إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
Ironisnya,
gelar nasab ini seolah-olah menjadi kartu truf (andalan) yang akhirnya menjadi
dalil halalnya segala perbuatan yang mereka lakukan, baik perbuatan yang telah
jelas merupakan kemaksiatan, perbuatan bid’ah dalam agama, bahkan sampai
kesyirikan. Lalu bagaimanakah sebenarnya sikap Ahlussunnah terhadap tokoh
keturunan Nabi atau yang disebut dengan golongan Ahlul Bait? Berikut ini
pembahasannya oleh Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al-‘Abbad al-Badr hafizhahullah
dalam kitab Fadhl Ahli al-Bait wa ‘Uluww Makanatihim ‘Inda Ahli
as-Sunnah wa al-Jama’ah[1].
Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah terhadap Ahlul Bait secara Global
Akidah
Ahlussunnah wal Jama’ah adalah pertengahan antara ekstrim kanan dan ekstrim
kiri, antara berlebihan dan meremehkan dalam segala perkara akidah. Diantaranya
adalah akidah mereka terhadap ahlu bait Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
mereka berloyalitas terhadap setiap muslim dan muslimah dari keturunan Abdul
Muththalib, dan juga kepada para istri Rasul shallallahu’alaihi wa sallam
semuanya. Ahlus Sunnah mencintai mereka semua, memuji dan memposisikan mereka
sesuai dengan kedudukan mereka secara adil dan objektif, bukan dengan hawa
nafsu atau serampangan.
Mereka mengakui
keutamaan orang-orang yang telah Allah beri kemulian iman dan kemuliaan nasab.
Barangsiapa yang termasuk dari ahlul bait dari kalangan sahabat Rasulullah,
maka mereka (Ahlussunnah) mencintainya karena keimanan, ketaqwaan serta
persahabatannya dengan Rasul shallallahu’alaihi wa sallam.
Adapun mereka
(ahlul bait) selain dari kalangan sahabat, maka mereka mencintainya karena
keimanan, ketaqwaan, dan karena kekerabatannya dengan Rasul shallallahu’alaihi
wa sallam. Mereka berpendapat bahwa kemuliaan nasab itu mengikut kepada
kemuliaan iman. Barangsiapa yang diberi oleh Allah kedua hal tersebut, maka Dia
telah menggabungkan antara dua kebaikan. Dan barangsiapa yang tidak diberi
taufik untuk beriman, maka tidak bermanfaat sedikitpun kemuliaan nasabnya.
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling takwa diantara kamu”. (QS.
Al-Hujurat : 13)
Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam bersabda dalam akhir hadits yang panjang yang diriwayatkan oleh
Muslim dalam Shahihnya, No. 2699 dari Abu Hurairoh radliyallahu’anhu:
و من بطأ به عمله لم يسرع به نسبه
“Barangsiapa yang diperlambat oleh amal perbuatannya maka nasabnya
tidak bisa mempercepatnya.”
Al Hafizh Ibnu
Rajab rahimahullah berkata seraya menjelaskan hadits di atas dalam kitab
beliau Jami’ al ‘Ulum wa al-Hikam, hlm. 308: “Maknanya, bahwa amal
perbuatan itulah yang menjadikan seorang hamba sampai kepada derajat (yang
tinggi) di akhirat, sebagaimana firman Allah:
وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِّمَّا
عَمِلُوا وَمَارَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
“Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang)
dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. Al-An’am : 132)
Barangsiapa yang lambat amal ibadahnya untuk sampai kepada
kedudukan yang tinggi disisi Allah, maka nasabnya tidak bisa mempercepatnya,
untuk menyampaikannya kepada derajat tersebut. Sesungguhnya Allah menyediakan
pahala sesuai dengan amal perbuatan bukan karena nasab, sebagaimana firman
Allah:
فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ
فَلآ أَنسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلاَيَتَسَآءَلُونَ
“Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab
antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya.” (QS.
Al-Mukminun : 101)
Dan Allah ta’ala telah memerintahkan untuk bersegera menuju ampunan
dan rahmat-Nya dengan berbuat amal ibadah, sebagaimana firman-Nya:
}* وَسَارِعُوا إِلَى
مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَاْلأَرْضُ
أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ { 133} الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّآءِ
وَالضَّرَّآءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللهُ
يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ {134}
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhan-mu dan kepada
surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang
yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu
lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan
(kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali
‘Imron : 133-134)
Dan firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ هُم مِّنْ
خَشْيَةِ رَبِّهِم مُّشْفِقُونَ {57} وَالَّذِينَ هُم بِئَايَاتِ رَبِّهِمْ
يُؤْمِنُونَ {58} وَالَّذِينَ هُم بِرَبِّهِمْ لاَيُشْرِكُونَ {59} وَالَّذِينَ
يُؤْتُونَ مَآءَاتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
{60} أُوْلَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ {61}
“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan
(azab) Tuhan mereka, Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan
mereka, Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu
apapun), Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan
hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali
kepada Tuhan mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan
merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS.
Al-Mukminun : 57-61)
Kemudian beliau
(Imam Ibnu Rajab rahimahullah) menyebutkan dalil-dalil tentang anjuran
untuk beramal shalih, dan bahwasanya hubungan dekat dengan Rasul shallallahu’alaihi
wa sallam itu diperoleh dengan ketakwaan dan amal shalih. Lalu beliau
menutup pembahasan tersebut dengan hadits ‘Amr bin al-‘Ash radliyallahu’ahu
yang tercantum dalam Shahih Bukhori no.5990 dan Shahih Muslim no.215,
beliau berkata: “Yang menguatkan hal ini semua adalah apa yang tercantum
dalam Shahih Bukhori dan Muslim dari ‘Amr bin al-‘Ash radliyallahu’anhu,
bahwasanya dia mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya keluarga Abu Fulan bukan termasuk wali-wali (orang
terdekat) ku. Sesungguhnya waliku adalah Allah dan orang-orang yang shalih dari
orang-orang yang beriman.”
Ini mengisyaratkan bahwa kedekatan dengan Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam tidak bisa diraih dengan nasab, meskipun dia
adalah kerabat beliau. Akan tetapi, semuanya itu diraih dengan iman dan amal
shalih[2].
Barangsiapa yang lebih sempurna keimanannya dan amal shalihnya, maka dia
lebih agung kedekatannya dengan beliau, baik dia punya kekerabatan dengan
beliau atau tidak.
Hal ini senada dengan apa yang diucapkan oleh seorang
penyair:
Sungguh, tidaklah manusia itu (dimuliakan) melainkan dengan
agamanya
Maka janganlah engkau meninggalkan ketakwaan, dan hanya bersandar
kepada nasab
Sungguh, Islam telah mengangkat derajat Salman (al-Farisi) dari
Persia
Dan kesyirikan menghinakan Abu Lahab yang memiliki nasab (yang
tinggi).
Hal ini
berlainan dengan ahli bid’ah, mereka berlebihan terhadap sebagian ahlul bait.
Bersmaaan itu pula mereka berbuat kasar/jahat terhadap mayoritas para sahabat radliyallahu’anhum.
Diantara contoh sikap berlebihan mereka terhadap 12 imam ahlul bait, yakni Ali,
Hasan, Husain radliyallahu’anhum, dan 9 keturunan Husain adalah apa yang
tercantum dalam kitab al-Kafi oleh al-Kulaini[3] Bab: Bahwasanya Para
Imam Tersebut Mengetahui Kapan Mereka Akan Mati dan Tidaklah Mereka Mati
Melainkan Dengan Pilihan Mereka Sendiri, Bab: Bahwasanya Imam-Imam
‘alaihimussalam Mengetahui Apa Yang Telah Terjadi dan Apa yang Akan Terjadi,
dan Tidak Ada Sesuatupun yang Tersembunyi Bagi Mereka.
Dan sikap
berlebihan inipun dikatakan oleh tokoh kontemporer mereka, yaitu Khumaini dalam
kitabnya al-Hukumah al-Islamiyah (hlm.52 cetakan al-Maktabah
al-Islamiyah al-Kubra, Teheran): “Sesungguhnya diantara prinsip madzhab
kita, bahwasanya imam-imam kita memiliki kedudukan yang tidak bisa digapai oleh
malaikat yang dekat (dengan Allah) maupun Nabi yang diutus (oleh Allah)”.
Haramnya Mengaku-ngaku sebagai Keturunan Ahlul Bait
Semulia-mulia
nasab adalah nasab Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam. Dan
semulia-mulia penisbatan adalah kepada beliau shallallahu’alaihi wa sallam
dan kepada Ahli Bait, jika penisbatan itu benar. Dan telah banyak di kalangan
arab maupun non arab penisbatan kepada nasab ini. Maka barangsiapa yang
termasuk ahlul bait dan dia adalah orang yang beriman, maka Allah telah
menggabungkan antara kemuliaan iman dan nasab. Barangsiapa mengaku-ngaku
termasuk dari nasab yang mulia ini, sedangkan ia bukan darinya, maka dia telah
berbuat suatu yang diharamkan, dan dia telah mengaku-ngaku memiliki sesuatu
yang bukan miliknya. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Orang yang mengaku-ngaku dengan sesuatu yang tidak dia miliki maka
dia seperti pemakai dua pakaian kebohongan.” (HR. Muslim
dalam Shahihnya [no.2129] dari Hadits Aisyah radliyallahu’anha)
Disebutkan
dalam hadits-hadits shahih tentang keharaman seseorang menisbatkan dirinya
kepada selain nasabnya. Diantara hadits Abu Dzar radliyallahu’anhu,
bahwasanya ia mendengar Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Tidaklah seseorang menisbatkan kepada selain ayahnya sedang dia
mengetahui melainkan dia telah kufur kepada Allah. Dan barangsiapa yang
mengaku-ngaku sebagai suatu kaum dan dia tidak ada hubungan nasab dengan
mereka, maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.”[4] (HR.
al-Bukhori [no.3508] dan Muslim [no.112])
Dan dalam Shahih
al-Bukhori [no.3509] dari hadits Watsilah bin al-Asqa’zia berkata:
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Seungguhnya sebesar-besar kedustaan adalah penisbatan diri
seseorang kepada selain ayahnya atau mengaku bermimpi sesuatu yang tidak dia
lihat, atau dia berkata atas nama Rasulullah apa yang tidak beliau katakan”.[5]
[1] Diterjemahkan dan disarikan dari kitab Fadhl Ahli al-Bait wa ‘Uluww Makaanatihim ‘Inda Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah oleh Abdurrahman bin Thayyib as-Salafi. Sumber: Majalah Adz-Dzakiroh Vol. 8 No. 1 Edisi 43 Ramadhan-Syawal 1429 H. Kami hanya mengambil dua poin pembahasan dari tiga yang dibahas di sumber tersebut.
[2] Jadi, mereka yang mengaku sebagai keturunan Rasul shallallahu’alaihi
wa sallam tapi gemar berbuat kesyirikan, mengkultuskan kuburan-kuburan wali
yang telah mati, mengadukan shalawat-shalawat bid’ah dan syirik (Burdah,
Nariyah, Diba’, dll), rajin berbuat bid’ah (perayaan maulid, haul, tahlilan),
maka tidak bermanfaat pengakuan tersebut dan tidak perlu dihormati ataupun
disegani, pen.
[3] Tokoh ulama Syi’ah yang binasa pada tahun 329 H, yang dianggap
seperti imam Bukhori-nya Ahlussunnah, pen.
[4] Maka berhati-hatilah mereka yang memakan harta kaum muslimin
dengan cara batil dengan mengaku-ngaku sebagai keturunan rasul
shallallahu’alaihi wa sallam dan menjual akidah serta agama mereka.
Na’udzubillahi mindzalik. Pen
[5] Diringkaskan dari halaman 84-95
0 komentar:
Posting Komentar