إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
Sejarah masuknya Islam di Indonesia sungguh penuh dengan carut-marut,
karena sejak dahulu bangsa Indonesia memang lemah dalam sistem dokumentasi.
Akibatnya, sejarah
Indonesia sebelum datangnya bangsa Belanda selalu ada beberapa versi karena
selalu ada distorsi (pemutarbalikan suatu fakta -pen) dari pelaku sejarah
maupun dari masyarakat yang meneruskan cerita tersebut kepada generasi
berikutnya.
Sungguh, suatu hal
sangat memprihatinkan, bahwa sejarah lahirnya Islam di Jazirah Arabia yang
terjadi pada abad ke-7 Masehi dan lahirnya Muhammad Shallallahu’alaihi wa
Sallam [581 - 632 M] dan penggantinya Abu Bakar [632 - 634 M], Umar Bin Khottob
[634 - 644 M], Usman Bin Affan [644 - 656 M], Ali Bin Abi Thalib [656 - 661 M]
serta perkembangan Islam selanjutnya dapat terdokumentasi secara jelas.
Namun, sejarah masuknya
Islam di Indonesia yang terjadi 7 abad setelahnya, justru tidak terdokumentasi
secara pasti. Barangkali karena alasan itulah maka sejarah tentang walisongo
juga penuh dengan carut-marut.
Kisah-kisah individu
walisongo penuh dengan nuansa mistik, bahkan tidak hanya nuansa mistik yang
menyelimuti kisah walisongo tetapi juga penuh dengan berita-berita bohong. Mistik
dan bohong adalah dua hal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, tetapi mengapa
keduanya justru menjadi warna utama kisah para wali yang telah berjasa besar
dalam menyebarkan ajaran islam di Indonesia?
Sebagai umat Islam
tentu saja kita harus mengembangkan metode berpikir dialektis untuk mengambil
hikmah yang sesungguhnya dan meluruskan sejarah yang sebenarnya berdasarkan
sumber yang benar.
Berikut adalah
dokumen-dokumen yang dipastikan kebenarannya sehubungan dengan kisah-kisah
Walisongo :
1.
Het book van Bonang
Buku ini ada di
perpustakaan Heiden-Belanda, yang menjadi salah satu dokumen langka dari jaman
Walisongo. Kalau tidak dibawa Belanda, mungkin dokumen yang amat penting itu
sudah lenyap. Buku ini ditulis oleh Sunan Bonang pada abad 15 yang berisi
tentang ajaran-ajaran Islam.
2.
Suluk Linglung
Buku karya Sunan
Kalijogo. Buku ini berbeda dengan buku Suluk Linglung karya Imam Anom
yang banyak beredar.
3.
Kropak Farara
Buku yang amat penting
tentang walisongo ini diterjemahkan oleh Prof.Dr. GJW Drewes ke dalam bahasa
Belanda dan diterjemahkan oleh Wahyudi ke dalam bahasa Indonesia.
4.
Kitab Walisana
Kitab yang disusun oleh
Sunan Giri ini berisi tentang ajaran Islam dan beberapa peristiwa penting dalam
perkembangan masuknya agama Islam di tanah Jawa.
Istilah walisongo memang
masih kontroversial dan tidak ada dokumen yang dapat dijadikan rujukan untuk
menentukan mana yang benar. Istilah walisongo adalah nama sebuah dewan yang
beranggotakan 9 orang.
Anggota walisongo
merupakan orang-orang pilihan dan oleh karena itu oleh orang jawa dinamakan
wali. Istilah wali berasal dari bahasa arab aulia, yang artinya orang yang
dekat dengan Allah Subhaanahu wa ta'aala karena ketakwaannya. Sedangkan istilah
SONGO merujuk kepada penyebaran agama Islam ke SEGALA PENJURU. Orang jawa
mengenal istilah kiblat papat limo pancer untuk menggambarkan segala penjuru,
yaitu utara-timur-selatan-barat disebut keblat papat dan empat arah diantaranya
ditambah pusat disebut limo pancer.
Dalam kitab Kanzul
Ulum karya Ibnu Bathutah yang masih tersimpan di perpustakaan istana
kasultanan Ottoman di Istambul, pembentukan Walisongo ternyata pertama kali
dilakukan oleh sultan Turki, Mahammad I yang menerima laporan dari para
saudagar Gujarat (India) bahwa di pulau Jawa jumlah pemelukm agama Islam masih
sangat sedikit. Berdasarkan laporan tersebut Sultan Muhammad I membentuk sebuah
tim yang beranggotakan 9 orang, yaitu :
1.
Maulana Malik Ibrahim (Turki)
ahli irigasi dan tata pemerintahan
2.
Maulana Ishaq (Samarkan)
ahli pengobatan
3.
Maulana Ahmad Jumadil
Kubro (Mesir)
4.
Maulana Muhammad al
Maghrobi (Maroko)
5.
Maulana Malik Isro’il
(Turki) ahli tata pemerintahan
6.
Maulana Muhammad Ali
Akbar (Iran) ahli pengobatan
7.
Maulana Hasanuddin
(Palestina)
8.
Maulana Aliyuddin (Palestina)
9.
Syekh Subakir (Iran) ahli
kemasyarakatan
Inilah Walisongo
Angkatan Pertama yang datang ke pulau Jawa pada saat yang tepat, karena
Majapahit sendiri pada saat itu sedang dilanda perang saudara, yaitu perang paregreg,
sehingga kedatangan mereka tidak begitu mendapat perhatian.
Perlu diketahui bahwa tim
pertama tersebut bukanlah para ahli agama atau bisa dikatakan bahwa mereka
belum mempunyai ilmu agama yang mumpuni. Sultan Muhammad I tidak pernah
menyebut tim tersebut dengan nama walisongo. Barangkali istilah walisongo
berasal dari masyarakat atau dari tim itu sendiri setelah bekerja beberapa puluh
tahun. Adapula kemungkinan bahwa istilah walisongo muncul setelah wali pribumi
dari kalangan bangsawan yang masuk kedalam tim.
Karena Maulana Malik
Ibrahim sebagai ketua walisongo wafat pada tahun 1419 M, maka pada tahun 1421 M
dikirim seorang penyebar Islam baru yang bernama Ahmad Ali Rohmatulloh dari
Champa yang juga keponakan Maulana Ishaq. Beliau adalah anak Ibrahim
Asmarakandi yang menjadi menantu Sultan Campha.
Pemilihan Ahmad Ali
Rahmatullah yang nantinya sering dipanggil Raden Rahmat adalah keputusan yang
sangat tepat, karena Raden Rahmat dianggap mempunyai kelebihan (ilmu agama yang
lebih dalam) dan putra Mahkota kerajaan Majapahit pada saat itu menikah dengan
bibi Raden Rahmat. Oleh karena itu dengan Raden Rahmat menjadi ketua, walisongo
berharap agar Prabu KertaWijaya dapat masuk Islam, atau setidak-tidaknya tidak
menghalangi penyebaran Islam. Dialog antara Raden Rahmat yang mengajak Prabu
KertaWijaya masuk Islam tertulis dalam Kitab Walisana dengan langgam
Sinom pupuh IV bait 9-11 dan bait 12-14.
Karena masih kerabat
istana, maka Raden Rahmat diberi daerah Ampeldento oleh Raja Majapahit yang
kemudian dijadikan markas untuk mendirikan pesantren. Selanjutnya Raden Rahmat
dikenal dengan nama Sunan Ampel. Menurut Widji Saksono [1995:23-24], kedatangan
Raden Rahmat di pulau jawa disertai dua pemuda bangsawan Champha yaitu Raden Santri
Ali dan Alim Abu Hurairah serta 40 orang pengawal.
Selanjutnya Raden
Santri Ali dan Alim Abu Hurairah bermukim di Gresik dan dikenal dengan Sunan
Gresik dan Sunan Majagung. Dengan kedatangan Raden Rahmat, maka dapat dikatakan
bahwa susunan dewan wali dapat kita sebut Angkatan Kedua.
Pada tahun 1435, ada
dua orang wali yang wafat, yaitu Maulana Malik Isro`il dan Maulana Muhammad Ali
Akbar. Dengan meninggalnya dua orang itu, dewan mengajukan permohonan kepada
Sultan Turki [tahun 1421 Sultan Muhammad I digantikan oleh sultan Murad II, yang
memimpin sampai tahun 1451 (Barraclough, [1982:48]) untuk dikirimkan dua
orang pengganti yang mempunyai kemampuan agama yang lebih mendalam.
Permohonan tersebut
dikabulkan dan pada tahun 1436 dikirim dua orang juru dakwah, yaitu :
1.
Sayyid Ja’far Shodiq
Berasal dari Palestina,
yang selanjutnya bermukin di Kudus dan dikenal dengan nama Sunan Kudus. Dalam
buku Babad Demak karya Atmodarminto (2001) disebutkan bahwa Sayyid
Ja`far Shodiq adalah satu-satunya anggota walisongo yang paling menguasai Ilmu
Fiqih.
2.
Syarif Hidayatullah
Berasal dari Palestina,
yang merupakan ahli strategi perang. Menurut buku Babad Tanah Sunda Babad
Cirebon karya PS Sulendraningrat, Syarif Hidayatullah adalah cucu Prabu
Siliwangi dari Pajajaran hasil perkawinan Rara Santang dan Sultan Syarif
Abdullah dari Mesir. Selanjutnya Syarif Hidayatullah bermukim di Cirebon dan
dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati.
Dengan kedatangan wali
muda tersebut, maka dapat dikatakan bahwa susunan dewan wali dapat kita sebut Angkatan
Ketiga. Nampak dari informasi di atas bahwa ada tiga wali muda yang tentu
mempunyai kedalaman ilmu agama yang lebih dibandingkan dengan angkatan
sebelumnya.
Pada tahun 1462 dua
orang anggota walisongo wafat, yaitu Maulana Hasanuddin dan Maulana Aliyuddin.
Sebelum itu ada dua orang anggota wali yang meninggalkan tanah Jawa, yaitu
Syekh Subakir pulang ke Persia dan Maulana Ishaq berdakwah di Pasai.
Dalam sidang walisongo
di Ampeldento, diputuskan bahwa ada empat orang yang masuk dalam dewan walisongo,
yaitu:
1. Raden Makhdum Ibrahim,
putra Sunan Ampel yang bermukim di desa Mbonang, Tuban. Selanjutnya dikenal
dengan nama Sunan Mbonang.
2.
Raden Qosim, putra
Sunan Ampel yang bermukim di lamongan dan dikenal dengan nama Sunan Drajat.
3.
Raden Paku, putra
Maulana Ishaq yang bermukim di Gresik dan selanjutnya dikenal dengan nama Sunan
Giri.
4.
Raden Mas Sa’id, putra
Adipati Tuban yang bermukim di Kadilangu, Demak. Selanjutnya dikenal dengan
nama Sunan Kalijogo.
Dengan perubahan
tersebut, maka dapat dikatakan bahwa susunan dewan wali dapat kita sebut Angkatan
Keempat. Dalam dewan walisongo angkatan keempat ini masih ada dua orang yang
bersal dari angkatan pertama, sehingga pada tahun 1463 mereka sudah bertugas di
tanah Jawa selama 59 tahun. Dua orang itu adalah Maulana Ahmad Jumadil Qubro
yang meninggal pada tahun 1465 dan Maulana Muhammad Al Maghrobi [tidak
diketahui tahun berapa wafatnya].
Dalam kitab Walisana
disebutkan bahwa, pada saat Raden Fatah menghadapi Syekh Siti Jenar,
Maulana Muhammad Al Maghrobi masih merupakan tokoh sentral, kuat dugaan bahwa
beliau yang mengambil keputusan tentang masalah Syekh Siti Jenar.
Perlu diperhatikan
bahwa, mulai Angkatan Keempat ini banyak anggota walisongo yang merupakan putra
bangsawan pribumi. Bersamaan dengan itu, orientasi ajaran islam mulai berubah
dari Arab Sentris menjadi Islam Kompromistis.
Pada saat itulah tubuh
walisongo mulai terbelah antara kelompok futi`a dan aba`ah, barangkali pada
saat itu pula muncul istilah Walisongo. Isi kitab Walisana yang ditulis
oleh Sunan Giri II pun yang ditulis pada awal abad 16 banyak berbeda dengan
buku-buku sunan Mbonang yang masih menjelaskan ajaran Islam yang murni.
Dengan meninggalnya dua
orang wali yang paling tua itu, maka pada tahun 1466 diadakan sidang yang
memutuskan memasukkan anggota baru dan mengganti ketua dewan yang sudah berusia
lanjut. Ketua dewan yang dipih dalam siding tersebut adalah Sunan Giri,
sedangkan anggota dewan yang masuk adalah :
1.
Raden Fatah, putra Raja
Majapahit Brawijaya V yang merupakan Adipati Demak.
2.
Fathullah Khan, putra
Sunan Gunung Jati yang dimaksudkan untuk membantu tugas ayahandanya yang sudah
berusia lanjut.
Dengan perubahan
tersebut, maka dapat dikatakan bahwa susunan dewan wali dapat kita sebut Angkatan
Kelima.
Setelah Raden Fatah dinobatkan
menjadi Sultan Demak Bintara, maka pada tahun 1478, dilakukan perombakan lagi
dalam tubuh dewan walisongo. Selain Raden Fatah, Sunan Gunung Jati pun lengser
karena usianya lang lanjut. Posisi Sunan Gunung Jati digantikan oleh Fathullah
Khan yang memang sudah ada dalam dewan walisongo. Dua posisi yang kosong diisi
oleh :
1.
Raden Umar Sa’id, putra
Sunan Kalijogo yang lebih dikenal sebagai Sunan Muria.
2.
Sunan Pandanaran, murid
Sunan Kalijogo yang bermukim di Tembayat, juga dikenal sebagai Sunan Tembayat.
Menurut kitab Walisana
karya Sunan Giri II, status Sunan Muria dan Sunan Padanaran hanya sebagai
wali penerus atau wali nubuah atau wali nukbah. Kitab Walisana juga
tidak tidak pernah menyebut nama Fathullah Khan sebagai anggota walisongo,
barangkali hal itu terjadi karena begitu diangkat menjadi anggota walisongo,
Fathullah Khan langsung disebut sebagai Sunan Gunung Jati seperti sebutan untuk
ayahandanya.
Setelah masa walisongo
angkatan keenam, masih banyak orang yang pernah mendapat gelar sebagai wali,
namun kapan mereka itu diangkat dan menggantikan siapa, tidak ada bukti dan
keterangan yang dapat dijadikan patokan dan kebenarannyapun masih banyak
diragukan. Mereka itu misalnya Syekh Siti Jenar, Sunan Geseng, sunan Ngudung, Sunan
Padusan, Sunan Kalinyamat, Sunan Muryapodo, dan ada beberapa orang yang juga
dianggap sebagai wali misalnya Ki Ageng Selo dan Ki Ageng Pengging.
(E.A. Indrayana, Pemerhati Sejarah Kerajaan Jawa, tinggal di Bekasi)
Pustaka
o
Hasanu Simon, 2004, Peranan
Walisongo Dalam Mengislamkan Tanah Jawa Dalam Misteri Syekh Siti Jenar,
Pustaka Pelajar, Jogjakarta.
o
Sulendraningrat, 1984, Babad
Tanah Sunda Babad Cirebon.
o
Asnan Wahyudi dan Abu
Khalid MA, tanpa tahun, Kisah Walisongo, Karya Ilmi, Surabaya.
o
Widji Saksono, 1995, Mengislamkan
Tanah Jawa:Telaah atas Metode Dakwah Walisongo, Penerbit Mizan, Bandung.
o
Atmodarminto, R., 2000,
Babad Demak:Dalam Tafsir Sosial Politik Keislaman dan Kebangsaan,
terjemahan Saudi Berlian, Millenium Publisher, Jakarta. (© Banyu Mili 2009)
Sedikit ulasan tentang
“Kropak Ferrara” yang menjadi rujukan Ustadz Zainal pada tabligh akbar
ini (Hari Ahad, 29 Juli 2012).
Kropak Ferrara adalah dokumen yang
disimpan di museum ‘Marquis Cristino Bevilacqua’ di kota Ferrara Italia,
terdiri dari 23 lembar daun lontar ditulis dalam huruf Jawa Kuno, berisi
catatan sarasehan ‘walisongo’. Daun lontar tersebut ditemukan oleh misionaris
Katholik Roma pada tahun 1598 di kota Pasuruan. Diterjemahkan kedalam bahasa
Belanda oleh Prof.Dr. GJW Drewes tahun 1978 dan diterjemahkan oleh Asnan
Wahyudi ke dalam bahasa Indonesia tahun 2002. Wallahu a’lam.
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar