إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
Nan Lurus, Sekilas Pandang Tarekat Bani Alawi). Tapi saya
tidak berani memastikan apakah semua yang ngaku ‘habib’ berarti keturunannya
Ali .
Tentang akidah
mereka, menurut penulis kitab Idaamul Quut fi Dzikri Buldaani Hadramaut,
yang juga ‘habib’, namanya Abdurrahman bin Ubeidillah Assegaf (wafat 1375 H),
dalam halaman 897 beliau mengatakan bahwa orang-orang Alawiyyin di Hadramaut
terbagi dalam tiga periode:
Periode Pertama
Sejak leluhur
mereka yang bernama Ahmad bin Isa Al Muhajir hingga Al Faqih Al Muqaddam. Al
Muhajir, yakni yang hijrah dari Irak ke Hadramaut dan menjadi cikal bakal
Alawiyyin di sana. Periode ini menurut beliau masih berpenampilan seperti para
sahabat dan memanggul senjata, singkatnya mereka masih berakidah Ahlussunnah
wal jama’ah.
Periode Kedua
Sejak Al Faqih
Al Muqaddam ke Al Aydrus. Al Faqih Al Muqaddam adalah tokoh mereka yang pertama
kali meletakkan senjata dan menganut tasawuf.
Periode Ketiga
Setelah Al
Aydrus hingga abad ketiga belas Hijriyah, yang telah terwarnai dengan tasawuf
tulen. Tidak tahu pasti kapan mereka mulai datang ke Indonesia, tapi yang jelas
mereka datang setelah terwarnai ajaran sufi, bukan membawa faham Ahlussunnah
yang murni, seperti yang diakui juga oleh Novel Alaydrus dalam bukunya tadi.
Dan sebagaimana
kita ketahui, tasawuf merupakan gerbang dari banyak aliran sesat dan sarat
dengan bid’ah khurafat. Oleh karenanya, setiap aliran sesat bisa saja menyusup
lewat tasawuf, lewat kedok cinta kepada ahlul bait, dan seterusnya. Sebagaimana
yang dilakukan oleh syi’ah. Apalagi ada kemiripan antara tarekat Bani Alawi
dengan syi’ah, yaitu keduanya sama-sama mengajarkan umat untuk cinta kepada
Ahlul Bait (baca: menyanjung para habaib) dengan cium tangan kepada mereka,
menghadiri acara haul mereka, dan sebagainya. Ini jelas suatu kemaslahatan yang
akan mereka pertahankan, dan sedikit banyak cocok dengan ajaran syi’ah yang
juga mengultuskan ahlul bait.
Makanya tidak
heran jika banyak dari dedengkot-dedengkot syi’ah baik nasional maupun
internasional berasal dari mereka. Contohnya Hussein Al Habsyi asal Bangil (dia
sudah binasa, bukan yang buta dan pernah dipenjara itu), dia pernah langsung
baiat dengan Khomeini, dan pendiri YAPI, salah satu organisasi syiah tertua di
Indonesia. Demikian pula Quraisy Shihab, Haidar Bagir, dll. Mereka juga dari
kalangan Habaib.
Menyedihkan
memang, tatkala orang yang mengaku anak cucu Rasulullah justru menjadi musuh
ajaran beliau. Bukannya mereka menghidupkan sunnah-sunnah Nabi, namun justru
melestarikan bid’ah khurafat di masyarakat. Saya rasa sebab dari ini semua
adalah hawa nafsu dan kepentingan duniawi, mereka khawatir kehilangan pamor di
masyarakat kalau meninggalkan ajaran leluhurnya, mengingat sikap mereka yang
sangat eksklusif dalam menjaga nasab dan tradisi. Bahkan karena eksklusivisme
inilah akhirnya berdiri Yayasan Al Irsyad sebagai tandingan atas Jami’at Khair
yang mereka dirikan.
Al Irsyad
berdiri sebagai gerakan pembaharuan atas pemikiran-pemikiran kolot yg mereka
tanamkan di masyarakat Indonesia, baik yang pribumi maupun keturunan Arab. Di
antara pemikiran tersebut ialah tidak bolehnya seorang wanita ‘alawiyah dinikahi
oleh pria yang bukan ‘alawi, walaupun ia orang Arab. Tentu ini bukan ajaran
Islam, tapi fanatisme jahiliyah yang harus direformasi, sebab Nabi sendiri
menikahkan dua orang puterinya (Ruqayyah & Ummu Kultsum) kepada Utsman bin
Affan yang notabene adalah Bani Umayyah, bukan Ahlul Bait, Kemudian Ali bin Abi
Thalib menikahkan puterinya yang bernama Ummu Kultsum (yang berasal dari
Fatimah radhiyallahu 'anha) kepada Umar bin Khatthab yang bukan dari
Bani Hasyim, namun dari Bani Adiy, dan masih banyak lagi contoh lainnya. Dari
sinilah akhirnya muncul dua kubu: Habaib dan Masyayikh. Habaib dengan tradisi
tasawufnya, sedangkan Masyayikh (non Habaib) dengan gerakan pembaharuannya,
seperti Al Irsyad.
Memang bisa
dibilang 99% dari para habaib tadi yang tinggal di Indonesia adalah penganut
tarekat (sufi). Itu karena mereka sangat terikat dengan tradisi keluarga yang
kolot tadi. Tapi beda dengan kondisi mereka yang terpelajar dan ingin membuka
fikirannya, atau mereka yang tinggal di Malaysia, Saudi, atau negara-negara
maju, mereka tidak lagi terikat dengan tradisi kolot tersebut sehingga banyak
yang kembali menjadi salafi, atau paling tidak bukan sufi lagi.
Tentang
taqiyyah, saya tidak berani memastikan bahwa mereka bertaqiyyah seperti orang
syi’ah, karena mayoritas mereka bukan syi’ah namun sufi, dan sufi masih berbeda
dengan syi’ah karena kaum sufi masih menghargai para sahabat dan tabi’in,
bahkan terkadang mengkeramatkan kuburan mereka. Ini jelas berbeda dengan
keyakinan syi’ah yang mengkafirkan para sahabat tadi. Tapi kalau sudah
diindikasikan syi’ah, ya siapa pun orangnya pasti akan bertaqiyyah, terlepas
dari habib-kah dia atau bukan.
Demikian
penjelasan ana, semoga membantu, wallaahu ta’aala a’lam.
Dikutip dari
sesi tanya jawab dalam artikel yang berjudul Hegemoni Syi'ah: http://muslim.or.id/ manhaj/hegemoni-syiah.html
0 komentar:
Posting Komentar