Pages

Kamis, 22 November 2012

Bongkar !!! Tarif Ustadz Seleb / Da’i Kondang



إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة فنار




Tema pembahasan kali ini seputar tarif ustadz Seleb atau Da’i Kondang. Banyak fenomena yang terjadi di masyarakat kita ini berhubungan dengan mahalnya tarif seorang da’i kondang, walaupun ini menyangkut individu namun kondisi seperti ini membuat nama atau gelar seorang ustadz tercemar atau terbawa akibatnya.

Hal ini sangat jarang dibahas oleh sebagian orang karena masih terkesan aib, namun jika hal ini selalu ditutup-tutupi maka akan membawa dampak yang tidak baik juga untuk kita semua. Sudah banyak sejarah menceritakan tentang kisah-kisah teladan dari orang-orang shalih terdahulu, khususnya para Salafush Shalih ketika mereka berdakwah tanpa membutuhkan upah atau tarif yang mahal, bahkan sangat banyak dari mereka yang tidak mau dibayar atau ikhlas demi mencari Wajah Allah.

Maka itu, pada kesempatan kali ini, akan saya nukil beberapa komentar dari saudara-saudara kita mengenai mahalnya tarif untuk seorang Da’i Kondang atau Ustadz Seleb, yang membuktikan bahwa segala sesuatu yang jauh dari Sunnah (alias Bid’ah) maka mahal harganya. Berikut sebagian komentar-komentar mereka:


o    Ustadz Selebritis Mematok Tarif Rp. 30Juta/15 Menit

Komentar ustadz Ahmad Sarwat, “Ramadhan kemarin ada panitia ceramah yang ngaku terus terang ke saya bahwa seharusnya yang diundang bukan saya, tapi ustadz X. Tapi gagal gak jadi diundang lantaran pihak manager gak mau turun lagi TARIF-nya dari angka 30 juta untuk ceramah 15 menit menjelang buka puasa. Akhirnya yang diundang saya yang bisa dikasih “syukron” doang”.
Sumber :


o    Biaya Mendatangkan Ustadz (seleb) itu, Bisa Menghabiskan Dana 90 Jutaan

Komentar Fulan: “... dulu pernah menjadi bagian dari “dakwah jutawan” semacam ini, contohnya ingin mendatangkan seorang dai dari bandung, mungkin hampir 100 jutaan, alasannya sih mereka punya kantor, punya anak buah yang harus dibiayain, uang hotelnya (minta hotel yang bagus/mahal), dan saat kita minta datang sendiri atau paling tidak minimal dengan beberapa orang saja maka bagian agennya bilang tidak bisa karena harus datang dengan rombongan, karena tidak ada dananya maka yang begitu itu tidak jadi dilakukan. Pernah denger juga cerita, jadi di kampus saya pernah mau didatangi seorang ustadz. Beliau bersedia asal dibayar minimal 40 juta. Gilaaaa!!!”
Sumber :


o    Tentang Ustadz Kondang yang Tarifnya 15 juta/jam.
Bisa dilihat disini:  http://twicsy.com/i/vNyX2


o    Berapa Honor Ustadz Seleb?

Komentar seseorang: “… honornya untuk setiap acara berbeda tetapi minimum sekarang 15 juta, ada yang bahkan memberikan ratusan juta rupiah, karena memang beliau tidak mau menetapkan tarif, jadi terserah yang memberi (yang memiliki acara) dan 5 juta setiap pertemuan untuk acara2 yang tampil secara rutin di televisi.”
Sumber :


o    Tarif Ustadz C**** Sebesar Rp.10 Juta

Menurut pernyataan dari ibu Kenah, biaya atau tarif Ustadz C**** sebesar 10 juta rupiah. Kendati biaya itu cukup mahal untuk ukuran masyarakat yang berada di daerah pedesaan, ia tidak berkeberatan. Sejak dari awal memang sudah berencana untuk menghadirkan ceramah dari ustadz kondang itu.

Tepat pukul 21.00, ustadz C**** datang dan langsung memulai ceramahnya di hadapan kurang lebih 1000 penonton yang sudah hadir memenuhi area halaman rumah ibu Kenah. Sekedar pertimbangan buat yang ingin mengundang beberapa ustadz kondang, Ibu Kenah sempat menanyakan tarif ustadz yang lainnya. Diantaranya Ustadz A* G** mempunyai tarif 8 juta rupiah, Ustadz J**** mempunyai tarif 11 juta. Itu adalah tarif untuk panggilan ke wilayah Cirebon.


o    Ustadz-Ustadz Kapitalis?

Komentar ustadz YM: “Dahulu ada Ustadz yang tarifnya mencapai 40 juta sekali ceramah. Sebenarnya bukan salah Ustadz itu 100% sih. Gara-gara persaingan antar televisi aja yang menyebabkan si Ustadz pasang tarif segede gitu, si Ustadz 40 juta itu asalnya cuma sebagai Penceramah di masjid Al Azhar. Rupanya ada Produser R*** (salah satu stasiun TV swasta) yang tertarik dengan ceramah sang Ustadz. Jadilah si Ustadz masuk televisi.
Sekali dua kali tampil, ada S*** (salah satu stasiun TV swasta) yang juga tertarik buat mengundang Ustadz 40 juta ini. Entah ada setan apa, si Ustadz meluncurkan kata-kata: “Kalo mau munculin ane di televisi, ente berani bayar 15 juta nggak? Namanya juga persaingan bebas”, S*** tanpa ba-bi-bu langsung “membajak” Ustadz berinisial KB ini. Sejak itulah KB menjadi Ustadz dengan honor tertinggi. Dari 15 juta beranjak ke 20 juta, dan sampai akhirnya bertarif 40 juta. Gokil! Memang sih, gaya bertausyiahnya keren, menyejukkan, dan segar. Memang juga sih, spot iklan di televisi akhirnya bisa menutup tarif Ustadz KB ini. Tapi wajar nggak sih Ustadz mengkomersilkan diri?”

Ustadz YM cerita lagi soal Ustadz lain. Kali ini inisialnya JK, “Gw kenal dengan Ustadz JK, tapi sayang doi nggak kenal gw. Gw kenal karena JK ini dahulu sebelum ngetop jadi Ustadz, profesinya sebagai Model dan Bintang Sinetron. Dahulu kala hidupnya gawat. Mabok-mabokan, free seks, dan menjadi pengguna narkoba. Sampai suatu saat, doi sekarat dan mendapat hidayah buat kembali ke jalan yang benar. JK kemudian berubah jadi Ustadz. Awalnya mungkin nggak ada dalam benaknya mengkomersilkan diri. Tausyiahnya semata-mata buat Allah. Eh, lama kelamaan, matanya hijau juga ngeliat tarif. Apalagi doi udah menggabdikan diri melakukan syiar, sementara kebutuhan rumah tangga nggak bisa ditawar-tawar.
Mana ada Manusia yang mau kelaparan? Nah, doi akhirnya memanfaatkan Ustadz buat mencari duit gila-gilaan dengan memasang tarif. Dua tahun lalu tarifnya mencapai 15 juta,”

Kata Ustadz YM, “Kalo sekarang ada yang ngundang dengan tarif 5 juta pun dikejar. Maklum, persaingan Ustadz gila-gilaan. Kalo sok pasang tarif tinggi, Ustadz itu bisa nggak makan.”

Ustadz YM sebenarnya menyayangkan temannya (maksudnya Ustadz JK) itu pasang tarif. Banyak cerita-cerita miring soal Ustadz JK ini. Salah satunya dari sebuah Institusi yang ingin mengundang doi. Oleh Management Ustadz JK, Institusi itu diwajibkan menyetor dana senilai 20 juta cash via transfer. Padahal waktu tausyiah Ustadz JK masih 3 bulan lagi.
Nggak bisa DP dulu, Pak,” kata salah seorang Panitia dari Institusi tersebut, sebagaimana diceritakan oleh Ustadz YM. “Nggak bisa!” Galak banget jawaban Mas-Mas dari Management Ustadz JK itu. “Ustadz JK itu schedule-nya penuh. Dia mau menyempatkan diri hadir di tausyiah Anda, eh kok Anda menawar gitu?”

Mas-Mas Management semakin marah ketika Panitia memutuskan mengganti Ustadz JK dengan Ustadz lain. “Anda udah berjanji buat mengundang Ustadz JK. Anda harus teransfer sekarang juga!” Idiiiiih, kok maksa gitu ya? Ya gitu deh kalo Ustadz udah berubah jadi Ustadz Kapitalis.

“Nggak heran kalo dengan jadi Ustadz cari uang jadi mudah,” cerita Ustadz YM lagi. “Tinggal bilang banyak-banyaklah bershodaqah atau amal jariah, Jamaah yang kaya raya itu pasti bakal ngasih duit.”

Percaya enggak, ada Ustadz yang dikasih mobil Jaguar, even Celica sama Jamaah-nya?

Ustadz ini cari duit gampang banget. Saking mudahnya, cari 100 juta udah kayak cari 10 ribu perak. Hanya dengan tempo 1 tahun, Ustadz berinisial KK ini berhasil memiliki duit senilai 1,5 miliar. Memang sih terlalu kecil buat ukuran Pengusaha. Tapi buat Ustadz KK, ini jadi sebuah prestasi yang gemilang nan jaya. Sayang, semua sumbangan dimasukkan ke dalam rekening pribadi, bukan buat kesejahteraan Ummat. Memang sih, doi dapat jatah dari sumbangan itu, karena gara-gara doi, Jamaah mau bershadaqoh atau menyumbang. Tapi masa 50% duit buat pribadi? Bukan 2,5% atau kurang dari angka itu?

Bahkan Ustadz KK berhasil menipu salah satu pemilik stasiun televisi swasta nasional. Kata Ustadz YM, awal tipu menipu itu gara-gara Ustadz KK berhasil menjual diri. Ustadz KK bilang, Ummatnya banyak, jadi rugi kalo nggak mengontrak dirinya. Walhasil, Bos televisi swasta setuju. You know nilai kontrak si Ustadz KK itu? 2,5 miliar per tahun. Masa kontrak yang diminta di Ustadz lima tahun. Artinya, dalam lima tahun Ustadz itu berhasil mengantongi duit senilai 12,5 miliar. Wow?!

“Gara-gara rating si Ustadz jeblok, maka kontraknya cuma bertahan setahun,” jelas Ustadz YM. “Tapi lumayan kan setahun dapat 2,5 miliar?”

Kini, Ustadz-Ustadz Kapitalis masih merajelela. Sebenarnya, Ustadz kayak gini memang nggak bisa dipersalahkan 100%. Keadaan yang membentuk diri si Ustadz jadi Kapitalis. Persaingan antar stasiun televisi, kebutuhan rumah tangga yang gila-gilaan (apalagi kalo si Ustadz menganut aliran poligami), dan kita sendiri yang memberikan penghargaan terlalu “berlebihan” pada Ustadz (baca: mengkultuskan). Nggak ketinggalan pula, negara ini pun juga udah mengarah ke Negara Kapitalis. So, jangan salahkan kalo Ustadz-Ustadz berubah wujudnya. Sekali lagi, Ustadz juga Manusia, bukan?
Sumber :


o    Ustadz Minta DP

Komentar ust. Fulan: “Ummat: “Ustadz Ganteng, mohon maaf, berapa ya kami perlu ganti untuk transportasi?”Ustadz Ganteng: “Untuk administrasi aja ya, sediakan aja 30 juta, 10 juta dibayar di depan ke account saya. Oya, kalo nggak jadi DP nya angus ya”
Percaya atau nggak percaya, fakta semacam ini ada. Begitulah suatu hari, ketua DKM salah satu masjid bilang ke saya. Saya jadi mikir “pantes aja mobil si Ustadz Ganteng Fortuner dll”

Saya pribadi juga seringkali ditanya, “Ustadz, maaf nih, administrasinya berapa yang harus kita siapkan?” Jawab saya, “Saya nggak pernah minta bayaran untuk dakwah, berapapun yang panitia kasih akan saya terima, kalo nggak ada pun nggak papa, asal transportasi dan akomodasi ditanggung panitia”
Parahnya masa kini, banyak orang yang udah nggak malu menjadikan Ustadz dan Da’i sebagai profesi. Pekerjaan profesional. Karena itu layaknya seorang pembicara publik, mereka mematok tarif sekali pengajian. Kalo udah masuk TV apalagi, matoknya diatas 10 juta. Subhanallah.”
Sumber :


o    Awas, Banyak Ustadz ‘Gadungan’ di Televisi

Majelis Ulama Indonesia melihat banyak ulama yang tidak berkompeten dan berintegrasi tampil menjadi penceramah agama di televisi. “Harusnya kualitas dan validitas serta keteladanan juru dakwah diperhitungkan,” kata Wakil Ketua Tim Pemantau TV Ramadan 1431 H dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Imam Suhardjo di Kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, Senin, 6 Agustus 2012.
Sumber :


o    Adzan Disisipi Iklan dan Ustadz Melawak

Banyak tayangan TV yang nggak ada gunanya, yang ditampilkan cuma ketawa ketiwi badut-badut TV tersebut. Bahkan tayangan adzan pun disisipi iklan, keterlaluan, serba komersil semua. Ustadz juga malah ikut-ikutan melawak, kacau deh. Berikut hasil pengawasan KPI tentang tayangan-tayangan TV tersebut.

KPI menangkap dua fenomena yang berbeda dalam penayangan program Ramadhan di tahun ini. Hal ini diungkapkan dalam pengumuman hasil pantauan tayangan Ramadhan selama dua pekan, Senin (22/8). Fenomena yang pertama adalah adanya iklan dalam adzan dan fenomena ustad yang ikut bergabung dengan berbagai program lawak di televisi ketika sahur.

Berkenaan dengan hal tersebut, KPI sudah berbincang dengan Kementrian Agama dan meminta pertimbangan kepada MUI. “KPI tidak bisa memberikan sanksi terahadap penayangan adzan yang ada iklannya, karena memang tidak ada larangan iklan dalam simbol-simbol keagamaan. Kami hanya mampu menghimbau dan memberikan peringatan untuk segera diganti,” kata ketua KPI Dadang Rahmat Hidayat. Imam Suharjo dari MUI berkata, “Itu akan dapat mencederai peran mereka sebagai pendakwah. Penampilan ustad sebaiknya biasa saja tidak berlebihan dalam hal pakaian dan make up, dan jangan ikut melawak seperti pelawak dan jangan ikutan nyanyi seperi penyanyi,” ungkapnya.
Sumber :


o    Ustadz Harus Ganteng?

Komentar al akh Bayu Gawtama: “… Ustadz dan ustadzah ini, karena kegantengannya dan kecantikannya cepat meroket, melesat bak selebritis. Bahkan hampir tidak ada bedanya dengan selebritis, sebab ia pun kerap masuk dalam beragam acara infotainment yang sebelumnya menjadi hegemoni penuh para selebritis kita. Dan lantaran ingin memenuhi selera pasar pula, penampilan sang ustadz dan ustadzah pun dipermak layaknya seorang artis. Pakaiannya jadi trendsetter, banyak para jama’ah yang berupaya mengikuti semua gaya dan penampilannya, dari baju gamis, kacamata, jilbab, sampai sepatu.
Ustadz dan ustadzah pun jadi bintang iklan, cenderung dimanfaatkan oleh orang-orang yang mencari keuntungan dari popularitas keustadzannya. Mereka pikir, ustadz dan ustadzah kan punya pengikut, jama’ah, atau bahkan fans, jadi yang diincar itu bukan ustadznya, tapi yang berada di belakang ustadz itu.
Kemudian, makin terkenallah ustadz dan ustadzah ini, diundang ceramah ke berbagai daerah dan kota seluruh Indonesia, sampai ke luar negeri. Kehadirannya disambut meriah, pakai tepuk tangan agar tambah ramai. Ustadz dielu-elukan, dan orang-orang pun berebut menyentuh tangannya untuk diciumi. Tidak peduli ustadznya masih muda, sedangkan yang mencium tangan muda itu adalah lelaki tua yang jalannya sudah membungkuk.
Permintaan ceramah pun semakin banyak, sehingga ustadz bisa memilih mana bayaran yang paling besar jika terdapat jadwal yang bentrok.
Bahkan pada saatnya, sang ustadz melalui manajernya boleh mengajukan tarif tertentu kepada panitia penyelenggara atau tidak jadi sama sekali. Maklum, permintaan tinggi, harga juga bisa ditinggikan. Gigit jarilah para pengurus masjid di kampung-kampung, di desa-desa, dan di berbagai pelosok negeri yang nyata-nyata tidak sanggup menyediakan uang transport dan akomodasi yang memadai saat harus mengundang ustadz kondang ini berceramah di masjidnya. Sebab, kelas ustadz ini memang bukan lagi di masjid-masjid kecil, di kampung-kampung becek, melainkan di masjid besar, dan hotel.
Coba hitung, selain tarif yang mahal, masih harus menyediakan tiket pesawat, akomodasi yang layak sekelas selebritis. Ujung-ujungnya, ustadz kampung lagi yang dipakai, selain bayarannya murah, tidak perlu tiket pesawat, hotel, dan bisa dijemput pakai motor. Meskipun seringkali yang disebut ustadz ‘kampung’ ini kualitasnya boleh jadi lebih bagus dari ustadz kondang dari kota. Baik kualitas materinya, juga integritas kepribadiannya. Sayangnya, jama’ah kita sudah silau oleh ketenaran sang ustadz kota”.
Sumber :


o    Ustadz Pamer Harta

Komentar al akh Jauhar Ridhoni Marzuq (Mahasiswa Al Azhar Mesir & Kru QommunityRadio Kairo):
“… Yang membuat saya resah adalah munculnya dai-dai selebritis yang jauh dari kualitas keulamaan. Bukan hanya kualitas keilmuan agamanya yang di bawah standar pas-pasan, tapi juga karena komersialisasi dakwah dan perangai buruk yang diperagakan. Sehingga hal itu bukan mendukung misi dakwahnya, tapi justru menghancurkan nilai-nilai Islam yang didakwahkan. Kondisi semacam ini tentu sangat berbahaya, karena bisa melahirkan sikap apatis bahkan kebencian terhadap agama.
Saya tak habis pikir bagaimana bisa seorang dai, ulama, ustadz, kiyai, atau apapun itu namanya, memasang tarif puluhan juta rupiah untuk setiap kali memberikan ceramah?! Jika bayaran yang diberikan kurang dari harga yang dipatok, sang dai tak mau memberikan ceramah. Belum lagi, dai tersebut juga seperti selebritis yang memiliki manajer, sehingga konsultasi keagamaan dan lain sebagainya harus melalui manajer tersebut. Dengan demikian, ikatan antara dai dengan umat seperti ikatan bisnisman dengan pelanggannya, bukan seperti ikatan antara orang tua dan anak, guru dan murid, atau bahkan antara Nabi Muhammad dan para sahabat. Dakwah kemudian bukan menjadi kewajiban atau amanah yang harus dijalankan dengan keikhlasan, tapi justru dijadikan alat untuk mendulang uang. Karunia Allah yang menjadikan mereka diterima masyarakat justru dimanfaatkan untuk mendulang popularitas. Mereka pun kemudian jadi artis dadakan.
Saat muncul di infotainment, bukan nilai-nilai agama atau pengalaman mereka belajar agama yang menjadi topik wawancara, melainkan tentang rumah baru, mobil baru, koleksi sepatu baru, sampai motor besar seharga ratusan juta rupiah. Bahkan kehidupan pribadi mereka pun diekspos seluas-luasnya. Lebih memprihatinkan lagi, sang dai tak malu-malu menonton bisokop berduaan dengan wanita yang bukan mahramnya di tengah sorotan kamera. Tentu tak ada salahnya jika seorang dai mempunyai banyak harta dan kaya raya, selama kekayaan itu tidak didapatkan dengan cara-cara yang haram, seperti korupsi, menipu mencuri, dan lain sebagainya. Kekayaan itu justru bisa dijadikan penunjang aktifitas dakwah, seperti yang dilakukan oleh Ibunda Khadijah Ra, Abu Bakar al-Shiddiq Ra, dan Utsman bin Affan Ra.. Tapi secara akal sehat yang paling dangkal pun, sungguh tidak layak bagi seorang dai atau ustadz yang mengajarkan nilai-nilai luruh agama untuk pamer harta, bahkan pamer kemesraan seperti layaknya artis sinetron di layar infotainment …”
Sumber :

0 komentar:

Posting Komentar