إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
Husein bin Ali bin Abi Thalib radhiyallohu ‘anhuma
Bulan Muharam merupakan
bulan yang agung dan memiliki banyak keutamaan; Nabi Musa ‘alaihissalam
diselamatkan dari Firaun dan bala tentaranya di bulan Muharram. Untuk
menghormati bulan ini, Allah haramkan peperangan walaupun perang tersebut
bertujuan meninggikan kalimat-Nya. Di bulan ini pun terdapat suatu hari, yang
dapat mengampuni dosa setahun yang lalu dengan berpuasa di hari tersebut. Namun,
bulan Muharram juga mengisahkan sebuah duka, duka dengan wafatnya penghulu
pemuda penghuni surga, cucu Rasulullah, Husein bin Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhuma.
Terkait peristiwa
tersebut, ada sebuah kelompok yang rutin memperingati wafatnya Husein bin Ali radhiallahu
‘anhuma dengan cara meratapi dan menyiksa diri. Mereka berandai-andai jika
saja waktu itu mereka bersama Husein dan menolong Husein yang dizalimi. Mereka
menamakan diri mereka Syiah, pencinta dan pendukung ahlul bait (keluarga Nabi).
Setiap orang bisa mengklaim diri sebagai penolong keluarga Nabi, namun
pertanyaannya adalah benarkah mereka menolongnya?!
Kita tidak hendak
saling menyalahkan, tidak juga memicu perpecahan, kita hanya akan mengangkat
fakta sejarah bagaimana cucu manusia yang paling mulia ini bisa terbunuh di
tanah Karbala.
Kita awali kisah ini
dengan memasuki tahun 60 H ketika Yazid bin Muawiyah dibaiat menjadi khalifah.
Saat itu Yazid yang berumur 34 tahun diangkat oleh ayahnya Muawiyah bin Abi
Sufyan radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah umat Islam menggantikan
dirinya.
Ketika Yazid dibaiat,
ada dua orang sahabat Nabi yang enggan membaiatnya, mereka adalah Abdullah bin
Zubeir dan Husein bin Ali bin Abi Thalib radhiyallohu ‘anhum. Abdullah
bin Zubeir pun dipinta untuk berbaiat, ia mengatakan, “Tunggulah sampai
malam ini, akan aku sampaikan apa yang ada di benakku.” Saat malam tiba,
maka Abdullah bin Zubeir pergi dari Madinah menuju Mekah. Demikian juga Husein,
ketika beliau dipinta untuk berbaiat, beliau mengatakan, “Aku tidak akan
berbaiat secara sembunyi-sembunyi, tapi aku menginginkan agar banyak orang
melihat baiatku.” Saat malam menjelang, beliau juga berangkat ke Mekah
menyusul Abdullah bin Zubeir.
Kabar tidak berbaiatnya
Husein dan perginya beliau ke kota Mekah sampai ke telinga penduduk Irak atau
lebih spesifiknya penduduk Kuffah. Mereka tidak menginginkan Yazid menjadi
khalifah bahkan juga Muawiyah, karena mereka adalah pendukung Ali dan anak
keturunannya. Lalu penduduk Kufah pun mengirimi Husein surat yang berisi,
“Kami belum berbaiat kepada Yazid dan tidak akan berbaiat kepadanya, kami hanya
akan membaiat Anda (sebagai khalifah).” Semakin hari, surat tersebut pun
semakin banyak sampai ke tangan Husein, jumlanya mencapai 500 surat.
Tidak terburu-buru
menanggapi isu ini, Husein mengutus sepupunya, Muslim bin Aqil bin Abi Thalib
menuju Kufah untuk meneliti dahulu kebenaran berita tersebut. Tibalah Muslim
bin Aqil di Kufah dan ia melihat kebenaran berita yang sampai kepada Husein.
Penduduk Kufah pun membaiat Husein melalui Muslim bin Aqil.
Kabar dibaiatnya Husein
melalui Muslim bin Aqil sampai ke Syam, tempat khalifah Yazid bin Muawiyah. Ia
segera mencopot gubernur Kufah, Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhu
karena Nu’man tidak mengambil tindakan apa pun atas kejadian itu. Sebagai
penggantinya, diangkatlah Ubaidullah bin Ziyad menjadi amir Kufah.
Ubaidullah langsung
bergerak cepat hendak mengupayakan penangkapan Muslim bin Aqil. Langkah pertama
yang dilakukan Ubaidullah adalah mengintrogasi sahabat-sahabat dekat Muslim. Ia
menangkap Hani’ bin Urwah, kemudian menanyai keberadaan Muslim kepadanya. Hani’
bin Urwah bersikukuh tidak akan membocorkan rahasia persembunyian Muslim,
akhirnya ia ditahan.
Penahanan Hani’ bin
Urwah memancing reaksi dari Muslim bin Aqil, ia mengerahkan 4000 orang
mengepung benteng Ubaidullah bin Ziyad menekannya agar membebaskan Hani’.
Sayang, kisah penghianatan penduduk Kufah ternyata berulang, mereka yang
sebelumnya membaiat Muslim bin Aqil pergi meninggalkannya. Di siang hari saja
jumlah 4000 tersebut menyusut hanya menjadi 30 orang dan ketika matahari
terbenam tinggallah Muslim bin Aqil seorang diri. Akhirnya ia pun terbunuh.
Sebelum wafat, ia memberi pesan kepada Umar bin Sa’ad untuk menyampaikannya
kepada Husein bin Ali bin Abi Thalib “Pulanglah bersama keluargamu. Jangan
engkau terpedaya oleh penduduk Kufah. Karena mereka telah berhianat kepadamu
dan kepadaku.”
Husein radhiallahu ‘anhu Menuju Kufah
Pada saat hendak
berangkat menuju Kufah, Husein bertemu dan dinasihati oleh beberapa sahabat
Nabi agar tidak menuju Kufah. Di antara sahabat yang menasihati Husein adalah:
Abdullah bin Abbas, “Kalau sekiranya orang-orang tidak mencela aku dan
engkau, akan aku ikat tanganku ini di kepalamu. Tidak akan kubiarkan engkau
pergi.”
Abdullah bin Umar, setelah mendengar keberangkatan Husein menuju Kufah, ia
bergegas menyusulnya dan berhasil bertemu dengannya setelah perjalanan 3 malam.
Abdullah bin Umar berkata, “Hendak kemana engkau” Husein menjawab, “Menuju
Irak”. Husein mengeluarkan surat-surat penduduk Irak yang menunjukkan
mereka berpihak kepada dirinya. Husein mengatakan, “Ini surat-surat mereka,
aku akan kesana dan menerima baiat mereka.” Abdullah bin Umar berkata, “Aku
akan sampaikan kepadamu sebuah hadis. Sesungguhnya Jibril pernah datang kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia memberi pilihan kepada Nabi antara dunia
dan akhirat, beliau pun memilih akhirat dan tidak menginginkan dunia. Engkau
adalah darah daging Rasulullah, demi Allah! Janganlah salah seorang dari kalian
(keluarga Nabi) mengambil dunia tersebut atau menggapai bagian yang telah Allah
jauhkan dari kalian”. Husein pun tetap pada pendiriannya untuk berangkat
menuju Kufah. Melihat pendirian Husein, menangislah Abdullah bin Umar dan
mengatakan, “Aku titipkan engkau kepada Allah dari pembunuhan.”
Abdullah bin Zubeir mengatakan, “Hendak kemana engkau wahai Husein?
Engkau mau menemui orang-orang yang telah membunuh ayahmu dan menghina
saudaramu (Hasan bin Ali)? Janganlah pergi!” Namun Husein pun tetap
berangkat.
Abu Said al-Khudri mengatakan, “Wahai Abu Abdullah (maksudnya Husein -pen.),
aku ada sebuah nasihat untukmu dan aku adalah orang yang sangat mencintaimu.
Aku mendengar berita bahwa Syiah (pendukung)mu di Kufah menulis pernyataan
kepadamu, mereka mengajakmu keluar dari Mekah dan bergabung dengan mereka di
Kufah. Janganlah engkau menemui mereka! Sesungguhnya aku mendengar ayahmu
sewaktu di Kufah mengatakan, ‘Demi Allah, aku telah membuat mereka (penduduk
Kufah) bosan dan marah dan mereka pun membuatku bosan juga membuatku marah.
Tidak ada seorang pun di antara mereka yang memenuhi janji.”
Saat Husein melanjutkan
perjalanan, sampailah Amir bin Sa’ad utusan dari Muslim bin Aqil. Amir mengabarkan
tentang terbunuhnya Muslim dan penghianatan orang-orang Kufah. Mendengar berita
tersebut Husein pun sadar apa yang ia lakukan akan sia-sia, ia pun memutuskan
untuk pulang. Namun anak-anak Muslim bin Aqil menginginkan perjalanan
dilanjutkan menuntut hukuman atas tewasnya ayah mereka.
Husein bin Ali bin Abi Thalib Tiba di Tanah Karbala
Mengetahui Husein bin
Ali radhiallahu ‘anhuma berangkat menuju Kufah, Ubaidullah bin Ziyad
berencana mencegatnya agar tidak memasuki Kufah dengan mengirim 1000 pasukan
yang dipimpin oleh al-Hurru bin Yazid at-Tamimi kemudian ditambah 4000 pasukan
dibawah kepemimpinan Umar bin Sa’ad.
Saat tiba di Karbala,
Husein bertanya tentang nama daerah tersebut, “Daerah apa ini?”
Orang-orang menjawab, “Ini adalah daerah Karbala.” Husein pun langsung
mengatakan, “Karbun (bencana) dan bala’ (musibah).”
Dibayang-bayangi 5000
pasukan membuat Husein semakin menyadari bahwa janji-janji penduduk Kufah itu
hanyalah bualan semata. Apalagi pasukan-pasukan itu sendiri adalah penduduk
Kufah yang telah mengiriminya surat. Lalu Husein mengajukan 3 alternatif kepada
pasukan Kufah sebagai jalan keluar; pertama, Husein meminta agar pasukan Kufah
mengawalnya pulang ke Mekah (agar ia dan keluarganya terjaga) atau yang kedua,
pasukan Kufah mengizinkannya untuk pergi ke daerah perbatasan agar ia bergabung
dengan pasukan kaum muslimin untuk berjihad atau alternatif ketiga, mereka
mengizinkannya menuju Yazid agar ia membaiatnya secara langsung.
Umar bin Sa’ad pun
menanggapi positif pilihan yang diajukan Husein, ia mengusulkan agar Husein
mengirimkan utusan ke Yazid terlebih dahulu dan ia sendiri mengirimkan utusan
ke Ubaidullah untuk memberitakan kabar ini sekaligus alternatif yang diajukan
Husein.
Setibanya utusan Umar
bin Sa’ad di hadapan Ubaidullah dan menyampaikan apa yang dikehendaki Husein,
Ubaidullah pun bergembira dan memberi kemuliaan kepada Husein agar ia sendiri
yang memilih sesuai dengan yang ia kehendaki; kembali ke Mekah atau Madinah,
menuju daerah perbatasan, atau menuju Yazid di Syam, ia serahkan kepada pilihan
Husein. Namun seseorang yang dekat dengan Ubaidullah yang bernama Syamr bin Dzi
al-Jasyan angkat bicara atas keputusan Ubaidullah, “Demi Allah, urusannya
tidak demikian, dia yang harus tunduk kepada putusanmu.” Maksud Syamr
engkau (Ubaidullah) adalah pemimpin bukan dia (Husein), jadi dia yang harus
tunduk kepada putusanmu bukan sebaliknya. Ternyata Ubaidullah yang tadinya
memuliakan Husein berpaling mengikuti saran dari sahabat dekatnya, Syamr bin
Dzi al-Jausyan. Ubaidullah memutuskan menawan Husein dan dibawa ke hadapannya
di Kufah sebagai tawanan kemudia ia yang menentukan kemana Husein seharusnya
diasingkan.
Setelah sampai perintah
Ubaidullah di tanah Karbala, Husein pun menolak kalau dirinya dijadikan
tawanan, ia seorang muslim terlebih ia adalah keluarga Rasulullah. Karena
Husein menolak untuk ditawan, maka pasukan Ubaidullah itu berusaha menangkap
paksa dirinya, Husein mengatakan, “Kalian renungi dulu apa yang hendak
kalian lakukan. Apakah dibenarkan (secara syariat), kalian memerangi orang
sepertiku? Aku anak dari putri Nabi kalian dan tidak ada lagi di bumi ini anak dari
putri Nabi kalian selain diriku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
tentang aku dan saudaraku (Hasan bin Ali), ‘Dua orang ini adalah pemimpin para
pemuda penghuni surga.’ Akhirnya Husein pun terbunuh bersama keluarga
Rasulullah yang lain. Seorang yang secara langsung membunuh Husein dan
memenggal kepalanya bernama Sinan bin Anas.
Demikianlah mereka yang
mengaku Syiah (pendukung) Ali dan keluarganya, mereka membelot dan menumpahkan
darah ahlul bait Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam peristiwa
ini, ada tiga orang yang berperan besar sehingga cucu Nabi yang mulia ini
tewas. Mereka adalah Ubaidullah bin Ziyad, Syamr bin Dzi al-Jauzyan, dan Sinan
bin Anas, ketiga orang ini adalah Syiah (pendukung) Ali di Perang Shiffin,
mereka termasuk dalam barisan pasukan Ali bin Abi Thalib. Bisa jadi mereka yang
meratapi kematian Husein di hari Asyura, menganiaya diri mereka, berandai-andai
bersama Husein, dan merasakan penderitaannya, seandainya mereka berada di hari
tersebut, mereka akan turut serta dalam pasukan Kufah dan membelot dari Husein
bin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhuma.
Sumber : Huqbah min at-Tarikh oleh Syaikh Utsman al-Khomis
Ditulis oleh Nurfitri Hadi (Tim KonsultasiSyariah.com)
0 komentar:
Posting Komentar