إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
erharga dari
Pengalaman Menyaksikan Negeri-negeri Asing dan Menjalani Perjalanan-perjalanan
Ajaib), atau yang dikenal juga dengan Rihlah Ibnu Bathuthah, Ibnu
Bathuthah banyak menceritakan perjalanannya ke berbagai negeri, tidak
terkecuali Nusantara (Indonesia). Dan di antaranya juga pengelana Maghrib ini
menceritakan tentang kondisi orang-orang syi’ah pada masa itu. Berikut kisah
yang kami kutip dalam rihlah-nya itu.
Ibnu Bathuthah
bercerita,
“Kemudian aku melanjutkan perjalanan menuju kota Ma’arrah, sebuah
kota yang dinisbatkan padanya seorang penyair yang bernama Abul Ala Al-Ma’arri.
Selain itu, masih banyak lagi nama-nama penyair yang dinisbatkan pada kota ini.
Ma’arrah adalah sebuah kota besar nan indah. Pohon tin dan kacang
tanah paling banyak tumbuh di sana. Dari sana, hasilnya dipasarkan di Mesir dan
Syam. Sejauh satu farsakh (1 farsakh kurang lebih setara dengan 8 km) dari
sana, terdapat makam Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz. Di makam tersebut
tidak dijumpai zawiyah (bangunan rumah bagi kaum sufi yang khusus didirikan
untuk berdzikir, shalat, dan membaca al-Qur’an) dan tidak pula ada pembantu
yang merawat makam. Mengapa demikian? Karena di sana terdapat kelompok orang
Rafidhah yang membenci sepuluh sahabat Nabi. Mereka membenci setiap orang yang
bernama Umar, terutama Umar bin Abdul Aziz, karena ia menghormati Khalifah Ali
bin Abi Thalib.
Aku berjalan menuju kota Sarmin, sebuah kota indah yang penuh
dengan kebun penghasil buah zaitun. Dari buah zaitun ini dibuat sabun, dan
kemudian dijual di Mesir dan Syam. Selain itu, dari bahan yang sama dibuat
sabun tangan yang harum, warnanya merah nyaris kuning. Di kota Sarmin juga
dibuat baju katun yang indah.
Penduduk kota ini adalah para pencela yang membenci sepuluh sahabat
Nabi (yang dijamin surga). Anehnya, mereka tidak mengucapkan kata “asyarah”
(artinya: sepuluh) di pasar saat menawarkan barang dagangannya. Jika hitungan
angka mencapai bilangan “asyarah”, maka mereka akan mengatakan “tis’ah wa
waahid” (Sembilan tambah satu).
Pada suatu saat, penguasa Turki datang ke tempat itu dan mendengar
para makelar mengucapkan “tis’ah wa waahid”. Penguasa Turki itu lantas memukul
kepala sang makelar dengan dabus (sejenis penjepit pakaian). Lalu ia berkata,
“Ganti kata asyarah dengan dabus!”
Di sana terdapat masjid yang berkubah. Mereka tidak menggenapkan
jumlah kubah menjadi sepuluh karena berpegang pada keyakinan yang buruk itu.” (Lihat Tuhfah
an-Nuzhar fi Gharaibil Amshar wa Ajaibil Asfar, Rihlah Ibnu Bathuthah,
Pustaka Al-Kautsar, Cet I, Maret 2012 [hal.70-71]).
Demikian
penggalan kisah tentang kebencian orang-orang Syi’ah Rafidhah terhadap para
Sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang dikisahkan langsung oleh
Ibnu Bathuthah. Karena alerginya terhadap para sahabat, terutama Abu Bakar dan
Umar, mereka enggan untuk menyebut nama keduanya. Bahkan untuk menyebut angka
“asyarah” (sepuluh) pun mereka tidak mau. Padahal, di antara sepuluh sahabat
yang dijamin masuk surga itu terdapat nama Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
anhu yang mereka kultuskan dan anggap sebagai imam.
Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda, “Abu bakar masuk surga, Umar masuk surga, Utsman
masuk surga, Ali masuk surga, Thalhah masuk surga, Zubair masuk surga, Abdurrahman
bin Auf masuk surga, Sa’ad masuk surga, Sa’id masuk surga, Abu Ubaidah bin
Jarrah masuk surga.” (HR. Tirmidzi).
lum memeluk
Islam. Setelah ia masuk Islam, maka seluruh bangsa Tartar yang berada dalam
kekuasaannya juga masuk Islam.
Setelah itu, mereka semua bertambah rasa hormat kepada Faqih
Jamaludin. Raja menganut Madzhab Rafidhah. Faqih mengajarkan madzhab ini kepada
raja dan mengistimewakannya di atas madzhab lain. Ia menjelaskan sejarah para
sahabat Nabi dan para khalifah. Ia menjelaskan bahwa Abu Bakar dan Umar adalah
menteri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ali adalah putra paman
sekaligus menantu beliau. Faqih itu menjelaskan tema-tema semacam itu. Ia tahu,
raja di hadapannya adalah pewaris kerajaan sang kakek dan kerabatnya. Dia tahu,
raja baru saja memeluk Islam dan belum tahu banyak tentang sendi-sendi agama.
Raja menyeru agar rakyatnya mengikuti madzhab Rafidhah. Untuk itu,
ia mengirim utusan kepada rakyat Irak, Persia, Azerbaijan, Isfahan, Kirman, dan
Khurasan. Ia juga mengirim utusan ke berbagai negeri. Dan negeri pertama yang
disinggahi utusan raja adalah Baghdad, Syiraz, dan Isfahan. Penduduk Baghdad
menolak kedatangan penduduk Bab Al-Azj. Penduduk Baghdad menganut madzhab
Ahlussunnah, mayoritas adalah pengikut Imam Ahmad bin Hanbal. “Kami tidak mau
melaksanakan perintah raja.”
Pada hari Jum’at, mereka datang ke masjid dengan membawa senjata,
sementara di sana telah datang utusan raja. Saat khatib naik ke atas mimbar,
12.000 orang bersenjata mengelilingi khatib. Mereka adalah penjaga kota
Baghdad. Mereka bersumpah akan membunuh khatib dan utusan raja, jika khutbah
disampaikan dengan cara yang berbeda dari biasanya, dengan menambah atau
mengurangi. Setelah itu, mereka akan menyerahkan diri.
Raja memerintahkan agar nama Abu Bakar, Umar, Utsman dan para
sahabat lainnya tidak disebutkan dalam khutbah-khutbah. Yang boleh disebutkan
hanyalah nama Ali dan para sahabat pendukungnya seperti Ammar bin Yasir. Karena
takut dengan ancaman penduduk Baghdad, khatib menyampaikan khutbah dengan cara
yang biasa dilakukan di masjid itu. Penduduk Syiraz dan Isfahan meniru apa yang
dilakukan penduduk Baghdad.
Para utusan raja melaporkan kenyataan ini kepada raja. Mendengar
laporan itu, raja memerintahkan agar para qadhi di tiga kota itu dibawa
menghadap. Syaikh Majdudin adalah qadhi yang pertama menghadap raja. Ketika
itu, raja sedang duduk di sebuah tempat bernama Qarabagh, sebuah tempat
berlibur raja di musim panas. Saat Syaikh datang, para pengawal raja melepaskan
anjing-anjing besar berkalung rantai besi. Anjing-anjing itu disiapkan untuk
menerkam manusia yang sengaja dijadikan mangsa. Jika mangsa datang,
anjing-anjing itu dilepaskan, dan orang itu melarikan diri ke sana ke mari.
Setelah berhasil menangkap mangsanya, anjing-anjing itu mencabik-cabik badannya
dan melahapnya dengan rakus.
Anjing-anjing itu dilepas di hadapan Syaikh Majdudin. Mereka mengerlingkan mata dan menampakkan taring-taringnya di hadapan Syaikh. Namun, anjing-anjing itu tidak menyerang Syaikh.
Anjing-anjing itu dilepas di hadapan Syaikh Majdudin. Mereka mengerlingkan mata dan menampakkan taring-taringnya di hadapan Syaikh. Namun, anjing-anjing itu tidak menyerang Syaikh.
Peristiwa ini didengar oleh raja. Ia keluar istana, berjalan tanpa
alas kaki. Ia bersimpuh di hadapan Syaikh dan mencium kedua kakinya. Ia mencium
tangan Syaikh, lalu melepas pakaian kebesarannya. Menurut tradisi, apa yang dia
lakukan itu menjadi bukti akan kemuliaan orang yang berada di hadapannya. Jika
raja melepaskan pakaian kebesaran di hadapan seseorang, maka itu berarti bahwa
raja memuliakan orang itu, termasuk anak-cucu dan seluruh keturunannya.
Penghormatan itu terus dilakukan selama pakaian kebesaran raja, atau bagian
tertentu dari pakaian itu, masih ada. Bagian paling istimewa dari pakaian
kebesaran raja adalah celana.
Raja menggandeng tangan Syaikh Majdudin, mengantarnya masuk ke
dalam istana. Ia memerintah seluruh istrinya untuk memberikan hormat kepada
Syaikh dan bertabarruk dengannya. Raja kemudian meninggalkan madzhab Rafidhah.
Ia menulis rakyat untuk menganut madzhab Ahlussunnah wal Jamaah.
Raja memberikan hadiah yang banyak kepada Syaikh Majdudin,
mengantarnya kembali ke Syiraz dengan penuh penghormatan”.
Ibnu Bathuthah juga menceritakan kunjungannya ke kota Bashrah pada saat
itu. Berikut kisahnya ketika mengunjungi mesjid Ali di Bashrah:
“Masjid Ali memiliki
tujuh shauma’ah (tempat yang tinggi yang dipakai beribadah oleh para rahib,
pendeta atau ahli ibadah –kamus Al-Munjid). Menurut anggapan penduduk Bashrah,
salah satu shauma’ah akan bergerak di saat nama Ali Radhiyallahu anhu
diucapkan. Aku naik ke atas shauma’ah itu melalui atap masjid, ditemani
beberapa penduduk Bashrah. Pada satu sudutnya, terdapat sebuah pegangan pintu
itu, lalu berkata kepadanya, “Dengan hak kepala Amirul Mukminin Ali
Radhiyallahu anhu, bergeraklah!” Maka pegangan pintu itu menjadi bergetar dan
shauma’ah bergerak.
Aku memegang pegangan
pintu itu, lalu aku berkata, “Dengan hak kepala Abu Bakar Radhiyallahu anhu,
khalifahnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, bergeraklah!” maka
pegangan pintu itu menjadi bergetar dan seluruh bagian shauma’ah bergerak pula.
Mereka takjub dengan pemandangan yang dilihatnya ini. Penduduk Bashrah adalah
penganut madzhab Ahlus sunnah wal Jamaah. Dan apa yang aku katakan tadi bukan
sesuatu yang ganjil bagi mereka. Jika seseorang mengatakan hal yang sama di
makam Al-Husain, Hallah, Bahrain, Qum, Qasyan, Sawah, atau Thus, maka ia pasti
akan mendapati masalah besar dan celaka.” (Lihat Tuhfah
an-Nuzhar fi Gharaibil Amshar wa Ajaibil Asfar, Rihlah Ibnu Bathuthah,
Pustaka Al-Kautsar, Cet I, Maret 2012 [hal.202]).
Ibnu Bathuthah tahu betul kondisi ahlus sunnah (sunni) dan syi’ah pada masa
itu. Beliau juga tahu konflik yang terjadi antara keduanya, mengetahui
wilayah-wilayah yang didominasi oleh Syi’ah dan wilayah-wilayah yang didominasi
oleh ahlus sunnah. Pada kisah di atas Ibnu Bathuthah mengatakan bahwa
seandainya seseorang menyebut nama Abu Bakar atau memujinya di kota Hallah,
Bahrain, Qum, Qasyan, Sawah atau Thus yang kota-kota tersebut didominasi oleh
Syi’ah Rafidhah maka pasti orang itu akan mendapat masalah besar dan celaka.
0 komentar:
Posting Komentar