إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
Oleh : Ustadz Aris Munandar
Jika Muhammadiyah terkenal dengan keputusan
Majelis Tarjih maka saudara kita Nahdhiyyin terkenal dengan keputusan Bahtsul
Masail. Keputusan Bahtsul Masail yang paling bergengsi di NU tentu adalah hasil
Bahtsul Masail di muktamar NU. Berikut ini saya kutipkan fatwa resmi NU yang
telah menjadi keputusan resmi muktamar NU.
Teks arab dan terjemahnya saya memakai yang
terdapat dalam buku Ahkam al Fuqaha’ fi Muqarrati Mu’tamarat Nahdhatil Ulama’,
Kumpulan Masalah-Masalah Diniyah dalam Muktamar NU ke-1 s/d 15 yang
diterbitkan oleh Pengurus Besar Nahdhatul Ulama dan Penerbit CV Toha Putra
Semarang.
Buku ini disusun dan dikumpulkan oleh Kyai Abu
Hamdan Abdul Jalil Hamid Kudus, Katib II PB Syuriah NU dan dikoreksi ulang oleh
Abu Razin Ahmad Sahl Mahfuzh Rais Syuriah NU.
Seluruh fatwa yang ada di buku tersebut sudah
dikoreksi oleh tokoh-tokoh Nahdhatul Ulama antara lain J.M (Yang Mulia -ed)
Rois Aam, K.H. Abdul Wahab Khasbullah, J.M. K.H. Bisyri Syamsuri, Ustadz Muhammad
al Kariem Surakarta, K.H. Zubair Umar, Djailani Salatiga, Ustadz Adlan Ali, K.H.
Chalil Jombong dan K.H. Sujuthi Abdul Aziez Rembang.
Pada buku di atas tepatnya pada juz kedua yang
berisi hasil keputusan Muktamar NU kedelapan yang diadakan di Batavia (Jakarta)
pada tanggal 12 Muharram 1352 H atau 7 Mei 1933 H pasnya pada halaman 8-9
tercantum fatwa yang merupakan jawaban pertanyaan yang berasal dari Surabaya
sebagai berikut:
135: ما حكم خروج المرأة لأجل المعاملة مكشوفة الوجه والكفين
والرجلين هل هو حرام أو لا؟ وإن قلتم بالحرمة فهل هناك قول بجوازه لأنه من الضرورة
أو لا؟ (سورابايا)
135. Soal: Bagaimana hukumnya keluarnya wanita
akan bekerja dengan terbuka muka dan kedua tangannya? Apakah haram atau makruh?
Kalau dihukumkan HARAM, apakah ada pendapat
yang menghalalkan? Karena demikian itu telah menjadi darurat ataukah tidak?
(Surabaya).
ج: يحرح خروجها لذلك
بتلك الحالة على المعتمد والثاني يجوز خروجها لأجل المعاملة مكشوفة الوجه والكفين
إلى الكوعين. وعند الحنفية يجوز ذلك بل مع كشف الرجلين إلى الكوعين إذا أمنت الفتنة.
Jawab: Hukumnya wanita keluar yang demikian itu
haram, menurut pendapat yang mu’tamad, menurut pendapat lain boleh wanita
keluar untuk jual beli dengan terbuka muka dan kedua telapak tangannya, dan
menurut Mazhab Hanafi, demikian itu boleh bahkan dengan terbuka kakinya (sampai
mata kaki -ed) apabila tidak ada fitnah.
(Keterangan dari kitab Maraqhil-Falah Syarh
Nurul-Idhah dan Kitab Bajuri Hasyiah Fatkhul Qarib [jilid II Bab
Nikah]).
Terjemahannya adalah sebagaimana yang terdapat
dalam buku di atas. Dalam fatwa resmi NU di atas, para ulama NU mengakui adanya
perselisihan dalam Mazhab Syafi’i tentang batasan aurat yang boleh dinampakkan
oleh seorang wanita ketika keluar rumah. Pendapat yang benar (baca: mu’tamad)
dalam Mazhab Syafi’i -ditimbang oleh kaedah mazhab- adalah pendapat yang
mengatakan bahwa seluruh badan muslimah itu wajib ditutupi ketika hendak keluar
rumah. Pendapat inilah yang dipilih dan difatwakan oleh NU. Sedangkan pendapat
yang membolehkan untuk membuka wajah dan kedua telapak tangan bagi muslimah
adalah pendapat yang lemah dalam Mazhab Syafi’i.
Anehnya saat ini pendapat yang mu’tamad dalam
mazhab berubah seakan-akan pendapat yang lemah dalam mazhab. Lebih parah lagi
ketika ada orang yang mengamalkan pendapat yang mu’tamad dalam Mazhab Syafi’i
malah dituduh dengan berbagai tuduhan keji.
Untuk melengkapi fatwa di atas saya kutipkan
fatwa no.265 yang ada di juz kedua hal.132 yang merupakan keputusan Muktamar NU
yang ke-15:
265: هل يجوز لنا أن
نستدل بقولهم: الضرورة تبيح المحظورات أو قولهم: وإذا ضاق الأمر اتسع في جواز خروج
النساء كاشفات عوراتهن عند الأجانب لما عمت البلوي في إندونيسيا أو لا؟ (فاكر عالم)
265. Soal: Apakah boleh kita mengambil dalil
dengan Qoidah: dharurat itu memperbolehkan mengerjakan larangan atau Qoidah:
apabila urusan itu sempit maka menjadi longgar untuk memperbolehkan keluarnya
perempuan dengan membuka auratnya di samping lelaki lain karena telah menjadi
biasa di Indonesia ataukah tidak? (Pagaralam).
ج: لا يجوز ذلك لأن
ستر العورة للنساء في إندونيسيا وقت الخروج لا يؤدي إلى الهلاك أو ما يقاربه لأن
الضرورة التي تبيح المحظورات هي التي أدت إلى الهلاك أو قارب. كما في الأشباه و
النظائر و نصه:فالضرورة بلوغه حدا إن لم يتناول الممنوع هلك أو قارب أهـ.
Jawab: Tidak boleh menggunakan dalil tersebut
karena menutup aurat waktu keluar (rumah -ed) itu tidak membahayakan diri
karena darurat yang memperbolehkan menjalankan larangan itu apabila tidak
mengerjakan larangan dapat membahayakan diri atau mendekati bahaya.
(Keterangan dari kitab Asybah wan Nazair).
Cadar dalam Kitab-Kitab NU
Yang dimaksud dengan kitab-kitab NU di sini
adalah kitab-kitab yang sering dikaji oleh saudara-saudara kita yang
berafiliasi kepada NU.
Di antara buku yang terkenal di kalangan NU
adalah kitab Safinatun Najah
yang maknanya adalah ‘perahu keselamatan’. Buku ini adalah buku pemula bagi
orang yang hendak belajar fikih Syafi’i. Buku ini ditulis oleh Salim bin Sumir
al Hadhrami -berasal dari Hadramaut Yaman- namun beliau meninggal di Jakarta.
Ketika membahas tentang aurat, penulis
mengatakan:
فصل: العورات أربع:
الرجل مطلقا والأمة في الصلاة ما بين السرة والركبة.
“Fasal (tentang aurat) : Aurat itu ada empat
macam:
Pertama, aurat laki-laki dalam semua keadaan dan aurat
budak perempuan adalah bagian badan antara pusar dan lutut.
وعورة الحرة في الصلاة
جميع بدنها ما سوي الوجه والكفين.
Kedua, aurat perempuan merdeka (baca: bukan budak)
ketika shalat adalah seluruh badannya kecuali wajah dan kedua telapak
tangannya.
وعورة الحرة والأمة
عند الأجانب جميع البدن.
Ketiga, aurat perempuan merdeka
dan budak perempuan yang harus ditutupi ketika bersama dengan laki-laki ajnabi
(bukan mahrom) adalah seluruh anggota badannya.
وعند محارمهما والنساء
ما بين السرة والركبة.
Keempat, aurat perempuan merdeka dan budak perempuan
yang harus ditutupi ketika bersama dengan laki-laki yang berstatus mahrom
dengannya adalah bagian badan antara pusar dan lutut”
(Safinatun Najah yang dicetak Nurud
Duja -terjemah Safinatun Najah dalam bahasa Jawa- [hal.58-59], terbitan
Menara Kudus tanpa tahun).
Tegas dalam kutipan di atas bahwa menurut
penulis Safinatun Najah seorang perempuan merdeka harus menutupi seluruh
tubuhnya (termasuk mata) tanpa terkecuali ketika bertemu dengan laki-laki
ajnabi baik di rumah, di warung, di pasar ataupun di sekolah.
Sebagaimana yang ditegaskan oleh Kyai Asrar bin Ahmad bin Khalil Wonosari Magelang
dalam Nurud
Duja fi Tarjamah Safinatun Najah. Terjemah Safinatun Najah
dalam bahasa ini diberi kata pengantar oleh penerjemahnya pada tanggal 17
Sya’ban 1380 H atau 1 Januari 1961 M dan diberi kata sambutan oleh Kyai
Muhammad Baidhawi bin Abdul Aziz Lasem pada tanggal 27 Jumadil Akhir 1380 H
atau 16 Desember 1960 M dan Kyai Bisri Mushthofa Rembang pada 28 Jumadil Akhir
1380 H atau 17 Desember 1960 M.
Di halaman 59, Kyai Asrar pada komentar no.3
mengatakan, “Nomer telu: aurate wadon merdeka lan amah
naliko sandingan karo wong lanang liya yo iku sekabehane badan”. Yang
artinya dalam bahasa Indonesia, “Macam aurat nomer ketiga adalah aurat perempuan
merdeka dan budak perempuan ketika berada di dekat laki-laki ajnabi adalah
seluruh badannya”.
Penjelasan penulis Safinatun Najah dan
Kyai Asror dari Wonosari Magelang tersebut tidaklah bisa dipraktekkan kecuali
jika para perempuan memakai burqoh atau
cadar yang menutupi seluruh badan
termasuk mata. Kalau sekedar cadar yang masih menampakkan kedua mata masih
dinilai kurang sesuai dengan penjelasan di atas.
Yang sangat disayangkan mengapa belum pernah
saya jumpai saudara-saudara kita para mbah romo kyai NU yang menerapkan aturan
ini pada istrinya (baca: bu Nyai) atau pada anak-anaknya. Belum pernah juga saya
jumpai warga Nahdhiyyin yang menerapkan kandungan kitab Safinatun Najah
ini padahal mereka sangat sering mengkaji kitab ini.
Mengapa realita berlainan
dengan teori di kitab? Adakah belajar agama itu sekedar wawasan bukan untuk
diamalkan?
Semoga
Allah selalu menuntun langkah-langkah kita menuju ilmu manfaat dan amal shalih
yang berlandaskan ilmu yang benar.
Syarh ‘Uqud al Lajjiin fi Bayan Huquq al
Jauzain karya Syarh Muhammad bin Umar Nawawi al Jawi
adalah buku wajib santri NU yang ingin mewujudkan keluarga sakinah dalam rumah
tangganya. Di dalamnya terdapat beragam nasihat untuk suami dan istri sehingga
buku ini “wajib”
dikaji oleh santri atau santriwati yang hendak menikah.
Sebatas pengetahuan saya penulis matan Uqud al
Lajjiin yang bermakna untaian perak adalah anonim alias tidak
diketahui secara pasti.
Di antara yang menarik di buku ini adalah
bahasan tentang aurat wanita muslimah menurut penulis matan dan pen-syarah-nya.
Di halaman ke-3 baris ke-7 dari atas menurut
cetakan dari penerbit Syarikah an Nur Asia (tanpa dicantumkan tahun terbit dan
alamat penerbit) disebutkan sebagai berikut:
(الفصل الثاني في)
بيان (حقوق الزوج) الواجبة (على الزوجة) و هي طاعة الزوج في غير معصية وحسن
المعاشرة وتسليم نفسها إليه وملازمة البيت وصيانة نفسها من أن توطيء فراشه غيره و
الاحتجاب عن رؤية أجنبي لشيء من بدنها ولو وجهها وكفيها إذ النظر إليهما حرام ولو
مع اتفاء الشهوة والفتنة …
“(Fasal kedua itu berisi) penjelasan (mengenai
hak-hak suami) yang menjadi kewajiban (istri). Hak-hak tersebut adalah:
1. Mentaati
suami selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat
2. Memperlakukan
suami dengan baik
3. Menyerahkan
dirinya kepada suami (jika suami mengajak untuk berhubungan badan -pent)
4. Betah di
rumah
5. Menjaga
diri jangan sampai ada laki-laki selain suaminya berada di tempat tidur suaminya
6. Berhijab
sehingga tidak ada satupun bagian
tubuhnya yang terlihat oleh laki-laki ajnabi termasuk di antaranya adalah wajah
dan kedua telapak tangannya karena adalah haram hukumnya
seorang laki-laki melihat wajah dan telapak tangannya meski pandangan tersebut
tanpa diiringi syahwat dan tidak dikhawatirkan adanya pihak-pihak yang
tergoda…”
Catatan:
Yang ada di dalam kurung adalah perkataan
penulis matan. Sedangkan yang diluar dalam kurung adalah perkataan Syaikh
Muhammad bin Umar an Nawawi al Bantani, pensyarah matan Uqud al Lajjiin.
Di halaman 17 baris ke-9 dari bawah penulis
matan berkata sebagaimana berikut ini:
(فيجب علي المرأة إذا
أرادت الخروج أن تستر جميع بدنها ويديها من أعين الناظرين)
“Wajib atas perempuan muslimah jika hendak
keluar rumah untuk menutupi semua badannya termasuk kedua telapak tangannya
agar tidak terlihat mata para laki-laki yang melihat dirinya”.
Berdasarkan dua kutipan di atas jelaslah bahwa wajibnya
seorang muslimah menutup seluruh badannya ketika bertemu lelaki ajnabi adalah pendapat
penulis matan Uqud al Lajjain sebagaimana dalam kutipan kedua, sekaligus
pendapat Syaikh Muhammad bin Umar al Jawi sebagaimana dalam kutipan pertama.
Bahkan di halaman 18 baris ke-9 dari bawah an
Nawawi al Jawi al Bantani mengklaim adanya ijma’ amali (kesepakatan secara
praktek nyata) bahwa muslimah itu bercadar ketika berada di luar rumah. Beliau
mengatakan,
إذ لم يزل الرجال على
ممر الزمان مكشوفي الوجوه والنساء يخرجن متنقبات
“Tidak henti-henti sepanjang zaman (umat Islam,
pent) bahwa laki-laki itu keluar rumah dalam keadaan tidak bercadar sedangkan kaum wanita itu bercadar jika mereka keluar dari rumah”.
Jadi umat Islam tidak pernah mengenal dan tidak
pernah tercatat dalam sejarah umat Islam sampai masa Syaikh Muhammad bin Umar
an Nawawi al Jawi al Bantani adanya seorang wanita muslimah yang bukan budak
keluar rumah dalam keadaan wajahnya terbuka.
Sungguh sangat aneh jika ada kaum nahdhiyyin yang lupa bahwa bercadar bagi wanita
adalah ajaran resmi nahdhiyyin sebagaimana
yang terdapat dalam kitab-kitab dasar yang diajarkan kepada santri pemula dan
orang-orang awam. Bahkan beranggapan bahwa cadar bagi muslimah hanya sekedar
budaya Arab Saudi dan tidak ada dalam ajaran Islam. Memang benar, ilmu itu akan
terjaga jika di amalkan bukan hanya sekedar diteorikan.
Di antara kitab dasar untuk belajar fiqh Syafi’i
adalah Matan al
Taqrib atau Matan Abi Syuja’ karya Ahmad bin al
Husain yang terkenal dengan sebutan Abu Syuja’.
Syarh ringkas untuk matan Abi Syuja’ yang umum dipakai dan dipegang oleh para
ustadz atau kyai NU adalah buku yang berjudul Fath al Qorib al Mujib karya Syaikh
Muhammad bin Qasim al Ghazzi.
Ketika membahas syarat-syarat sah shalat dalam Fath al
Qorib al Mujib hal.13 disebutkan sebagai berikut:
(و)الثاني (ستر) لون (العورة) عند القدرة ولو كان الشخص خاليا أو في ظلمة
فإن عجز عن سترها صلى عاريا ولا يومئ بالركوع والسجود بل يتمهما ولا إعادة عليه.
“(Dan) syarat sah shalat yang kedua adalah
(menutupi) warna kulit dari (aurat) ketika memungkinkan meski sendirian atau
pun shalat dikerjakan di dalam kegelapan. Jika seorang itu tidak mampu menutupi
auratnya ketika hendak shalat hendaknya dia tetap shalat meski dalam kondisi
telanjang. Ruku dan sujud ketika shalat dalam kondisi telanjang tidaklah
dilakukan dengan isyarat namun dikerjakan secara sempurna sebagaimana dalam
kondisi normal. Shalat yang dikerjakan dalam kondisi telanjang karena tidak
memungkinkan itu sah sehingga tidak perlu diulangi ketika kondisi normal.
ويكون ستر العورة
(بلباس طاهر)
Pakaian yang dipergunakan untuk menutup aurat
haruslah (pakaian yang suci).
ويجب سترها أيضا في
غير الصلاة عن الناس وفي الخلوة إلا لحاجة من اغتسال ونحوه.
Wajib hukumnya menutupi aurat meski di luar
shalat dari pandangan orang. Demikian pula wajib menutupi aurat meski sendirian
kecuali ketika ada keperluan semisal mandi.
وأما سترها عن نفسه
فلا يجب لكنه يكره نظره إليها.
Adapun menutupi aurat sehingga tidak terlihat
oleh diri sendiri itu tidak wajib namun makruh hukumnya memandangi aurat
sendiri.
وعورة الذكر ما بين
سرته وركبته وكذا الأمة.
Aurat laki-laki adalah antara pusar sampai
lutut. Demikian pula aurat budak perempuan.
وعورة الحرة في الصلاة
ما سوي وجهها وكفيها ظاهرا وباطنا إلى الكوعين.
Aurat wanita merdeka di dalam shalat adalah
seluruh badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangan baik bagian atas
ataupun bagian dalam telapak tangan hingga pergelangan tangan.
وأما عورة الحرة خارج
الصلاة فجميع بدنها.
Sedangkan aurat wanita
merdeka di luar shalat adalah seluruh badannya.
وعورتها في الخلوة
كالذكر.
Aurat perempuan merdeka ketika sendirian adalah
sebagaimana aurat laki-laki.
والعورة لغة النقص
Dalam bahasa Arab, aurat artinya adalah
kekurangan.
وتطلق شرعا على ما يجب
ستره وهو المراد هنا وعلى ما يحرم نظره وذكره الأصحاب في كتاب النكاح.
Sedangkan secara syariat memiliki dua
pengertian a.) Bagian tubuh yang wajib ditutupi dan itulah yang dimaksud dengan
aurat dalam topik bahasan ini b.) Bagian tubuh yang haram dipandangi oleh orang
lain. Aurat dengan makna kedua ini disebutkan oleh para ahli fikih dalam bab
nikah”.
Catatan:
Yang ada di dalam kurung adalah perkatan
penulis matan Abi Syuja’. Sedangkan yang berada di luar tanda kurung adalah
perkataan penulis Fath al Qorib al Mujib.
Jelaslah dari kutipan di atas bahwa penulis
kitab Fath al
Qorib al Mujib yang merupakan syarah ringkas untuk Matan Abi
Syuja’ berpendapat bahwa muslimah itu wajib bercadar secara sempurna
sehingga matanya sekalipun tidak terlihat. Demikian pula telapak kaki adalah
aurat yang wajib ditutupi. Namun mengapa kita tidak pernah melihat ibu-ibu atau
mbak-mbak dari Muslimat NU yang memakai kaos kaki atau cadar -misalnya- dalam
rangka menutupi aurat.
Dalam kutipan di atas juga terdapat pelajaran
penting tentang syarat pakaian muslim dan muslimah. Syarat sebuah pakaian
adalah bisa menutupi warna kulit orang yang memakainya alias tidak tembus
pandang (baca: transparan). Sehingga pakaian yang ‘nrawang’ sehingga terlihat
dan diketahui apa warna kulit pemakainya misal kuning atau sawo matang,
bukanlah pakaian yang memenuhi kriteria.
0 komentar:
Posting Komentar