Pages

Sabtu, 05 Januari 2013

Membangun Kubur adalah Larangan Nabi, bukan Larangan Wahabi



إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة فنار



Jabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah melarang kubur untuk dikapur, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim [no.970], Abu Dawud [no.3225], At-Tirmidziy [no.1052], An-Nasa’i [no.2027-2028]).
Asal larangan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan keharaman sebagaimana telah dimaklumi dalam ilmu ushul fiqh. 

Bahkan ‘Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu adalah salah seorang shahabat yang sangat bersemangat melaksanakan perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut sebagaimana terdapat dalam riwayat :
Dari Abul-Hayyaj Al-Asadiy, ia berkata : ‘Ali bin Abi Thalib pernah berkata kepadaku : “Maukah engkau aku utus sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengutusku? Hendaklah engkau tidak meninggalkan gambar-gambar kecuali engkau hapus dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan yang ditinggikan kecuali kamu ratakan” (Diriwayatkan oleh Muslim [no.969], Abu Dawud [no.3218], At-Tirmidzi [no.1049], An-Nasa’i [no.2031], dan yang lainnya)


Larangan membangun kubur ini kemudian diteruskan oleh para ulama madzhab

Mazhab Syafi’iyyah

Muhammad bin Idris Asy-Syafi’iy rahimahullah berkata :
“Dan aku senang jika kubur tidak dibangun dan tidak dikapur/disemen, karena hal itu menyerupai perhiasan dan kesombongan. Orang yang mati bukanlah tempat untuk salah satu di antara keduanya. Dan aku pun tidak pernah melihat kubur orang-orang Muhajirin dan Anshar dikapur.
Dan aku telah melihat sebagian penguasa meruntuhkan bangunan yang dibangunan di atas kubur di Makkah, dan aku tidak melihat para fuqaha’ mencela perbuatan tersebut” (Al-Umm, 1/316)

An-Nawawi rahimahullah ketika mengomentari riwayat ‘Ali radliyallaahu ‘anhu di atas berkata :
“Pada hadits tersebut terdapat keterangan bahwa yang disunnahkan kubur tidak terlalu ditinggikan di atas permukaan tanah dan tidak dibentuk seperti punuk onta, akan tetapi hanya ditinggikan seukuran sejengkal dan meratakannya. Ini adalah madzhab Asy-Syafi’iy dan orang-orang yang sepakat dengan beliau” (Syarh An-Nawawiy ‘alaa Shahih Muslim, [3/36]).

Di tempat lain ia berkata :
“Nash-nash dari Asy-Syafi’iy dan para shahabatnya telah sepakat tentang dibencinya membangun masjid di atas kubur. Sama saja, apakah si mayit masyhur dengan keshalihannya ataupun tidak berdasarkan keumuman hadits-haditsnya” (Al-Majmuu’, [5/316]).


Mazhab Hanafiyyah

Muhammad bin Al-Hasan rahimahullah :
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Hanifah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami seorang syaikh kami yang memarfu’kan riwayat sampai pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya beliau melarang untuk membangun dan mengapur/menyemen kubur. Muhammad (bin Al-Hasan) berkata : ‘Dengannya kami berpendapat, dan ia juga merupakan pendapat Abu Hanifah” (Al-Atsar [no.257])

Juga Ibnu ‘Abidin Al-Hanafiy rahimahullah yang berkata :
“Adapun membangun di atas kubur, maka aku tidak melihat ada ulama yang memilih pendapat membolehkannya. Dan dari Abu Hanifah : ‘Dibenci membangun bangunan di atas kubur, baik berupa rumah, kubah, atau yang lainnya” (Raddul-Mukhtar, 6/380)


Mazhab Malikiyyah

Malik bin Anas rahimahullah berkata :
“Aku membenci mengapur/menyemen kubur dan bangunan yang ada di atasnya” (Al-Mudawwanah, [1/189]).

Juga Al-Qurthubiy rahimahullah yang berkata :
“Membangun masjid-masjid di atas kubur, shalat di atasnya, membangun bangunan di atasnya, dan yang lainnya termasuk larangan dari sunnah, tidak diperbolehkan” (Tafsiir Al-Qurthubiy, [10-379]).


Madzhab Hanabilah

Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
“Dan dibenci bangunan yang ada di atas kubur, mengkapurnya, dan menulis tulisan di atasnya, berdasarkan riwayat Muslim dalam Shahih-nya :
‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kubur untuk dikapur, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya’. At-Tirmidziy menambahkan : ‘Dan menulis di atasnya’, dan ia berkata : ‘Hadits hasan shahih’. Karena itu semua merupakan perhiasan dunia yang tidak diperlukan oleh si mayit” (Al-Mughniy, [2/382]).

Al-Bahutiy Al-Hanbaliy rahimahullah yang berkata :
“Dan diharamkan menjadikan masjid di atas kubur, dan membangunnya berdasarkan hadits Abu Hurairah bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Allah melaknat orang Yahudi yang telah menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid-masjid’. (Kasysyaful-Qina’, [3/774])

Al-Mardawiy rahimahullah yang berkata :
“Adapun bangunan di atas kubur, hukumnya makruh berdasarkan pendapat yang shahih dari madzhab (Hanabilah), sama saja, apakah bangunan itu menempel tanah ataukah tidak. Pendapat itulah yang dipegang kebanyakan shahabat Ahmad. Dalam kitab Al-Furu’ dinyatakan: Ahmad dan shahabat-shahabatnya memutlakkan (kemakruhan)-nya” (Al-Inshaf, [2/549]).


Mazhab Zhahiriyyah  

Ibnu Hazm rahimahullah berkata :
“Permasalahan: Dan tidak dihalalkan kubur untuk dibangun, dikapur/disemen, dan ditambahi sesuatu pada tanahnya. Dan semuanya itu (bangunan, semenan, dan tanah tambahan) mesti dirobohkan” (Al-Muhalla, [5/133]).



Tepatkah kemudian jika ada orang yang mengatakan larangan membangun kubur merupakan buatan orang-orang Wahabi ?

Atau mungkin mulai sekarang orang tersebut harus menyangka bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’iy, dan Ahmad bin Hanbal rahimahumullah telah ‘bermazhab’ dengan mazhabnya orang-orang Wahabi ? (tentu saja tidak demikian, karena orang-orang Wahabi justru bermazhab dengan mazhab mereka). Sungguh bahagia orang-orang Wahabi itu.
Wallahul-musta’an.

0 komentar:

Posting Komentar