إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
rang siapa berdakwah tanpa memakai
asas-asas dakwah para rasul maka dakwah itu tidak bernilai sama sekali di sisi
Allah dan menjadikan daya upaya yang dicurahkan padanya sia-sia.
Di antara jama’ah-jama’ah dakwah yang
menyelisihi manhaj (metode) para rasul adalah Hizbut Tahrir yang
mengonsentrasikan dakwahnya untuk merebut kekuasaan dan mendirikan Khilafah
Islamiyyah (negara Islam –versi mereka-) dan mengabaikan sisi-sisi penting dari
syari’at Islam seperti aqidah, akhlak, dan yang lainnya.
Sejarah
Pendirian Hizbut Tahrir
Kelompok ini didirikan oleh Taqiyddin
bin Ibrahim an-Nabhani. Beliau dilahirkan tahun 1909 M di desa Ijzam yang
terletak di sebelah selatan Kota Jifa, Yordania. Dia banyak terpengaruh oleh
kakeknya, Yusuf Isma’il an-Nabhani yang dikenal dengan pemikiran sufinya dan
permusuhannya kepada Salafush Shalih sebagaimana di dalam banyak tulisan-tulisannya
seperti Syawahidul Haqqi fi Istighatsah
Bisayyidil Khalqi.
Pada tahun 1952 beliau mengajukan
permohonan resmi kepada Kementerian Dalam Negeri Yordania untuk mendapatkan
izin bagi partainya yang bernama Hizbut Tahrir al-Islami, tetapi permohonannya
ditolak.
Sesudahnya, kelompok Hizbut Tahrir
melakukan aktivitas politik secara rahasia (sembunyi sembunyi).
Taqiyuddin an-Nabhani meninggal pada
tanggal 10 Desember 1977 di Lebanon dengan meninggalkan karangan yang cukup
banyak dan menjadi referensi acuan gerakan dan pemikiran Hizbut Tahrir, di
antaranya :
o
Nizhamul Islam (Peraturan Hidup dalam Islam)
o
Nizhamul Hukmi fil Islam (Sistem Pemerintahan Islam)
o
Nizhamul Iqtishadi fil Islam (Sistem Ekonomi Islam)
o
Nizhamul Ijtima’i fil Islam (Sistem Pergaulan dalam Islam)
o
At-Takattul Hizbi (Pembentukan Partai)
o
Asy-Syakhshiyah al-Islamiyyah (Kepribadian Islam)
o
Nida’ul Har ila Alamil Islami (Seruan kepada Dunia Islam)
o
dan
beberapa kitab lainnya.
Kitab-kitab diatas banyak sekali menyelisihi
pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan terpengaruh oleh filsafat Mu’tazilah
(lihat al-Jama’at al-Islamiyyah [hlm.282]
dan Mausu’ah al-Muyassarah [hlm.344]).
Rasionalisme
Hizbut Tahrir
Merupakan hal yang dimaklumi bahwa
sumber kesesatan dari setiap kelompok bid’ah adalah karena mereka meninggalkan
Sabilil Mukminin yaitu jalan para sahabat di dalam memahami dan mengamalkan
Islam.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ
مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barang siapa yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam neraka Jahanam, itulah
seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. an-Nisa : 115).
Kalimat (Sabiilul mu’miniin) artinya
adalah jalan orang-orang mukmin, yang pertama kali masuk dalam makna ini adalah
para sahabat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam sabda beliau :
“Dan sesungguhnya umatku ini akan
berpecah belah menjadi 73 kelompok, semuanya di neraka kecuali satu kelompok,
ia adalah al-Jama’ah.”
Di dalam riwayat lain, “Ia adalah jalan
yang aku tempuh dan para sahabatku.” [1]
Dari sinilah jelas bagi kita bahwa biang
keladi kesesatan semua kelompok dalam Islam sejak dahulu sampai sekarang, yaitu
bahwasanya mereka tidak menghiraukan ayat dan hadits-hadits di atas sehingga
mereka menyeleweng dari jalan yang lurus dan memilih jalan-jalan yang sesat.
Mereka mengandalkan akal dan pemikiran
mereka tanpa merujuk kepada pemahaman sahabat dan ulama yang mengikuti jalan
mereka. Padahal, jalan keselamatan adalah manhaj para sahabat dan as-salaf
ash-shalih yaitu orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Kelompok Hizbut Tahrir di dalam memahami
Islam secara terang-terangan meninggalkan pemahaman para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
menggantinya dengan pemahaman pemimpin pertama mereka dan pendiri kelompok
mereka yaitu Taqiyuddin an-Nabhani yang banyak terpengaruh oleh pemikiran Mu’tazilah.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata: “Dari sini kita meletakkan satu titik dalam
dakwah Hizbut Tahrir bahwasanya mereka terpengaruh oleh Mu’tazilah dalam dasar
pijakan mereka mengenai jalan keimanan (thariqul iman).
Jalan keimanan (thariqul iman) ini
adalah sebuah judul pembahasan mereka (HT) yang terdapat dalam kitab Nizhamul
Islam yang dikarang oleh pemimpin mereka, yaitu Taqiyuddin an-Nabhani
rahimahullah.
Saya (Syaikh al-Albani) pernah
berjumpa dengannya (Taqiyuddin an-Nabhani) beberapa kali. Saya mengenalnya
dengan baik dan mengenal dengan sangat baik jalan yang ditempuh oleh Hizbut
Tahrir. Karena itu, Insya Allah saya berbicara berdasarkan ilmu tentang segala
hal yang dakwah mereka tegak di atasnya.” [2]
Taqiyuddin an-Nabhani berkata di dalam
kitabnya, Nizhamul Islam hlm.10 :
“Dan berdasarkan atas hal itu maka
iman kepada Allah adalah datang dari jalan akal, dan tidak boleh tidak bahwa
iman ini terjadi dari jalan akal. Maka adalah dengan hal itu tonggak utama yang
berdiri di atasnya keimanan kepada seluruh perkara-perkara gaib dan semua yang
Allah kabarkan kepada kita.”
Hizbut Tahrir berkata di dalam kitab
mereka Nidaun Harrun ilal Muslimin min
Hizbut Tahrir dari website resmi mereka :
“Maka Islam sebagai pemikiran-pemikiran
maka asasnya adalah akal.”
Demikianlah, Hizbut Tahrir banyak
terpengaruh dengan kelompok Mu’tazilah yang merupakan pionir semua kelompok
rasionalis dalam Islam.
Mu’tazilah menjadikan akal sebagai hakim
secara mutlak.
Mereka mempromosikan akal setinggi-tingginya, sebagaimana sering terungkap dalam perkataan gembong-gembong mereka berikut ini:
Mereka mempromosikan akal setinggi-tingginya, sebagaimana sering terungkap dalam perkataan gembong-gembong mereka berikut ini:
o
Al-Qadhi
Abdul Jabbar menyebutkan urutan dalil-dalil syar’i menurutnya, “Yang pertama adalah akal, karena dengannya
bisa dibedakan baik dan buruk, dan dengan akallah diketahui bahwa Kitab adalah
hujjah, demikian juga sunnah dan ijma” (Fadhlul
I’tizal [hlm.139]).
o
Amr
bin Ubaid [3] menyebut hadits Shadiqul Mashduq dan berkomentar, “Seandainya aku mendengar hadits ini
langsung dari A’masy pasti akan kudustakan, seandainya aku mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya pasti akan kutolak! Dan seandainya
aku mendengar Allah mengatakannya maka akan kukatakan, ‘Bukan atas ini Engkau
mengambil mitsaq (perjanjian) dari kami.”
o
Az-Zamakhsyari
berkata, “Berjalanlah dalam agamamu di
bawah panji akal, jangan engkau merasa cukup dengan riwayat dari Fulan dan
Fulan.” (Athwaqu Dzahab fil Mawaizh
wal Khuthab [hlm.28]).
Demikianlah kaum rasionalis. Mereka
menjadikan akal semata sebagai sumber ilmu mereka, mengagungkan akal, dan
menjadikan iman dan al-Qur’an tunduk di bawah akal. (Majmu Fatawa Syaikhul Islam [5/338]).
Syubhat mereka ini telah dikikis habis
dan dihancurkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam kitabnya yang agung yang berjudul Dar’u Ta’arudh al-‘Aql wan Naql yang
tersusun dalam 10 jilid, kemudian diringkas oleh muridnya al-Allamah Ibnul
Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Shawa’iq Mursalah yang tersusun dalam
dua jilid.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya tersebut 54 argumen dalam
membantah syubhat mereka ini, diantaranya:
o
Perkataan
mereka bahwa akal adalah landasan naql adalah batil karena apa yang dikabarkan
oleh Allah dan Rasul-Nya adalah shahih dari dirinya, entah kita ketahui dengan
akal kita atau tidak kita ketahui, entah dibenarkan oleh manusia atau
didustakan oleh mereka, sebagaimana Rasulullah adalah haq meskipun didustakan
oleh manusia, dan sebagaimana wujud Allah dan keberadaan nama-nama dan sifat-sifat-Nya
adalah haq, entah akal kita mengetahui atau tidak.
o
Mendahulukan
akal atas naql adalah cela pada akal dan naql sekaligus, karena akal telah
bersaksi bahwa wahyu lebih tahu dibandingkan akal. Jika hukum akal didahulukan
atas hukum wahyu maka itu adalah cela pada persaksian akal, jika persaksiannya
batal maka tidak boleh diterima ucapannya, maka mendahulukan akal atas wahyu
adalah cela pada akal dan wahyu sekaligus.
o
Syari’at
diambil dari Allah dengan perantaraan malaikat dan Rasul-Nya, dengan membawa
ayat-ayat, mukjizat-mukjizat, dan bukti-bukti atas kebenarannya, hal ini diakui
oleh akal. Lalu bagaimana perkataan Allah pencipta semesta alam ditentang
dengan pemikiran-pemikiran Plato, Aristoteles, Ibnu Sina dan pengikut-pengikut
mereka? Bagaimana bisa perkataan seorang Rasul ditentang dengan perkataan
filosof, padahal filosof wajib mengikuti Rasul, bukan Rasul yang mengikuti
filosof, karena Rasul diutus oleh Allah, dan filosof adalah umatnya. [4]
Diantara
Kesesatan Hizbut Tahrir
1.
Hizbut
Tahrir Menolak Hadits Ahad dalam Masalah Aqidah
Hizbut Tahrir termasuk kelompok Inkarus
Sunnah, mereka menolak hadits-hadits Ahad di dalam masalah aqidah, mereka
berkata di dalam kitab ad-Dusiyah
hlm. 3,
“Terdapat perbedaan antara
hukum-hukum syariat dan perkara-perkara aqidah dari sisi dalil. Hukum-hukum
syar’iyyah boleh ditetapkan dengan dalil zhanni dan boleh dengan dalil qath’i
kecuali aqidah, karena harus ditetapkan dengan dalil qath’i tidak boleh
ditetapkan dengan dalil zhanni sedikitpun. Aqidah tidak boleh diambil melainkan
harus dengan dalil yakin, apabila dalilnya qath’i maka wajib diimani dan
mengingkarinya adalah kafir, namun jika dalilnya zhanni maka haram bagi tiap
muslim mengimaninya, maka wajib menetapkan aqidah dengan dalil qath’i…“
Hizbut Tahrir berkata di dalam kitab ad-Dusiyah hlm. 4,
“Dan hadist ahad adalah zhanni.”
Bantahan
:
Sesungguhnya dalil-dalil dari Kitab, Sunnah,
amalan sahabat dan perkataan para ulama menunjukkan tentang wajibnya berhujjah
dengan hadits ahad dalam syari’at Islam tanpa memperbedakannya dalam ‘aqidah
‘ilmiyyah atau ahkam ‘amaliyyah, dan bahwasanya pendapat yang membedakan antara
keduanya adalah pendapat yang bid’ah yang tidak pernah dikenal oleh salaf.
Karena itulah al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :
“Pendapat yang membedakan antara
keduanya adalah pendapat yang batil dengan kesepakatan umat karena umat tidak
henti-hentinya berhujjah dengan hadits-hadits ahad dalam khabar-khabar ilmiyyah
yang berhubungan dengan aqidah, sebagaimana mereka berhujjah dengan
khabar-khabar amaliyyah, terutama hukum-hukum amaliah yang mengandung kabar
dari Allah bahwasanya Allah mensyari’atkan ini dan itu, mewajibkannya, dan
meridhainya sebagai agama. Tidak henti-hentinya para sahabat, tabi’in, tabi’ut
tabi’in, dan ahli hadits dan sunnah berhujjah dengan hadits-hadits ahad dalam
masalah-masalah sifat, qadar, asma, dan ahkam...” (Mukhtashar
Shawa’iq Mursalah [2/412]).
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata :
“Kaum muslimin sejak dahulu hingga
sekarang telah sepakat atas menetapkan hadits ahad dan berhenti padanya.” (ar-Risalah
[hlm.457]).
Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani
rahimahullah :
“Telah tersebar secara luas tentang
amalan sahabat dan tabi’un akan khabar (hadits) ahad tanpa ada pengingkaran,
bahkan sudah terjadi ittifaq untuk menerimanya.” (Lihat Fathul Bari [13/234])
Berkata al-Imam Ibnu Abil Izz al-Hanafi rahimahullah :
“Tentang hadit ahad, telah sepakat
umat menerimanya, baik sebagaimana amal dan wajib untuk dibenarkan; dan juga
memberi faedah ilmu yaqin di kalangan ulama umat ini. Hal tersebut karena
hadits ahad merupakan bahagian dari hadits mutawatir dan tidak terdapat
perbedaan di kalangan salaf umat ini.” (Lihat
Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyyah [hlm.399-400] -takhriij Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani rahimahullah-).
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata :
“Seandainya argumen tidak tegak
dengan khabar ahad maka tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengutus (Muaz bin Jabal) Abu Ubaidah radhiyallahu ‘anhu ke Yaman seorang diri,
demikian juga ini dikatakan pada hadits-hadits dalam Shahihain yang mengabarkan
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu, Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, dan Abu Musa
al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu sebagai da’i-da’i yang diutus untuk mendakwahkan
Islam ke negeri-negeri tertentu dalam keadaan sendirian. Merupakan hal yang
tidak diragukan lagi bahwa keseluruhan termasuk di dalamnya masalah-masalah
aqidah.” [5]
2.
Menolak
Tqdir Allah Ta’ala
Taqiyyuddin an-Nabhani berkata di dalam
kitabnya Syakhshiyyah Islamiyyah [1/71-72],
“Perbuatan-perbuatan ini -yaitu
perbuatan-perbuatan manusia- tidak ada hubungan sama sekali dengan qadha’,
karena manusia adalah yang melakukan sendiri perbuatan-perbuatan ini dengan
kehendak dan pilihannya, dan berdasarkan atas hal itu maka fi’il-fi’il
ikhtiyariyyah tidak masuk di bawah qadha”
Dalam Nizhamul Islam ia berkata :
“Maka digantungkannya pahala atau
hukuman dengan petunjuk dan kesesatan menunjukkan bahwa petunjuk dan kesesatan
keduanya termasuk perbuatan manusia dan keduanya bukan dari Allah.”
Perkataan ini jelas sekali menyelisihi
nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah yang menyatakan bahwa segala sesuatu telah
telah ditakdirkan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman :
ٱلَّذي لَهُ مُلْكُ السَّماواتِ وَ الْأَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَداً وَلَمْ
يَكُنْ لَهُ شَريكٌ فِي الْمُلْكِ وَ خَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْديراً
“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu,
dan Dia menetapkan takdir-takdir (ukuran-ukurannya) dengan serapi-rapinya.
(QS. al-Furqan : 2)
Dan Allah Ta’ala berfirman :
وَاللَّهُ
خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
“Padahal Allah-lah yang menciptakan
kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. (QS. ash-Shaffat : 96)
Dan Allah Ta’ala berfirman :
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ
بِقَدَرٍ
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu
dengan takdir”. (QS. al-Qamar : 49).
3.
Mengadopsi
Pemahaman Khowarij
Hizut Tahrir mengikuti pemahaman Khawarij
di dalam masalah takfir dan bolehnya khuruj (pemberontakan, red) kepada
penguasa muslim.
Di dalam kitab Manhaj Hizbit Tahrir fit Taghyir [hlm.36] mereka berkata, “Hizb tidak berkompromi dengan para penguasa
dan tidak memberikan loyalitas kepada mereka, termasuk konstitusi dan perundang-undangan
mereka walau dengan alasan kelancaran dakwah. Sebab syara’ mengharamkan
mempergunakan sarana yang haram untuk memenuhi suatu kewajiban. Sebaliknya hizb
mengoreksi dan mengkritik penguasa dengan tegas. Hizb menganggap bahwa
peraturan yang mereka terapkan itu adalah peraturan kufur sehingga harus
dimusnakan dan diganti dengan hukum Islam. Hizb juga menganggap bahwa mereka
pada hakikatnya adalah orang-orang yang fasik dan zalim…”
Dalam halaman 37, “…Hizb juga menolak membantu mereka melakukan ishlah baik di bidang
ekonomi, pendidikan, sosial kemasyarakatan maupun di bidang moral…”
Dalam hlm. 42, “Aktivitas hizb adalah menentang para penguasa di negara-negara Arab
maupun negara-negara Islam lainnya. Mengungkapkan makar-makar jahat mereka, mengoreksi
dan mengkritik mereka…”
Inilah pemahaman Hizbut Tahrir yang
menyelisihi perintah Allah kepada setiap muslim agar taat kepada waliyyul
amr-sebagaimana dalam firman-Nya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kalian”. (QS. an-Nisa : 59)
Demikian juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu
memerintahkan agar selalu taat kepada waliyyul amr, tidak membatalkan bai’at
dan sabar atas kecurangan para penguasa.
Dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia
berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menyeru kami maka kami membai’atnya, di antara yang diambil atas kami
bahwasanya kami berbai’at atas mendengar dan taat dalam keadaan yang lapang dan
sempit, dalam keadaan sulit dan mudah, dan atas sikap egois atas kami, dan agar
kami tidak merebut kekuasaan dari pemiliknya. Beliau bersabda, ‘Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang
jelas dan nyata yang kalian punya bukti di hadapan Allah.” (Shahih Muslim [1709]).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Ini adalah perintah agar selalu taat
walaupun ada sikap egois dari waliyyul amr, yang ini merupakan kezaliman
darinya, dan larangan dari merebut kekuasaan dari pemiliknya, yaitu larangan
dari memberontak kepadanya, karena pemiliknya adalah para waliyul amr yang
diperintahkan agar ditaati, dan mereka adalah orang-orang yang memiliki
kekuasaan untuk memerintah” [6]
Hizbut Tahrir juga mengatakan bahwa
seluruh negeri Islam saat ini adalah Darul Kufur wal Harb, sebagaimana dalam
buku mereka, Manhaj Hizbit Tahrir fit
Taghyir [hlm.5], “Adapun kondisi
negeri-negeri yang hidup didalamnya kaum muslimin saat ini di seluruh negeri,
adalah darul kufr bukan darul Islam.”
Asy-Syaikh Abdurrahman ad-Dimasyqy
berkata dalam kitabnya. Hizbut Tahrir
Munaqasyah Ilmiyyah li Ahammi Mababdi’il hizbi wa Raddu Ilmi Mufashshal Haula
Khabari Wahid [hlm.47],
Aku
bertanya kepada salah seorang di antara mereka (Hizbut Tahrir), ‘Bagaimanakah (menurutmu) dengan Makkah dan
Madinah? Apakah termasuk Darul Iman ataukah Darul Kufur wal Harb??’ Dia
menjawab, ‘Termasuk Darul Kufur dan
Harb!’ Aku berkata lagi, ‘Lantas
apakah boleh aku berhaji ke darul Kufur?? Lantas dimanakah Darul Iman jika
Makkah dan Madinah termasuk Darul Kufur?’ Dia pun kebingunan.
Ada
seorang juga bertanya kepada mereka (Hizbut Tahrir), ‘Apakah ada Darul Islam di dunia saat ini?’ Mereka menjawab, “Tidak ada!!’ Ia bertanya lagi, “Saya
ingin berhijrah, ke manakah gerangan aku harus berhijrah (jika tidak ada Darul
Islam)??’ mereka kebingungan menjawabnya.”
Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
“Tidaklah terputus hijrah hingga
terputusnya taubat dan tidak terputus taubat hingga terbitnya matahari dari
baratnya (hari kiamat).”
[7]
Dari Isham al-Muzani radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia
berkata :
“Adalah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengutus suatu pasukan beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jika
kalian melihat masjid atau mendengar adzan maka janganlah kalian membunuh
seorang pun.” [8]
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa sekadar
keberadaan sebuah masjid di suatu negeri maka ini cukup menjadi dalil atas
keislaman penduduknya, walaupun belum didengar adzan dari mereka, karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pasukan-pasukannya agar mencukupkan
dengan salah satu dari dua hal: adanya masjid atau mendengar adzan.” (Nailul Authar [7/287]).
Berdasarkan uraian diatas maka jika
dengar adzan di suatu negeri atau didapati suatu masjid dan penduduknya muslim,
maka negeri tersebut adalah darul Islam, meskipun para penguasanya tidak
menerapkan syari’at Islam.
Hal inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah,
beliau berkata : “Keberadaan suatu tempat
sebagai negeri kafir atau negeri iman atau negeri orang-orang fasik, bukanlah
sifat yang tidak terpisah darinya, tetapi ia adalah sifat yang insidental
sesuai dengan keadaan penduduknya. Setiap jengkal bumi yang penduduknya
orang-orang mukmin yang bertakwa maka tempat tersebut adalah negeri para wali
Allah di saat itu. Setiap jengkal tanah yang penduduknya orang-orang fasik,
maka ia adalah negeri kefasikan di saat itu. Dan jika para penduduknya selain
yang kita sebutkan tadi, dan berubah dengan selain mereka, maka negeri itu adalah
negeri mereka.” [9]
4.
Penegakkan
Daulah dengan Mengorbankan Syariat Islam
Hizbut Tahrir memprioritaskan penegakan
Daulah Islamiyyah dan kekuasaan ketimbang perbaikan aqidah dan tauhid.
Mereka telah menjadikan penegakan daulah
saat ini hukumnya paling wajib dan paling urgen (mendesak). Mereka berpandangan
bahwa segala kemerosotan, kehancuran, dan kekacauan yang melanda umat saat ini
dikarenakan tidak adanya payung yang melindungi umat dari kaum kuffar, yakni
daulah khilafah. Maka semenjak Kesultanan Utsmani runtuh, pada tahun 1924 di
Turki, maka umat Islam semuanya dalam keadaan berdosa dan umat wajib ‘ain
mengembalikannya.
Taqiyuddin an-Nabhani berkata di dalam
kitabnya Syakhshiyyah Islamiyyah [2/92]
:
“Dan demikianlah maka seluruh kamu
muslimin sejak tahun 1924 yaitu sejak hilangnya Khilafah Islamiyyah dari Turki
maka mereka mati dan akan mati jahiliyyah.”
Maka mereka mengonsentrasikan segala
daya dan upaya untuk meraih kembali kekuasaan. Namun, di sisi lain mereka
banyak meremehkan syari’at-syari’at Islam.
Lihatlah, bagaimana tokoh-tokoh mereka
tidak menampakkan penampilan Islam sama sekali. Mereka cukur habis
jenggot-jenggot mereka. Mereka tidak memperhatikan shalat jama’ah dan yang
lainnya dari syari’at Islam. Jika engkau ingatkan mereka tentang hal itu maka
mereka mengatakan bahwa hal itu akan mereka lakukan kalau sudah tegak Daulah
Islam!! (Lihat Jama’at Islamiyyah [hlm.288-289]).
Padahal Daulah Islam adalah sarana untuk
menegakkan syari’at Islam, pantaskah jika seorang muslim berjuang mewujudkan
daulah Islam dengan jalan mengorbankan syari’at Islam?!
Daulah adalah anugerah Allah kepada kaum
muslimin karena keteguhan mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban seperti
jihad, melaksanakan syari’at dan perkara-perkara yang disyari’atkan Allah
kepada mereka.
Anugerah inilah yang diperoleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabatnya, karena kesabaran mereka dalam menempuh manhaj dakwah yang
haq, menghadapi kekejian dan kebrutalan kaum musyrikin. Allah menolong
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabatnya, memenangkan din mereka, dan pengokohkan mereka di muka
bumi, sebagai perwujudan janji Allah dalam Kitab-Nya :
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ
آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا
اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي
ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي
لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan Allah telah berjanji kepada
orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih
bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana
Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia
akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia
benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam
ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada
mempersekutukan sesuatu apa pun dengan aku”. (QS. an-Nur : 55) [10]
Penutup
Inilah sedikit yang bisa kami paparkan
tentang penyimpangan-penyimpangan Hizbut Tahrir, sebetulnya masih banyak
hal-hal lain yang belum kami cantumkan karena keterbatasan tempat, semoga yang
kami paparkan di atas bisa menjadikan kewaspadaan kepada kita semua tentang
bahaya kelompok ini, dan sekaligus menyadarkan saudara-saudara kami yang hingga
saat ini masih terperdaya dengan kelompok ini serta membuka mata mereka tentang
jati diri kelompok ini. Semoga Allah selalu menunjukkan kita kepada jalan yang
lurus, yaitu jalannya para nabi, para shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Aamiin
Penulis:
Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah
Sumber:
Majalah Al Furqon Edisi 4 no. 118 thn ke 11 Dzulqo’dah 1432H/Okt-Nov 2011M
[1]
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya
[2/503-504] dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Silsilah
ash-Shahihah [203, 204, dan 1492])
[2]
“Hizbut Tahrir Mu’tazilah Judud” dari
Majalah Salafiyyah edisi kedua, Riyadh, tahun 1417 H [hlm.17-32]
[3]
Taqiyuddin an-Nabhani di dalam kitabnya Syakhshiyyah
Islamiyyah memuji Amr bin Ubaid ini dan mengatakan bahwa dia tidak memiliki
penyelewengan sama sekali dalam aqidah
[4]
Lihat bahasan “Kedudukan Akal di Dalam
Islam” di dalam Majalah Al-Furqon IV/4 rubrik Manhaj
[5]
Al-Hadits Hujjatun Binafsihi fil ‘Aqaid
wal Ahkam [hlm.59]. Untuk pembahasan lebih rinci dalam masalah ini silakan
melihat bahasan “Hadits Ahad dalam
Sorotan” di dalam Majalah Al Furqon VIII/Edisi Khusus rubrik Manhaj
[6]
Mihhajus Sunnah [3/395] dan untuk
bahasan yang lebih rinci tentang masalah ini silahkan melihat bahasan “Renungan Bagi Para Pemberontak” di
dalam Majalah Al Furqon V/6 rubrik Manhaj
[7]
Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan-nya
[2/312] dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah di dalam Irwaul
Ghalil [5/33 no.1208]
[8]
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya
[3/448], Abu Dawud dalam Sunan-nya [2635],
dan Tirmidzi dalam Jami-nya [1545],
dan dilemahkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah
dalam Dha’if Sunan Abu Dawud [hlm.202]
[9]
Majmu Fatawa [18/282] dan untuk
bahasan yang lebih rinci tentang masalah ini silakan melihat bahasan “Darul Islam dan Darul Kufur” di dalam
Majalah Al-Furqon IV/9 Rubrik Manhaj
[10]
Lihat kitab Manhajul Anbiya’ fid Da’wah
ila Allah oleh Syaikh al-Allamah Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafidhahullah
Playtech Slots Online: Play & Get Free Bonus
BalasHapusPlaytech is a developer of online slots online 있는 with a focus 저녁 메뉴 추천 룰렛 on producing top-quality video slots. The company has monirtrading.com been known for 실시간 배당 developing online 온라인 바카라 사이트