إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
Hasan Nasrallah adalah
tokoh kharismatik. Artinya, ia seorang yang punya karakter khusus yang dapat
mempengaruhi orang di sekitarnya, dapat memimpin massa, dan menggelorakan
semangat. Dia termasuk politikus nomor wahid, sangat cerdas dan pandai
berbicara. Menurut saya (DR. Ragheb As Sirjani), boleh-boleh saja ia dikagumi
sebagai politikus dan ahli strategi.
Saya tidak takut jika
ada orang yang mengagumi cara berpidatonya, atau caranya mempermainkan neraca
politik, ini semua tidak mengapa bagiku untuk dirasakan oleh kaum muslimin.
Bahkan kalau pun mereka (kaum muslimin) menirunya dalam sebagian hal tersebut,
itu juga tidak mengapa.
Tapi, yang tidak bisa
diterima ialah bila kita mengaguminya sebagai pemimpin Islam yang mengobarkan
jihad sesuai perintah Allah. Sebab untuk menjadi pemimpin model ini syaratnya
harus memiliki akidah yang lurus dan ibadah yang benar. Ia harus mengikuti
Sunnah Nabi dan tunduk pada ayat-ayat Allah, dan semua syarat ini tidak
dimiliki oleh Hasan Nasrallah!
Di antara Akidah Hasan Nasrallah
Hasan Nasrallah adalah
penganut Syi’ah Itsna Asy’ariah. Artinya, ia mempercayai semua keyakinan
madzhab tersebut. Dia percaya bahwa para sahabat semuanya bersekongkol untuk
merebut khilafah dari tangan ‘Ali bin Abi Thalib rodhiyallohu ‘anhu, dan
menyerahkannya kepada Abu Bakar, Umar, kemudian Utsman -semoga Allah
meridhai mereka semua-. Dia juga meyakini bahwa Nabi shollollohu ‘alaihi
wasallm telah memberi wasiat kepada imam-imam mereka yang dua belas dan
menyebut nama-nama mereka secara jelas. Dia meyakini bahwa para imam (yang
berjumlah 12) tadi ma’shum, dan imam yang kedua belas telah masuk gua Sirdab -di
Samurra, Irak- dan masih hidup (sejak 12 abad lalu) hingga saat ini, dan akan
keluar suatu hari nanti.
Dia juga mengimani
taqiyyah[5] sebagai sembilan persepuluh (90%) agama Syi’ah. Dia juga meyakini
bahwa Ahlussunnah adalah golongan yang memusuhi Ahlul Bait, padahal Ahlussunnah
lah yang lebih menghargai Ahlul Bait dari pada Syi’ah, namun caranya sesuai
sunnah Rasul. Dia juga meyakini bahwa imam-imam yang besar berhak mengambil
seperlima dari penghasilan pribadi setiap penganut Syi’ah. Dia juga meyakini
bahwa nikah mut’ah adalah halal; artinya, boleh saja baginya bila seorang
pemuda mendatangi pacarnya, atau gadis lain lalu menikahinya selama sehari atau
satu jam, demi melampiaskan syahwatnya kepada si wanita lalu mencerainya. Dia
juga meyakini teori wilayatul faqih, dan berangkat dari sini, haram baginya
untuk menyelisihi pemimpin revolusi Iran: Ali Khamenei dalam perintah apa pun,
demikian seterusnya.
Semua yang saya
sebutkan tadi adalah bagian dari keyakinan (akidah) Hasan Nasrallah yang telah
mengakar. Kalau ada yang protes dan mengatakan: “Lho, kita kan tidak pernah
mendengar dia mencaci-maki sahabat, atau menuduh isteri-isteri Nabi dengan
tuduhan keji?”, maka saya katakan kepada orang-orang lugu tersebut: “Bukan
suatu keharusan bagi kita untuk mendengar semua itu darinya agar kita yakin
bahwa dia memang mengatakan seperti itu, sebab semua hal tadi merupakan konsekuensi
dari ajaran Syi’ah Itsna ‘Asyariyah”.
Anda sendiri mungkin
tidak pernah mendengar tetangga anda yang muslim mengatakan: “Laa ilaaha
illallaah muhammadur rasulullah”, akan tetapi anda tahu bahwa tetangga anda
meyakini ucapan tersebut, karena dia seorang muslim. Demikian pula seorang yang
berkeyakinan Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, ia mau tidak mau harus mengimani semua
yang saya sebutkan tadi, sebab kalau tidak, dia akan berada di luar Syi’ah.
Kalau Hasan Nasrallah
harus menghargai dan menghormati para sahabat, maka ia tidak mungkin bisa
membenarkan pokok-pokok ajaran Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, demikian pula dengan
jabatan Khalifah yang dipegang oleh Ali, Hasan, Husein, dan imam-imam lainnya.
Jadi, seorang tokoh
yang menganut berbagai kesesatan dan bid’ah tadi, sama sekali tidak layak untuk
kita kagumi, maupun kita jadikan sebagai pemimpin Islam teladan. Kita hanya
boleh mengambil sedikit hal darinya, sebagaimana kita ambil dari orang lain;
bukan karena dia itu Islami, tapi karena dia adalah manusia yang memiliki
potensi dan keahlian.
Cuplikan dari tulisan Ustadz Sufyan Basweidan:
0 komentar:
Posting Komentar