إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
Saudara-saudaraku
-semoga Allah menumbuhkan kecintaan yang dalam di dalam hati kita kepada
al-Qur’an, as-Sunnah dan para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum-
sebagaimana kita sadari bersama bahwa agama Islam adalah ajaran yang sempurna.
Tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang yang tidak paham dan orang yang
menyombongkan diri. Allah ta’ala berfirman,
الْيَوْمَ
يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِن دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ ۚ
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian, Aku
telah cukupkan nikmat-Ku atas kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (QS.
Al-Maa’idah : 3).
Saudara-saudaraku
-semoga Allah mencurahkan hidayah dan taufik-Nya kepada kita untuk meniti jalan
yang lurus dan tidak berpaling darinya- Allah ta’ala berfirman,
وَمَن
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ
سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ
وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Barangsiapa yang menentang Rasul setelah petunjuk terang benderang
baginya dan dia malah mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman, maka
Kami akan membiarkan dia terombang-ambing di dalam kesesatan yang dipilihnya,
dan Kami akan memasukkan dirinya ke dalam neraka jahannam. Dan sungguh jahannam
itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisaa’
: 115)
Bagi kita
ajaran atau Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri dari kehancuran dan air mata yang
akan mengalirkan kesejukan iman.
Irbadh bin
Sariyah radhiyallahu ‘anhu mengisahkan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh
dengan Sunnah (ajaranku) dan ajaran para khalifah yang berpetunjuk lagi lurus
sesudahku, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi
geraham serta jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam agama),
sebab setiap yang diada-adakan itu adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah pasti
sesat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, Tirmidzi menilai hadits ini hasan).
Oleh karena itu
sudah semestinya kita -sebagai orang yang mengaku beriman- untuk mengembalikan
segala bentuk perselisihan kepada Hakim yang paling bijaksana yaitu Allah subhanahu
wa ta’ala. Allah ta’ala berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن
كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Kemudian apabila kalian berselisih dalam suatu perkara maka
kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan rasul (as-Sunnah), hal itu pasti
lebih baik bagi kalian dan lebih bagus hasilnya, jika kalian benar-benar
beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. An-Nisaa’
: 59).
Mujahid dan
para ulama salaf yang lainnya menafsirkan perintah kembali kepada Allah dan Rasul
yang terdapat dalam ayat ini dengan mengatakan yaitu kembali kepada Kitabullah
dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian Ibnu
Katsir rahimahullah mengatakan, “Ini merupakan perintah dari Allah
‘azza wa jalla yang menunjukkan bahwa segala sesuatu yang diperselisihkan orang
-dalam hal pokok agama maupun cabang-cabangnya- maka perselisihan itu harus
diselesaikan dengan merujuk kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Sebagaimana
disebutkan dalam firman Allah ta’ala,
وَمَا
اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ۚ ذَٰلِكُمُ
اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Apa saja perkara yang kalian perselisihkan maka keputusannya
dikembalikan kepada Allah.” (QS. Asy-Syura : 10).
Maka apa pun yang telah diputuskan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah
serta didukung oleh dalil yang benar dari keduanya itulah kebenaran dan tiada
lagi sesudah kebenaran melainkan kesesatan.” (lihat Tafsir
Al-Qur’an Al-’Azhim [jilid 2 hal.250]).
Di hadapan kita
terdapat persoalan yang telah membuat lisan sebagian orang melontarkan
tuduhan-tuduhan yang tak pantas kepada Ahlus Sunnah dan dakwahnya, bahkan
saking getolnya memuja keyakinan sufi yang dianggapnya benar maka dia pun tidak
segan melontarkan ucapan-ucapan aneh yang menunjukkan kerancuan aqidah yang
tertancap di dalam dadanya.
Orang tersebut
-semoga Allah menunjukinya- berkata, “Kita berasal dari Allah. Menyembah
hanya untuk Allah, hidup dan mati di dalam Allah. Karena kita bagian dari Allah.”
Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya- berkata, “Allah ada di mana-mana.
Tapi bukan berarti ada di mana-mana. Seluruh dunia ini terjadi (karena) campur
tangan Allah. Karena Allah tidak tidur. Di dalam diri kita ada Tuhan, manusia
sendiri yang membuat hijab ( batasan) kepada Allah.” Orang tersebut -semoga
Allah menunjukinya- berkata, “Akan tetapi Dzat Tuhan dapat dijumpai dan
menyatu dalam diri manusia. Karena sebegitu dekatnya…” Orang tersebut
-semoga Allah menunjukinya- berkata, “Seluruh Imam Madzhab pada Akhirnya
kembali kepada Sufi. Kecuali Wahabi…” ?!
Baiklah, memang
pahit di lidah dan panas di telinga, namun terpaksa kalimat-kalimat ini kami
sebutkan di sini demi menerangkan kebenaran dan membantah kebatilan, semoga
Allah memberikan taufik kepada kita untuk bersatu di atas kebenaran, Allahul
musta’aan.
Sebagai jalan
untuk memecahkan persoalan ini maka akan saya kutip ucapan indah dari orang
yang sama yang telah mengucapkan kalimat-kalimat di atas. Orang tersebut
-semoga Allah menambahkan hidayah kepada-Nya- mengatakan dengan jujur dan
tulus, “Maka sebaiknya kita tanya dulu kepada Orang yang lebih tahu daripada
Kita, Karena di atas langit masih ada langit.” Alangkah bagus ucapannya
sebab bersesuaian dengan sebuah firman Allah yang mulia,
وَمَا
أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُّوحِي إِلَيْهِمْ ۚ
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونبِالْبَيِّنَاتِ
وَالزُّبُرِ ۗ
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ
وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ َ
“Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui
suatu perkara, dengan dasar keterangan dan kitab-kitab…” (QS. An-Nahl :
43-44).
Tentu saja
tempat kita bertanya adalah para ulama yang mengikuti pemahaman Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Insya Allah ucapan dan keterangan
mereka akan kami sebutkan untuk menenangkan hati dan pikiran kita.
Sebelum lebih
jauh menanggapi hal ini, dengan memohon taufik dari-Nya maka kami perlu
kemukakan beberapa hal di sini agar duduk perkaranya menjadi jelas dan tidak
terjadi kesalahpahaman.
Saudaraku
sekalian -semoga Allah mengokohkan kita di atas kebenaran, bukan di atas
kebatilan- ajaran Sufi yang populer dan kata orang mengajarkan penyucian jiwa,
pendekatan diri kepada Allah serta membuang jauh-jauh ketergantungan hati
kepada dunia serta mengikatkan hati manusia hanya kepada Allah, kita telah
akrab dengan istilah ini. Meskipun demikian, sebagai muslim yang baik tentunya
kita tidak akan berbicara dan bersikap kecuali dengan landasan dalil dari Allah
ta’ala. Allah berfirman,
وَلَا
تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ
وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki ilmu
tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, itu semua pasti
dimintai pertanggung jawabannya.” (QS. Al-Israa’ : 36).
Saudaraku
sekalian, sesungguhnya perkara penyucian jiwa, melembutkan hati dan pendekatan
diri kepada Allah serta melepaskan ketergantungan hati kepada dunia dan
mengikatkan hati manusia kepada Rabbnya merupakan ajaran Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tanpa kita ragukan barang sedikit pun.
Allah ta’ala berfirman,
لَقَدْ
مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْ
أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ
الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
“Sungguh Allah telah mengaruniakan nikmat bagi orang-orang yang
beriman ketika mengutus rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan
kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan jiwa mereka, dan mengajarkan kepada
mereka Al-Kitab dan Al Hikmah (As-Sunnah) padahal sebelumnya mereka dulu berada
di dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali Imran : 164).
Maka tugas Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah membacakan dan menerangkan
ayat-ayat Allah, menyucikan jiwa manusia dari berbagai kotoran dosa dan
kesyirikan, dan mengajarkan Al-Kitab dan As-Sunnah kepada mereka.
Oleh karena
itulah apabila kita membuka kitab-kitab hadits akan kita jumpai di sana sebuah
bab khusus yang menyebutkan riwayat-riwayat hadits Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang mengajarkan penyucian jiwa dan melembutkan hati.
Contohnya di
dalam Shahih Bukhari, al-Imam al-Bukhari rahimahullah menulis
Kitab Ar-Riqaaq (hal-hal yang dapat melembutkan hati), di sana beliau
membawakan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkait
dengan hal ini sebanyak seratus hadits lebih, yaitu hadits no.6412-6593 (lihat Sahih
Bukhari cet. Maktabah Al-Iman [hal. 1306-1332]).
Demikian juga
murid Imam all-Bukhari yaitu Imam Muslim rahimahullah membuat Kitab
Ar-Riqaaq, Kitab At-Taubah, Kitab Shifatul Munafiqin wa ahkamuhum, Kitab
Shifatul qiyamah wal jannah wan naar, dan lain sebagainya hingga Kitab Az-Zuhd
wa raqaa’iq yang mencantumkan dua ratus hadits lebih tentang penyucian jiwa dan
hal-hal yang terkait dengannya di dalam Sahihnya (lihat Sahih Muslim
yang dicetak bersama Syarah Nawawi, [hal.5-259]).
Demikian pula
di antara para ulama ada yang menyusun kitab khusus tentangnya seperti Imam adz-Dzahabi
yang menulis kitab Al-Kaba’ir tentang dosa-dosa besar. Imam An-Nawawi
yang menulis Riyadhush Shalihin yang mencakup berbagai pembahasan
tentang penempaan diri dan penyucian jiwa. Shifatu Shafwah dan Al-Latha’if
karya Imam Ibnul Jauzi. Bahkan banyak kitab hadits yang dinamakan dengan kitab
Az-Zuhd, seperti Az-Zuhd karya Imam Abu Hatim Ar-Razi, Az-Zuhd
karya Imam Abu Dawud, Az-Zuhd karya Imam Ahmad bin Hanbal, dan
lain-lain, semoga Allah merahmati mereka semua.
Bukankah dengan
membaca ayat-ayat Al-Qur’an, kemudian riwayat-riwayat hadits sahih serta penjelasan
ulama yang ada di dalam kitab-kitab tersebut kita dapat mempelajari
bagaimanakah menyucikan jiwa, bagaimana mendekatkan diri kepada Allah dan
bagaimana melepaskan ketergantungan hati kepada selain-Nya.
Inilah
pelajaran-pelajaran akhlak dan penyucian jiwa yang disampaikan oleh para ulama
kepada kita. Sehingga kalau yang dimaksud sufi adalah itu semua (penyucian jiwa)
maka akan kita katakan bahwa itulah yang diajarkan oleh Ahlus Sunnah wal
Jama’ah alias manhaj salaf kepada umat manusia.
Oleh sebab itu
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata mengenai salah satu
sifat Ahlus Sunnah, “Mereka memerintahkan untuk sabar ketika tertimpa
musibah, bersyukur ketika lapang, serta merasa ridha dengan ketetapan takdir
yang terasa pahit. Mereka juga menyeru kepada kemuliaan akhlak dan amal-amal
yang baik, mereka meyakini makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Orang
beriman yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya…”
(Aqidah Wasithiyah [hal.87]). Kalau ajaran menyucikan diri dan
menggantungkan hati hanya kepada Allah -sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi
dan para sahabat- disebut sufi maka saksikanlah bahwa saya adalah seorang sufi!
Namun,
ketahuilah saudaraku -semoga Allah merahmatimu- kalau kita cermati lebih jauh
ajaran sufi atau tasawuf dan berbagai macam tarekat yang dinisbatkan ke
dalamnya beserta tetek bengek ajaran dan lontaran-lontaran aneh yang mereka
angkat, niscaya akan teranglah bagi kita bahwa sebenarnya ajaran Sufi yang
berkembang hingga hari ini -di dunia secara umum ataupun dinegeri kita secara
khusus- telah banyak menyeleweng dari rambu-rambu Al-Kitab dan As-Sunnah.
Sebagaimana
pernah disinggung oleh Buya HAMKA rahimahullah di dalam pidatonya dalam
acara penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar di
Mesir pada tanggal 21 Januari 1958 -lima puluh tahun silam-, beliau mengatakan,
“Daripada gambaran yang saya kemukakan selayang pandang itu, dapatlah kita
memahamkan bagaimana sangat perlunya pembersihan aqidah daripada syirik dan
bid’ah dan ajaran tasawuf yang salah, yang telah menimpa negeri kami sejak
beberapa zaman, dan perlunya kepada kemerdekaan pikiran dan memperbaharui paham
tentang ajaran Islam sejati.” (Sejarah Perkembangan Pemurnian Ajaran
Islam di Indonesia, penerbit Tintamas Djakarta, [hal.6-7]).
Inilah ucapan
yang adil dan bijak dari orang besar seperti beliau. Berikut ini akan kami
kutip penjelasan yang diberikan oleh Bapak Hartono Ahmad Jaiz -semoga Allah
membalas kebaikannya- yang telah memaparkan mengenai sejarah ajaran sufi ini di
dalam bukunya ‘Tasawuf Belitan Iblis’. Beliau mengatakan: “Abdur Rahman
Abdul Khaliq, dalam bukunya Al-Fikrus Shufi fi Dhauil Kitab was Sunnah
menegaskan, tidak diketahui secara tepat siapa yang pertama kali menjadi sufi
di kalangan ummat Islam. Imam Syafi’i ketika memasuki kota Mesir mengatakan,
“Kami tinggalkan kota Baghdad sementara di sana kaum zindiq (aliran yang
menyeleweng, aliran yang tidak percaya kepada Tuhan, berasal dari Persia, orang
yang menyelundup ke dalam Islam, berpura-pura -menurut Leksikon Islam
[2/778]) telah mengadakan sesuatu yang baru yang mereka namakan assama’
(nyanyian).
Kaum zindiq yang dimaksud Imam Syafi’i adalah orang-orang sufi. Dan
assama’ yang dimaksudkan adalah nyanyian-nyanyian yang mereka dendangkan. Sebagaimana
dimaklumi, Imam Syafi’i masuk Mesir tahun 199 H. Perkataan Imam Syafi’i ini
mengisyaratkan bahwa masalah nyanyian merupakan masalah baru. Sedangkan kaum
zindiq tampaknya sudah dikenal sebelum itu. Alasannya, Imam Syafi’i sering
berbicara tentang mereka, di antaranya beliau mengatakan: “Seandainya seseorang
menjadi sufi pada pagi hari, maka siang sebelum zhuhur ia menjadi orang yang
dungu.” Dia (Imam Syafi’i) juga pernah berkata: “Tidaklah seseorang menekuni
tasawuf selama 40 hari, lalu akalnya (masih bisa) kembali normal selamanya.”
(Lihat Talbis Iblis [hal371]). Sekian nukilan kami dari Tasawuf
Belitan Iblis.
Pembaca
sekalian, dari keterangan di atas kita mengetahui bahwa Imam Syafi’i rahimahullah
sendiri termasuk ulama yang mengecam kaum sufi dan ajaran tasawufnya yang
menyimpang. Agar tidak terlalu berpanjang-lebar, maka baiklah untuk membuktikan
penyimpangan mereka akan kita akan kutip kembali pendapat dan keyakinan mereka
beserta komentar atas kerancuan yang ada di dalamnya, Allahlah pemberi petunjuk
dan pertolongan kepada kita.
Pertama:
Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya- berkata, “Kita
berasal dari Allah. Menyembah hanya untuk Allah, Hidup dan mati di dalam Allah.
Karena kita bagian dari Allah.”
Tanggapan:
Yang menjadi masalah
di sini adalah ucapannya “(kita) Hidup dan mati di dalam Allah. Karena kita
bagian dari Allah.” Apakah maksud dari ucapan ini? Apakah artinya manusia
adalah bagian dari Allah sebagaimana makna yang bisa secara langsung ditangkap
dari ucapannya ataukah yang lainnya? Kalau yang dimaksud adalah yang pertama,
maka sangat jelas kebatilannya. Allah bukan hamba dan hamba bukan Allah. Allah
berfirman,
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk
beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat : 56). Ayat ini menunjukkan bahwa manusia adalah
ciptaan Allah, alias hamba dan bukan Tuhan atau bagian dari Tuhan!
Kalau ada orang
yang meyakini demikian -dirinya adalah Allah- maka dia telah kafir. Lantas kalau
yang dimaksud adalah makna yang lain, kita akan bertanya apa maknanya? Kalau
pun maksud yang mereka inginkan benar, maka kita katakan bahwa ucapan-ucapan
semacam ini adalah ucapan yang tidak pada tempatnya bahkan bid’ah! Adakah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengajarkan demikian? Adakah para sahabat, imam yang empat mengajarkan
demikian? Bacalah kitab-kitab tafsir dan hadits.
Wajarlah
apabila Imam Syafi’i rahimahullah
mengatakan, “Seandainya seseorang menjadi
sufi pada pagi hari, maka siang sebelum dhuhur ia menjadi orang yang dungu.”
Cobalah kaum sufi itu berguru kepada Imam Syafi’i. Beliau rahimahullah mengatakan, “Aku
beriman kepada Allah serta apa yang datang dari Allah sebagaimana yang
diinginkan oleh Allah. Dan aku beriman kepada Rasulullah serta apa yang
disampaikan oleh Rasulullah sebagaimana yang diinginkan oleh Rasulullah.”
(lihat Lum’at Al-I’tiqad). Apakah Allah atau Rasul-Nya mengajarkan kepada kita
bahwa kita adalah bagian dari-Nya? Kita hidup dan mati di dalam diri-Nya? Allah
Maha suci dari ucapan mereka.
Kedua:
Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya- berkata, “Allah ada di mana-mana. Tapi bukan berarti
ada di mana-mana. Seluruh dunia ini terjadi (karena) campur tangan Allah.
Karena Allah tidak tidur. Di dalam diri kita ada Tuhan, manusia sendiri yang
membuat HIJAB (batasan) kepada Allah.”
Tanggapan:
Aneh bin ajaib!
Menurutnya Allah di mana-mana tapi tidak ada di mana-mana. Di dalam diri kita
-katanya- ada Tuhan? Maha suci Allah… Ucapan semacam inilah yang membuat orang
semakin bertambah dungu -sebagaimana disinggung oleh Imam Syafi’i di atas-,
adakah orang berakal yang mengucapkan perkataan seperti ini, “Allah ada di mana-mana tapi tidak ada di
mana-mana” Allahu akbar! Apakah ada anak kecil yang mengatakan, “Saya laki-laki tapi bukan laki-laki” (?)
Padahal Allah
ta’ala sendiri berfirman tentang diri-Nya,
الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ
اسْتَوَىٰ
“Ar-Rahman
menetap tinggi di atas Arsy.” (QS. Thaha : 5).
Bagaimanakah kita memahami ayat ini? Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Jalan yang selamat dalam hal ini adalah jalan
ulama salaf yaitu memberlakukannya sebagaimana adanya di dalam Al-Kitab dan
As-Sunnah tanpa membagaimanakan, tanpa menyelewengkan, tanpa menolak, dan tanpa
menyerupakan.” (Tafsir Al-Qur’an
Al-’Azhim, jilid 5 hal. 202).
Apakah ayat ini
menunjukkan bahwa Allah membutuhkan Arsy sebagaimana sangkaan sebagian orang?
Sama sekali tidak.
Abu Ja’far
Ath-Thahawi rahimahullah di dalam
kitab Aqidah Thahawiyahnya, yang
menjadi rujukan ulama dari keempat madzhab mengatakan, “Dan Dia (Allah) tidak membutuhkan Arsy dan apa pun yang berada di
bawahnya, Allah meliputi segala sesuatu dan Dia berada di atasnya…”
(dinukil dari Syarah Ibnu Abil ‘Izz
dengan tahqiq Al-Albani, [hal.280])
Dikisahkan
bahwa Abu Hanifah rahimahullah pernah
ditanya mengenai orang yang mengatakan, “Aku
tidak mengetahui apakah Rabbku di atas langit atau di bumi.” Maka beliau
menjawab bahwa orang yang mengucapkan itu telah kafir, sebab Allah telah
berfirman,
الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ
اسْتَوَىٰ
“Ar-Rahman
menetap tinggi di atas Arsy.” (QS. Thaha: 5).
Sedangkan
Arsy-Nya berada di atas tujuh lapis langit-Nya.” Kemudian
ditanyakan lagi kepadanya bagaimana kalau dia mengatakan, “Allah berada di atas Arsy, tapi aku tidak tahu apakah Arsy itu di atas
langit atau di bumi.” Maka Abu Hanifah berkata, “Dia juga kafir. Sebab dia telah mengingkari Allah berada di atas
langit. Barangsiapa yang mengingkari Allah berada di atas langit maka dia
kafir.” (Syarh Ath-Thahawiyah,
hal. 288).
Akan tetapi
dalam prakteknya sekarang tentunya kita tidak begitu saja mengatakan kafir
apabila bertemu orang yang berkata seperti di atas, karena untuk mengafirkan
masih ada syarat-syarat lain yang harus dipenuhi -ed).
Ketiga:
Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya- berkata, “Akan tetapi Dzat Tuhan dapat dijumpai dan
menyatu dalam diri manusia. Karena sebegitu dekatnya…”
Tanggapan:
Subhanallah,
tidak henti-hentinya kaum sufi ini berdusta dan mempermainkan kata-kata
semaunya. Apakah Al-Qur’an dan As-Sunnah menyatakan bahwa Dzat Tuhan dapat
dijumpai dan menyatu dalam diri manusia, karena begitu dekatnya? Sekali lagi
inilah bukti bahwa orang-orang sufi telah meninggalkan ilmu dan terpedaya
dengan akal mereka yang rusak. Untuk menanggapi ucapan semacam ini cukuplah
kami kutip fakta sejarah yang dibawakan oleh penulis buku Tasawuf Belitan Iblis berikut ini:
“Jika kita
meneliti gerakan sufisme sejak awal perkembangannya hingga kemunculan secara
terang-terangan, kita akan mengetahui bahwa seluruh tokoh pemikiran sufi pada
abad ketiga dan keempat Hijriyah berasal dari Parsi (kini namanya Iran, dulu
pusat agama Majusi, kemusyrikan yang menyembah api, kemudian menjadi pusat
Agama Syi’ah), tidak ada yang berasal dari Arab.
Sesungguhnya
tasawuf mencapai puncaknya, dari segi aqidah dan hukum, pada akhir abad ketiga
Hijriyah, yaitu tatakla Husain bin Manshur Al-Hallaj berani menyatakan
keyakinannya di depan penguasa, yakni dia menyatakan bahwa Allah menyatu dengan
dirinya, sehingga para ulama yang semasa dengannya menyatakan bahwa dia telah
kafir dan harus dibunuh. Pada tahun 309H/ 922M ekskusi (hukuman bunuh) terhadap
Husain bin Manshur Al-Hallaj dilaksanakan. Meskipun demikian, sufisme tetap
menyebar di negeri Parsi, bahkan kemudian berkembang di Irak.”
Kalau mereka
mengatakan bahwa Allah bisa menyatu dalam diri mereka, lantas buat apa mereka
beribadah, lantas untuk apa mereka menyembah, kalau semua orang mengaku dirinya
adalah Allah maka siapakah yang akan disembah? Maha suci Allah, ini adalah
kedustaan yang sangat besar!
Kemudian, kalau
mereka maksudkan dengan ucapan-ucapan itu makna yang lain, maka akan kita
katakan bahwa ucapan ini adalah bid’ah dan tidak dikenal oleh para ulama salaf.
Kalau ucapan-ucapan semacam ini dibiarkan maka syariat Islam akan berantakan.
Ketika ada seorang lelaki yang berkata kepada orang tua mempelai perempuan, “Saya terima nikahnya Fulanah binti Fulan.”
Kemudian setelah itu dia akan berkata kepada si mertua “Saya terima nikahnya tapi tidak menerima nikahnya.” Lah, bagaimana
ini? Sejak kapan orang-orang itu menjadi kehilangan akalnya? Rumah sakit jiwa
lebih layak bagi orang-orang semacam itu daripada masjid.
Keempat:
Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya- berkata, “Seluruh Imam Madzhab pada Akhirnya kembali
kepada Sufi. Kecuali Wahabi..”
Tanggapan:
Saudaraku,
kalau memang ajaran sufi dengan berbagai macam aliran tarekatnya adalah benar
dan para imam madzhab mengikutinya apa alasan kami untuk tidak mengikuti
kalian? Namun yang menjadi masalah adalah ajaran-ajaran sufi telah jelas
terbukti penyimpangannya.
Imam Syafi’i,
Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, dan para ulama yang lain telah memaparkan kepada
kita tentang kesesatan ajaran mereka. Al-Qur’an dan As-Sunnah bagi orang sufi
sekedar kata-kata yang bisa dipermainkan ke sana kemari. Allah ta’ala
mengatakan bahwa Allah itu Esa (Qul Huwallahu Ahad). Sementara orang-orang sufi
mengatakan Allah menyatu dalam diri hamba-hambaNya, padahal hamba Allah itu
banyak.
Allah
mengatakan bahwa diri-Nya tinggi berada di atas Arsy-Nya, sementara orang-orang
sufi mengatakan Allah di mana-mana tapi juga tidak di mana-mana. Allahul
musta’an, kalau memang boleh mengatakan demikian maka kita juga akan mengatakan,
“Semua Imam Madzhab pada akhirnya kembali
kepada Wahabi. Kecuali sufi.” Allahu yahdik.
Saudaraku, kami
tidak bermaksud untuk mencaci maki siapa pun, kami hanya ingin saudara kami
kembali ke jalan yang benar, itu saja. Syaikh Ihsan Ilahi Zahir -rahimahullah- dalam kitabnya Tashawwuf Al-Mansya’ Walmashdar (Tasawuf, Asal Muasal dan Sumber-Sumbernya)
pada halaman 28 berkata: “Jika kita amati
ajaran-ajaran tasawuf dari generasi pertama hingga akhir serta
ungkapan-ungkapan yang bersumber dari mereka dan yang terdapat dalam
kitab-kitab tasawuf yang dulu hingga kini, maka akan kita dapatkan bahwa di
sana terdapat perbedaan yang sangat jauh antara tasawuf dengan ajaran-ajaran
al-Quran dan as-Sunnah, begitu juga kita tidak akan mendapatkan landasan dan
dasarnya dalam sirah (sejarah) Rasulullah serta para sahabatnya yang mulia yang
merupakan makhluk-makhluk pilihan Allah. Bahkan sebaliknya kita dapatkan bahwa
tasawuf diadopsi dari ajaran kependetaan kristen, kerahiban Hindu, ritual
Yahudi dan kezuhudan Buda” (sebagaimana dikutip oleh Syaikh Dr. Shalih bin
Fauzan hafizhahullah -salah seorang
ulama besar Saudi Arabia- dalam bukunya Hakikat
Tasawuf [hal.20]).
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah
mengatakan, “Orang yang meniti jalan
kefakiran, tasawuf, zuhud dan ibadah; apabila dia tidak berjalan dengan bekal
ilmu yang sesuai dengan syariat maka akibat tanpa bimbingan ilmu itulah yang
membuatnya tersesat di jalan, dan dia akan lebih banyak merusak daripada
memperbaiki. Sedangkan orang yang meniti jalan fikih, ilmu, pengkajian dan
kalam; apabila dia tidak mengikuti aturan syariat dan tidak beramal dengan
ilmunya, maka akibatnya akan menjerumuskan dia menjadi orang yang fajir
(berdosa) dan tersesat di jalan. Inilah prinsip yang wajib dipegang oleh setiap
muslim. Adapun sikap fanatik untuk membela suatu urusan apa saja tanpa landasan
petunjuk dari Allah maka hal itu termasuk perbuatan kaum jahiliyah.” (Majmu’ Fatawa, juz 2 hal. 444.
Asy-Syamilah)
Sebelum menutup
tulisan ini, perlu kiranya kita ingat bersama dampak yang timbul akibat
merebaknya ajaran sufi ini di masyarakat -khususnya di negeri kita ini-
sebagaimana yang pernah kami saksikan sendiri bahkan kami dahulu termasuk di
antara mereka -dengan taufik dari Allah lah kami meninggalkannya dan menemukan
manhaj salaf yang mulia ini-, perhatikanlah dengan mata yang jernih dan pikiran
yang tenang.
Bukankah
tersebarnya pemujaan kubur-kubur wali dan orang-orang salih -yang notabene
adalah syirik dan bid’ah- di negeri ini timbul karena dakwah dan ajaran sufi?
Cermatilah wahai saudaraku yang cerdas. Betapa ramainya kubur para wali
dikunjungi dan dijadikan tempat untuk mencari berkah, berdoa, beristighotsah
dan bertawassul dengan orang-orang yang sudah mati. Dimanakah gerangan itu
terjadi? Apakah di pusat-pusat dakwah salafiyah -yang hakiki- ataukah di
pusat-pusat dakwah salafiyah yang sebenarnya lebih layak untuk disebut sufi?
Padahal, kita
semua mestinya sudah mengerti bahwa dosa kesyirikan adalah dosa yang tidak diampuni.
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ
أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ
بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya
Allah tidak mengampuni dosa syirik dan Dia akan mengampuni dosa di bawah
tingkatan syirik itu bagi orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisaa’
: 48)
Sebagaimana
pula kebid’ahan bukan semakin menambah pelakunya dekat dengan Allah, namun
justru semakin dekat dengan syaitan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada tuntunannya
dari kami maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim, ini salah satu lafazh
Muslim).
Simaklah
keterangan Ibnu Hajar dan An-Nawawi berikut ini, semoga hati kita menjadi semakin
mantap mengikuti kebenaran. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits
ini tergolong pokok ajaran Islam dan salah satu kaidahnya. Makna dari hadits
ini adalah; barangsiapa yang mereka-reka sesuatu dalam urusan agama yang tidak
didukung dengan dalil di antara dalil-dalil agama yang ada maka hal itu tidak
diakui.” (Fath Al-Bari [5/341],
lihat juga keterangan serupa oleh An-Nawawi dalam Syarh Muslim [6/295]).
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Di dalamnya terkandung bantahan bagi segala
bentuk perkara yang baru (dalam agama), sama saja apakah yang menciptakan itu
adalah pelakunya atau ada orang lain yang lebih dulu membuatnya.” (Syarh Muslim [6/295]). Itulah ucapan
yang adil dan bijak dari dua orang ulama besar penganut madzhab Syafi’i.
Sungguh bijak
ucapan Buya HAMKA rahimahullah yang
mengatakan, “Daripada gambaran yang saya
kemukakan selayang pandang itu, dapatlah kita memahamkan bagaimana sangat
perlunya pembersihan aqidah dari syirik, bid’ah dan ajaran tasawuf yang salah,
yang telah menimpa negeri kami sejak beberapa zaman, dan perlunya kepada
kemerdekaan pikiran dan memperbaharui paham tentang ajaran Islam sejati.” (Sejarah Perkembangan Pemurnian Ajaran Islam
di Indonesia, penerbit Tintamas Djakarta [hal.6-7]. Buku ini dapat
didownload di perpustakaanislam.com).
Semoga Allah
berkenan memberikan taufik kepada saudara-saudara kami yang meninggalkan jalan
yang lurus agar mereka kembali menuju jalan yang lurus itu kembali. Alangkah
senangnya hati kami jika saudara-saudara kami mendapatkan hidayah, sebagaimana
kami juga meminta kepada-Nya dengan nama-namaNya yang terindah dan
sifat-sifatNya yang maha tinggi untuk mewafatkan kita di atas jalan yang lurus
itu dalam keadaan Allah meridhai kita dan mengampuni segala dosa dan kesalahan
kita. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengabulkan doa.
0 komentar:
Posting Komentar