إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
Siapa yang tidak kenal
dengan Habib Mundzir Al-Musawa dengan majelis Rasulullahnya? Sebagian orang
(orang-orang awam yang jauh dari ilmu syar’i), orang-orang yang fanatik, dan
orang-orang yang tersesat menganggapnya sebagai seorang yang memiliki ilmu atau
bahkan seorang ulama.
Namun bagi mereka yang
sedikit saja mempunyai ilmu dan pemahaman agama yang baik dan benar maka dengan
mudah dan jelas dapat menilai siapa Habib Mundzir sebenarnya.
Namun karena begitu
besar fitnah yang dibawa oleh Habib Mundzir maka dari itu kami merasa
terpanggil untuk menjelaskan kepada ummat tentang siapa sebenarnya Habib
Mundzir dalam rangka nasihat kepada ummat.
Allah Subhanahu wa ta’aala
berfirman :
وَلْتَكُن
مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah
orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran : 104)
dan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda :
“Ad-Din (agama) adalah nasehat”. Kami bertanya: “untuk
siapa?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Untuk
Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya dan Imam-imam kaum muslimin serta seluruh kaum
muslimin.” (HR. Muslim dari shahabat Abu Ruqayyah Tamiim bin Aus Ad-Daarii)
Insya Allah di bawah
ini penjelasan sederhana tentang penyimpangan dan kesesatan Habib Mundzir :
Pertama : Kebodohan dan penyelisihan Habib Mundzir terhadap makna dan hakekat
tauhid
Bagaimana mungkin
seorang yang dianggap sebagai seorang yang memiliki ilmu atau bahkan seorang
ulama oleh para pengikutnya ternyata seorang yang bodoh terlebih lagi dalam
masalah tauhid, yang merupakan pondasi agama kita dan inti dakwah para Rasul.
Hal ini diketahui dari
sepak terjang Habib Mundzir, dari perkataannya, dari ceramah-ceramahnya dan
dari perbuatan dan amalannya. Di sisi Habib Mundzir, tauhid adalah tauhid yang
orang musyrik zaman dahulu pun menyakininya yaitu sebatas pada tauhid
Rububiyyah yaitu tidak ada pencipta selain Allah, tidak ada yang pemberi rezeki
selain Allah dan tidak ada yang mengatur alam semesta ini selain Allah.
Allah Subhaanahu
wata’aala berfirman mengkhabarkan bahwa orang musyrik pun mengimani hal ini :
قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ
وَالْأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَن يُخْرِجُ الْحَيَّ
مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ الْأَمْرَ ۚ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ ۚ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
“Katakanlah: ” Siapakah yang melimpahkan rezeki kepada kalian dari
langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan
penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan
mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala
urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka Katakanlah “Mengapa kamu
tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (QS. Yunus : 31).
Berkata Ibnu Katsir Rahimahullah
:
“(Maka mereka akan menjawab: “Allah”). Yaitu mereka mengetahui dan mengakui
yang demikian itu (Allah sebagai pencipta, pemberi rezki dll –ed), “(Maka
Katakanlah “Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” yaitu kenapa kalian tidak
takut kepada-Nya yang kalian beribadah bersama-Nya yang lainnya dengan
pendapat-pendapat kalian dan dengan kebodohan kalian.” (Tafsir Ibnu Katsir,
Jilid 4 hal 287, cet. Daarul Hadits Al-Qaahirah)
Berkata salah seorang
ulama ahlussunnah dari negeri Yaman, Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab
Al-Whusoby hafidzahullah :
“Tidak ada yang mengingkari tauhid dengan jenis ini (tauhid rububiyyah)
kecuali fir’aun, namrud, Ad-Duhriyah di masa lalu dan komunis di masa kini.
Orang yang mengingkari jenis ini terhitung kafir mulhid (atheis).” (Al-Qaulul
Mufiid Fi Adilatit Tauhid [78] Cet. Maktabah Al-Irtsaad, Shan’a Yaman)
Dan hal ini (keimanan/pengakuan
terhadap tauhid rububiyyah) semata tidaklah cukup sampai seseorang mentauhidkan
Allah di dalam beribadah. Yaitu seseorang tidaklah beribadah kecuali hanya
kepada Allah semata dan tidak kepada yang lainnya.
Dia menyerahkan seluruh
ibadahnya hanya kepada Allah Subhaanahu wata’aala dan tidak kepada yang
lainnya. Shalatnya, doanya, menyembelih hewannya, tawakalnya dan seluruh
ibadahnya hanya dia peruntukkan kepada Allah semata dan tidak kepada yang
lainnya siapapun orangnya. Namun Habib Mundzir bodoh terhadap hal ini (yaitu
memahami tauhid uluhiyyah/ibadah).
Sehingga dia menolak
untuk diajak beribadah hanya kepada Allah semata dan meninggalkan peribadatan
kepada selain Allah, tetapi yang dia inginkan selain beribadah kepada Allah
juga beribadah kepada orang shalih, baik itu nabi atau yang lainnya yang mereka
anggap wali (1).
Mereka menolak untuk
diajak bersandar dan bertawakal hanya kepada Allah semata tetapi yang mereka
inginkan bersandar dan bertawakal kepada Allah dan juga bersandar dan
bertawakal kepada kuburan-kuburan yang mereka anggap wali.
Padahal Allah
Subhaanahu wata’aala berfirman :
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ
نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan memohon pertolongan” (QS. Al-fatihah
: 5)
وَاعْبُدُوا
اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan sesuatu apapun
dengan-Nya”. (QS. An-Nisaa : 36)
Berkata salah seorang
ulama Yaman serta ulamanya kaum muslimin, Al-Imam Shan’ani Rahimahullah
:
“Segala puji bagi Allah yang tidak menerima tauhid rububiyyah dari
hamba-Nya, sampai mereka mentauhidkan-Nya dalam ibadah dengan seluruh bentuk
pengesaan (penyerahan ibadah hanya kepada-Nya).
Sehingga mereka tidak mengambil tandingan bagi Allah, tidak menyeru
(berdoa) bersama Allah siapapun, tidak bersandar kecuali kepada-Nya, tidak
berlindung pada setiap keadaan kecuali hanya kepada-Nya, tidak berdoa
kepada-Nya dengan selain dari asmaul husna (nama-nama yang indah) dan tidak
bertawasul kepada-Nya dengan perantaraan pemberi syafaat.
“Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya” (QS. Al-Baqarah : 255)
Saya bersaksi bahwa
tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah,
satu-satunya Rabb dan sesembahan yang haq, dan muhammad adalah hamba dan
Rasul-Nya yang Allah perintah untuk mengatakan :
قُل لَّا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا
وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ ۚ
وَلَوْ كُنتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ
السُّوءُ ۚ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ
وَبَشِيرٌ لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak
(pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. “ (QS. Al-A’raf : 188).
(Kitab Tah-hirul I’tiqad ‘An Adranil Ilhad : 22)
Berkata Syaikh
Al-Allamah Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah :
“Macam tauhid ini (tauhid uluhiyyah/ibadah -ed) yang kebanyakan manusia
mengingkari dan menolaknya.” (Al-Qaulul Mufiid ‘Ala Kitabit Tauhid :
12, Cet. Dar Ibnul Jauzi)
Berkata salah seorang
ulama ahlussunnah dari negeri Yaman, Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab
Al-Whusoby hafidzahullah :
“Orang-orang yang mengingkari tauhid jenis ini (tauhid uluhiyyah/ibadah
–ed) adalah orang-orang musyrik pada zaman dahulu dan para penyembah kuburan
pada masa sekarang.” (Al-Qaulul Mufiid Fii Adilatit Tauhid : 80).
Catatan:
(1) Diantara sekian banyak bukti dari apa yang kami sampaikan adalah perkataan
Habib Mundzir berikut ini, Habib Munzir menyatakan pada bukunya “Meniti
Kesempurnaan Iman” (pada halaman 4-5):
“Istighatsah adalah memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya,
untuk sebagian kelompok muslimin hal ini langsung di vonis syirik, namun vonis
mereka itu hanyalah karena kedangkalan pemahamannya terhadap syariah islam.
Pada hakekatnya memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya adalah
hal yang diperbolehkan selama ia seorang Muslim, Mukmin, Shalih dan diyakini
mempunyai manzilah di sisi Allah swt, tak pula terikat ia masih hidup atau
telah wafat…” (sampai di sini penukilannya)
Bantahannya:
Wahai Habib Mundzir, doa itu adalah ibadah, tidak boleh dipalingkan untuk
selain Allah. Dan diantara bentuk doa adalah istighatsah (memohon pertolongan
setelah terjadinya musibah).
Jika dipalingkan kepada orang mati maka mutlak bentuk kesyirikan akbar.
Siapapun orang mati yang ditujukan doa kepadanya.
Allah Subhaanahu Wata’aala berfirman:
“Dan Rabbmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kapada Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”. (QS. Al-Mu’min : 60)
Berkata Syaikh Al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad Qaasim An-Najdi Rahimahullah
:
“ Dinamakan (pada ayat ini) doa adalah ibadah, dan datang dalam Al-Qur’an dalam
banyak tempat (ayat) bahwasanya doa adalah ibadah, maka memalingkannya kepada
selain Allah adalah bentuk kesyirikkan akbar (besar).” (Haasiyah
Tsalasatul Ushuul : 36)
Allah Subhaanahu Wata’aala berfirman :
إِذْ
تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّي مُمِدُّكُم بِأَلْفٍ مِّنَ
الْمَلَائِكَةِ مُرْدِفِينَ
“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu
diperkenankan-Nya bagimu.” (QS. Al-Anfal : 9)
Berkata Syaikh Al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad Qaasim An-Najdi Rahimahullah
“Ditunjukkan pada ayat (ini) bahwasanya istighatsah adalah ibadah, maka
apabila dipalingkan kepada selain Allah merupakan perbuatan kesyirikan.” (Haasiyah
Tsalasatul Ushuul : 36)
Dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu berkata : Rasululloh shalallahu
‘alaihi wassalam bersabda :
”Doa adalah ibadah.” (HR. Bukhari di dalam Al-Adabul Mufrod
dishahihkan oleh Syaikh Muqbil di Shahihul Musnad Mima Laysa fi Shohihain)
Berkata Syaikh
Al-Allamah Abdul Aziz Bin Baaz Rahimahullah : ”Adapun berdoa kepada
orang mati, atau yang tidak hadir di hadapannya yang tidak mendengar ucapanmu,
atau berdoa kepada patung, atau jin atau pohon dan yang selainnya maka ini
perbuatan syirik orang musyrik ” (Syarh Tsalatsah Al-Ushul : 14)
0 komentar:
Posting Komentar