إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
Pada suatu acara,
seorang tokoh dengan serius mengatakan: “Sebelum acara ini kita mulai,
marilah kita membukanya dengan bacaan al-Fatihah..” Serempak, para hadirin
pun tunduk dan khusyuk membacanya bersama-sama.
Di penghujung acara,
seorang tokoh diminta menutup acara dengan doa, maka dia pun menghadiahkan
doanya untuk para wali yang telah meninggal dunia, lalu mengatakan: “Al-Fatihah
ala hadhroti syaikhina wa waliyyina....”
Kasus-kasus serupa
mungkin sering kita jumpai di masyarakat. Namun, pernahkah kita berfikir bahwa
semua itu adalah tata cara beragama yang tidak ada contohnya dan diingkari oleh
oleh para ulama?! Marilah kita kaji bersama masalah ini dengan lapang dada.
Teks Hadits
الْفَا تِحَةُ لِمَا قُرِ ئَتْ لَهُ
“Al-Fatihah itu sesuai untuk apa yang dibaca.”
Hadits ini TIDAK ADA ASALNYA. Yakni dengan lafadz ini, demikian juga
kebanyakan keutamaan-keutamaan surat yang disebutkan oleh sebagian ahli tafsir.
Demikian dikatakan oleh Syaikh Ali al-Qori.[1]
Jadi hadits dengan
lafadz ini tidak ada asalnya dalam kitab-kitab hadits. Cukuplah bagi kita
keutamaan-keutamaan surat al-Fatihah yang shohih[2] dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, di antaranya adalah sabda beliau:
“Tidak ada sholat bagi orang yang tidak membaca induk al-Qur’an
(al-Fatihah)."
Mengkritisi Matan
Hadits ini dijadikan
dasar oleh sebagian kalangan untuk memulai segala hajat dengan membaca
“al-Fatihah..”
Oleh karena itulah,
Syaikh Ali al-Qori rahimahullah berkata: “Hadits ini merupakan
landasan amalan manusia yang sudah menjadi adat yaitu membaca al-fatihah untuk
mendapatkan kebutuhan mereka.”[4]. Namun hal ini belum cukup untuk sebagai
dasar karena harus diteliti terlebih dahulu derajat hadits tersebut[5]. Dan
ternyata telah terbukti bahwa hadits tersebut adalah tidak ada asalnya sehingga
tidak bisa dijadikan dasar dalam agama.
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
juga berkata setelah menjelaskan keutamaan-keutamaan surat al-Fatihah yang
shohih: “Dinamakan al-Fatihah (pembukaan) karena surat ini adalah pembuka
dalam mushaf al-Qur’an dan bacaan pembuka dalam shalat, namun bukan berarti
segala sesuatu dibuka dengan bacaan al-Fatihah”.
Sebagian manusia pada
zaman sekarang telah membuat suatu hal baru dalam agama tentang surat ini,
mereka menutup doa dengannya dan memulai khutbah serta acara dengan mengatakan
“al-Fatihah”!! Maka ini adalah suatu kesalahan, sebab agama ini dibangun di
atas dalil dan ittiba’ (mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Syaikh Amr bin Abdul
Mun’im hafizhahullah tatkala menyebutkan bid’ah-bid’ah seputar al-Qur’an
yakni bacaan al-Fatihah ketika akad nikah atau pembukaan acara dan sebagainya,
katanya: “Bid’ah ini begitu menyebar sekali sehingga masuk ke setiap negeri
Islam, bahkan ada yang berkeyakinan bahwa akad-akad ini tidak akan mendapatkan
berkah bila tidak dibuka terlebih dahulu dengan al-Fatihah, padahal semua itu
tidak ada asalnya dalam syariat. Tetapi yang disyariatkan adalah membuka acara
dengan khutbah hajah.”[7].
Kirim Pahala Bacaan al-Fatihah
Menghadiahkan bacaan
al-Qur’an untuk yang sudah meninggal dunia tidak pernah di nukil dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, para sahabat radhiyallahu ‘anhum, tabi’in,
tabi’ut tabi’in, dan juga tidak seorang pun dari imam kaum muslimin. Seandainya
hal itu baik, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat
adalah orang yang terdepan mengamalkannya.
Banyak para ulama yang
menegaskan bid’ahnya budaya kirim al-Fatihah kepada ruh fulan dan sebagainya[8].
Berikut beberapa nukilan, di antaranya:
Al-Hafizh Ibnu Hajar
al-Asqolani rahimahullah berkata: “Do’a ini dibuat-buat, tidak ada
asalnya dalam sunnah.”[9]
Al-Hafizh as-Sakhowi rahimahullah
berkata: “Saya ditanya tentang kebiasaan manusia usai sholat. Mereka membaca
al-Fatihah dan menghadiahkannya kepada kaum muslimin yang hidup dan mati, maka
saya jawab: “Cara seperti ini tidak ada contohnya, bahkan ini termasuk
kebid’ahan dalam agama.”[10]
Ad-Dirdir rahimahullah
berkata: “Sebagian imam kami (madzhab Malikiyyah) menegaskan bahwa membaca
al-Fatihah dan menghadiahkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
hukumnya dibenci. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: “Ini adalah do’a yang
dibuat-buat oleh para pembaca al-Qur’an belakangan dan saya tidak mengetahui
salaf yang mendahului mereka.”[11]
Syaikh Muhammad Rosyid
Ridhi rahimahullah berkata: “Ketahuilah bahwa apa yang populer di
kampung dan kota berupa bacaan al-Fatihah untuk orang-orang yang sudah
meninggal dunia tidak ada haditsnya yang shohih maupun dho’if. Bahkan hal itu
termasuk kebid’ahan yang sesat berdasarkan dalil-dalil yang telah lalu. Hanya
saja karena orang-orang yang dianggap alim diam maka seakan-akan menjadi
perkara yang sunnah muakkad atau bahkan wajib.”[12]
Syaikh Abdul Aziz bin
Baz rahimahullah berkata: “Adapun menghadiahkan al-Fatihah atau
selainnya kepada orang-orang yang mati maka tidak ada dalilnya. Hendaknya hal
itu ditinggalkan karena tidak dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Namun disyariatkan berdo’a, shodaqoh,
haji, umroh, membayar hutang dan sebagainya bagi yang telah meninggal yang
telah jelas dalilnya bahwa hal itu bermanfaat bagi mayit.”[15]
Sampaikah Kiriman Pahalanya?
Masalah ini
diperselisihkan oleh ulama. Namun pendapat yang kuat dalam masalah ini bahwa
pahala kiriman tersebut tidak sampai[14], sebab tidak ada dalil yang mengatakan
sampainya. Karena ibadah itu dibangun di atas dalil, bukan logika dan analogi.
Ini merupakan madzhab Syafi’i. Imam Ibnu Katsir berkata ketika menjelaskan
surat an-Najm ayat 38:
“bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”
(QS. an-Najm : 38).
“Yakni sebagaimana dia
tidak memikul dosa orang lain, dia juga tidak akan mendapatkan pahala kecuali
apa yang dia usahakan sendiri. Dari ayat inilah imam Syafi’i rahimahullah dan
para pengikutnya beristinbath (mengambil hukum) bahwa pahala hadiah bacaan
al-Qur’an tidak sampai kepada si mayit, karena hal itu bukan dari amalan dan
usahanya.
Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
mencontohkan kepada umatnya, dan tidak menganjurkan serta menyuruh umatnya baik
secara nash (dalil yang jelas) maupun secara isyarat. Perbuatan ini juga tidak
dinukil dari seorang sahabat pun. Seandainya perbuatan itu baik, tentu mereka
adalah orang yang terdepan mempraktekkannya.
Masalah ibadah hanyalah berdasar pada dalil, bukan akal pikiran dan
pendapat manusia. Adapun doa dan sedekah maka hal itu telah menjadi kesepakatan
akan sampainya pahala tersebut kepada mereka.”[15]
Dari Said bin Musayyib,
ia melihat seorang laki-laki menunaikan sholat setelah fajar lebih dari dua
roka’at. Ia memanjangkan ruku dan sujudnya. Akhirnya Said bin Musayyib pun
melarangnya. Orang itu berkata: “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah azza wa
jalla akan menyiksaku dengan sebab sholat?” Beliau menjawab: “Tidak,
tetapi Allah azza wa jalla akan menyiksamu karena menyelisihi as Sunnah.”[16]
Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani rahimahullah mengomentari atsar ini: “Ini
adalah jawaban Said bin Musayyib yang sangat indah. Dan merupakan senjata
pamungkas terhadap ahlul bid’ah yang menganggap baik kebanyakan bid’ah dengan
alasan dzikir dan sholat, kemudian membantai ahlus sunnah dan menuduh mereka
(Ahlus Sunnah) mengingkari dzikir dan sholat! Padahal sebenarnya yang mereka
ingkari adalah penyelewengan ahlu bid’ah dari tuntunan Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam dzikir, sholat dan lain-lain.”[17]
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar