إن الحمد ﷲ نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذ باﷲ من شرور أنفسنا ومن سيأت أعمالنا من يهده ﷲ فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له أشهد أن ﻻإله إﻻ ﷲ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
فإن خيرالحديث كتابﷲ وخير الهدي هدي
محمدصلى ﷲ عليه وعلى اله وسلم وشراﻻمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
وكل ضلالة فنار
Bila
BBM naik, demonstrasi…
Bila
seorang tokoh kalah dalam pemilihan, demonstrasi…
Bila
gaji tak kunjung naik, demonstrasi…
Bila
keputusan pemerintah dianggap kurang tepat, demonstrasi…
Yang lebih miris lagi adalah orang
yang melakukan demonstrasi adalah orang-orang yang ‘katanya’ menolak Demokrasi.
Padahal seperti kita tahu bahwa demonstrasi adalah bagian dari Demokrasi.
Berita sedang aktual adalah demonstrasi
besar-besaran di negeri Sungai Nil, Mesir, yang dilakukan oleh rakyat Mesir
yang menuntut lengsernya Presiden Muhammad Husni Mubarok dari kursi
kepresidenan. Tak cukup sekadar demonstrasi, tragedi ini merupakan tragedi
berdarah yang menelan banyak korban. Hal itu mengingatkan penulis pada sejarah
lengsernya presiden kedua Indonesia.
Apakah demonstrasi adalah polusi yang
membawa kerusakan dan petaka?!!
Bagaimanakah hukum demonstrasi dalam
pandangan Islam? Bagaimana juga dengan sejarahnya?
Kami mengajak pembaca sekalian untuk
mengkaji masalah ini dengan lapang dada dan niat mencari kebenaran.
Definisi
Demonstrasi
Dalam sebuah kamus bahasa Indonesia,
demonstrasi diartikan sebagai pengungkapan kemauan secara beramai-ramai baik
setuju atau tidak setuju akan sesuatu, sambil berarak-arakan dengan membawa
spanduk/panji-panji, poster, dan sebagainya yang berisikan tulisan yang
menggambarkan tujuan demonstrasi tersebut. [1]
Jadi, demonstrasi adalah suatu metode
untuk mengungkapkan aspirasi para demonstran terhadap negara atau atasan dengan
menuntut terwujudnya tuntutan mereka dari aksi tersebut.
Sejarah
Demonstrasi
Bila kita telusuri sejarah, akan kita
dapati bahwa demonstrasi bukan berasal dari Islam. Demonstrasi tidak dikenal
pada zaman Nabi Shalallahu 'Alaihi
Wasallam dan para sahabat Radhiyallahu
'Anhum Ajmain, tetapi dilakukan oleh orang Khowarij yang ingin
menggulingkan Utsman dan Ali bin Abi Tholib Radhiyallahu
'Anhuma.
Kemudian seiring dengan bergolaknya
revolusi Prancis, demonstrasi dihidupkan oleh orang-orang kafir Prancis bersama
dengan induknya yang bernama demokrasi.
Oleh karena itu, negara Prancis secara
resmi memasukkan demokrasi dalam undang-undang mereka dengan label Hak Asasi
Manusia (HAM) pada tahun 1791. Disebutkan dalam pasal tiga, “Rakyat adalah sumber kekuasaan, setiap
badan dan individu berhak mengatur hukum, hukum dan hak diambil dari mereka.” Ini
adalah penegasan bahwa kekuasaan adalah milik rakyat yang tidak dapat
dipenggal-penggal lagi serta tanpa kompromi dan tidak akan dapat diubah-ubah.
Kemudian tatkala Prancis menjajah dunia,
di antaranya adalah negara-negara Arab seperti Mesir, Tunisia, Aljazair,
Maroko, dan negara-negara muslim lainnya, maka secara bersamaan masuklah sistem
demokrasi tersebut ke negeri-negeri jajahan. [2]
Hukum
Demonstrasi dan Argumentasinya
Demonstrasi merupakan masalah
kontemporer yang belum dikenal pada zaman Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam, namun hal itu bukan berarti ia tidak
memiliki hukum dalam kacamata syari’at, sebab agama Islam merupakan agama yang
sempurna dan mampu menjawab segala permasalahan dengan dalil-dalil umum dan
kaidah-kaidah fiqih yang telah dijelaskan para ulama.
Alangkah bagusnya ucapan al-Imam
asy-Syafi’i Rahimahullah tatkala
mengatakan, “Tidak ada suatu masalah baru
apapun yang menimpa seorang berpengetahuan agama kecuali dalam al-Qur’an telah
ada jawaban dan petunjuknya.” [3]
Tidak diragukan lagi bagi seorang yang
mau menimbang suatu hukum berdasarkan cahaya al-Qur’an dan Sunnah serta
kaidah-kaidah fiqhiyyah bahwa demonstrasi hukumnya tidak boleh, berdasarkan
beberapa argumen sebagai berikut:
1.
Demonstrasi
merupakan Perkara Baru dalam Agama
Oleh para pembelanya, demonstrasi
dianggap sebagai salah satu sarana dakwah dan bagian dari ajaran Islam.
Padahal, demonstrasi merupakan perkara baru dalam agama dan tidak dikenal oleh
Islam, serta tidak pernah dicontohkan dan dipraktikkan oleh Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam yang mulia.
Tidak pernah Rosululloh Shalallahu 'Alaihi Wasallam beserta para
sahabatnya Radhiyallahu anhum ajmain
berdemonstrasi dengan memasang spanduk, meneriakkan yel-yel dan sebagainya ke
rumah Abu Jahal atau lainnya, padahal faktor pendorong untuk melakukannya sudah
ada pada zaman beliau.
Beliau dan para sahabatnya telah
dizalimi dengan sangat mengenaskan. Mereka disiksa, dibunuh, diboikot dan
sebagainya. Namun demikian, beliau tidak menggunakan metode ini, maka hal itu
menunjukkan bahwa metode ini tidak membawa kebaikan sedikit pun.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullahu ta'ala memberikan sebuah
kaidah penting tentang maslahat dan mafsadat, beliau berkata:
فَكُلُّ أَمْرٍ يَكُوْنُ الْمُقْتَضِيْ لِفِعْلِهِ
عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِn مَوْجُوْدًا لَوْ كَانَ مَصْلَحَةً وَلَمْ يَفْعَلْ,
يُعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ بِمَصْلَحَةٍ
“Setiap perkara yang faktor
dilakukannya ada pada zaman Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam, yang tampaknya
membawa maslahat tetapi tidak dikerjakan Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam, maka
jelas bahwa hal itu bukanlah maslahat.” [4]
Beliau kemudian memberikan contoh, seperti
adzan pada hari raya. Adzan itu sendiri pada asalnya adalah maslahat. Dan
faktor dilakukannya juga ada, yaitu mengumpulkan jama’ah sholat, tetapi Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam tidak
melakukannya pada hari raya. Berarti adzan pada hari raya bukanlah maslahat.
Kita meyakini hal itu sesat sebelum kita mendapatkan larangan khusus akan hal
tersebut atau sebelum kita mendapatkan bahwa hal tersebut membawa mafsadat.
Demikian juga, apabila kita terapkan
kaidah ini dalam masalah demonstrasi. Tidak diragukan bahwa faktor pendorong
demonstrasi dan sejenisnya adalah suatu kezaliman, atau suatu hak atau hukum
yang tidak ditegakkan.
Semua itu sudah ada pada zaman Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam dan para
salaf, namun mereka tidak menerapkan (melakukan)nya, maka hal ini menunjukkan
bahwa demonstrasi tidak disyari’atkan dan bahwa meninggalkannya merupakan
metode salaf. [5]
2.
Demonstrasi
termasuk Tasyabbuh kepada Orang-Orang Kafir
Tidak diperselisihkan oleh siapa pun
bahwa demonstrasi adalah produk orang-orang kafir dan munafik yang sejak dahulu
kala ingin membuat kerusakan di muka bumi.
Syaikh Sholih bin Fauzan hafidzhahullah berkata, “Menumbuhkan kebencian kepada pemimpin dalam
hati rakyat merupakan usaha para perusak yang ingin membuat kekacauan di muka
bumi. Orang-orang munafik sejak dahulu telah berusaha melakukan hal ini ketika
mereka ingin memisahkan kaum muslimin dari Rosululloh Shalallahu 'Alaihi
Wasallam untuk membuat kekacauan pada masyarakat seraya mengatakan:
لَا تُنفِقُوا۟ عَلَىٰ مَنْ عِندَ رَسُولِ
ٱللَّهِ حَتَّىٰ يَنفَضُّوا۟ ۗ
“Janganlah kamu memberikan
perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rosululloh supaya
mereka bubar (meninggalkan Rosululloh).” (QS. al-Munafiqun : 7)
Maka setiap usaha untuk membuat
permusuhan antara pemimpin dengan rakyat adalah usaha kaum munafik dan perusak
di muka bumi yang bila dikatakan kepada mereka, “Janganlah
kalian membuat kerusakan”, mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang yang memperbaiki.” [6]
Pikirkanlah, bukankah syari’at Islam
telah melarang kita sebagai umat Islam untuk meniru orang-orang kafir?!
Nabi Shalallahu
'Alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa menyerupai suatu kaum
maka dia termasuk golongan mereka.” [7]
Lantas, kenapakah kita meninggalkan
petunjuk Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam
dan malah mengambil produk manusia kafir?! Apakah petunjuk mereka lebih benar
dan utama?!
Celaka, tidakkah mereka berpikir dahulu dari mana asal mula demonstrasi ini sebelum melakukannya?! Adakah Islam mengajarkannya ataukah ajaran orang-orang kafir yang telah mereka praktikkan dan perjuangkan?! Hanya kepada Alloh kita mengadukan semua ini.
Celaka, tidakkah mereka berpikir dahulu dari mana asal mula demonstrasi ini sebelum melakukannya?! Adakah Islam mengajarkannya ataukah ajaran orang-orang kafir yang telah mereka praktikkan dan perjuangkan?! Hanya kepada Alloh kita mengadukan semua ini.
3.
Kerusakan
yang Ditimbulkan Demonstrasi Lebih Banyak
Al-Hafizh Ibnul Qoyyim Rahimahullah berkata, “Apabila seorang merasa kesulitan tentang
hukum suatu masalah, apakah mubah ataukah haram, maka hendaklah dia melihat
kepada mafsadat (kerusakan) dan hasil yang ditimbulkan olehnya. Apabila ternyata sesuatu tersebut mengandung
kerusakan yang lebih besar, maka sangatlah mustahil bila syari’at Islam
memerintahkan atau memperbolehkannya, bahkan keharamannya merupakan sesuatu
yang pasti. Lebih-lebih apabila hal tersebut menjurus kepada kemurkaan Alloh
dan Rosul-Nya baik dari jarak dekat maupun dari jarak jauh, seorang yang cerdik
tidak akan ragu akan keharamannya.” [8]
Dengan bercermin kepada kaidah yang
berharga ini marilah kita bersama-sama melihat hukum demonstrasi secara adil.
Apakah yang kita dapati bersama?
Kita akan mendapati dampak negatif dan
kerusakan-kerusakan akibat demonstrasi, di antaranya: hilangnya keamanan
negara, hilangnya wibawa pemimpin, kerusakan bangunan dan jalan, penjarahan,
kemacetan lalu lintas, keluarnya kaum wanita di jalan-jalan, aksi mogok makan
[9] yang sangat mengkhawatirkan, bahkan tak jarang nyawa manusia melayang. [10]
Kemudian, tanyakan pada dirimu, bukankah
demonstrasi sudah seringkali digelar? Lantas apa hasilnya? Pikirkanlah..!!
4.
Menyelisihi
Sunnah Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam
dalam Menasihati Pemimpin
Pemimpin suatu negara adalah manusia
biasa seperti kita. Mereka juga terkadang salah, maka kewajiban bagi setiap
muslim adalah saling memberikan nasihat dan mengingatkan. Ini adalah suatu
kewajiban agama dan amalan ibadah yang sangat utama.
Namun, tentu saja cara menasihati
pemimpin tidak sama dengan menasihati orang biasa, sebagaimana tidak sama cara
seorang anak menasihati orang tua dengan cara orang tua menasihati anak. Sebab
itu, Islam memberikan rambu-rambu tentang etika menasihati pemimpin agar tidak
malah menimbulkan kerusakan yang lebih besar.
Rosululloh Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلاَ
يُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذَ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ
مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أََدَّى الَّذِيْ كَانَ عَلَيْهِ لَهُ
“Barang siapa hendak menasihati
penguasa, janganlah ia menampakkannya terang-terangan. Akan tetapi, hendaklah
ia mengambil tangannya (sang penguasa tersebut), kemudian menyepi. Apabila
penguasa itu mau menerima, maka itulah yang dimaksud. Apabila tidak menerima,
sungguh dia telah menunaikan kewajibannya.” [11]
Inilah cara yang syar’i dan selamat,
yaitu menasihati pemimpin secara sembunyi-sembunyi empat mata atau melalui
surat atau melalui orang dekat pemimpin, dan sebagainya, bukan dengan
membeberkan kesalahan pemimpin di mimbar-mimbar bebas, di tempat umum, koran,
majalah, dan -termasuk juga- demonstrasi. Maka kami nasihatkan, janganlah
engkau tertipu dengan banyaknya orang yang menempuh cara-cara keliru seperti
itu walaupun niat pelakunya baik, karena cara yang demikian jelas menyelisihi
sunnah.
5.
Jembatan
menuju Pemberontakan
Al-Imam al-Bukhori (7053) dan Muslim
(1849) telah meriwayatkan bahwa Rosululloh Shalallahu
'Alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ،
فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيْتَةً جَاهِليَّةً
“Barang siapa membenci sesuatu pada
pemimpinnya [12] maka hendaknya dia bersabar, karena seorang yang keluar dari
pemimpin satu jengkal saja maka dia mati sepertinya matinya orang di masa
jahiliah.” [13]
Kalau keluar satu jengkal saja tidak
boleh, lantas dalam aksi demonstrasi berapa jengkal.?! Bukankah biasanya aksi
demonstrasi dijadikan alat untuk memberontak dan menggulingkan kursi
kepemimpinan?!
Ibnu Abi Jamroh rahimahullah berkata, “Maksudnya
keluar dari pemimpin yaitu berusaha untuk melepaskan ikatan bai’at yang
dimiliki oleh sang pemimpin dengan cara apa pun. Nabi Shalallahu 'Alaihi
Wasallam menggambarkan dengan satu jengkal, karena usaha tersebut bisa menjurus
kepada tertumpahnya darah tanpa alasan yang benar.” [14]
Perlu kami tegaskan di sini bahwa yang
disebut menghujat dan memberontak pemimpin tidak harus dengan pedang, tetapi
juga mencakup segala sarana menuju kepadanya seperti mencela pemimpin,
menyebarkan kejelekan pemimpin, dan termasuk pula melakukan aksi demonstrasi.
Sebab, manusia tidak akan memberontak
pemimpin dengan pedang tanpa ada yang menyalakan api kebencian di hati mereka
walaupun dengan dalih menegakkan pilar amar ma’ruf nahi munkar.
Hal ini ditegaskan secara bagus oleh
Abdulloh bin ’Ukaim bahwa menyebarkan kejelekan pemimpin adalah kunci untuk
menumpahkan darahnya. Beliau mengatakan, “Saya
tidak akan membantu untuk menumpahkan darah seorang kholifah selama-lamanya
setelah Utsman radhiyallahu anhu.” Ditanyakan kepadanya, “Wahai Abu Ma’bad! Apakah engkau
membantunya?” Beliau menjawab, “Saya
menilai bahwa menyebutkan kejelekannya adalah kunci untuk menumpahkan
darahnya.” [15]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Faktor utama terbunuhnya Utsman adalah
celaan kepada para gubernurnya, yang secara otomatis kepada beliau juga yang
mengangkat mereka sebagai gubernur.” [16]
Perhatikanlah hal ini baik-baik wahai
saudaraku. Janganlah kita tertipu dengan godaan setan dan pujian manusia bahwa
kita adalah seorang pemberani dan lantang bicara kebenaran, berani mengkritik
pemerintah, dan sebagainya, karena semua itu adalah tipu daya Iblis semata!!
Dari sinilah kita mengetahui kebenaran
fatwa para ulama kita Ahlus Sunnah wal Jama’ah semisal Syaikh Abdul Aziz bin
Baz, Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin, Syaikh Muhammad Nashiruddin
al-Albani, Syaikh Sholih al-Fauzan yang menegaskan bahwa aksi demonstrasi
adalah tidak boleh dan terlarang dalam tinjauan agama. [17]
Adapun syubhat-syubhat yang dihembuskan
oleh sebagian kalangan yang melegalkan demonstrasi maka semua itu adalah
argumen yang sangat rapuh dalam timbangan syari’at. [18]
Demonstrasi
Damai
Sebagian kalangan mencoba untuk
memperindah demonstrasi dengan label “demonstrasi damai”, “demonstrasi aman”,
dan sebagainya untuk melegalkan aksi demonstrasi, yaitu dengan melakukan aksi
demonstrasi secara tertib, rapi, menjaga emosi, dan sebagainya.
Aduhai, siapakah yang bisa menjamin para
demonstran dari emosi mereka saat aksi tersebut?! Bukankah kita harus
membendung segala sarana menuju kerusakan.?!
Alangkah miripnya keadaan mereka dengan
ucapan penyair:
أَلْقَاهُ فِي الْيَمِّ مَكْتُوْفاً وَقَالَ لَهُ
# إِيَّاكَ إِيَّاكَ أَنْ تَبْتَلََّ بِالْمَاءِ
“Dia melemparnya ke laut dalam keadaan terikat
Lalu berkata: “Awas, hati-hati
jangan sampai basah kena air”.
Kemudian, apakah kemungkaran demonstrasi
hanya terbatas pada kerusakan saja?! Bukankah di sana ada kemungkaran lainnya,
seperti tasyabbuh dengan orang kafir, bid’ah, menyelisihi metode Nabi dalam
nasihat, menjurus kepada pemberontakan dan lain sebagainya.
Syaikh Abu Ishaq al-Huwainy hafizhohullah pernah ditanya, “Kalau faktor terlarangnya demonstrasi
adalah kerusakan yang ditimbulkan darinya, lantas bolehkah mengadakan aksi
demonstrasi damai untuk menyampaikan aspirasi rakyat tanpa membuat kerusakan?”
Beliau menjawab, “Yang saya yakini, demonstrasi tetap tidak boleh sekalipun dilakukan
secara damai. Demonstrasi berasal dari barat. Demonstrasi di negeri mereka bisa
mengubah keputusan politik. Adapun demonstrasi di negeri Islam tidak mengubah
sedikit pun. Kemudian anggapan bahwa demonstrasi (bisa berjalan dengan) damai,
itu tidak terjamin. Buktinya, demonstrasi yang diatur oleh negara kita (Mesir)
tetap terjadi pengrusakan dan aksi bentrok antara para demonstran dan polisi
padahal negara sendiri yang mengatur demonstrasi.” [19]
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Bila ada seorang pemimpin yang tidak
berhukum dengan hukum Alloh membolehkan kepada rakyatnya untuk mengadakan aksi
demonstrasi damai dengan undang-undang yang dibuat oleh pemimpin, lalu para
demonstran menjalankannya, sehingga apabila diingkari mereka menjawab, ‘Kami
tidak menentang pemimpin, kami melakukan sesuai dengan undang-undang pemimpin’,
apakah hal ini dibolehkan secara syar’i padahal jelas menyelisihi dalil.?”
apakah hal ini dibolehkan secara syar’i padahal jelas menyelisihi dalil.?”
Beliau
rahimahullah menjawab, “Ikutilah jalan para salaf. Kalau memang ini
dilakukan oleh salaf maka itu baik dan bila tidak dilakukan oleh mereka maka
itu jelek. Tidak diragukan lagi bahwa demonstrasi adalah jelek, karena
menyebabkan kekacauan, bentrokan, dan kezaliman baik (terhadap) kehormatan,
harta, dan badan. Sebab, manusia pada saat aksi tersebut kadang seperti orang
mabuk yang tidak mengerti apa yang dia katakan dan perbuat.
Maka demonstrasi semuanya adalah jelek, baik pemerintah memberikan izin atau tidak.
Izin sebagian pemerintah hanyalah sekadar penampilan luar saja, karena seandainya engkau mengetahui isi hatinya tentu dia akan sangat membencinya, tetapi dia secara politik mengatakan, ‘Saya harus demokratis dan memberikan kebebasan untuk rakyat.’ Semua ini bukanlah manhaj salaf.” [20]
Maka demonstrasi semuanya adalah jelek, baik pemerintah memberikan izin atau tidak.
Izin sebagian pemerintah hanyalah sekadar penampilan luar saja, karena seandainya engkau mengetahui isi hatinya tentu dia akan sangat membencinya, tetapi dia secara politik mengatakan, ‘Saya harus demokratis dan memberikan kebebasan untuk rakyat.’ Semua ini bukanlah manhaj salaf.” [20]
Penutup
Demikianlah untaian kata yang dapat kami
goreskan dalam lembaran ilmiah ini, sebagai bentuk nasihat dan penjelasan
kepada kaum muslimin seluruhnya.
Tidak ada sama sekali kepentingan
pribadi atau politik dalam tulisan ini, tetapi yang ada adalah kebenaran yang
tulus yang kami yakini harus dijelaskan kepada umat.
Dan di akhir tulisan ini, kami mengimbau
kepada seluruh kaum muslimin untuk kembali kepada ajaran agama Islam yang suci
berdasarkan al-Qur’an dan hadits sesuai dengan pemahaman salaf sholih. Marilah
kita semua bertaubat kepada Alloh dan memperbaiki diri kita agar segala krisis,
fitnah, dan problem segera diangkat oleh Alloh.
Hanya Islamlah solusi untuk mengatasi
semua itu, bukan dengan metode-metode barat.
Daftar
Referensi
Al-Muzhoharot wa al-I’tishomat wa
al-Idhrobat Ru’yah Syar’iyyah.
Dr. Muhammad bin Abdurrohman al-Khumais. Darul Fadhilah, KSA, cet. pertama,
1427 H.
Hukmu al-Idhrob ’an Tho’am fi
al-Fiqh al-Islami.
Dr. Abdulloh bin Mubarok bin Abdillah Alu Saif. Jami’ah Imam Ibnu Su’ud, KSA,
cet. pertama, 1427 H.
Demonstrasi Solusi Atau Polusi? Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar
as-Sidawi. Pustaka Darul Ilmi, Bogor, cet. pertama, 1430 H.
Penulis:
Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
Footnote:
[1]
Kamus Istilah Populer [hlm.62]
[2]
Lihat Tanwir Zhulumat Bi Kasyfi Mafasid
al-Intikhobat karya Syaikh Muhammad al-Imam dan al-Muzhoharot wa al-I’tishomat wa al-Idhrobat Ru’yah Syar’iyyah
karya Syaikh Dr. Muhammad bin Abdurrohman al-Khumais [hlm.19–20]
[3]
Ar-Risalah [hlm.20]
[4]
Iqtidho’ Shiroth al-Mustaqim [2/594]
[5]
Haqiqoh al-Khowarij fi Syar’i wa ’Abri
Tarikh karya Syaikh Faishol al-Jasim [hlm.147–148]
[6]
Al-Ajwibah Mufidah ’An As’ilah Manahij
Jadidah [hlm.132–133]
[7]
HR. Abu Dawud [4002], Ahmad dalam Musnad-nya
[2/50], dihasankan oleh Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Hajar, dan dishohihkan oleh Syaikh
al-Albani dalam Irwa’ al-Gholil [no.1269]
[8]
Madarij as-Salikin [1/496]
[9]
Lihat buku khusus tentang aksi mogok makan yang berjudul Hukm al-Idhrob ’An Tho’am fi al-Fiqh al-Islami karya Syaikh Dr.
Abdulloh bin Mubarok bin Abdillah Alu Saif
[10]
Lihat perinciannya dalam buku kami, Demonstrasi
Solusi Atau Polusi? [hlm.67–74]
[11]
HR. Ibnu Abi Ashim [2/507], Ahmad [3/403], al-Hakim [3/290], hadits ini
dishohihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Zhilal
al-Jannah [hlm.507]
[12]
Ash-Shona’ni rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah pemimpin setiap negara
(bukan kholifah sedunia), karena sejak pertengahan masa Daulah Abbasiyyah
manusia sudah tidak lagi berkumpul dalam satu pemimpin, tetapi setiap negara
memiliki pemimpin masing-masing. Seandainya hadits ini dibawa kepada kholifah
umat Islam seluruh dunia, maka sedikit sekali faedahnya.” (Lihat Subul as-Salam [4/72])
[13]
Karena orang-orang jahiliah tidak memiliki pemimpin, tetapi masing-masing
kelompok membantai lainnya. (Lihat Majmu’
Fatawa Ibnu Taimiyyah [28/487] dan Subul
as-Salam karya Imam ash-Shon’ani [4/72])
[14]
Fathul Bari karya Imam Ibnu Hajar [13/7]
[15]
Dikeluarkan Ibnu Sa’ad [6/115], al-Fasawi dalam al-Ma’rifah wa Tarikh [1/213]
[16]
Fathul Bari [13/115]
[17]
Lihat perincian fatwa mereka dalam al-Muzhoharot
wa al-I’tishomat wa al-Idhrobat [hlm.85-106], al-Fatawa Syar’iyyah fi al-Qodhoya ’Ashriyyah [hlm.181-188]
kumpulan Muhammad bin Fahd al-Hushoin, Majalah al-Asholah Edisi 30/Th. 5 (Syawwal
1421) hlm. 59–60, buku kami Demonstrasi
Solusi Atau Polusi? [hlm.53–64]
[18]
Lihat al-Muzhoharot wa al-I’tishomat wa
al-Idhrobat Ru’yah Syar’iyyah [hlm.54-76], Demonstrasi Solusi Atau Polusi? [hlm.91–111]
[19]
Fatawa Syaikh Abi Ishaq al-Huwaini [1/38]
cet. Maktabah Syamilah
[20]
Liqo’ al-Bab Maftuh [179/18] cet. Maktabah
Syamilah
0 komentar:
Posting Komentar