إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
Jabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu berkata : “Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam telah melarang kubur untuk dikapur, diduduki, dan
dibangun sesuatu di atasnya”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim [no.970], Abu Dawud [no.3225],
At-Tirmidziy [no.1052], An-Nasa’i [no.2027-2028]).
Asal larangan dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam menunjukkan keharaman sebagaimana telah dimaklumi dalam
ilmu ushul fiqh.
Bahkan ‘Ali bin Abi Thalib radliyallaahu
‘anhu adalah salah seorang shahabat yang sangat bersemangat melaksanakan
perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut sebagaimana
terdapat dalam riwayat :
Dari Abul-Hayyaj Al-Asadiy, ia berkata : ‘Ali bin Abi Thalib pernah
berkata kepadaku : “Maukah engkau aku utus sebagaimana Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengutusku? Hendaklah engkau tidak
meninggalkan gambar-gambar kecuali engkau hapus dan jangan pula kamu
meninggalkan kuburan yang ditinggikan kecuali kamu ratakan” (Diriwayatkan
oleh Muslim [no.969], Abu Dawud [no.3218], At-Tirmidzi [no.1049], An-Nasa’i [no.2031],
dan yang lainnya)
Larangan membangun kubur ini kemudian diteruskan oleh para ulama
madzhab
Mazhab Syafi’iyyah
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’iy rahimahullah
berkata :
“Dan aku senang jika kubur tidak dibangun dan tidak
dikapur/disemen, karena hal itu menyerupai perhiasan dan kesombongan. Orang
yang mati bukanlah tempat untuk salah satu di antara keduanya. Dan aku pun
tidak pernah melihat kubur orang-orang Muhajirin dan Anshar dikapur.
Dan aku telah melihat sebagian penguasa meruntuhkan bangunan yang
dibangunan di atas kubur di Makkah, dan aku tidak melihat para fuqaha’ mencela
perbuatan tersebut” (Al-Umm,
1/316)
An-Nawawi rahimahullah ketika
mengomentari riwayat ‘Ali radliyallaahu ‘anhu di atas berkata :
“Pada hadits tersebut terdapat keterangan bahwa yang disunnahkan
kubur tidak terlalu ditinggikan di atas permukaan tanah dan tidak dibentuk
seperti punuk onta, akan tetapi hanya ditinggikan seukuran sejengkal dan
meratakannya. Ini adalah madzhab Asy-Syafi’iy dan orang-orang yang sepakat
dengan beliau” (Syarh
An-Nawawiy ‘alaa Shahih Muslim, [3/36]).
Di tempat lain ia berkata :
“Nash-nash dari Asy-Syafi’iy dan para shahabatnya telah sepakat
tentang dibencinya membangun masjid di atas kubur. Sama saja, apakah si mayit
masyhur dengan keshalihannya ataupun tidak berdasarkan keumuman
hadits-haditsnya” (Al-Majmuu’,
[5/316]).
Mazhab Hanafiyyah
Muhammad bin Al-Hasan rahimahullah
:
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Hanifah, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami seorang syaikh kami yang memarfu’kan riwayat sampai
pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya beliau melarang untuk
membangun dan mengapur/menyemen kubur. Muhammad (bin Al-Hasan) berkata : ‘Dengannya
kami berpendapat, dan ia juga merupakan pendapat Abu Hanifah” (Al-Atsar [no.257])
Juga Ibnu ‘Abidin Al-Hanafiy rahimahullah
yang berkata :
“Adapun membangun di atas kubur, maka aku tidak melihat ada ulama
yang memilih pendapat membolehkannya. Dan dari Abu Hanifah : ‘Dibenci membangun
bangunan di atas kubur, baik berupa rumah, kubah, atau yang lainnya” (Raddul-Mukhtar, 6/380)
Mazhab Malikiyyah
Malik bin Anas rahimahullah
berkata :
“Aku membenci mengapur/menyemen kubur dan bangunan yang ada di
atasnya” (Al-Mudawwanah,
[1/189]).
Juga Al-Qurthubiy rahimahullah
yang berkata :
“Membangun masjid-masjid di atas kubur, shalat di atasnya,
membangun bangunan di atasnya, dan yang lainnya termasuk larangan dari sunnah,
tidak diperbolehkan” (Tafsiir
Al-Qurthubiy, [10-379]).
Madzhab Hanabilah
Ibnu Qudaamah rahimahullah
berkata :
“Dan dibenci bangunan yang ada di atas kubur, mengkapurnya, dan
menulis tulisan di atasnya, berdasarkan riwayat Muslim dalam Shahih-nya :
‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kubur
untuk dikapur, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya’. At-Tirmidziy
menambahkan : ‘Dan menulis di atasnya’, dan ia berkata : ‘Hadits hasan shahih’.
Karena itu semua merupakan perhiasan dunia yang tidak diperlukan oleh si mayit” (Al-Mughniy, [2/382]).
Al-Bahutiy Al-Hanbaliy rahimahullah
yang berkata :
“Dan diharamkan menjadikan masjid di atas kubur, dan membangunnya
berdasarkan hadits Abu Hurairah bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : ‘Allah melaknat orang Yahudi yang telah menjadikan kubur para nabi
mereka sebagai masjid-masjid’. (Kasysyaful-Qina’,
[3/774])
Al-Mardawiy rahimahullah yang
berkata :
“Adapun bangunan di atas kubur, hukumnya makruh berdasarkan pendapat
yang shahih dari madzhab (Hanabilah), sama saja, apakah bangunan itu menempel
tanah ataukah tidak. Pendapat itulah yang dipegang kebanyakan shahabat Ahmad.
Dalam kitab Al-Furu’ dinyatakan: Ahmad dan shahabat-shahabatnya memutlakkan
(kemakruhan)-nya” (Al-Inshaf,
[2/549]).
Mazhab Zhahiriyyah
Ibnu Hazm rahimahullah
berkata :
“Permasalahan: Dan tidak dihalalkan kubur untuk dibangun, dikapur/disemen,
dan ditambahi sesuatu pada tanahnya. Dan semuanya itu (bangunan, semenan, dan
tanah tambahan) mesti dirobohkan” (Al-Muhalla,
[5/133]).
Tepatkah kemudian jika ada orang
yang mengatakan larangan membangun kubur merupakan buatan orang-orang Wahabi ?
Atau mungkin mulai sekarang orang
tersebut harus menyangka bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Ali
bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’iy, dan Ahmad bin Hanbal
rahimahumullah telah ‘bermazhab’ dengan mazhabnya orang-orang Wahabi ?
(tentu saja tidak demikian, karena orang-orang Wahabi justru bermazhab dengan
mazhab mereka). Sungguh bahagia orang-orang Wahabi itu.
Wallahul-musta’an.
0 komentar:
Posting Komentar