daerah pedesaan, ia
tidak berkeberatan. Sejak dari awal memang sudah berencana untuk menghadirkan
ceramah dari ustadz kondang itu.
Tepat pukul 21.00,
ustadz C**** datang dan langsung memulai ceramahnya di hadapan kurang lebih
1000 penonton yang sudah hadir memenuhi area halaman rumah ibu Kenah. Sekedar
pertimbangan buat yang ingin mengundang beberapa ustadz kondang, Ibu Kenah
sempat menanyakan tarif ustadz yang lainnya. Diantaranya Ustadz A* G**
mempunyai tarif 8 juta rupiah, Ustadz J**** mempunyai tarif 11 juta. Itu adalah
tarif untuk panggilan ke wilayah Cirebon.
o
Ustadz-Ustadz
Kapitalis?
Komentar ustadz YM: “Dahulu
ada Ustadz yang tarifnya mencapai 40 juta sekali ceramah. Sebenarnya bukan
salah Ustadz itu 100% sih. Gara-gara persaingan antar televisi aja yang
menyebabkan si Ustadz pasang tarif segede gitu, si Ustadz 40 juta itu asalnya
cuma sebagai Penceramah di masjid Al Azhar. Rupanya ada Produser R*** (salah
satu stasiun TV swasta) yang tertarik dengan ceramah sang Ustadz. Jadilah si
Ustadz masuk televisi.
Sekali dua kali tampil, ada S*** (salah satu stasiun TV swasta) yang juga
tertarik buat mengundang Ustadz 40 juta ini. Entah ada setan apa, si Ustadz
meluncurkan kata-kata: “Kalo mau munculin ane di televisi, ente berani bayar 15
juta nggak? Namanya juga persaingan bebas”, S*** tanpa ba-bi-bu langsung
“membajak” Ustadz berinisial KB ini. Sejak itulah KB menjadi Ustadz dengan
honor tertinggi. Dari 15 juta beranjak ke 20 juta, dan sampai akhirnya bertarif
40 juta. Gokil! Memang sih, gaya bertausyiahnya keren, menyejukkan, dan segar.
Memang juga sih, spot iklan di televisi akhirnya bisa menutup tarif Ustadz KB
ini. Tapi wajar nggak sih Ustadz mengkomersilkan diri?”
Ustadz YM cerita lagi
soal Ustadz lain. Kali ini inisialnya JK, “Gw kenal dengan Ustadz JK, tapi
sayang doi nggak kenal gw. Gw kenal karena JK ini dahulu sebelum ngetop jadi
Ustadz, profesinya sebagai Model dan Bintang Sinetron. Dahulu kala hidupnya
gawat. Mabok-mabokan, free seks, dan menjadi pengguna narkoba. Sampai suatu
saat, doi sekarat dan mendapat hidayah buat kembali ke jalan yang benar. JK
kemudian berubah jadi Ustadz. Awalnya mungkin nggak ada dalam benaknya
mengkomersilkan diri. Tausyiahnya semata-mata buat Allah. Eh, lama kelamaan,
matanya hijau juga ngeliat tarif. Apalagi doi udah menggabdikan diri melakukan
syiar, sementara kebutuhan rumah tangga nggak bisa ditawar-tawar.
Mana ada Manusia yang mau kelaparan? Nah, doi akhirnya memanfaatkan Ustadz
buat mencari duit gila-gilaan dengan memasang tarif. Dua tahun lalu tarifnya
mencapai 15 juta,”
Kata Ustadz YM,
“Kalo sekarang ada yang ngundang dengan tarif 5 juta pun dikejar. Maklum,
persaingan Ustadz gila-gilaan. Kalo sok pasang tarif tinggi, Ustadz itu bisa
nggak makan.”
Ustadz YM sebenarnya
menyayangkan temannya (maksudnya Ustadz JK) itu pasang tarif. Banyak
cerita-cerita miring soal Ustadz JK ini. Salah satunya dari sebuah Institusi
yang ingin mengundang doi. Oleh Management Ustadz JK, Institusi itu diwajibkan
menyetor dana senilai 20 juta cash via transfer. Padahal waktu tausyiah Ustadz
JK masih 3 bulan lagi.
“Nggak bisa DP dulu, Pak,” kata salah seorang Panitia dari Institusi tersebut, sebagaimana diceritakan oleh Ustadz YM. “Nggak bisa!” Galak banget jawaban Mas-Mas dari Management Ustadz JK itu. “Ustadz JK itu schedule-nya penuh. Dia mau menyempatkan diri hadir di tausyiah Anda, eh kok Anda menawar gitu?”
“Nggak bisa DP dulu, Pak,” kata salah seorang Panitia dari Institusi tersebut, sebagaimana diceritakan oleh Ustadz YM. “Nggak bisa!” Galak banget jawaban Mas-Mas dari Management Ustadz JK itu. “Ustadz JK itu schedule-nya penuh. Dia mau menyempatkan diri hadir di tausyiah Anda, eh kok Anda menawar gitu?”
Mas-Mas Management
semakin marah ketika Panitia memutuskan mengganti Ustadz JK dengan Ustadz lain.
“Anda udah berjanji buat mengundang Ustadz JK. Anda harus teransfer sekarang
juga!” Idiiiiih, kok maksa gitu ya? Ya gitu deh kalo Ustadz udah berubah
jadi Ustadz Kapitalis.
“Nggak heran kalo
dengan jadi Ustadz cari uang jadi mudah,” cerita Ustadz YM
lagi. “Tinggal bilang banyak-banyaklah bershodaqah atau amal jariah, Jamaah
yang kaya raya itu pasti bakal ngasih duit.”
Percaya enggak, ada
Ustadz yang dikasih mobil Jaguar, even Celica sama Jamaah-nya?
Ustadz ini cari duit
gampang banget. Saking mudahnya, cari 100 juta udah kayak cari 10 ribu perak.
Hanya dengan tempo 1 tahun, Ustadz berinisial KK ini berhasil memiliki duit
senilai 1,5 miliar. Memang sih terlalu kecil buat ukuran Pengusaha. Tapi buat
Ustadz KK, ini jadi sebuah prestasi yang gemilang nan jaya. Sayang, semua
sumbangan dimasukkan ke dalam rekening pribadi, bukan buat kesejahteraan Ummat.
Memang sih, doi dapat jatah dari sumbangan itu, karena gara-gara doi, Jamaah
mau bershadaqoh atau menyumbang. Tapi masa 50% duit buat pribadi? Bukan 2,5%
atau kurang dari angka itu?
Bahkan Ustadz KK
berhasil menipu salah satu pemilik stasiun televisi swasta nasional. Kata
Ustadz YM, awal tipu menipu itu gara-gara Ustadz KK berhasil menjual diri.
Ustadz KK bilang, Ummatnya banyak, jadi rugi kalo nggak mengontrak dirinya.
Walhasil, Bos televisi swasta setuju. You know nilai kontrak si Ustadz KK itu?
2,5 miliar per tahun. Masa kontrak yang diminta di Ustadz lima tahun. Artinya,
dalam lima tahun Ustadz itu berhasil mengantongi duit senilai 12,5 miliar.
Wow?!
“Gara-gara rating si
Ustadz jeblok, maka kontraknya cuma bertahan setahun,” jelas Ustadz YM. “Tapi
lumayan kan setahun dapat 2,5 miliar?”
Kini, Ustadz-Ustadz
Kapitalis masih merajelela. Sebenarnya, Ustadz kayak gini memang nggak bisa
dipersalahkan 100%. Keadaan yang membentuk diri si Ustadz jadi Kapitalis.
Persaingan antar stasiun televisi, kebutuhan rumah tangga yang gila-gilaan
(apalagi kalo si Ustadz menganut aliran poligami), dan kita sendiri yang
memberikan penghargaan terlalu “berlebihan” pada Ustadz (baca: mengkultuskan).
Nggak ketinggalan pula, negara ini pun juga udah mengarah ke Negara Kapitalis.
So, jangan salahkan kalo Ustadz-Ustadz berubah wujudnya. Sekali lagi, Ustadz
juga Manusia, bukan?
Sumber :
o
Ustadz Minta DP
Komentar ust. Fulan: “Ummat:
“Ustadz Ganteng, mohon maaf, berapa ya kami perlu ganti untuk transportasi?”Ustadz
Ganteng: “Untuk administrasi aja ya, sediakan aja 30 juta, 10 juta dibayar
di depan ke account saya. Oya, kalo nggak jadi DP nya angus ya”
Percaya atau nggak percaya, fakta semacam ini ada. Begitulah suatu hari,
ketua DKM salah satu masjid bilang ke saya. Saya jadi mikir “pantes aja
mobil si Ustadz Ganteng Fortuner dll”
Saya pribadi juga seringkali
ditanya, “Ustadz, maaf nih, administrasinya berapa yang harus kita siapkan?”
Jawab saya, “Saya nggak pernah minta bayaran untuk dakwah, berapapun yang
panitia kasih akan saya terima, kalo nggak ada pun nggak papa, asal
transportasi dan akomodasi ditanggung panitia”
Parahnya masa kini, banyak orang yang udah nggak malu menjadikan Ustadz dan
Da’i sebagai profesi. Pekerjaan profesional. Karena itu layaknya seorang
pembicara publik, mereka mematok tarif sekali pengajian. Kalo udah masuk TV
apalagi, matoknya diatas 10 juta. Subhanallah.”
Sumber :
o
Awas, Banyak Ustadz
‘Gadungan’ di Televisi
Majelis Ulama Indonesia
melihat banyak ulama yang tidak berkompeten dan berintegrasi tampil menjadi
penceramah agama di televisi. “Harusnya kualitas dan validitas serta keteladanan
juru dakwah diperhitungkan,” kata Wakil Ketua Tim Pemantau TV Ramadan 1431
H dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Imam Suhardjo di Kantor Kementerian
Komunikasi dan Informatika, Senin, 6 Agustus 2012.
Sumber :
o
Adzan Disisipi Iklan
dan Ustadz Melawak
Banyak tayangan TV yang
nggak ada gunanya, yang ditampilkan cuma ketawa ketiwi badut-badut TV tersebut.
Bahkan tayangan adzan pun disisipi iklan, keterlaluan, serba komersil semua.
Ustadz juga malah ikut-ikutan melawak, kacau deh. Berikut hasil pengawasan KPI
tentang tayangan-tayangan TV tersebut.
KPI menangkap dua
fenomena yang berbeda dalam penayangan program Ramadhan di tahun ini. Hal ini
diungkapkan dalam pengumuman hasil pantauan tayangan Ramadhan selama dua pekan,
Senin (22/8). Fenomena yang pertama adalah adanya iklan dalam adzan dan
fenomena ustad yang ikut bergabung dengan berbagai program lawak di televisi
ketika sahur.
Berkenaan dengan hal
tersebut, KPI sudah berbincang dengan Kementrian Agama dan meminta pertimbangan
kepada MUI. “KPI tidak bisa memberikan sanksi terahadap penayangan adzan
yang ada iklannya, karena memang tidak ada larangan iklan dalam simbol-simbol
keagamaan. Kami hanya mampu menghimbau dan memberikan peringatan untuk segera
diganti,” kata ketua KPI Dadang Rahmat Hidayat. Imam Suharjo dari MUI
berkata, “Itu akan dapat mencederai peran mereka sebagai pendakwah.
Penampilan ustad sebaiknya biasa saja tidak berlebihan dalam hal pakaian dan
make up, dan jangan ikut melawak seperti pelawak dan jangan ikutan nyanyi
seperi penyanyi,” ungkapnya.
Sumber :
o
Ustadz Harus Ganteng?
Komentar al akh Bayu
Gawtama: “… Ustadz dan ustadzah ini, karena kegantengannya dan kecantikannya
cepat meroket, melesat bak selebritis. Bahkan hampir tidak ada bedanya dengan
selebritis, sebab ia pun kerap masuk dalam beragam acara infotainment yang
sebelumnya menjadi hegemoni penuh para selebritis kita. Dan lantaran ingin
memenuhi selera pasar pula, penampilan sang ustadz dan ustadzah pun dipermak
layaknya seorang artis. Pakaiannya jadi trendsetter, banyak para jama’ah yang
berupaya mengikuti semua gaya dan penampilannya, dari baju gamis, kacamata,
jilbab, sampai sepatu.
Ustadz dan ustadzah pun jadi bintang iklan, cenderung dimanfaatkan oleh
orang-orang yang mencari keuntungan dari popularitas keustadzannya. Mereka
pikir, ustadz dan ustadzah kan punya pengikut, jama’ah, atau bahkan fans, jadi
yang diincar itu bukan ustadznya, tapi yang berada di belakang ustadz itu.
Kemudian, makin terkenallah ustadz dan ustadzah ini, diundang ceramah ke
berbagai daerah dan kota seluruh Indonesia, sampai ke luar negeri. Kehadirannya
disambut meriah, pakai tepuk tangan agar tambah ramai. Ustadz dielu-elukan, dan
orang-orang pun berebut menyentuh tangannya untuk diciumi. Tidak peduli
ustadznya masih muda, sedangkan yang mencium tangan muda itu adalah lelaki tua
yang jalannya sudah membungkuk.
Permintaan ceramah pun semakin banyak, sehingga ustadz bisa memilih mana bayaran yang paling besar jika terdapat jadwal yang bentrok.
Permintaan ceramah pun semakin banyak, sehingga ustadz bisa memilih mana bayaran yang paling besar jika terdapat jadwal yang bentrok.
Bahkan pada saatnya, sang ustadz melalui manajernya boleh mengajukan tarif
tertentu kepada panitia penyelenggara atau tidak jadi sama sekali. Maklum,
permintaan tinggi, harga juga bisa ditinggikan. Gigit jarilah para pengurus
masjid di kampung-kampung, di desa-desa, dan di berbagai pelosok negeri yang
nyata-nyata tidak sanggup menyediakan uang transport dan akomodasi yang memadai
saat harus mengundang ustadz kondang ini berceramah di masjidnya. Sebab, kelas
ustadz ini memang bukan lagi di masjid-masjid kecil, di kampung-kampung becek,
melainkan di masjid besar, dan hotel.
Coba hitung, selain tarif yang mahal, masih harus menyediakan tiket
pesawat, akomodasi yang layak sekelas selebritis. Ujung-ujungnya, ustadz
kampung lagi yang dipakai, selain bayarannya murah, tidak perlu tiket pesawat,
hotel, dan bisa dijemput pakai motor. Meskipun seringkali yang disebut ustadz
‘kampung’ ini kualitasnya boleh jadi lebih bagus dari ustadz kondang dari kota.
Baik kualitas materinya, juga integritas kepribadiannya. Sayangnya, jama’ah
kita sudah silau oleh ketenaran sang ustadz kota”.
Sumber :
o
Ustadz Pamer Harta
Komentar al akh Jauhar
Ridhoni Marzuq (Mahasiswa Al Azhar Mesir & Kru QommunityRadio Kairo):
“… Yang membuat saya resah adalah munculnya dai-dai selebritis yang jauh
dari kualitas keulamaan. Bukan hanya kualitas keilmuan agamanya yang di bawah standar
pas-pasan, tapi juga karena komersialisasi dakwah dan perangai buruk yang
diperagakan. Sehingga hal itu bukan mendukung misi dakwahnya, tapi justru
menghancurkan nilai-nilai Islam yang didakwahkan. Kondisi semacam ini tentu
sangat berbahaya, karena bisa melahirkan sikap apatis bahkan kebencian terhadap
agama.
Saya tak habis pikir bagaimana bisa seorang dai, ulama, ustadz, kiyai, atau
apapun itu namanya, memasang tarif puluhan juta rupiah untuk setiap kali
memberikan ceramah?! Jika bayaran yang diberikan kurang dari harga yang
dipatok, sang dai tak mau memberikan ceramah. Belum lagi, dai tersebut juga
seperti selebritis yang memiliki manajer, sehingga konsultasi keagamaan dan
lain sebagainya harus melalui manajer tersebut. Dengan demikian, ikatan antara
dai dengan umat seperti ikatan bisnisman dengan pelanggannya, bukan seperti
ikatan antara orang tua dan anak, guru dan murid, atau bahkan antara Nabi
Muhammad dan para sahabat. Dakwah kemudian bukan menjadi kewajiban atau amanah
yang harus dijalankan dengan keikhlasan, tapi justru dijadikan alat untuk
mendulang uang. Karunia Allah yang menjadikan mereka diterima masyarakat justru
dimanfaatkan untuk mendulang popularitas. Mereka pun kemudian jadi artis
dadakan.
Saat muncul di infotainment, bukan nilai-nilai agama atau pengalaman mereka
belajar agama yang menjadi topik wawancara, melainkan tentang rumah baru, mobil
baru, koleksi sepatu baru, sampai motor besar seharga ratusan juta rupiah.
Bahkan kehidupan pribadi mereka pun diekspos seluas-luasnya. Lebih memprihatinkan
lagi, sang dai tak malu-malu menonton bisokop berduaan dengan wanita yang bukan
mahramnya di tengah sorotan kamera. Tentu tak ada salahnya jika seorang dai
mempunyai banyak harta dan kaya raya, selama kekayaan itu tidak didapatkan
dengan cara-cara yang haram, seperti korupsi, menipu mencuri, dan lain
sebagainya. Kekayaan itu justru bisa dijadikan penunjang aktifitas dakwah,
seperti yang dilakukan oleh Ibunda Khadijah Ra, Abu Bakar al-Shiddiq Ra, dan
Utsman bin Affan Ra.. Tapi secara akal sehat yang paling dangkal pun, sungguh
tidak layak bagi seorang dai atau ustadz yang mengajarkan nilai-nilai luruh
agama untuk pamer harta, bahkan pamer kemesraan seperti layaknya artis sinetron
di layar infotainment …”
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar